• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pengaturan mengenai Wakil Kepala Daerah Dalam Peraturan

2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

UU 22/1999, Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut undang-undang tersebut juga dianggap banyak kelemahannya, yakni terutama pada sisi pendanaan yang besar dan potensi konflik horizontal. Pada konteks hubungan Kepala Daerah dan Wakilnya, Undang-Undang tersebut juga gagal

81Nanang Nugraha, Op. Cit., hlm. 48.

82Ibid.

mengharmoniskan hubungan keduanya, sehingga mengganggu stabilitas pemerintahan di daerah. Maka dibutuhkanlah revisi Undang-Undang tersebut, termasuk yang mengatur tentang bagaimana seharusnya Wakil Kepala Daerah dipilih, agar tidak melahirkan ketidakstabilan pemerintahan lokal.

Relasi Antara Otonomi Daerah Dalam Penguatan Demokrasi Lokal (local democracy) di Indonesia. Konsep demokrasi sesungguhnya sangat menjunjung tinggi otonomi daerah, khususnya pendapat tentang pentingnya otonomi dalam penguatan nilai-nilai demokrasi, disuarakan oleh Muhammad Yamin dan Moh. Hatta. Demokrasi pada level lokal dan komunitas seringkali diabaikan dalam pembicaraan tentang demokrasi dan demokratisasi kehidupan politik.83

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini mengalami 2 (dua) kali perubahan yakni pada tanggal 27 April 2005 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, merubah pasal 90 ayat 1 dan 2, dan menambah Pasal 236A dan Pasal 236B serta pada tanggal 28 april 2008 dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya telah mengadaptasi Amandemen ke-4 (1999-2002) UUD 1945

83 Abdul Aziz Hakim, Impeachment Kepala Daerah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), hlm.122.

khususnya Pasal 18 ayat 4 “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Proses Pembentukan wakil-wakil rakyat berbeda dengan proses pembentukan keanggotaan wakil-wakil rakyat dalam tingkat pemerintahan daerah pada masa sebelumnya yang pengaturannya masih tidak seragam, dan hal tersebut memang terkait dengan masa-masa mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Hal ini terlihat dalam UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No.1 Tahun 1957). Tetapi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974, proses pengisian atau pembentukan wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan rakyat, relatif lebih teratur dan jelas pengaturan hukumnya (Demikian juga dengan RUU Pemerintahan Daerah, termasuk menyatunya pemilihan wakil-wakil rakyat secara nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum). UU No. 4 Tahun 1980, dan ketiga dengan Pasal 1 ayat (4) UU No. 3 tahun 1999 , untuk memilih anggota DPRD tingkat I dan II kecuali untuk anggota DPR, DPRD Angkatan Bersenjata Republik Indonesia DPRD II dari Adapun jumlah anggota DPRD diatur ABRI UU No.

16 tahun 1969 tentang usunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah pertama dengan UU No. 2 Tahun 1985, terakhir dengan UU No. 4 tahun 1999.

Pengisian keanggotaan dan pemilihan umum dan pengangkatan. Jumlah cara DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya empat puluh lima dan sebanyak-banyaknya 100 (seratus) orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.84

84A. Pangerang Moenta, Permusyawaratan dan DPRD Analisis Aspek Hukum dan Produk Permusyawaratan, (Malang: Intelegensia Media, 2017), hlm. 220-221.

Sedangkan jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) dan sebanyak-banyaknya 45 (empat puluh lima) orang termasuk 10% anggota ABRI. Masa keanggotaan DPRD /I adalah 5 (lima) tahun dan berakhir bersama-sama pada saat anggota DPRD 1/11 yang baru mengucapkan sumpah/janji. Keanggotaan DPRD diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri (bagi DPRD) dan Keputusan Gubernur (bagi DPRD II) atas nama Presiden sebagai Kepala Negara Untuk dapat menjadi anggota DPRD, harus dipenuhi beberapa syarat: (RUU Pemerintahan Daerah sama sekali tidak membuat ketentuan tentang syarat-syarat untuk menjadi anggota DPRD, yang dimuat hanya syarat-syarat Kepala Daerah (Pasal 33).85

Perubahan Pasal 18 yang aslinya hanya memuat satu pasal menjadi tiga pasal dan sebelas (11) ayat mencerminkan perdebatan yang dinamis. Berbagai topik menyangkut status otonomi pemerintahan daerah, pemilihan kepala daerah, hubungan pusat dan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah.86

Kubu yang ingin meneruskan pola Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini meskipun menimbulkan kontroversi, tetapi sampai saat ini ketentuan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam satu paket pemilukada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak pernah ada yang melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, sehingga dianggap tidak ada yang secara konstitusional dirugikan. Keberadaan jabatan Wakil Kepala Daerah sendiri sebenarnya membuka peluang adanya proses kaderisasi bagi calon Kepala Daerah di

85Ibid.

