• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI KEDUDUKAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLIKASI KEDUDUKAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

CYNTHIA HADITA 197005091

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

i

(3)

ii

(4)

iii Pengaturan wakil kepala daerah dalam UUD NRI Tahun 1945 berdampak terhadap sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Rivalitas semasa menjabat antara kepala daerah dan wakil kepala daerah diberbagai daerah, sehingga akan berdampak terhadap berjalannya sistem pemerintahan daerah. Kewenangan wakil kepala daerah dalam tatanan atribusi, delegasi maupun mandat yang sangat timpang antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, mulai dari tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, hingga kewenangannya yang bersifat asistensi dalam UU PEMDA dan juga mandatoris melalui keputusan kepala daerah. Dari aspek historis, 3 (tiga) UU PEMDA pasca kemerdekaan tidak mengatur mengenai wakil kepala daerah, eksistensinya ada sejak UU No. 18 Tahun 1965. Sehingga, perlu di analisa berkaitan dengan jabatan wakil kepala daerah di Indonesia yang memiliki dualisme pendapat berkaitan dengan penghapusan atau penguatan jabatan wakil kepala daerah.

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan penelitian pendekatan perundang-undangan (statute approach). Sumber data yang digunakan yaitu data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara eksplisit UUD NRI Tahun 1945 hanya menyebutkan mengenai ‘kepala daerah’ dan tidak menyebutkan mengenai ‘wakil kepala daerah’, tetapi terdapat Pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945 yang memerintahkan untuk membentuk UU berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara atribusi, dalam UUD NRI Tahun 1945 pengaturan wakil kepala daerah cukup lemah. Secara delegasi, dalam Undang-Undang Pemerintahan daerah, tugas dan fungsi wakil kepala daerah hanya sebatas asistensi. Secara mandat, kewenangan wakil kepala daerah didapatkan dari keputusan kepala daerah, sehingga berpotensi tidak diberdayakan jika hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harmonis. Untuk penguatan jabatan wakil kepala daerah, diutarakan dalam beberapa jurnal ilmiah seperti Catur Wibowo, Rahma Aulia, Wilda Prihatiningtya, mengutarakan aspek-aspek yang menjadi bagian penting diadakannya jabatan waki kepala daerah. Terlebih lagi, setelah menganalisa naskah komprehensif perubahan UUD NRI Tahun 1945, bahwa mengenai kepala daerah sebaiknya memang dimuat secara umum saja dalam UUD NRI Tahun 1945, mengenai strukturnya akan diatur lebih lanjut dalam UU, dan mengenai pemilihan satu paket, bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu mengikut unsur sistematis terhadap pola pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Kata Kunci: Penguatan, Jabatan, Wakil Kepala Daerah.

(5)

iv The arrangement of vice heads in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has an impact on the regional government system in Indonesia. Rivalry during office between regional heads and vice heads in various regions, so that it will have an impact on the functioning of the regional government system. The authority of the vice head in the attribution, delegation and mandate arrangements is very unequal between the regional head and the vice head, ranging from not explicitly stated in Article 18 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, to his assistantship authority in the Local Government Act and also mandatory through regional head decisions. From the historical aspect, the post-independence 3 (three) Local Government Act does not regulate the vice head, its existence has existed since Law no. 18 of 1965. Thus, it is necessary to analyze the position of vice head in Indonesia who has a dualism of opinion regarding the abolition or strengthening of the position of vice head.

The research method used is normative legal research with a statute approach.

The data sources used are secondary data using primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials, data analysis is carried out using qualitative methods.

The results of the study show that although the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia explicitly only mentions 'regional heads' and does not mention 'vice heads', there is Article 18 paragraph (7) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which orders to enact a law relating to the administration of regional government. . In terms of attribution, in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the regulation of vice heads is quite weak. By delegation, in the Regional Government Law, the duties and functions of vice heads are only limited to assistance.

By mandate, the authority of the vice head is obtained from the regional head's decision, so it is potentially not empowered if the relationship between the regional head and vice head is not harmonious. To strengthen the position of vice head, stated in several scientific journals such as Catur Wibowo, Rahma Aulia, Wilda Prihatiningtya, expressing aspects that are an important part of holding the position of vice head. Moreover, after analyzing the comprehensive text of the amendments to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, that regarding regional heads should indeed be contained in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the structure will be further regulated in the Law, and regarding the selection of a package, that the election of regional heads and deputy The regional head follows a systematic element in the pattern of the election of the President and Vice President.

Keywords: Strengthening, Position, Vice head.

(6)

v Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala ridho dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Implikasi Kedudukan Wakil Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Terhadap Sistem Pemerintahan Daerah”. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan pembangunan hukum di Indonesia. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Agusmidah, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I, Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II, Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang secara terus menerus memberikan motivasi dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.

5. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak sekali membantu dalam hal memberikan bimbingan, saran dan motivasi untuk dapat menyelesaikan tesis ini.

6. Ibu Dr. Afnila, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran telah banyak sekali memberikan bimbingan dan saran untuk substansi penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

7. Bapak Dr. Abd. Harris, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing III yang telah banyak sekali membantu dalam hal memberikan bimbingan, saran dan motivasi untuk dapat menyelesaikan tesis ini, sekali lagisaya ucapan terima kasih banyakdan penghormatan yang setinggi-tingginya untuk Bapak dan Ibu dosen pembimbing yang baik hati.

8. Ibu Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum dan Ibu Dr. Affila, S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah banyak sekali memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyelesaian tesis ini.

9. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh staf administrasi dan staf keamanan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (Kak Fitri, Kak Sari, Bang Ivan, Bang Hendra, dan Eyang Ganti) yang selalu mendukung dan membantu penulis untuk menyelesaikan segala administrasi dalam penyelesaian tesis ini.

11. Rekan-rekan mahasiswa Reguler B angkatan 2019 dan juga rekan-rekan kelas Hukum Tata Negara, khususnya kepada rekan-rekan HTN-ners sekelas saya sejak Strata-1 hingga Strata-2 yaitu Sahabat Saya: Rizki Rahayu Fitri, S.H., dan Surya Ananda, S.H.

