• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Penelitian

5. Analisa Data

Pengolahan data yang didapatkan dari studi dokumen dan penelusuran kepustakaan (library research), maka hasil penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.69 Terhadap data dengan analisis kualitatif ini digunakan apabila data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukuran, data tersebut sukar diukur dengan angka, hubungan antar variabelnya, serta sampel lebih bersifat probabilitas.

Data yang terkumpul dapat dijadikan acuan pokok dalam melakukan analisis dan pemecahan masalah kemudian dijabarkan dengan kalimat yang sesuai. Untuk mengolah data yang ada, penelitian ini menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisis yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.70

67 Suratman, H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 122.

68 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hlm. 98.

69 Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Tesis Magister Ilmu Hukum, 2018.

70 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 67.

39 BAB II

PENGATURAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Pengaturan mengenai Wakil Kepala Daerah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Pasca Reformasi

Pengaturan hukum berkaitan dengan konsep negara hukum yang telah lama dikembangkan oleh ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno, seperti Plato (429-374 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Pendapat dari Aristoteles memberikan pemahaman bahwa negara harus berdiri di atas hukum yang akan dapat menjamin keadilan bagi warga negara. Dengan menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) dalam negara berarti bahwa penyelenggaraan kekuasaan dalam negara khususnya kekuasaan71 pemerintahan haruslah didasarkan atas hukum. Dalam konsepsi negara hukum, kekuasaan menjalankan atau menyelenggarakan pemerintahan haruslah berdasarkan pada kedaulatan hukum72 atau supremasi hukum dengan tujuan utamanya ialah mewujudkan adanya ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.73

71Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak keinginan kepada pihak lain. Dalam hal ini negara sebagai organisasi dari manusia mempunyai satu hal (kedaulatan kekuasaan tertinggi) yang tidak dipunyai oleh organisasi-organisasi manusia dalam bentuknya yang lain.

Dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain, (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007), hlm. 9.

72 Kedaulatan hukum merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum raja atau penguasa maupun rakyat atau warga sendiri Karena baik raja Negara bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum seorang pendukung teori kedaulatan hukum yaitu Krabbe, dimana ia mengatakan bahwa yang berdaulat itu adalah hukum. Dan yang menjadi sumber hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri, Jadi menurut Krabbe, hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara dan dia memberikan kepada hukum kepribadian tersendiri. Dan hukum itu berlaku terlepas dari kehendak negara. Mirza Nasution, Eka NAM Sihombing, Ilmu Negara, (Medan: Enam Media, 2019), hlm. 97.

73 Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm.

37.

Hukum dan perundang-undangan itu, selama masa transisi, seringkali harus hadir bersama-sama dengan kapasitas negara untuk melakukan koersi (tekanan). Bisa jadi, derajat demokrasi dapat dilihat dari kemampuan substansi hukum dan perundangan memberi tempat aturan demokratik; dari segi keterlibatan semua unsur politik dalam penyusunan aturan-aturan itu; dan/atau dari segi konsistensi pelaksanaannya. Ketiga-tiganya mungkin harus dilihat sebagai sesuatu yang akumulatif dan komprehensif.74

Undang-Undang “formal”, dasar negara atau aturan pokok negara. Hubungan antara lembaga-lembaga bawah aturan dasar negara/aturan pokok negara. Undang-undang "formal" adalah kelompok norma hukum yang berada di dibentuk guna merumuskan aturan-aturan hukum negara secara lebih konkret dan terperinci, dan sudah dapat langsung diberlakukan mengikat warga negara. Hubungan antara negara dan warga negaranya. Maria Farida Indrati menjelaskan, untuk konteks Indonesia, aturan dasar negara atau aturan pokok negara tertuang dalam batang tubuh UUD RI 1945, Ketetapan MPR RI, serta hukum yang tidak tertuang yang sering disebut konvensi ketatanegaraan. Contoh hukum dasar tidak tertulis yang berlaku di Indonesia adalah kebiasaan penyelenggaraan kenegaraan Presiden RI pada setiap tanggal 16 Agustus setiap tahunnya atau pengesahan/ratifikasi perjanjian perjanjian international dengan suara undang-undang atau dengan keputusan presiden. Dalam undang-undang formal sudah dapat dicantumkan norma-norma hukum yang bersifat sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Hal yang juga membedakannya dengan

peraturan-74Anom Surya Putra, Hukum Konstitusi Masa Transisi Semiotika, Psikoanalisis & Kritik Ideologi, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2003), hlm. 29.

peraturan lainnya karena undang undang "formal" (wet/get/act) adalah norma-norma hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif.75

