Hari/Tanggal/Jam : Rabu/27 Juli 2011/10.00-12.30 WIB
Tempat : Ruang Rapat Utama DNPI
Pimpinan Rapat : Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian DNPI) Peserta Rapat : (daftar hadir terlampir)
Agenda : 1. Paparan mengenai usulan mekanisme Bilateral Offset Crediting oleh MoFA-J
2. Paparan mengenai kegiatan terkait BOCM yang dilakukan oleh METI-J, MoE-METI-J, dan MAFF-J di Indonesia
3. Diskusi
Pembukaan
20. Rapat dibuka oleh Ketua Harian DNPI, Bpk. Prof. Ir. Rachmat Witoelar, dengan menyampaikan syukur kepada Tuhan YME dan terimakasih atas kehadiran peserta rapat.
21. Selanjutnya delegasi Jepang dan peserta rapat saling memperkenalkan diri dengan menyebut nama dan instansi asalnya masing-masing.
Paparan mengenai usulan mekanisme Bilateral Offset Crediting oleh MoFA-J
22. Mr. Takehiro Kano, Direktur Divisi Perubahan Iklim, Kementerian Luar Negeri Jepang (MoFA-J) menyampaikan presentasi mengenai Bilateral Offset Crediting Mechanism (BOCM) yang bertujuan untuk menyampaikan gambaran yang komprehensif mengenai usulan kerjasama BOCM tersebut mencakup konsep kerangka kerja dan sektor kerjasama. Mr. Kano mengharapkan dalam
pertemuan ini dapat dilakukan tukar pandangan dan disetujui jadwal diskusi lebih lanjut.
23. Mr. Kano menyampaikan bahwa BOCM tidak dimaksudkan untuk menafikan mekanisme UNFCCC, misalnya Clean Development Mechanism (CDM), namun akan saling melengkapi. Jepang
berkomitmen untuk terus terlibat dalam negosiasi perubahan iklim internasional dan berpendapat bahwa mekanisme Protokol Kyoto akan tetap berlanjut pasca 2012 walaupun tanpa periode komitmen kedua. Jepang juga akan merintis berbagai kerjasama perubahan iklim dalam skala global, regional maupun bilateral.
24. BOCM direncanakan lebih fleksibel, mudah dan dapat mengakomodir kebutuhan khusus tiap negara, yang mana saat ini tidak dapat dilakukan oleh mekanisme CDM. BOCM juga harus dapat
12
dipertanggungjawabkan kepada dunia internasional dan diakui sebagai salah satu mekanisme pasar baru dalam forum PBB/UNFCCC.
25. Menanggapi paparan Mr. Kano, Bpk. Rachmat Witoelar menyatakan menyambut baik dan berterimakasih atas paparan yang jelas mengenai BOCM dan niat Jepang untuk melakukan kerjasama BOCM dengan Indonesia yang dapat membantu menyikapi perubahan iklim secara khusus di Indonesia.
26. Selanjutnya Mr. Kano menegaskan bahwa BOCM akan lebih sederhana dibanding CDM. Suatu komite bersama kedua negara akan bertanggungjawab untuk mengelola mekanisme agar
akuntabel dan mudah dimengerti oleh dunia internasional. Pemerintah masing-masing negara juga berwenang untuk melakukan sertifikasi dan menerbitkan karbon kredit dalam skema BOCM ini.
Paparan mengenai kegiatan terkait BOCM yang dilakukan oleh METI-J di Indonesia
27. Mr. Keisuke Murakami, Direktur Urusan Lingkungan Global, Kementerian Ekonomi Perdagangan dan Industri Jepang (METI-J), menyampaikan paparan mengenai BOCM dari sudut pandang industri dan alih teknologi. Mr. Murakami menyampaikan bahwa CDM sulit dilakukan karena harus
memenuhi persyaratan additionality dan menentukan baseline. Untuk beberapa sektor, terutama yang memerlukan investasi besar, menghitung additionality secara finansial sulit dilakukan karena porsi kredit karbon terhadap investasi relatif kecil. Demikian juga untuk menentukan baseline, di beberapa sektor sulit dilakukan secara akurat.