(7)

vi M.Hum yang selalu memberikan motivasi kepada Penulis untuk memiliki semangat produktif menulis, Abangda Benito Asdie Kodhiyat MS, SH, MH yang telah meminjamkan buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945 sehingga Penulis mendapatkan risalah perdebatan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 khususnya mengenai jabatan wakil kepala daerah. Terimakasih juga kepada Pak Andryan, SH, MH, Abangda Yusrizal Adi Sahputra, SH, MH, Abangda Aras Firdaus, SH, MH, Abangda Dr. Budi Bahreisy, SH, MH.

Terkhusus kepada yang terkasih dan tercinta, yang pertama dan utama kepada Mama (Masyitah S.Sos) yang selalu menyemangati, mendukung tanpa henti, dan juga atas do’anya yang tidak pernah putus kepada penulis, terimakasih banyak atas ketulusan yang telah diberikan, semoga dengan didikan yang baik dari Mama, kedepannya Penulis dapat menjadi anak yang bermanfaat untuk keluarga, agama, bangsa, dan negara. Terimakasih penulis ucapkan kepada Papa (A. Hadi) yang selalu mendukung secara moril dan materil sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Abang Kandung Penulis (Prabowo Hadi Kusumo, SH) dan juga kakak ipar tersayang (Eka Rhati Hamidah, S.Kep, NS) serta 3 (tiga) keponakan Penulis yaitu Muhammad Syafiq Alif, Salma Rania Dinar, dan Muhammad Shidqi Abidzar.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Juli 2021 Penulis

Cynthia Hadita

(8)

vii Halaman

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL DAN SKEMA ... x

BAB IPENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

a. Teori Konstitusi ... 15

b. Teori Kewenangan ... 23

2. Kerangka Konseptual ... 24

G. Metode Penelitian... 35

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 35

2. Pendekatan Penelitian ... 36

3. Data Penelitian ... 37

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 37

5. Analisa Data ... 38

BAB II PENGATURAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 39

A. Pengaturan mengenai Wakil Kepala Daerah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Pasca Reformasi ... 39

1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ... 42

2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ... 45

3. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedu Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang PemerintahanDaerah ... 48

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ... 50

5. Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ... 51

(9)

viii BAB III KEWENANGAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM

PEMERINTAHAN DAERAH ... 62

A. Tugas, Fungsi, dan Wewenang Wakil Kepala Daerah ... 62

1. Kewenangan Wakil Kepala Daerah ... 71

a. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ... 72

b. UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 73

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ... 74

2. Pendapat Hukum antara Penguatan dan Penghapusan Jabatan Wakil Kepala Daerah ... 77

a. Penguatan Pengaturan Jabatan Wakil Kepala Daerah ... 77

b. Penghapusan Jabatan Wakil Kepala Daerah ... 83

B. Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Daerah ... 89

1. Hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ... 89

2. Masa Depan Jabatan Wakil Kepala Daerah ... 93

BAB IV IMPLIKASI KEDUDUKAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH ... 105

A. Wakil Kepala Daerah dalam Risalah UUD NRI Tahun 1945 .... 105

B. Implikasi Kedudukan Wakil Kepala Daerah Dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Terhadap Sistem Pemerintahan Daerah ... 108

1. Disharmoni Hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ... 108

2. Faktor-Faktor Penyebab Disharmoni Hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ... 110

C. Analisa Hukum mengenai Kewenangan Wakil Kepala Daerah antara Atribusi, Delegasi, dan Mandat ... 125

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 134

A. Kesimpulan... 134

B. Saran ... 135 DAFTAR PUSTAKA

(10)

ix DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Tabel 1 : Penelitian Sebelumnya ... 12 Skema 1 : Teori Konstitusi yang Relevan Digunakan Pada Penelitian ... 22 Skema 2 : Pengaturan Wakil Kepala Daerah Dalam Undang-Undang

Pemerintahan Daerah dari Masa Ke Masa ... 53 Skema 3 : Gambaran mengenai kewenangan yang dimiliki oleh Wakil

Kepala Daerah ... 127 Skema 4 : Wakil Kepala Daerah: Antara Atribusi, Delegasi, dan Mandat... 132

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, awalnya berbunyi

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Sejak awal, UUD NRI Tahun 1945 tidak pernah menyebutkan secara eksplisit mengenai wakil kepala daerah. Amandemen ke-2 UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2000, terjadi perubahan pada Pasal 18, khususnya mencermati Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.1 UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur secara eksplisit mengenai wakil kepala daerah. Tetapi perlu dikaji naskah komprehensif megenai perdebatan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat amandemen Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945

1Demokratis yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 berkaitan dengan ketentuan pemilihan secara demokratis dapat dilaksanakan, baik melalui cara langsung oleh rakyat atau dengan cara tidak langsung melalui DPRD. Kedua cara itu sama-sama demokratis dan karena itu konstitutional. Hanya saja, dewasa ini, ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang, yaitu bahwa pemilihan itu dilakukan melalui pemilihan umum kepala daerah atau disingkat Pilkada. Namun apabila suatu ketika akan diadakan perubahan sehingga pemilihan cukup diadakan secara tidak langsung melalui DPRD, maka hal itu juga harus dipandang sama demokratisnya dan sama-sama konstitusionalnya. Namun, untuk pertimbangan efisiensi dan memastikan kepemimpinan pemerintahan di daerah, apalagi mengingat banyaknya jumlah para partai politik yang saling berkoalisi dalam mengisi jabatan kepala daerah, maka adalah baik jika jabatan wakil itu ditiadakan. Dalam Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 58-59.

(12)

apakah wakil kepala daerah sudah termasuk dalam frasa kepala daerah.

Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa

“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang”.2 Adanya perintah UUD NRI Tahun 1945 untuk mengatur lebih lanjut dengan undang-undang sehingga wakil kepala daerah ada dalam undang-undang pemerintahan daerah.

