• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun sistematika pnulisan dalam metodelogi penelitian ini adalah:

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Pertanyaan Penelitian

C. Kerangka Konseptual

D. Metode Penelitian

E. Sistematika Penulisan

BAB II Protokol Kyoto

A. Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto

B. Mekanisme Protokol Kyoto

1 Perdagangan Emisi (International Emision Trading/ IET)

2 Implementasi Bersama (Joint Implementation/ JI)

3 Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/ CDM)

C. Action Plandan Target Protokol Kyoto

BAB III Peran Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang Dalam Pembentukan Protokol Kyoto

A. Diplomasi Pemerintah Indonesia dalam Isu Lingkungan dan Pembuatan Protokol Kyoto

A.1 Kepentingan Nasional Indonesia dalam Mekanisme Protokol Kyoto

A.2 Ratifikasi Protokol Kyoto oleh pemerintah Indonesia

B. Diplomasi Pemerintah Jepang dalam Isu Lingkungan

BAB IV Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto oleh Pemerintah Indonesia Bekerjasama dengan Pemerintah Jepang

A. Kebijakan dan Tujuan Pemerintah Indonesia dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto

B. Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto

C. Adaptasi dan Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Isu Pemanasan Global oleh Pemerintah Indonesia

BAB V

5.1 Kesimpulan

BAB II

A. Sejarah Terbentuknya Protokol Kyoto

Protokol Kyoto merupakan kesepakatan Negara-negara di dunia terkait dengan isu lingkungan. Protokol Kyoto merupakan hasil dari konferensi lingkungan terkait dengan pemanasan global yang diadakan di Kyoto Jepang. Protokol Kyoto dihasilkan dari Conference of parties (COP) 3 yang diadakan pada bulan desember tahun 1997.25 Protokol Kyoto merupakan kesepakatan seluruh negara yang mengikuti konferensi tersebut, yang mana negara-negara tersebut merupakan negara anggota PBB.

Protokol Kyoto mencakup kesepakatan antar negara yang diaplikasikan dalam tiga poin penting dalam Protokol Kyoto.26 Pertama, Join Implementation (JI) poin mekanisme ini tertera pada pasal 6 Protokol Kyoto yang menjelaskan kemungkinan dari negara yang menyepakati Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi GRK serta membatasi proyek yang banyak menghasilkan emisi GRK. Dalam poin tersebut berarti seluruh negara diharuskan bekerjasama dalam mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi GRK. Kedua, Clean Development mechanism (CDM) poin mengharuskan Negara industri untuk memberikan kredit terhadap Negara berkembang dalam project impementasi dari program protokol kyoto. Ketiga, Perdagangan Emisi merupakan poin dalam Protokol Kyoto yang menjelaskan mengenai adanya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur mengenai perdagangan emisi antar negara. Hal tersebut tertera dalam pasal 17 Protokol Kyoto yang mengeharuskan negara maju atau negara yang

25

Michael H. Glantz,Climate Affair.(Island Press: Washington, 2003) halaman 144 26

menghasilkan emisi GRK yang melebihi kapasitas untuk membeli Gas yang dihasilkan negara yang memiliki hutan tropis seperti indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Hal tersebut biasa dianggap sebagai pasar karbon yang memungkinkan negara berkembang mendapat timbal balik dari industrialisasi yang dilakukan oleh negara maju yang menyebabkan pemanasan Global.

Sebelum terbentuknya Protokol Kyoto, isu lingkungan telah dibahas dalam beberapa konferensi penting terkait dengan isu lingkungan. Setelah berakhirnya perang dunia kedua setidaknya terdapat beberapa konferensi tentang lingkungan, yang kemudian menghasilkan Protokol Kyoto yang dianggap sebagai babak baru dari kesepakatan negara anggota PBB dalam mengatasi dampak dari pemanasan global.27 Perjalanan panjang diplomasi lingkungan merupakan modal utama dari terbentuknya Protokol Kyoto, yang mana perjalanan diplomasi lingkungan tersebut dimulai dengan Konferensi Stokholm. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, terjadi perubahan dalam sistem hubungan internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan berubahnya LBB (Liga Bangsa Bangsa) menjadi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pada tahun 1945. Keanggotaan PBB semakin meningkat sejak didirikan pada tahun 1945 dari 51 anggota menjadi 132 anggota sebelum konferensi Stokholm 1972, yang merupakan konferensi tentang isu lingkungan yang pertama setelah berakhirnya Perang Dunia II.

Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on Human Environment/ UNCHE) yang diadakan di Stockholm Swedia dari tanggal 5-16 Juni 1972, merupakan konferensi lingkungan pertama yang diselenggarakan oleh PBB, yang kemudian menghasilkan sebuah Deklarasi yang biasa disebut sebagai

27

Andreas Pramudianto,Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta.(UI-Press: Jakarta, 2008)Ibid, Halaman 111

Deklarasi Stockholm. Konferensi Stockholm diadakan oleh PBB merujuk pada Resolusi Majelis Umum PBB No. 2849 (XXVI) tanggal 20 Desember 1971. Konferensi Stockholm dihadiri oleh 113 negara anggota PBB dan 400 peninjau dari berbagai kalangan. Pembukaan Konferensi Stokholm menandai sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environmental Day). Selama Konferensi berlangsung, Konferensi Stokholm berlangsung alot, di mana terdapat beberapa negara yang menentang hampir semua agenda yang dibahas dalam konferensi tersebut. China merupakan salah satu negara yang menentang agenda konferensi tersebut meskipun akhirnya China menerima keputusan konferensi. Melalui perdebatan panjang dan melelahkan, antara negara maju dan berkembang, akhirnya mengasilkan sebuah keputusan yang menjadi Deklarasi Stokholm, Isi Deklarasi Stockholm adalah:28

1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia atau yang lebih dikenal dengan Deklarasi Stokholm, 1972. Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 26 asa. 2. Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi termasuk 18

rekomendasi mengenai Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia. 3. Rekomendasi tentang Kelembagaan dan Keuangan untik menunjang Action

Planyang terdiri:

• Dewan Pengurus UNEP, Dewan Pengurus ini berisi 58 negara yang dipilih setiap 4 tahun sekali. Dipimpin oleh seorang presiden

• Sekertariat yang dikepalai Direktur Eksekutif, yang mana diplih oleh Majelis Umum PBB yang dinominasian oleh Sekertariat General PBB dan bermarkas di Nairobi, Kenya.

28

Andreas Pramudianto,Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta.(UI-Press: Jakarta, 2008)Ibid, Halaman 119

• Dana Lingkungan Hidup, merupakan kesepakatan yang menjelaskan mengenai pembentukan dana lingkungan dengan berdasarkan sistem PBB

• Badan koordinasi Lingkungan Hidup, dibentuk untuk menjamin kerja sama semua badan-badan PBB terutama dalam mandat program-program lingkungan hidup dunia.

4. Menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 15 Desember 1972 hasil keputusan konferensi disahkan melalui Sidang Majelis Umum PBB dalam Resolusinya No. 2997. Dengan demikian tampaknya arah perkembangan isu lingkungan mulai ditata secara global dan menjadi konsep yang jelas untuk meningkatkan kerja sama global maupun regional di antara negera-negara maupun organisasi Internasional di bidang lingkungan hidup.

Pasca Perang Dingin Konferensi PBB mengenai isu lingkungan kembali dilaksanakan di Rio de Jenero, konferensi tersebut disebut United Nation Conference on the Environment and Development (UNCED). Konferensi Rio diselenggarakan pasca Perang Dingin yang merupakan konferensi pertama yang terbesar dibandingkan dengan konferensi-konferensi sebelumnya yang membahas mengenai isu lingkungan.29 Konferensi Rio biasa juga disebut sebagai KTT Bumi yang dihadiri oleh seluruh anggota PBB. Hal tersebut berbeda dengan konferensi Stokholm 1972 yang hanya dihadiri sebagian negara anggota PBB yaitu negara-negara Barat dan sebagian negara-negara berkembang. KTT Bumi dilaksanakan dengan dihadiri oleh 180 negara dan beberapa aktor non negara seperti NGO, Organisasi internasional dan lainnya. Konferensi tersebut 29

mensepakati sebuah kerjasama antar negara terkait dengan isu lingkungan yang disebut UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change).

Dalam KTT Bumi dibahas tentang perlunya kerangka aksi nyata dari seluruh negara yang mengikuti konferensi tersebut. Penjelasan mengenai pemanasan global serta efek dari pemanasan global menjadi perhatian utama dari konferensi tersebut. Sehingga dalam konferensi tersebut membahas mengenai pentingnya kesadaran dari seluruh negara untuk mengurangi emisi GRK serta perlunya peranan negara maju untuk dapat memimpin dalam mewujudkan hal tersebut.30 Dalam KTT Bumi menyebutkan bahwa hasil dari KTT tersebut memiliki rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang. Rencana jangka pendek diberlakukan khususnya kepada negara maju untuk dapat segera mengambil tindakan untuk mengembalikan emisi GRK ke level 1990 pada tahun 2000 terutama untuk gas karbondioksida yang merupakan salah satu gas yang terbanyak diatmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut berarti negara maju harus menurunkan kadar emisi GRK sesuai dengan kadar emisi GRK pada tahun 1990 yang diterapkan pada tahun 2000. Rencana jangka pendek tersebut harus diupayakan agar kadar emisi GRK diatmosfer dapat distabilisasi. Sedangkan rencana jangka panjang lebih terkait pada stabilisasi emisi GRK di atmosfer terutama GRK agar dapat mengurangi dampak dari pemanasan global.