28. Selanjutnya Mr. Murakami menyampaikan bahwa METI-J telah melakukan Feasibility Study (FS) untuk BOCM di beberapa sektor di Indonesia, misalnya pemakaian teknologi IT untuk optimasi operasi kilang, teknologi efisiensi pembangkit berbahan bakar batubara kalori rendah, dan lain-lain. Selanjutnya METI-J bermaksud untuk mengusulkan dan berdiskusi lebih lanjut dengan pemangku kepentingan terkait mengenai kerangka kerja dan sistem MRV (measure, report, verify).
Paparan mengenai kegiatan terkait BOCM yang dilakukan oleh MoE-J di Indonesia
29. Mr. Yuji Mizuno, Senior Planning Officer Kementerian Lingkungan Hidup Jepang (MoE-J), menyampaikan bahwa MoE telah melakukan satu FS di bidang kehutanan pada tahun 2010 dan berencana melakukan 5 FS lagi di tahun anggaran 2011. Selain itu, MoE-J juga melakukan kegiatan peningkatan kapasitas contohnya workshop mengenai skema perdagangan emisi Jepang yang diadakan IGES beberapa waktu lalu di Jakarta.
30. MoE-J juga akan memberikan dukungan untuk pengembangan registry di Indonesia sebagaimana yang sedang dikembangkan Jepang saat ini.
13
31. Mr. Satoshi Akahori, Direktur Strategi Penyimpanan Karbon Hutan, Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang (MAFF-J), menyampaikan pandangan Pemerintah Jepang di sektor kehutanan sebagai penyimpan gas rumah kaca dan inisiatif serta kegiatan Pemerintah Jepang dalam mendukung pengembangan REDD+ di Indonesia. Kegiatan-kegiatan ini akan diimplementasikan mulai tahun anggaran 2011.
Diskusi
32. Dalam sesi diskusi, peserta rapat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan, saran maupun pertanyaan terhadap paparan Delegasi Jepang.
33. Ibu Suzanty Sitorus dan Bpk. Dicky Edwin Hindarto dari DNPI menyampaikan pertanyaan dan tanggapan sebagai berikut:
Bagaimanakah jadwal (timeline) dari usulan kerjasama BOCM ini?
Terkait kerangka kerja kelembagaan, apakah usulan BOCM memungkinkan penggunaan lembaga/infrastruktur yang sudah, misalnya Designated National Authority CDM/Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih.
Bila diperlukan menggunakan verifikator pihak ketiga, siapa yang menanggung biayanya?
Dalam tindak lanjut ini, sangat penting adanya distribusi informasi yang sama untuk kedua belah pihak dan mengingat DNPI, berdasarkan Perpres 46 tahun 2008, mempunyai tugas pokok dan fungsi terkait pengembangan mekanisme pasar karbon di Indonesia maka diharapkan
perkembangan usulan ini selalu dikoordinasikan dengan DNPI.
34. Mr. Kano menanggapi bahwa pihak Jepang mengharapkan kesepakatan bilateral sudah dapat tercapai dan efektif pada Januari 2013 namun diharapkan sudah ada beberapa perkembangan yang dapat disampaikan di East Asia Summit dan COP 17 mendatang. Selain itu akan terus dilakukan konsultasi untuk mengembangkan panduan pengembangan, maupun detil lain yang dianggap perlu. Terkait biaya verifikasi dan penggunaan struktur CDM yang telah ada, hal itu dapat dibicarakan lebih lanjut.
35. Bpk. Dr. Doddy Sukadri dan Ibu Widiatmini dari DNPI menyampaikan pertanyaan sebagai berikut:
Ada 3 area kerjasama yang potensial di sektor kehutanan yakni HTI REDD, Agriculture REDD dan Hutan Masyarakat, khususnya di Jawa. Apakah area tersebut akan dipertimbangkan dalam usulan BOCM?