Keberadaan wakil kepala daerah hanya ada setelah diatur dalam Undang- Undang Pemerintahan Daerah, walaupun proses menjadi seorang wakil kepala daerah mengalami perbedaan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Namun pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak masa reformasi merupakan wilayah yang rawan konflik, dampak pelayanan publik menjadi tidak optimal, birokrasi Pemda terkotak-kotak, visi misi masa kampanye hanya jargon politik semata dan berimplikasi pada pendidikan politik yang tidak cerdas bagi masyarakat. Data dari Kementrian Dalam Negeri hampir 94%

pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harmonis di masa jabatannya

2 Penjelasannya, setidaknya terungkap bahwa "susunan pemerintahan daerah dibentuk dengan Undang-Undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara yang berbentu kesatuan. Artinya ada empat kata kunci di dalamnya, yaitu susunan pemerintahan daerah" harus "dibentuk dengan Undang-Undang" harus memandang dan mengingati dasar permusyawaratan", dan dalam kerangka sistem pemerintahan negara kesatuan atas dasar kata-kata kunci tersebut, dapat dimaknai bahwa sistem pemerintahan daerah selain didasarkan pada prinsip prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat juga semestinya tetap mengindahkan hal-hal yang bertalian dengan prinsip penyelengaraan pemerintahan negara kesatuan Artinya, apa yang berlaku sebagai sistem pemerintahan negara seharusnya berlaku juga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain, bahwa prinsip yang dijalankan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat pada pemerintahan negara (di tingkat Pusat).

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm. 219.

(13)

dan pecah kongsi di akhir masa jabatannya.3 Meskipun, wakil kepala daerah tidak disebutkan secara langsung dalam UUD NRI Tahun 1945, perlu dikaji implikasi pengaturan itu terhadap kewenangan wakil kepala daerah dalam sistem pemerintahan daerah.

Perlu digaris bawahi bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang” sebagaimana yang diperintahkan Pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya pemerintah daerah (kepala daerah) dan DPRD, tidak termasuk wakil kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lebih lanjut, mengenai susunan perangkat daerah juga menjadi kewenangan kepala daerah untuk melakukan persetujuan susunan itu melalui peraturan daerah sesuai dengan susunan perangkat daerah yang dibutuhkan.

Pengaturan wakil kepala daerah dalam UUD NRI Tahun 1945 yang tidak disebutkan secara eksplisit tetapi wakil kepala daerah memiliki pengaturan yang cukup jelas dalam undang-undang dengan diurai berbagai tugas dan kewajibannya, tetapi yang perlu dikaji yaitu kedudukannya sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga adanya wakil kepala daerah itu hanya bersifat asistensi sebagaimana tercermin dalam Pasal 63 ayat (1) “Kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat dibantu oleh wakil kepala daerah”. Sebab, unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah sudah pasti menjadi bagian dari struktur organisasi daerah, tetapi

3Nanang Nugraha, Model Kewenangan Wakil Kepala Daerah Dalam Pemerintahan Daerah, (Bandung: Refika, 2013).

(14)

struktur organisasi daerah belum tentu menjadi bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Dalam UUD NRI Tahun 1945, wakil kepala daerah tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam hal eksistensi, kedudukan, kewenangannya, hingga yang dipilih secara demokratis hanya kepala daerah, namun pada praktiknya digandeng dengan wakil kepala daerah sesuai tingkatannya baik itu wakil gubernur, wakil bupati maupun wakil walikota.

Problematika kedudukan wakil kepala daerah dalam UUD NRI Tahun 1945 ada yang berpendapat inkonstitusional, sebagaimana diutarakan dalam frasa berikut ini:4

The problematic of the deputy head of the region in exercising his authority is very limited in the laws governing it, and whether these limitations will be a separate problem for the performance of the vice head later. Although the position of vice head is still considered an unconstitutional position because it is not explicitly mentioned in the 1945 Constitution. The development of the authority and role of the vice head has been regulated in the Law on Regional Government, where the law on regional government during After the reformation there have been several revisions and changes. However, whether the Law on Regional Government has set clearly and in detail for the authority of the vice head, because the legal basis such as the Law will greatly determine later the authority and duties of the vice head which will impact on the position of the vice head in the Regional Government.

(Problematika wakil kepala daerah dalam menjalankan kewenangannya sangat terbatas pada undang-undang yang mengaturnya, dan apakah keterbatasan tersebut akan menjadi masalah tersendiri bagi kinerja wakil kepala daerah nantinya. Meskipun jabatan wakil kepala daerah masih dianggap sebagai jabatan inkonstitusional karena tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945. Perkembangan kewenangan dan peran wakil kepala daerah telah diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, dimana undang-undang tentang pemerintahan daerah pada masa Pasca reformasi telah mengalami beberapa kali revisi dan perubahan. Namun apakah UU Pemerintahan Daerah sudah mengatur secara jelas dan rinci mengenai kewenangan wakil kepala daerah tersebut, karena landasan hukum seperti UU tersebut nantinya akan

4Rizqy Ridho Ilahi, Hufron, Otto Yudianto, Legal Standing Of Vice head As A Replacement Of Regional Head, IJCIRAS, January 2020, Vol. 2 Issue. 8.

(15)

sangat menentukan kewenangan dan tugas wakil kepala daerah yang akan berdampak pada jabatan tersebut, wakil kepala daerah di lingkungan Pemerintah Daerah).

Pendapat yang relevan dengan lemahnya kedudukan wakil kepala daerah, diutarakan oleh Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyebut adanya wakil kepala daerah baik itu wakil gubernur, wakil bupati, maupun wakil walikota. Ditiadakan tidaknya jabatan wakil ini diserahkan kepada daerah, maka adalah lebih baik jika jabatan wakil itu ditiadakan wewenang, kewajiban, dan hak.5 Kranenburg menyatakan bahwa jumlah orang yang memimpin sebuah organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi itu. Selain adanya pengaruh dalam kinerja organisasi, dalam konteks wakil kepala daerah, Jimly Asshiddiqie menyatakan argumentasi bahwa wakil kepala daerah itu inkonstitusional.6 Pendapat yang menyatakan seharusnya jabatan wakil kepala daerah itu ditiadakan, juga diutarakan oleh Sadu Wasistiono melalui analogi “satu kapal satu nakhoda”.7

Disisi lain, urgensinya penguatan jabatan wakil kepala daerah juga diperlukan.

Kedudukannya hanya perlu diperkuat, sebab sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, jabatan wakil kepala daerah hingga saat ini masih relevan diterapkan dalam pemerintahan daerah sehingga ada baiknya untuk dilakukan penguatan terhadap kedudukan hukumnya yang lemah. Lebih lanjut,Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum sebagaimana yang diatur

5Eka NAM Sihombing, Hukum Pemerintahan Daerah, (Malang: Setara Press, 2020), hlm. 89.