Hukum harus menjadi sumber kekuasaan para penguasa agar pemerintahannya terarah untuk pemenuhan kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Sebagai sumber kekuasaan, hukum tidak hanya memiliki kedaulatan dan kewibawaan yang tertinggi, tetapi juga harus menjadi dasar dan landasan kehidupan bernegara. Hukum berlaku bagi yang memerintah dan juga yang diperintah sehingga kedua pihak ini sama sama memiliki kedudukan hukum. Dengan gagasan negara yang berkonstitusi (politea). Aristoteles secara implisit dan eksplisit telah memberikan pengakuan bahwa pemerintahan yang dibatasi konstitusi merupakan pemerintahan paling baik yang dapat diwujudkan secara nyata, Bagi Aristoteles, hukum adalah akal atau kecerdasan yang tidak dapat dipengaruhi oleh keinginan atau nafsu.76

Pengaturan dalam semua undang-undang tentang pemerintahan daerah selama ini telah diletakkan peran kepala daerah sebagai peran kunci, mengingat kepala daerah merupakan komponen signifikan bagi keberhasilan pembangunan nasional. Di samping itu, pemerintahan daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan nasional atau negara. Efektifitas pemerintahan negara tergantung pada efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sehingga keberhasilan kepemimpinan di daerah menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional.77

75 Azis Syamsuddin, Proses & Teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 25.

76 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hlm. 18-19.

77 Sirajuddin, Anis Ibrahim, Sinta Hadiyatina, Op. Cit, hlm. 128.

Historis wakil kepala daerah mulai dari masa penjajahan hingga pasca reformasi, pada zaman Penjajahan Belanda Kepala Daerah ditunjuk langsung oleh Pemerintah Kolonial untuk wilayah Kabupaten dan Kecamatan sedangkan untuk wilayah Provinsi diisi langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda.78

Wakil kepala daerah mulai dari masa penjajahan hingga pasca reformasi, pada zaman Penjajahan Belanda Kepala Daerah ditunjuk langsung oleh Pemerintah Kolonial untuk wilayah Kabupaten dan Kecamatan sedangkan untuk wilayah Provinsi diisi langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Berikut ini regulasi mengenai pemerintahan daerah hingga adanya pengaturan mengenai wakil kepala daerah pasca reformasi ialah sebagai berikut:79 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Pada Tahun 1999, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada undang-undang ini diatur bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan (Pasal 41). Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD

melalui pemilihan secara bersamaan.

2. Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan.

3. Untuk pcncalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dibentuk Panitia Pemilihan.

78 https://poso.bawaslu.go.id/sejarah-pengaturan-pemilihan-gubernur-bupati-dan-walikota-di-indonesia-oleh-christian-adiputra-oruwos-h-m-h/

79Ibid.

4. Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua panitia Pemilihan merangkap sebagai anggota.

5. Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan, tetapi bukan anggota.

Pemilihan, penetapan, dan kewenangan kepala daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999, bupati dan wali kota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun pemberhentian kepala daerah secara administratif (pembuatan surat keputusan) masih diberikan kepada Presiden. Adapun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada langsung. Gubernur pada saat yang sama masih merangkap sebagai wakil pusat dan kepala daerah otonom Pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini di lakukan berdasarkan supremasi hukum.80

UU No. 22/1999 untuk pertama kalinya memberikan landasan hukum bagi kekuasaan pemerintah daerah yang memberi ruang bagi kehadiran jabatan wakil kepala daerah. Dalam Pasal 30 UU No. 22/1999 disebutkan bahwa “Setiap daerah dipimpin oleh seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil kepala daerah.”

Ternyata format pemilihan Kepala Daerah pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 Tahun 1999 sebagai hambatan dalam proses demokratisasi Pemerintah Daerah. Pada era sentralisasi masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, Pemerintah Pusat secara dominan menentukan siapa yang terpilih dan DPRD hanya melegitimasi yang sudah ditentukan, DPRD mengambil keputusan yang berbeda

80 Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2003), hlm. 185.

dengan arahan Pemerintah Pusat maka akan diabaikan oleh Pemerintah Pusat.

Konsekuensinya, Kepala Daerah memberi pertanggungjawaban kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri, sedangkan kepada DPRD, Kepala Daerah hanya memberikan laporan saja, Hal ini berakibat seorang Kepala Daerah merasa memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada Pemerintah Pusat ketimbang kepada daerahnya sendiri.81

Perubahan format pemerintahan daerah setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 telah mengakhiri pengaruh Pemerintah Pusat yang dominan, tetapi pemilihan Kepala Daerah dengan format pemilihan oleh DPRD justru menimbulkan banyak persoalan, seperti terjadinya politik uang dan konflik antar pendukung masing-masing calon. Pemilihan tidak langsung mengandung kontroversi, karena sering kali menghasilkan calon calon terpilih yang tidak memiliki kapabilitas untuk memimpin Pemerintah Daerah, tidak popular dan tidak dapat diterima oleh masyarakat banyak.82

Pasca reformasi, melalui UU No. 22 Tahun 1999, maka wakil kepala daerah juga ditunjuk oleh DPRD sama seperti kepala daerah, pada masa ini, dalam konteks pemilihan demokratis pada hakikatnya merupakan pemilihan umum secara tidak langsung tetapi masih dalam kategori pemilihan yang demokratis.