Bagaimanakah rencana alih teknologi dalam usulan BOCM? Sebagai contoh, apakah telah dipertimbangkan kadar komponen dalam negeri dalam skema ini?
36. Delegasi Jepang menanggapi bahwa detil-detil semacam itu masih terbuka karena masih dalam proses konsultasi antar pemangku kepentingan dalam negeri Jepang sendiri. Masukan-masukan yang didapat dalam rapat ini akan diintegrasikan dalam perumusan BOCM lebih lanjut, antara lain
14
mengenai alih teknologi. Namun Delegasi Jepang lebih lanjut menyatakan bahwa dalam rapat ini diharapkan dapat disetujui proposal ini dan proses tindak lanjutnya.
37. Bpk. Rachmat Witoelar menyampaikan bahwa walaupun DNPI mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sesuai untuk menyikapi isu-isu semacam ini, pihak Jepang dipersilahkan untuk berkomunikasi dengan kementerian/lembaga lain tentang usulan BOCM karena pada akhirnya Presiden, yang juga Ketua DNPI, yang akan mengambil keputusan mengenai usulan kerjasama ini. Bpk. Rachmat Witoelar selanjutnya menyatakan bahwa melanjutkan diskusi adalah sangat penting karena usulan BOCM saat ini masih sangat bersifat permulaan dan Indonesia perlu untuk mengetahui detilnya sehingga usulan kerjasama ini dapat disosialisasikan dan dicerna oleh pemangku kepentingan. Dalam kerangka itulah, pertanyaan dan tanggapan peserta rapat dilontarkan.
38. Bpk. Rachmat Witoelar menyampaikan bahwa Liason Officer yang ditunjuk dari Dewan Nasional Perubahan Iklim untuk berkomunikasi dan berdiskusi lebih lanjut dengan pihak Jepang mengenai perkembangan usulan BOCM adalah Bpk. Dicky Hindarto dan Ibu Suzanty Sitorus.
39. Bpk. Farhan Helmy (DNPI), Bpk. Ridwan Budi (Ditjen Kelistrikan-ESDM), Ibu Gita Lestari (Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi-ESDM) menyampaikan pertanyaan dan saran sebagai berikut:
Apakah ada peningkatan kapasitas di bidang MRV dalam kerangka usulan BOCM ini?
Bagaimana hubungan registry dalam BOCM dengan registry dalam Protokol Kyoto?
Apakah ada proyek pembangunan infrastruktur kelistrikan dalam usulan BOCM ini?
Sebaiknya BOCM ini berfokus ke beberapa area saja tidak luas seperti area FS saat ini. 40. Delegasi Jepang menanggapi bahwa peningkatan kapasitas bidang MRV telah dilakukan melalui
kegiatan FS dan kegiatan peningkatan kapasitas yang dilakukan MoE-J bekerjasama dengan IGES. Mengenai registry dalam BOCM adalah crediting registry sehingga tidak akan menimbulkan kebingungan dengan registry dalam Protokol Kyoto yang lebih mirip registry NAMAs. Saat ini Jepang memang masih mencari potensi proyek infrastruktur kelistrikan yang berpotensi diikutkan skema BOCM dan secara umum dalam BOCM ini Jepang berfokus kepada energi terbarukan dan efisiensi energi.