Setelah melalui pertemuan dan perdebatan terkait dengan Action plan jangka panjang dan pendek yang dibahas dalam KTT Bumi, akhirnya dapat menghasilkan sebuah keputusan dalam beberapa dokumen penting yaitu:31

30

Sir Jhon Houghton, Global Warming: Complete briefing Third Edition. (Cambridge University Press: New York, 2004) halaman 242

31

Andreas Pramudianto,Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta.(UI-Press: Jakarta, 2008)Ibid, Halaman 132

1. Rio Declaration on Environmental and Development yang merupakan kesepakatan antar negara yang mengikuti konferensi tersebut.

2. Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) 3. Konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati

4. Prinsip-prinsip kehutanan (Non-Legally Binding Authoritative statementof priciples for a global concensus on the management, Conservation and Suitainable Development of all type of forest)

Setelah berakhirnya KTT Bumi, kemudian tercipta dasar-dasar hubungan internasional baru dan perubahan sistem lama mengenai keamanan kolektif yang terbentuk atas dasar ideologi, konfrontasi bersenjata dan kekhawatiran akan terjadinya perang dunia, telah bergeser dan berubah menjadi ancaman keamanan akibat ketidakadilan ekonomi dan kerusakan ekologi. Namun hal terpenting adalah KTT ini telah memberikan ide, pandangan, gagasan, harapan, dan aspirasi. Setelah KTT ini diperlukan tindakan-tindakan lanjutan dalam berbagai tingkatan, yaitu tingkat internasional, regional maupun nasional hingga lokal. Berbagai tindakan lebih lanjut dilaksanankan yang kemudian terbentuknya Commission on Suitable Development (COSD), berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.47/191 tahun 199232.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan di Rio de Jenero yang mempertemukan para pemimpin negara di dunia. Konvensi tersebut bertujuan untuk menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak membahayakan iklim di bumi. Negosiasi-negosiasi dilaksanakan melalui konferensi berbagai pihak atau Conference of Parties(COP).

32

Andreas Pramudianto,Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta.(UI-Press: Jakarta, 2008)Ibid, Halaman 133

Conference of Parties pertama kali diselenggarakan di Berlin Jerman pada tahun 1995. Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 28 Maret s/d 7 April tersebut membahas mengenai Germany Mandate yang merupakan sebuah konsep awal sebuah protokol, yang kemudian diresmikan sebagai Protokol Kyoto tiga tahun kemudian.33Pada COP1 yang deselenggarakan di Berlin, Jerman tersebut membahas mengenai penanganan emisi terkait dengan isu adanya ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang dalam isu lingkungan. Isu yang dibahas kemudian adalah mengenai perlunya transfer tekhnologi dari negara maju terhadap negara berkembang. Tehknologi yang ramah lingkungan dianggap perlu untuk diketahui oleh seluruh negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan, agar dapat terjadinya proyek pembersihan lingkungan yang berkelanjutan yang diikuti oleh seluruh negara.

Conferense of Parties II diadakan di Geneva, Swiss (8-19 July 1996). COP2 membahas mengenai persiapan para delegasi untuk membuat sebuah Protokol yang kemudian dinamakan sebagai Protokol Kyoto. Ini merupakan objek utama dalam mengidentifikasi pengurangan emisi GRK dan melibatkan seluruh Negara. Penurunan emisi GRK lebih difokuskan kepada negara-negara Annex 1, yaitu sebagai berikut: Annex I