6 Jimly Asshiddiqie,Op. Cit., hlm. 59.

7 Sadu Wasistiono, Kontroversi Kedudukan, Tugas. Wewenang Dan Tanggung Jawab Wakil Kepala Daerah, Artikel, 2015.

(16)

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sehingga wakil kepala daerah memiliki legalitas dan legitimasi karena telah ada Pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945 yang memerintahkan membentuk undang-undang, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, wakil kepala daerah memiliki kedudukan secara yuridis.

Dualisme pendapat itu, ada yang mendukung penguatan maupun penghapusan.

Pendapat yang mendukung penguatan, maka kedudukan wakil kepala daerah perlu dikonstruksi melalui UUD NRI Tahun 1945 hingga aturan lebih lanjutnya, dan adapula yang berpendapat untuk dihapuskan karena tidak tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945, atau setidaknya dikembalikan pada kebutuhan daerah sebab fundamen hukumnya cukup jelas di UU Pemda meskipun kewenangannya hanya bersifat asistensi dan mandatoris.

Pasca kemerdekaan Indonesia, wakil kepala daerah dalam beberapa kali perubahan undang-undang pemerintahan daerah, juga mengalami perubahan- perubahan sistem berkaitan dengan kedudukannya yang akan diurai dalam beberapa undang-undang pemerintahan daerah. Pertama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, hanya mengatur kepala daerah dan tidak ada mengatur mengenai wakil kepala daerah. Kedua, Undang- Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri, hanya ada eksistensi wakil kepala daerah istimewa yang dipilih oleh Presiden, bahkan jika Dewan Perwakilan Daerah ditunjuk mewakili kepala daerah dan tidak berakibat lahirnya jabatan baru (wakil kepala daerah) sesuai yang diatur dalam Pasal VII angka 25. Ketiga, Khusus di Indonesia Timur berlaku Undang-Undang

(17)

N.I.T. No. 44 Tahun 1950, bentuk negara bagian tidak mengenal wakil kepala daerah.

Keempat, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang juga masih mengatur mengenai wakil kepala daerah istimewa. Kelima, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, sudah mulai mengatur mengenai wakil kepala daerah namun kewenangan, tugas, dan fungsinya belum diatur secara jelas. Keenam, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, saat diberlakukannya undang-undang ini, wakil kepala daerah dipilih oleh Presiden terhadap Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Ketujuh, Undang-Undang No.

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD untuk 5 (lima) tahun dan hanya satu periode. Kedelapan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setelah regulasi ini disahkan, sampai saat ini hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis.

Pengaturan itu berpengaruh terhadap kedudukan dan kewenangan dari wakil kepala daerah secara kolektif kolegial mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota. Tugas wakil kepala daerah dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 dengan Pasal 66 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014, maka kedudukan hingga fungsi dan tugas wakil kepala daerah sangat tergantung pada undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku, selain itu terdapat tugas lainnya diberikan berupa keputusan kepala daerah. Jadi, tugas wakil kepala daerah hanya membantu kepala daerah tidak ada tugas pokok. Cukup tegas bahwa fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah hampir seluruhnya dilakukan kepala daerah. Posisi wakil kepala daerah dalam hal ini benar-benar

(18)

subordinat, wakil kepala daerah kurang berperan dalam proses pengambilan keputusan, meski memungkinkan bisa memengaruhi prosesnya. Tugas dan wewenang wakil kepala daerah bersifat umum kekuasaan penuh ada di tangan kepala daerah dan akhirnya memunculkan kegamangan wakil dalam bertindak, serta menjalankan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.8

Hakikatnya, “mimpi” orang nomor dua adalah menjadi orang nomor satu. Perlu atau tidaknya wakil pimpinan ditentukan oleh beban pekerjaan, kerumitan pekerjaan, luasnya rentang kendali. Pada organisasi pemerintah, ada atau tidaknya wakil pimpinan organisasi dan mekanisme pengisiannya ditentukan oleh keputusan politik yang kemudian diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan. Di tingkat Nasional, adanya jabatan wakil presiden diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUD 1945. Jabatan wakil presiden adalah jabatan politik yang di pilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat 1 UUD 1945). Pada sisi lain adapula jabatan Wakil Menteri (Luar Negeri, Pertanian, Perindustrian) yang merupakan jabatan karier dari PNS (lihat UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara). Di tingkat Daerah, mengenai perlu tidaknya jabatan wakil kepala daerah tergantung pada UU yang mengatur tentang otonomi daerah.9 Tetapi, jabatan wakil kepala daerah telah memiliki legitimasi sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah hingga berlaku pada beberapa undang-undang pemerintahan daerah setelahnya, yang sudah berlaku hingga saat ini.

8Tri Suhendra Arbani, Analisis Yuridis Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Supremasi Hukum, Vol. 6, No. 2, Desember 2017.

9 Sadu Wasistiono, Op. Cit.

(19)

Kewenangan wakil kepala daerah didapatkan melalui atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi yang diberikan oleh Pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945.

Delegasi, yang diamanahkan oleh UU Pemda. Sedangkan, mandat merupakan kewenangan wakil kepala daerah yang diperoleh atas dasar keputusan kepala daerah diluar kewenangan yang diberikan oleh UU Pemda.

Dasar yuridis wakil kepala daerah hanya disebutkan tugas, fungsi, kewajiban, dan kewenangannya dalam UU Pemda, untuk kedudukan wakil kepala daerah tergolong lemah. Bahkan dalam UU Pemda, kepala daerah yang berwenang mengusulkan wakil kepala daerah, hal ini tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f UU Pemda Kepala daerah mempunyai tugas “mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah”. Dalam Penjelasan Pasal 65 ayat (1) huruf f UU Pemda itu belum diberikan penjelasan sejauh mana kewenangan mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah.