Penutup
41. Dengan dipersilahkan oleh Pimpinan Rapat, Bpk. Rachmat Witoelar, Delegasi Jepang menyampaikan kata penutup dengan poin-poin sebagai berikut:
Kontak poin dengan Indonesia dalam tindak lanjut usulan BOCM ini adalah Kedutaan Besar Jepang di Indonesia;
Kementerian Luar Negeri Jepang (MoFA-J) bertanggungjawab atas keseluruhan dialog terkait usulan ini;
15
Kementerian Jepang yang terkait akan berkomunikasi langsung dengan Kementerian Indonesia yang terkait untuk merumuskan detil teknis usulan ini;
MoFA-J akan menuliskan dan mendistribusikan risalah rapat ini sebagai point of discussions. 42. Rapat ditutup oleh Bpk. Rachmat Witoelar dengan menyampaikan syukur kepada Tuhan YME dan
terimakasih atas kehadiran dan sumbang saran peserta rapat. Daftar Hadir
No Name Institution
1. Rachmat Witoelar Executive Chair of National Council on Climate Change / President's Special Envoy for Climate Change
2. Agus Purnomo Head of Secretariat National Council on Climate Change / Special Assisstant to the President on Climate Change Issues 3. Daishu Hara Chief representative of NEDO Jakarta Office
4. Toru Maeda Minister for Economic Affairs and Development, Embassy of Japan in Indonesia
5. Yusuke Hibino Secretary for Forestry, Fishery and Nature Conservation, Embassy of Japan in Indonesia
6. Toshiaki Nagata Deputy Director, Kyoto Mechanism Office, Industrial Technology and Environment Bureau,
Ministry of Economy, Trade and Industry
7. Takehiro Kano Director Climate Change Divison, International Cooperation Bureau,
Ministry of Foreign Affairs
8. Yasuharu Ueda Director Office of Market Mechanisms, Climate Change Policy Division, Global Environment Bureau,
Ministry of the Environment
9. Satoshi Akahori Director Forest Carbon Sink Strategy Office, Forest Agency, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries
10. Yuji Mizuno Senior Planning Officer, Office of Market Mechnisms, Climate Change Policy Division, Global Environment Bureau, Ministry of the Environment
11. Ryutaro Nishimori Researcher, Climate Change Division, International Cooperation Bureau,
Ministry of Foreign Affairs 12. Yoshihiro Mizutani Director, Project Division,
Global Environment Centre Foundation
13. Koki Okawa Deputy Director, International Forestry Cooperation Office, Forestry Agency,
Ministry of Agriculturre, Forestry and Fisheries
14. Keisuke Murakami Director Global Environmental Affairs Office, Industrial Technology and Environment Bureau,
16
15. Kazushige Nobutani Global Environmental Affairs Office, Industrial Technology and Environment Bureau,
Ministry of Economy, Trade and Industry
16. Dicky Edwin Hindarto Coordinator of Carbon Trading Mechanism Divison, National Council on Climate Change of Indonesia
17. Murni Titi Resdiana Coordinator of General Administration and Finance Division,
National Council on Climate Change of Indonesia 18. Doddy Sukadri Chair on LULUCF Working Group
National Council on Climate Change of Indonesia 19. Farhan Helmy Secretary on Mitigation Working Group
National Council on Climate Change of Indonesia 20. Suzanty Sitorus Secretary on Finance Working Group
National Council on Climate Change of Indonesia 21. Widiatmini Sih Winanti Secretary on Transfer Technology Working Group
National Council on Climate Change of Indonesia 22. Eka Melisa Member of Mitigation Working Group
National Council on Climate Change of Indonesia 23. Andi Samyanugraha Senior staff on Carbon Trading Mechanism Divison,
National Council on Climate Change of Indonesia 24. Ardiyanto Aryoseno Staff on Carbon Trading Mechanism Divison,
National Council on Climate Change of Indonesia 25. Debi Nathalia Staff on Carbon Trading Mechanism Divison,
National Council on Climate Change of Indonesia
26. M. Akbar Ministry of Foreign Affairs
27. Gita Lestari Ministry Energy and Minerakl Resources 28. Ridwan Budi Santoso Ministry Energy and Minerakl Resources 29. Anom B. Laksono Member of Mitigation Working Group
17
Lampiran III
Diskusi Tindak Lanjut Bilateral Offset Crediting Mechanism (BOCM)
Dewan Nasional Perubahan Iklim 31 Januari 2012
A. LATAR BELAKANG
Pemerintah Jepang menawarkan kerjasama dalam bentuk bilateral dengan beberapa negara berkembang lain untuk melakukan suatu perdagangan karbon model baru, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Jepang telah mendeklarasikan target penurunan emisi sebesar 25% berdaasr dari tahun 2020. Biaya pengurangan emisi di Jepang saat ini sangat tinggi, karena terutama terkait dengan Jepang sendiri yang memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi sehingga biaya untuk menurunkan emisi menjadi hampir seperti biaya untuk mengembangkan teknologi baru. Saat ini untuk sektor kehutanan biaya pengurangan emisi di Jepang berkisar 60-120 USD per ton CO2 dan untuk sektor energi berkisar 40-80 USD per ton CO2. Harga-harga ini didapatkan dari pasar karbon domestik di Jepang. Ketidakpastian pasar karbon paska 2012 menyebabkan Jepang juga mempunyai kesempatan untuk melakukan usulan pasar jenis baru, didukung oleh komitmennya yang kuat untuk pengurangan emisi secara nasional.