86 Daniel Zuchron, Menggugat Manusia dalam Konstitusi Kajian Filsafat Atas UUD 1945 Pasca Amandemen, (Jakarta: Rayyana Komunikasindo, 2017), hlm. 141.

masa mendatang, karena selama ini kaderisasi pimpinan daerah relatif terbatas, sehingga banyak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang muncul secara mendadak tanpa latar belakang pengalaman di bidang pemerintahan yang relatif memadai. Padahal dalam era desentralisasi sekarang ini, posisi Kepala Daerah sangat strategis dalam menentukan kemajuan daerah, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.

Transisi yang cukup signifikan dari regulasi sebelumnya, bahwa pemilihan secara demokratis sejak UU No. 32 Tahun 2004 diberlakukan, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Tidak lagi melalui DPRD, sehingga rakyat yang menentukan pemimpinnya di daerah.

3. Undang 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Pada tanggal 28 April 2008 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam undang-undang ini, mereka yang mencalonkan diri tidak harus bergabung atau masuk ke partai politik terlebih dahulu. Calon perseorangan boleh mendaftar dengan syarat dukungan masyarakat. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 59 (1) huruf (b)

“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Ketentuan tersebut merupakan implikasi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 diucapkan

dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Senin 23 Juli 2007.

Di tahun 2008, lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, klausul yang mengatur secara khusus tentang wakil kepala daerah hanya termuat dalam satu pasal yaitu Pasal 26 tentang tugas-tugas wakil kepala daerah. Mandat undang-undang atas tugas wakil kepala daerah tersebut tidak disertai dengan rincian kewenangan yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya. Perubahan mendasar yang melegitimasi pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada kurun waktu berikutnya digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan oleh Presiden tanggal 15 oktober 2004 dan diundangkan dalam Lembaran Negara pada tanggal yang sama tahun 2004 Nomor 125. Undang-Undang ini pun mengalami dua kali perubahan secara terbatas, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pada perkembangan regulasi tentang pemerintahan daerah, di tahun 2014 kembali di adakan revisi terhadap undang-undang sebelumnya. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengahapus undang-undang sebelumnya. Di undang-undang ini menambahkan dan memperjelas tugas dari wakil kepala daerah, hal tersebut diatur dalam Pasal 66.

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Perubahan undang-undang pemerintahan daerah yang cukup sering mengalami perubahan bergantung pada penguasa, untuk memainkan pionnya dengan menyusun kaki tangannya di daerah-daerah, sehingga pengisian jabatan wakil kepala daerah akan mengikuti sistem pemilihan kepala daerah. Jabatan wakil kepala daerah yang pada awalnya tidak diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah, ditunjuk oleh pemerintah pusat, dari PNS, dipilih DPRD, hingga dipilih secara demokratis. Tentu jika dianalisa, seiring perkembangan zaman, maka terjadi perubahan ke arah yang lebih baik lagi meskipun perlu terus disempurnakan. Pada fase undang-undang ini, tupoksi wakil kepala daerah semakin jelas, tetapi tetap saja kedudukannya masih lemah, karena adanya kewenangan kepala daerah untuk memberikan mandatoris kepada wakil kepala daerah.

Pada tanggal 30 September 2014, Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Akan tetapi undang-undang tersebut telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan. Atas penolakan tersebut maka kemudian dengan mempertimbangkan syarat kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Presiden Republik Indonesia yakni Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 2 Oktober 2014 menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober 2014 atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemeirntah kemudian disahkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

5.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Perubahan dilakukan sebagai konsekuensi atas perubahan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang mengatur wakil kepala daerah dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah agar tidak terjadi disharmoni dan dan perlunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan.

Memperhatikan perkembangan dalam sistem pemilihan, pada tanggal 18 Maret 2015, Presiden Republik Indonesia yakni Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang kemudian pada akhirnya dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota pada tanggal 1 Juli 2016, Presiden Republik Indonesia yakni Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang 10 Tahun 2016 inilah yang pada pemilihan tahun 2020 masih tetap digunakan.

Jika dianalisis dan dibandingkan pengaturan wakil kepala daerah dalam UU Pemda yang pernah berlaku di Indonesia, maka pengaturan mengenai wakil kepala daerah pasca kemerdekaan Indonesia, wakil kepala daerah dalam beberapa kali perubahan undang-undang pemerintahan daerah, juga mengalami perubahan-perubahan sistem berkaitan dengan kedudukannya yang akan diurai dalam beberapa undang-undang pemerintahan daerah pasca reformasi, pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD untuk 5 (lima) tahun dan hanya satu periode. Kedelapan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setelah regulasi ini disahkan, sampai saat ini hingga berlakunya Undang-Undang pemerintahan daerah yang ke sebelas yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis.