2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU 22/1999, Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut undang-undang tersebut juga dianggap banyak kelemahannya, yakni terutama pada sisi pendanaan yang besar dan potensi konflik horizontal. Pada konteks hubungan Kepala Daerah dan Wakilnya, Undang-Undang tersebut juga gagal

81Nanang Nugraha, Op. Cit., hlm. 48.

82Ibid.

mengharmoniskan hubungan keduanya, sehingga mengganggu stabilitas pemerintahan di daerah. Maka dibutuhkanlah revisi Undang-Undang tersebut, termasuk yang mengatur tentang bagaimana seharusnya Wakil Kepala Daerah dipilih, agar tidak melahirkan ketidakstabilan pemerintahan lokal.

Relasi Antara Otonomi Daerah Dalam Penguatan Demokrasi Lokal (local democracy) di Indonesia. Konsep demokrasi sesungguhnya sangat menjunjung tinggi otonomi daerah, khususnya pendapat tentang pentingnya otonomi dalam penguatan nilai-nilai demokrasi, disuarakan oleh Muhammad Yamin dan Moh. Hatta. Demokrasi pada level lokal dan komunitas seringkali diabaikan dalam pembicaraan tentang demokrasi dan demokratisasi kehidupan politik.83

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini mengalami 2 (dua) kali perubahan yakni pada tanggal 27 April 2005 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, merubah pasal 90 ayat 1 dan 2, dan menambah Pasal 236A dan Pasal 236B serta pada tanggal 28 april 2008 dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya telah mengadaptasi Amandemen ke-4 (1999-2002) UUD 1945

83 Abdul Aziz Hakim, Impeachment Kepala Daerah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), hlm.122.

khususnya Pasal 18 ayat 4 “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Proses Pembentukan wakil-wakil rakyat berbeda dengan proses pembentukan keanggotaan wakil-wakil rakyat dalam tingkat pemerintahan daerah pada masa sebelumnya yang pengaturannya masih tidak seragam, dan hal tersebut memang terkait dengan masa-masa mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Hal ini terlihat dalam UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No.1 Tahun 1957). Tetapi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974, proses pengisian atau pembentukan wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan rakyat, relatif lebih teratur dan jelas pengaturan hukumnya (Demikian juga dengan RUU Pemerintahan Daerah, termasuk menyatunya pemilihan wakil-wakil rakyat secara nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum). UU No. 4 Tahun 1980, dan ketiga dengan Pasal 1 ayat (4) UU No. 3 tahun 1999 , untuk memilih anggota DPRD tingkat I dan II kecuali untuk anggota DPR, DPRD Angkatan Bersenjata Republik Indonesia DPRD II dari Adapun jumlah anggota DPRD diatur ABRI UU No.

16 tahun 1969 tentang usunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah pertama dengan UU No. 2 Tahun 1985, terakhir dengan UU No. 4 tahun 1999.

Pengisian keanggotaan dan pemilihan umum dan pengangkatan. Jumlah cara DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya empat puluh lima dan sebanyak-banyaknya 100 (seratus) orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.84

84A. Pangerang Moenta, Permusyawaratan dan DPRD Analisis Aspek Hukum dan Produk Permusyawaratan, (Malang: Intelegensia Media, 2017), hlm. 220-221.

Sedangkan jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) dan sebanyak-banyaknya 45 (empat puluh lima) orang termasuk 10% anggota ABRI. Masa keanggotaan DPRD /I adalah 5 (lima) tahun dan berakhir bersama-sama pada saat anggota DPRD 1/11 yang baru mengucapkan sumpah/janji. Keanggotaan DPRD diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri (bagi DPRD) dan Keputusan Gubernur (bagi DPRD II) atas nama Presiden sebagai Kepala Negara Untuk dapat menjadi anggota DPRD, harus dipenuhi beberapa syarat: (RUU Pemerintahan Daerah sama sekali tidak membuat ketentuan tentang syarat-syarat untuk menjadi anggota DPRD, yang dimuat hanya syarat-syarat Kepala Daerah (Pasal 33).85

Perubahan Pasal 18 yang aslinya hanya memuat satu pasal menjadi tiga pasal dan sebelas (11) ayat mencerminkan perdebatan yang dinamis. Berbagai topik menyangkut status otonomi pemerintahan daerah, pemilihan kepala daerah, hubungan pusat dan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah.86

Kubu yang ingin meneruskan pola Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini meskipun menimbulkan kontroversi, tetapi sampai saat ini ketentuan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam satu paket pemilukada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak pernah ada yang melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, sehingga dianggap tidak ada yang secara konstitusional dirugikan. Keberadaan jabatan Wakil Kepala Daerah sendiri sebenarnya membuka peluang adanya proses kaderisasi bagi calon Kepala Daerah di

85Ibid.