Secara ekonomis, Jepang juga membutuhkan media dan cara baru untuk melakukan investasi, baik investasi modal maupun investasi teknologi. Dalam hal ini BOCM akan menjadi salah satu metoda yang sangat baik. BOCM bahkan akan menggabungkan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga meningkatkan investasi, menggairahkan sektor swasta Jepang, mengurangi beban pengurangan emisi secara domestik, dan lebih jauh mengamankan posisi Jepang sebagai investor untuk negara berkembang.
Kondisi-kondisi di atas yang menyebabkan Jepang membuat proposal BOCM dan menyampaikannya ke Indonesia dan beberapa negara berkembang yang lain. BOCM ini juga bahkan melibatkan perusahaan-perusahaan swasta terbesar Jepang untuk melakukan feasibility study (FS), seperti Mitshubishi, Kanematsu, Shimitzu, Tokyo Gas, Arab Oil Company, dan beberapa perusahaan raksasa lainnya. Selain Indonesia, negara lain yang menjadi objek FS adalah Vietnam, India, Malaysia, Thailand, Maldives, South Africa, Mexico, Thailand, Kenya, Cambodia, Bangladesh, Turkey, Poland, Russia, dan beberapa negara lain (total 18 negara). Pada tahun 2010, Jepang telah melakukan 50 FS di 18 negara, dengan 9 di antaranya ada di Indonesia. Tahun 2011, Indonesia tetap menjadi target utama dari kegiatan ini dengan total jumlah FS yang dilakukan sebanyak 23 proyek.
Kegiatan FS yang akan dilaksanakan oleh Jepang akan dipresentasikan ke Pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Januari 2012, sehingga dibutuhkan tim negosiator dan tim teknis terkait pemaparan dari pihak Jepang. Pada pertemuan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi mengenai kegiatan BOCM serta membentuk tim negosiator untuk persiapan pemaparan oleh pihak Jepang.
18
B. DISKUSI Tanya-jawab Sesi 1:
Doddy Sukadri, DNPI
Rambu-rambu dalam BOCM harus sesuai UNFCCC. Bagaimana akunting BOCM dalam hal ini? Untuk sektor kehutanan, perlu ada kriteria untuk BOCM dalam REDD, supporting NAMAs, dll. Agar diusahakan bahwa area hutan konservasi dapat masuk dalam BOCM.
Harya, PPPI-BKF
Perlu dipertimbangkan aspek kerjasama internasional, ekonomi makro dan pengurangan emisi. Hasil FS BOCM apa bisa divalidasi? Sebaiknya dikomparasi dengan hasil penelitian pihak lain. Posisi tawar Indonesia dan payung hukum BOCM perlu dikembangkan.
Di Jepang, siapa yang menjadi leading unit? Suzanty, DNPI
Perlu dirumuskan strategi menghadapi BOCM, diskusi teknis dan penelaahan aspek bisnisnya. Gunardi, KLH
Acuan BOCM adalah UNFCCC karena itu tujuan konvensi, selain penurunan emisi, perlu diakomodir juga dalam skema ini.