Aturan pelaksana dari Undang-Undang semestinya jika Undang-Undang telah memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah perlu diharmonisasikan.

Sebagaimana Pasal 1 angka (5) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Tetapi, Pasal 65 ayat (7) UU Pemda yang memerintahkan harus adanya Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan tugas dan wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana bunyi Pasalnya sebagai berikut “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang kepala daerah oleh wakil kepala daerah dan pelaksanaan tugas sehari-hari kepala daerah oleh sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah”. Tetapi, peraturan pemerintah itu tidak ada, sehingga menambah ketidakjelasan pembagian tugas dan wewenang wakil kepala daerah.

Pengaturan wakil kepala daerah dari masa ke masa dapat digambarkan dalam skema berikut ini:

Pengaturan Wakil Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dari Masa Ke Masa

Skema 2 : Bersumber dari analisis Peneliti Terhadap Pengaturan Wakil kepala Daerah Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dari Masa Ke Masa

Pengaturan wakil kepala daerah yang hanya bersifat asistensi bagi kepala daerah sebab keberadaannya juga tergolong lemah dalam UUD NRI Tahun 1945, lebih lanjut dalam undang-undang juga mendeskripsikan tugas yang bersifat mandatoris yang dimiliki oleh wakil kepala daerah dalam menjalankan kewenangannya. Sebab, kepala daerah dapat memberikan tugas dan kewenangan kepala wakil kepala daerah melalui keputusan kepala daerah. Selain itu, kepala daerah yang bertugas hanya

‘membantu’ kepala daerah memiliki posisi yang kurang strategis dalam pemerintahan daerah. Dalam proses pemilukada, perlu dikaji peminimalisiran ‘pemilihan kepala daerah’ agar tidak berpasangan dengan wakil kepala daerah mengingat unsur efektivitas dana yang dikucurkan untuk pilkada.

Selain itu, UUD NRI Tahun 1945 itu bersifat rigid diamandemen, sedangkan Undang-Undang tergolong mudah untuk merevisinya sehingga jabatan wakil kepala daerah, tugas, fungsi, kewenangan, sistem pemilihan, dan berbagai hal lainnya hanya diatur dengan UU bukan UUD. Seringnya perubahan itu terbukti dengan UU Pemda yang telah 11 (sebelas) kali mengalami perubahan dan sistem pemilihan wakil kepala daerah juga sebagaimana yang telah diurai di atas telah mengalami beberapa kali perubahan mekanisme. Maka, jabatan wakil kepala daerah itu akan tergantung pada warna kepemimpinan dan political will (keinginan politik) dari pemerintah pusat yang menentukan sistem penyusunan formatur jabatan wakil kepala daerah.

B. Kedudukan Hukum mengenai Wakil Kepala Daerah

Bagian ini akan mengurai mengenai kedudukan hukum wakil kepala daerah mulai dari konstitusi tertulis di Indonesia yaitu UUD NRI Tahun 1945 berkaitan dengan kedudukan wakil kepala daerah dalam UUD NRI Tahun 1945. Kedudukan konstitusi menurut A. Kosasih Djahiri adalah sebagai formal rules yang tertinggi dan standard bagi kehidupan bangsa negara. Konstitusi atau Undang-undang Dasar sebagai hukum dasar suatu negara dalam pandangan Padmo Wahjono selain merupakan dasar dari pada semua peraturan (tertulis) yang ada (Groundnom) Juga merupakan sumber mengalaminya peraturan perundang-undangan, terutama dilihat dari segi materi yang diatur. Ringkasnya, UUD merupakan sumber hukum (Ursprangnorm).87

Hukum yang tertinggi dalam negara konstitusional modern adalah hukum dasar atau konstitusi yang dibuat oleh suatu badan khusus untuk keperluan itu. Dalam konteks negara Republik Indonesianya, badan yang berwenang adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hukum Dasar adalah hukum tertinggi karena merupakan dasar landasan bagi seluruh organisasi negara dan pemerintah. Oleh karena itu, segala peraturan perundang-undangan apapun harus berpedoman pada konstitusi atau hukum dasar itu. Kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar negara dan landasan penyelenggaraan pemerintahan juga berfungsi sebagai penjaga kepastian hukum dalam praktik penyelenggaraan negara. Fungsi konstitusi ini menurut Dahlan Thaib yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak

87Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, (Bandung: Penerbit P.T Alumni, 2008), hlm. 32.

warga negara akan lebih terlindungi.Kedudukan konstitusi sebagai penentu batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan.