Namun pada praktiknya, wakil kepala daerah digandeng bersamaan dengan kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Wakil kepala daerah sering tidak menyadari tugasnya yang hanya membantu kepala daerah. Wakil Kepala Daerah diberikan tugas sedikit lalu protes. Karena undang-undang tidak spesifik mengatur tugasnya. Lalu bisa jadi karena persoalan kepentingan yang berbeda yang akhirnya menjadi rebutan proyek, apakah wakilnya nanti tetap dari gabungan parpol atau nanti yang memilih kepala daerahnya sendiri setelah terpilih. Berikut ini contoh disharmonisnya beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah, misalnya antara Bupati Kabupaten Kuantan Singingi di Riau, Sukarmis dan wakilnya, Zulkifli, pada Februari 2016. Kemudian, antara Gubernur Kalimantan

(20)

Utara Irianto Lambrie dengan wakilnya Udin Hianggio pada Oktober 2017. Terbaru, Bupati Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan dan wakilnya Abdul Rahman H Buding pada akhir Januari 2018 kemarin.10 Pada 15 Mei 2020, terjadi perseteruan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah, karena permasalahan proyek.11

Disharmoni kepala daerah dan wakil kepala daerah, biasanya terjadi hanya beberapa bulan setalah pasangan itu memenangkan pilkada. Akibatnya hampir sepanjang lima tahun, pemerintahan berjalan tidak efektif setelah terjadi dualisme kepemimpinan daerah. Proses harmonisasi itu harus diawali pada saat pencalonan.12

Implikasi pengaturan wakil kepala daerah yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945 berdampak terhadap sistem pemerintahan daerah di Indonesia, sebab sebagai suatu sistem maka stabilitas pemerintahan daerah juga bergantung pada kerjasama yang baik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, politik hukum yang belum mengakomodir penguatan wakil kepala daerah mengakibatkan adanya perilaku politik yang tidak harmonis antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga akan dikaji tesis mengenai “Implikasi Kedudukan Wakil Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Terhadap Sistem Pemerintahan Daerah”.

10Kompas, “Wakil Kepala Daerah Dinilai Sering Tak Paham Tugasnya”, www.nasional.kompas.com, diakses pada tanggal 10 Februari 2021.

11Tribun News, “Perseteruan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah, Berkelahi saat Rapat hingga Ancam Lapor Polisi”, papua.tribunnews.comdiakses pada tanggal 10 Februari 2021.

12Didik Supriyanto, “Pentingnya Jabatan Wakil Kepala Daerah”, www.news.detik.comdiakses pada tanggal 10 Februari 2021.

(21)

B. Permasalahan

Beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini ialah sebagai berikut:

1. Apakah pengaturan tentang wakil kepala daerah sesuai dengan amanat konstitusi?

2. Apakah kewenangan wakil kepala daerah yang diatur saat ini cukup jelas dan proporsional terhadap kewenangan kepala daerah?

3. Bagaimana implikasi kedudukan wakil kepala daerah dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terhadap sistem pemerintahan daerah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun beberapa tujuan dari penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis mengenai pengaturan tentang wakil kepala daerah sudah sesuai atau tidak dengan amanat konstitusi.

2. Menganalisis mengenai kewenangan wakil kepala daerah yang diatur saat ini cukup jelas dan proporsional atau tidak terhadap kewenangan kepala daerah.

3. Menganalisis mengenai kedudukan wakil kepala daerah dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terhadap sistem pemerintahan daerah.

D. Manfaat Penelitian

Berangkat dari permasalahan-permasalahan pada penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut:

1. Segi teoritis sebagai suatu bentuk mengurai teori-teori yang relevan dengan permasalahan ketatanegaraan yang dihadapi dan khususnya dalam kajian terhadap

(22)

eksistensi wakil kepala daerah dalam UUD NRI Tahun 1945 terhadap sistem pemerintahan daerah.

2. Segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan untuk para pihak yang berkepentingan (stakeholder) sehingga didapatkan kesatuan pandangan dalam memberikan solusi terhadap eksistensi wakil kepala daerah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya di Indonesia, ditemukan beberapa judul penelitian hukum berkaitan dengan eksistensi wakil kepala daerah, yaitu:

Tabel 1

Penelitian Sebelumnya NO. NAMA MAHASISWA/ ASAL PRODI DAN

UNIVERSITAS/ JUDUL TESIS/ RUMUSAN MASALAH

PERBEDAAN RANAH PENELITIAN DENGAN

YANG AKAN DIKAJI 1. Nama:

Ali Ibsan Jaya (157005082/HK) Prodi dan Universitas:

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Judul Tesis:

Implementasi Pengisian Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah

Tahun Lulus:

2017

Rumusan Masalah:

1. Bagaimana proses pemilihan wakil kepala daerah yang demokratis di Indonesia?

2. Bagaimana pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berhalangantetap?

1. Menggunakan UU Pilkada yang lama yaitu UU 8/2015

2. Lebih dominan komparatif UU Pilkada dari masa ke masa

3. Tidak membahas terkait UUD NRI Tahun 1945 eksistensi wakil kepala daerah

4.

(23)

3. Bagaimana praktek yang terjadi di berbagai daerah dalam pengisian kekosonganjabatan wakil kepala daerah?

2. Nama:

Arif Maulana (1006754863) Prodi dan Universitas:

Fakultas Hukum Program Pascasarjana Hukum dan Kehidupan Kenegaraan (Hukum Tata Negara), Jakarta.

Judul Tesis:

Tinjauan Konstitusional Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Melalui

Pemilihan Umum Tahun Lulus:

2012

Rumusan Masalah:

1. Bagaimana perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia sampai dengan saat ini?

2. Apakah pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini memiliki landasan konstitusional yang kuat?

a. Apakah kedudukan dan pemilihan umum wakil kepala daerah konstitusional?

b. Apakah pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan demokratis harus dimaknai dengan pemilihan langsung untuk seluruh daerah, termasuk daerah istimewa?

1. Setuju untuk menggandeng pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara bersamaan 2. Mendukung MK untuk memiliki

kewenangan constitutional question.Arah penelitian terkait dengan pengisian jabatan, khususnya untuk daerah istimewa.

3.