86 Daniel Zuchron, Menggugat Manusia dalam Konstitusi Kajian Filsafat Atas UUD 1945 Pasca Amandemen, (Jakarta: Rayyana Komunikasindo, 2017), hlm. 141.

masa mendatang, karena selama ini kaderisasi pimpinan daerah relatif terbatas, sehingga banyak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang muncul secara mendadak tanpa latar belakang pengalaman di bidang pemerintahan yang relatif memadai. Padahal dalam era desentralisasi sekarang ini, posisi Kepala Daerah sangat strategis dalam menentukan kemajuan daerah, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.

Transisi yang cukup signifikan dari regulasi sebelumnya, bahwa pemilihan secara demokratis sejak UU No. 32 Tahun 2004 diberlakukan, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Tidak lagi melalui DPRD, sehingga rakyat yang menentukan pemimpinnya di daerah.

3. Undang 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Pada tanggal 28 April 2008 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam undang-undang ini, mereka yang mencalonkan diri tidak harus bergabung atau masuk ke partai politik terlebih dahulu. Calon perseorangan boleh mendaftar dengan syarat dukungan masyarakat. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 59 (1) huruf (b)

“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Ketentuan tersebut merupakan implikasi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 diucapkan

dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Senin 23 Juli 2007.

Di tahun 2008, lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, klausul yang mengatur secara khusus tentang wakil kepala daerah hanya termuat dalam satu pasal yaitu Pasal 26 tentang tugas-tugas wakil kepala daerah. Mandat undang-undang atas tugas wakil kepala daerah tersebut tidak disertai dengan rincian kewenangan yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya. Perubahan mendasar yang melegitimasi pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada kurun waktu berikutnya digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan oleh Presiden tanggal 15 oktober 2004 dan diundangkan dalam Lembaran Negara pada tanggal yang sama tahun 2004 Nomor 125. Undang-Undang ini pun mengalami dua kali perubahan secara terbatas, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pada perkembangan regulasi tentang pemerintahan daerah, di tahun 2014 kembali di adakan revisi terhadap undang-undang sebelumnya. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengahapus undang-undang sebelumnya. Di undang-undang ini menambahkan dan memperjelas tugas dari wakil kepala daerah, hal tersebut diatur dalam Pasal 66.

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Perubahan undang-undang pemerintahan daerah yang cukup sering mengalami perubahan bergantung pada penguasa, untuk memainkan pionnya dengan menyusun kaki tangannya di daerah-daerah, sehingga pengisian jabatan wakil kepala daerah akan mengikuti sistem pemilihan kepala daerah. Jabatan wakil kepala daerah yang pada awalnya tidak diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah, ditunjuk oleh pemerintah pusat, dari PNS, dipilih DPRD, hingga dipilih secara demokratis. Tentu jika dianalisa, seiring perkembangan zaman, maka terjadi perubahan ke arah yang lebih baik lagi meskipun perlu terus disempurnakan. Pada fase undang-undang ini, tupoksi wakil kepala daerah semakin jelas, tetapi tetap saja kedudukannya masih lemah, karena adanya kewenangan kepala daerah untuk memberikan mandatoris kepada wakil kepala daerah.

Pada tanggal 30 September 2014, Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Akan tetapi undang-undang tersebut telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan. Atas penolakan tersebut maka kemudian dengan mempertimbangkan syarat kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Presiden Republik Indonesia yakni Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 2 Oktober 2014 menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober 2014 atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemeirntah kemudian disahkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

5.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Perubahan dilakukan sebagai konsekuensi atas perubahan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang mengatur wakil kepala daerah dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah agar tidak terjadi disharmoni dan dan perlunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan.

Memperhatikan perkembangan dalam sistem pemilihan, pada tanggal 18 Maret 2015, Presiden Republik Indonesia yakni Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang kemudian pada akhirnya dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota pada tanggal 1 Juli 2016, Presiden Republik Indonesia yakni Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang 10 Tahun 2016 inilah yang pada pemilihan tahun 2020 masih tetap digunakan.

Jika dianalisis dan dibandingkan pengaturan wakil kepala daerah dalam UU Pemda yang pernah berlaku di Indonesia, maka pengaturan mengenai wakil kepala

Jika dianalisis dan dibandingkan pengaturan wakil kepala daerah dalam UU Pemda yang pernah berlaku di Indonesia, maka pengaturan mengenai wakil kepala