Kedudukan Konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke zaman Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.88

Setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan perannya dari sekadar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi, seperti: individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi, dan sebagainya. Selanjutnya kedudukan konstitusi ditentukan oleh ideologi yang melandasi suatu negara, dimaksud dapat dirumuskan dari pengertian kortstitusi yang dikemukakan oleh James Bryce, "A frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights". Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa konsitusi berisikan pengaturan mengenai pendirian

88 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 17.

lembaga-lembaga yang permanen, fungsi organ-organ negara dan hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.89

Mengalisa kedudukan organ daerah dalam sistem kelembagaan negara, maka dari segi hierarkinya, menurut Jimly Asshiddiqie lembaga negara yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Adapun yang termasuk organ lapis pertama, yaitu: 1) Presiden dan Wakil Presiden; 2) Dewan Perwakilan Rakyat; 3) Dewan Perwakilan Daerah; 4) Majelis Permusyawaratan Rakyat; 5) Mahkamah Konstitusi; 6) Mahkamah Agung dan 7) Badan Pemeriksa Keuangan.90

Organ lapis kedua dapat disebut sebagai lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang Lembaga-lembaga negara sebagai organ lapis kedua adalah: 1) Menteri Negara; 2) Tentara Nasional Indonesia; 3) Kepolisian Negara; 4) Komisi Yudisial; 5) Komisi Pemilihan Umum, dan 6) Bank Sentral. Lebih lanjut, Organ lapis ketiga yaitu lembaga lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pemerintahan Daerah.91

89 Eka NAM Sihombing, Pengantar Hukum Konstitusi, (Malang: Setara Press, 2019), hlm. 10-11.

90Eka NAM Sihombing, Hukum Kelembagaan Negara, (Yogyakarta: Ruas Media, 2018), hlm.

22.

91Ibid., hlm. 23.

Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah dipimpin oleh seorang kepala daerah untuk daerah provinsi disebut dengan gubernur, untuk daerah kabupaten disebut bupati, dan untuk daerah kota disebut walikota. Kepala daerah tersebut dapat dibantu oleh wakil kepala daerah. Dalam UU PEMDA, Wakil kepala daerah untuk Daerah provinsi disebut wakil gubernur, untuk Daerah kabupaten disebut wakil bupati, dan untuk Daerah kota disebut wakil wali kota.92

Dipilihnya kepala daerah secara demokratis selain diatur secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945, juga diatur dalam Pasal 62 UU Pemda “Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang”. Namun, masih pada posisi yang lemah, wakil kepala daerah tidak disebutkan mengenai pemilihannya. Hal ini juga menjadi salah satu implikasi lemahnya konstitusionalitas wakil kepala daerah yang akan diurai lebih lanjut mulai dari perspektif historis, yuridis, hingga fakta dilapangan mengenai hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang dapat menjadi dasar mengenai dibutuhkan atau tidak dibutuhkannya wakil kepala daerah.

Pasal 18 ayat (7)UUD NRI Tahun 1945 memerintahkan untuk membentuk undang-undang terhadap susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap tata cara memilih wakil kepala daerah dan juga kewenangannya yang berubah-ubah tergantung pada political will dari legislator yang membuat undang-undang pemerintahan daerah. Sehingga, selain

92 Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

disharmonisasi hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kewenangan wakil kepala daerah juga bergantung pada undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku. Sehingga, inkonstitusionalnya wakil kepala daerah menyebabkan banyak kelemahan dari aspek hukum, politik, sosial.

Persoalan wakil kepala daerah dalam menjalankan kewenangannya sangat terbatas dalam undang-undang yang mengaturnya, dan pembatasan tersebut akan menjadi masalah tersendiri bagi kinerja wakil kepala daerah nanti. Meski posisi wakil kepala daerah masih dianggap inkonstitusional karena tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945. Perkembangan kewenangan dan peran wakil kepala daerah telah diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dimana undang-undang tentang pemerintahan daerah pada masa Pasca reformasi telah mengalami beberapa kali perubahan. Namun apakah UU Pemerintahan Daerah telah mengatur secara jelas dan rinci tentang kewenangan wakil kepala daerah, karena dasar hukum seperti UU tersebut nantinya akan sangat menentukan kewenangan dan tugas wakil kepala daerah yang akan berdampak pada jabatan wakil kepala daerah pada Pemerintahan Daerah.

Dengan isi yang konkret dengan mengkaji pada segi finalisasinya dan untuk melengkapi keadilandan finalitas itu, dibutuhkan. Jadi bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada kesamaan

Dengan isi yang konkret dengan mengkaji pada segi finalisasinya dan untuk melengkapi keadilandan finalitas itu, dibutuhkan. Jadi bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada kesamaan