3. Nama:

Rahmad Gevril Falah (14912005) Prodi dan Universitas:

Program Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Judul Tesis:

1. Masih menggunakan UU Pemda yang lama, yaitu UU 32/2004 2. Membahas pilkada wakil kepala

daerah pada pasca reformasi di Indonesia. Saran untuk wakil kepala daerah dari jabatan karier (PNS).Tidak membahas aspek UUD NRI Tahun 1945

(24)

Kedudukan, Tugas Dan WewenangWakil Kepala Daerah Dalam Pemerintahan Daerah

PascaReformasi Di Indonesia Tahun Lulus:

2015

Rumusan Masalah:

1. Bagaimana kedudukan, tugas dan wewenang wakil kepala daerah dalam pemerintahan daerah pasca reformasi?

2. Bagaimana hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pemerintahan daerah di Indonesia?

3. Bagaimana mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah yang ideal di masa yang akan datang?

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep tual 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jenis nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya sendiri boleh disebut sebagai yang tertinggi.13 Teori hukum disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.14

Teori hukum memiliki tugas antara lain untuk memberikan analisis tentang pengertian hukum dan pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, memberikan pengertian hubungan antara hukum dan logika serta memberikan implikasi-implikasi kefilsafatan.15

13Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bangdung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 254.

14Ibid., hlm. 253.

15Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 31.

(25)

Adapun beberapa landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Teori Konstitusi b. Teori Kewenangan

Penjelasan teori-teori hukum tersebut, maka masing-masing akan diurai sebagai berikut:

a. Teori Konstitusi

Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, istilah Konstitusi berasal dari

“Constitution”, yang dalam bahasa Indonesia kita jumpai dengan istilah hukum lain, yaitu Undang-Undang Dasar dan/atau Hukum Dasar.16 Berlakunya suatu Konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan ataskekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi Konstitusi ituadalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu Konstitusi, hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyat yang menentukan berlakunya suatu Konstitusi.17

Aristoteles berhasil mengkoleksi 158 buah Konstitusi dari berbagai negara.

Pemahaman awal tentang Konstitusi pada masa itu hanyalah merupakan kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata. Kemudian pada masa Kekaisaran Roma,

16 Astim Riyanto, Teori Konstitusi, (Bandung: Yapemdo, 2000), hlm. 17.

17 A. Himmawan Utomo, UUD NRI Tahun 1945, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 2.

(26)

pengertian Konstitusi memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para Kaisar. Termasuk juga pendapat dari para ahli hukum/negarawan. Konstitusi Roma tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar, dimana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar Roma, telah menjelma L'Etat General di Perancis, bahkan karena orang Romawi disebut ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham Demokrasi Perwakilan dan Nasionalisme.18

Dua paham inilah yang menjadi dasar munculnya paham Konstitusionalisme modern. Istilah Konstitusi berasal dari Perancis yaitu constituer yang berarti membentuk. Jadi, Konstitusi adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Di dalam bahasa latin, istilah Konstitusi merupakan gabungan dari cume dan statuere. Cume berarti "bersama dengan...", sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Jadi, statuere adalah membuat suatu agar berdiri atau mendiri kan/menetapkan.

Dengan demikian, Konstitusi (contitucio) menurut bahasa latin berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama. Di dalam beberapa literatur hukum tata negara maupun ilmu politik, kajian tentang ruang lingkup paham Konstitusi (Konstitusionalisme) meliputi anatomi kekuasaan (kekuasan politik) tunduk pada hukum.19

Konstitusi sebagai segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dsb), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata

18 Muchlis, Moh. Saleh, Konstitusionalitas Impeachment Presiden dan Wakil Presiden, (Malang: Setara Press, 2016), hlm. 28-29.

19Ibid.

(27)

lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi Konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak Konstitusional. Berbeda halnya dengan Konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui Konstitusi.20

K.C. Wheare dalam Dahlan Thaib yang menyarikan buku Wheare yang berjudul Modern Constitutions. Pada intinya kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral. Pertama, Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi).Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya. Superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi rakyat/warga negara tetapi termasuk juga bagi para penguasa dan bagi badan pembuat konstitusi itu sendiri. Kedua, jika Konstitusi dilihat dari aspek moral, maka konstitusi berada di bawahnya.21

Menurut Ferdinand Lasalle, Konstitusi pada dasarnya adalah apa yang tetulis dalam Undang-Undang Dasar mengenai lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, sendi-sendi dasar pemerintahan. Jimly Asshiddiqie, mendefinisikan Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.22

20 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni'matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 1.

21Ibid.

22 Maskun, Teori Konstitusi, diakses melalui www.negarahukum.com pada tanggal 01 April 2020.

(28)

Pendapat Aristoteles bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum.

Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya. Berangkat dari pemikiran tersebut, Aristoteles berpendapat bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan Konstitusi. Menurutnya, ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi. Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum. Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan Konstitusi. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan dan tekanan.23

Konstitusi suatu negara sebagai hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karena Konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur dalam Konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Suatu negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.24

Dalam suatu negara hukum, peran lembaga negara dalam mewujudkan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam Konstitusi salah satu materi penting dan selalu ada adalah pengaturan tentang

23Ibid.

24Ibid.

(29)

lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta hubungan antar lembaga negara.25

Upaya pembentukan hukum konstitusi bersifat envolving, terus tumbuh dan berkembang. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, dan tetap terbuka untuk terus mengalami perubahan lagi di waktu-waktu yang akan datang tergantung kebutuhan dan kemungkinan. Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh K.C. Wheare, upaya dalam penyempurnaan atas kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam UUD 1945 tersebut, juga dapat terus dilakukan, baik melalui formal amendment, contitutional convention, ataupun melalui judicial interpretation. Di samping itu, proses pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya menurut prosedur yang ditentukan oleh UUD 1945 juga terus dilakukan sehingga proses pembentukan hukum konstitusi itu terus berkembang dinamis dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.26

Kembali kepada masalah Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supremation of law) yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat kelengkapan negara, muncul masalah baru yaitu siapakah yang akan menjamin bahwa

25 Hendra Karianga, Carut-Marut Pengelolaan Keuangan Daerah di Era Otonomi Daerah Perspektif Hukum dan Politik., (Depok: Kencana, 2017), hlm. 154.

26 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm.

257.