Apakah additional fresh fund digunakan dalam BOCM?
Usulan tim untuk menanggapi BOCM agar diminta dari pimpinan puncak saja.
Negara yang berinvestasi harus memiliki National Trust Fund sehingga dana tersebut dapat diketahui sumbernya secara jelas.
Penurunan emisi yang dilakukan dapat dihitung secara measurerable, accountable dan transparent. Ina, Kemhub
Berdasarkan dokumen RAN-GRK yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia, didalamnya terdapat Sistem MRT, apakah hal ini dpaat terjadi jika sistem MRT berada di RAN-GRK dan BOCM?
Harya, BKF
Agar diperiksa jumlah penurunan emisi di RAN-GRK dibandingkan dengan dalam BOCM.
Negosiator investasi luar negeri agar memahami manfaat sampingan proyek berupa kredit karbon. Yuana, Kementerian Perekonomian
DNPI agar mengadakan audisi dengan Menkoperek terkait BOCM dan kedudukan Kementerian Perekonomian dalam kegiatan ini.
19
Tanya-jawab Sesi 2
Harya, PPPI-BKF
Di Kementerian Keuangan, unit terkait BOCM adalah Pusat Kerjasama Regional dan Bilateral dan Pusat Pembiayaan Perubahan Iklim, sehingga selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan unit ini.
Puji Lestari, Kemlu
Fungsi Kementerian Luar Negeri adalah dalam negosiasi dan kesepakatan antar pemerintah, bukan dalam substansinya.
Unit yang terkait adalah Direktorat Asia Timur dan Pasifik; Direktorat Perekonomian dan Lingkungan Hidup serta Direktorat Perjanjian Internasional.
Melibatkan Bappenas dalam rencana kegiatan ini. Kementerian Kehutanan
Sebaiknya acara presentasi FS BOCM tanggal 20 Februari 2012 dibuat dalam sesi paralel saja.
Proyek kehutanan dalam FS tadinya sudah diketahui sebagai loan, kenapa dimasukkan disini sebagai BOCM? Bila proyek-proyek ini dijadikan semacam credited NAMAs, Kemhut akan keberatan.
Hasil FS BOCM agar disebarluaskan sebelum acara tanggal 20 Februari 2012. PPI-BKF
DNPI sebaiknya membuat position paper tentang BOCM serta membuat joint statement yang menjelaskan tentang posisi Indonesia dalam kegiatan ini.
Puji Lestari, Kementerian Luar Negeri
Langkah menanggapi BOCM antara lain dengan membentuk Joint Consultative Committee untuk merumuskan program kerja berdasarkan MoU.
Muhamad Farid, DNPI
Terkait pertemuan yang akan diadakan pada tanggal 20 Februari 2012, sebaiknya dibuatkan abstrak dari masing-masing FS, sehingga masing-masing anggota tim dapat mempelajarinya sebelum pemaparan dari pihak pemapar.
Farhan Helmy, DNPI
Untuk masing-masing isu sebaiknya melibatkan sektor Kementerian/lembaga terkait, karena dalam FS ini terdapat MRV yang berbeda-beda satu sama lain.
Suzanty, DNPI
Perlu dibuatkan beberapa pertanyaan kunci yang akan ditanyakan pada setiap pemaparan FS.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan pertemuan hari ini, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai tindak lanjut dari kegiatan yang akan dilaksanakan. Beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dibutuhkan masukan dari Kementerian/Lembaga terkait;
Pada pertemuan tanggal 20 Februari 2012 (paparan FS) akan dilaksanakan dalam bentuk parallel yang terdiri dari 2 (dua) sesi.
20
Perlu dilaksanakan pertemuan tindak lanjut sebelum tanggal 20 Februari 2012, terkait pembentukan Tim Teknis.
21