(30)

ketentuan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif maupun badan pemerintah lainnya. Dalam menanggapi permasalahan di atas, Miriam Budiardjo menyatakan adanya beberapa aliran pikiran yang berbeda-beda sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut. Di Inggris, Parlemenlah yang dianggap sebagai badan yang tertinggi dan oleh karena itu hanya parlemen yang boleh menafsirkan ketentuan- ketentuan Konstitusional dan menjaga supaya semua undang undang dan peraturan- peraturan lain sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konstitusional itu. Ini berarti bahwa parlemen merupakan satu satunya badan yang boleh mengubah maupun membatalkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi. Di negara-negara federasi, diperlukan ada satu badan diluar badan legislatif yang berhak meneliti apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan Konstitusi.27

UUD 1945 sebagai hukum tertulis yang tertinggi, maka kehidupan Konstitusional pun merupakan kehidupan hukum yang mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Seluruh kehidupan Konstitusional di negara Indonesia, baik yang tercantum dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar maupun yang terkandung dalam aturan-aturan dasar yang tidak tertulis yang berkembang dan terpelihara dalam praktek ketatanegaraan, semuanya mengikat warga negara sebagai hukum. Apabila praktek penyelenggaraan negara hanya diuji pada ketentuan-ketentuan Undang- Undang Dasar tertulis saja dengan mengabaikan aturan-aturan hukum dasar yang tidak

27Ibid, hlm. 70.

(31)

tertulis yang telah dipraktekkan di Indonesia. Isyarat yang diberikan dalam UUD 1945 sungguh tepat dan menunjukkan sikap "waskita" atau arif dan waspada dari para pendiri Republik ini, yakni yang berbunyi: “Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia”.28

Hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau Undang- Undang Dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak asasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki Konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak asasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis. Pada hampir semua Konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan, dibentuk lembaga-lembaga negara. Dengan demikian,

28Ibid, hlm. 71.

(32)

jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu itu.29

Teori konstitusi yang relevan digunakan untuk menganalisa permasalahan pada penelitian ini, ialah sebagai berikut:

Teori Konstitusi yang Relevan Digunakan Pada Penelitian

Skema 1 : Bersumber dari Analisis Peneliti Terhadap Teori Konstitusi yang Relevan Digunakan Pada Penelitian

Konstitusi yang menjadi penentu keberadaan (eksistensi) lembaga negara maupun lembaga daerah, ataupun memerintahkan undang-undang terhadap adanya lembaga daerah itu juga menjadi hal yang paling urgensi, sebab jika inkonstitusional dan hanya diatur dalam aturan dibawahnya maka berpengaruh terhadap kadar pengaturannya yang lemah diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, performa maupun kinerja dari wakil kepala daerah berdampak terhadap urgensi keberadaannya dalam pemerintahan daerah. Teori Konstitusi, akan dijadikan pisau analisis untuk rumusan masalah 1 dan 3.

29Mahkamah UUD NRI Tahun 1945 Republik Indonesia, “Teori Konstitusi”, diakses melalui https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11776 pada tanggal 01 April 2020.

(33)

b. Teori Kewenangan

Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu authority of theory, istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda, yaitu Theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jermannya, yaitu theorie der autorität. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan kewenangan. Sebelum dijelaskan pengertian teori kewenangan, berikut ini disajikan konsep teoritis tentang kewenangan. H.D.

Stoud, seperti dikutip Ridwan HR, menyajikan pengertian tentang kewenangan.

Kewenangan adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.30

Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Kewenangan adalah apa yang disebut dengan kekuasaan formal, kekuasaan yang diberikan dari Undang-Undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintah, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya diterapkan dalam peraturan perundang-undangan”.31

30 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 110.

31Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, Ed. IV, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hlm. 22.

(34)

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).32

Ragam fungsi kekuasaan organ jabatan, fungsi-fungsi kekuasaan negara pada umumnya dilihat dari sudut pandang doktrin trias politica Montesquieu, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Padahal, di samping ini, fungsi-fungsi kekuasaan itu dapat pula kita lihat dari segi yang lain, sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu dalam konteks yang di namakan "quadru-politica makro" dan "quadru-politica mikro".

Fungsi-fungsi kekuasaan itu, jika dikaitkan dengan bekerjanya sistem norma.33

Kewenangan atau urusan pemerintahan daerah, maka akan diurai konsep Kewenangan atau Urusan pada negara kesatuan ada perwujudan distribution of powers antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan sebagai konsekuensinya terjadi penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Secara Konstitusional dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), menyatakan bahwa "Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-

32Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm.

35-36.

33 Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, (Jakarta: Penerbit UUD NRI Tahun 1945 Pres, 2020), hlm. 199.

(35)

undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat". Berdasarkan ketentuan di atas maka, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang telah ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagai asas pemerintahan daerah sebagai mana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, menyatakan "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi.34

Pemberian otonomi kepada daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping melalui otonomi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memerhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya asas dekonsentrasi yang secara selalu terdapat dalam sistem negara kesatuan Akan tetapi, Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sama sekali tidak menyinggung adanya asas dekonsentrasi. Ada yang berpendapat bahwa tidak disebutnya asas dekonsentrasi di sini disebabkan oleh asas dekonsentrasi itu tidak berhubungan langsung dengan kewenangan pemerintah daerah, melainkan hanya terkait dengan kewenangan pemerintah pusat. Akan tetapi jika logikanya demikian, untuk apa tugas pembantuan disebut secara eksplisit? Bukankah

34 Sirajuddin, Anis Ibrahim, Sinta Hadiyatina, Catur Wido Haruni, Hukum Adminitrasi Pemerintahan Daerah, (Malang: Setara Press, 2016), hlm. 75.

(36)

asas pembantuan itu juga bersumber dari kewenangan pemerintah pusat dan sifat pekerjaannya jauh lebih teknis dibandingkan dengan asas dekonsentrasi? Bukankah dengan demikian, tidak dicantumkannya asas dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah pasca Perubahan UUD 1945, memang disengaja? Maksudnya ialah untuk mempertegas bahwa di masa depan tidak akan ada lagi dekonsentrasi di daerah.35

Mengenai desentralisasi yang pada praktiknya juga kerap mengalami hal yang bersifat regresif dalam implementasinya sebab dilaksanakan tidak sejalan dengan aturan hukum, juga tercermin pada frasa “the flip side of decentralization and localization, namely that local governments can also opt to use their competences and abilities to take regressive stances” (sisi lain dari desentralisasi dan lokalisasi, yaitu bahwa pemerintah daerah juga dapat memilih untuk menggunakan kompetensi dan kemampuannya untuk mengambil sikap regresif).36

Di samping model tersebut dalam pembahasan teori otonomi dan desentralisasi juga dikenal model pembagian kewenangan berdasarkan sistem rumah tangga daerah.

Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Menurut Bagir Manan, terdapat beberapa sistem rumah tangga daerah, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga material dan sistem rumah tangga nyata dan riil.

35Ibid., hlm. 76-77.

36 Elif Durmus, A typology of local governments’ engagement with human rights: Legal pluralist contributions to international law and human rights, Netherlands Quarterly of Human Rights,Vol. 38 (1), 2020, hlm. 30–54.

(37)

Beberapa ciri kelompok dominan atau kelompok kekuasaan politik, sebagaimana dinyatakan oleh Ralf Dahrendorf adalah: Pertama, jumlahnya selalu lebih kecil daripada jumlah kelompok yang dikuasasi. Kedua, memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya, yang berupa kekayaan material, intelektual, dan kehormatan moral. Ketiga, dalam pertentangan selaku terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukkan. Keempat, kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik, sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa dalam bidang politik. Kelima, kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas/kelompoknya sendiri. Keenam, ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.37

Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Baik buruknya kekuasaan harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu.38

Kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin dibatasi. Sebaliknya, hukum memiliki karakteristik untuk membatasi segala sesuatu melalui aturan- aturannya. Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik. Bahwa pada

37 Mirza Nasution, Politik Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Medan:

Puspantara, 2015), hlm. 10.

38 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 90.

(38)

dasarnya, hukum membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan.39

Kranenburg menyatakan sebab memang ada hubungan yang nyata antara jumlah orang yang memegang pimpinan itu dengan cara kerjanya organisasi negara itu.

Terang sekali, bahwa kelancaran kerjanya akan kurang kalau demikian banyaknya orang yang mengaturnya. Dari segi ketatanegaraan, masalah pemerintahan daerah adalah merupakan salah satu aspek struktural dari suatu negara, dan perihal pemerintah/pemerintah daerah itu sendiri, serta hubungannya dengan pemerintah pusatnya tergantung kepada bentuk dan susunan negaranya.40

Pada hakikatnya kewenangan merupakan kekuasaan yang diberikan kepada alat-alat perlengkapan Negara untuk menjalankan roda pemerintahan. Teori kewenangan (authority theory) merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang “Kekuasaan dari organ pemerintahan untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat.41

Indroharto, mengemukakan tiga macam kewenangan yang bersumber dari peraturan undang-undangan. Kewenangan itu meliputi :42

1. Atribusi.

2. Delegasi.

3. Mandat.

39 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 84.

40 Solly Lubis, Hukum Tatanegara, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hlm. 153.

41 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 67.

42 Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 104.

(39)

Pendelegasian kewenangan dalam konsep Atribusi, Delegasi dan Mandat, Berkaitan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan permintaan, tidak dapat dilepaskan kewenangan dalam konsep atribusi, delegasi atau mandat. Organ/badan pusat yang ada di daerah dan organ/badan daerah bertindak berdasar wewenang atribusi, delegasi atau mandat.43

Menurut Philipus M. Hadjon dalam Sirajuddin dkk, bahwa “wewenang”

(beteegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (recuesmacht). Jadi konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Sedangkan menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya mengemban hak untuk berbuat, dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rachten en plichteni) kaitannya dengan otonomi daerah, 'hak' mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.44

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang dimaksud wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Sedangkan kewenangan menurut Pasal 1 angka 5 Undang Undang No. 30 Tahun 2014

43 Sirajuddin, Anis Ibrahim, Sinta Hadiyatina, Catur Wido Haruni, Op.Cit., hlm. 96.

44 Ibid.

(40)

tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa “Kewenangan adalah kekuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik”. Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui dua cara, yaitu atribusi dan Pelimpahan wewenang meliputi delegasi dan mandat.45

Menurut Soehino, sistem pemerintahan daerah pada prinsipnya harus menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan pusat, yang pada umumnya sistem tersebut telah ditegaskan dalam UUD sepanjang negara itu mempunyai UUD. Dari segi hukum tata negara khususnya teori bentuk negara otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat). Otonomi adalah fenomenan negara kesatuan.

Segala pengertian (begrip) dan isi (materie) otonomi adalah pengertian dan isi otonomi.46

Otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis. Artinya, di negara demokrasi dituntut adanya pemerintahan daerah yang memperoleh hak otonomi. Adanya pemerintah daerah yang demikian juga menyempurnakan suatu ciri negara demokrasi, yakni kebebasan. Tocqueville seperti dikutip oleh Rienow mengatakan suatu pemerintahan merdeka tanpa semangat membangun institusi pemerintahan tingkat daerah sama artinya dengan tidak

45 Ibid., hlm. 97.

46 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 244.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui hasil penelitian dapat diketahui bahwa Peranan POLRI dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Senjata Api oleh Masyarakat Sipil di Kota Surakarta, dalam hal ini

Meskipun cara yang digunakan beragam, namun keenam narasumber secara umum sudah dapat dikatakan telah merefleksikan nilai-nilai pengajaran Konfusius dalam bidang “qǐ fǎ

Dapat disimpulkan bahwa dari pengolahan data penulis tentang “Pengaruh Channel Youtube Yulia Baltschun Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Informasi Diet Sehat Viewers”

Individu yang melakukan belanja impulsif mengalami konflik kognitif, seperti: tidak mempertimbangkan harga maupun kegunaan suatu barang, tidak melakukan evaluasi terhadap

Pengadaan bahan baku, jika melihat kinerja penjamin mutu, merupakan tanggung jawab dari quality control, yaitu pada bagian produksi. Baik atau buruknya bahan baku

This research is conducted to investigate the impact of institutional ownership, managerial ownership, audit quality, and firm size towards earnings management through

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasikan modal sosial dalam kehidupan masyarakat Desa Bukit Kijang terhadap program restorasi lahan pasca tambang yang