Australia Denmark Iceland Malta

Austria Estonia Irlandia Monaco**

Balarus** Uni Eropa Itali** Belanda

Belgia Finlandia Jepang Selandia Baru

Bulgaria Prancis Latvia Norwegia

33

Kanada Jerman Liechtenstein Polandia

Kroasia** Yunani Lithuania Portugal

Republik Ceko** Hungaria Luxemburg Romania

Federasi Rusia** Slowakia** Slovenia** Spanyol

Swedia Swiss Turki** Ukraina

Inggris dan Irlandia Utara

Amerika Serikat

** Negara Observer atau negara Peninjau

Protokol Kyoto dibentuk pada pelaksanaan Conference of Parties (COP III) di Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997, sebagai tindak lanjut dari implementasi tujuan konvensi kerangka kerja tentang perubahan iklim (UNFCCC)34. Tujuan utamanya dari Konvensi adalah untuk mencapai stabilisasi dari konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang berbahaya anthropogenic akan mencegah gangguan pada sistem iklim. Tingkat tersebut harus dicapai dalam waktu yang cukup untuk membolehkan ekosistem alami untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, untuk memastikan bahwa produksi makanan tidak terancam dan untuk mengaktifkan untuk melanjutkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.

Di dalam konferensi para pihak ketiga (COP III) di Kyoto, Jepang, disepakati adanya sebuah tata cara penurunan emisi GRK yang dikenal dengan Protokol Kyoto (Kyoto Protocol). Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi

34

Mark Maslin,Global warming: Very Short Introduction. (Oxford University Press: New York, 2004) halaman 118

Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) . Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK antropogenikyang meliputi CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 atau bekerjasama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga atau menambah jumlah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

Di dalam Protokol Kyoto telah disepakati jadwal dan target penurunusan emisi GRK oleh negara maju, negara maju diminta untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5 persen dari tingkat emisi 1990 pada tahun 2008-2012. Kelompok negara maju dalam Protokol Kyoto disebut dengan annex 1 harus menurunkun emisi GRK yang telah diproduksinya. Penurunan emisi GRK harus sesuai dengan mekanisme fleksibel yang tertera dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme yang kemudian harus diikuti oleh negara-negara yang meratifikasi Protokol tersebut35. Join implementation, Emision Trading, dan Clean Development Mechanisme merupakan kegiatan dalam mekanisme Kyoto yang harus dilaksanakan oleh seluruh negara yang meratifikasi Protokol Kyoto.

B. Mekanisme Protokol Kyoto

Awal bulan Desember 1997 merupakan sejarah baru bagi diplomasi lingkungan. Lebih dari 100 negara di dunia menghadiri COP3 yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang. Konferensi negara anggota PBB yang membahas tentang isu lingkungan terutama isu pemanasan global, yang menjadi tema utama dalam konferensi tersebut. Penurunan emisi GRK merupakan poiin penting yang dibahas, yang kemudian disepakati

35

Daniel Murdiyarso,Protokol Kyoto; Implikasinya Bagi Negara Berkembang. (PT Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2003)ibid,halaman 01

dalam bentuk protokol yang disebut Protokol Kyoto. Dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme penting dalam rangka mewujudkan tujuan dari Protokol Kyoto. Tiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation (JI), Emision Trading dan Clean Development Mechanisme. Tiga mekanisme tersebut yang menjadi pilar utama dari negosiasi-negosiasi antar negara terkait isu lingkungan.

B.1 Perdagangan Emisi (International Emision Trading/ IET)

Perdagangan emisi merupakan salah satu dari tiga poin mekanisme Protokol Kyoto. Perdagangan emisi tertera pada pasal 17 dari Protokol Kyoto36. Dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai perdagangan emisi antar negara yang tergabung dalam annex B. Pasal tersebut menjaelaskan bahwa antar negara annex B yang tertera dalam Protokol Kyoto dapat saling menjual atau membeli emisi guna menstabilkan kadar emisi GRK di dalam atmosfer. Annex B beranggotakan negara-negara Eropa Tengah dan sebagian Eropa Timur serta bebereapa negara pecahan Uni Soviet. Perdagangan Emisi bukan merupakan sebuah mekanisme yang memiliki landasan proyek seperti mekanisme lainnya, yaituJoin ImplementationatauClean Development Mechanisme.

Perdagangan emisi tertera pada artikel ke-3 paragraf 10 dan 11 dalam Protokol Kyoto.37 Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa berapa emisi yang dikurangi atau berapa bagian jumlah emisi yang dihasilkan. Berarti dalam mekanisme ini terdapat aturan dalam penjualan emisi yang mengharuskan keseimbangan dalam emisi antar penjual emisi dan pembelinya. Hal tersebut berarti dalam perdagangan emisi harus ada stabilisasi antar penjual dan pembeli emisi agar kadar emisi GRK dalam atmosfer tetap stabil. 36

http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/et/items/diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011 37

Koh Kheng Lian, Lye Lin Heng, Jolene Lin,,Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto Protocol Asia and The World .(World Scientific Publishing: London, 2010) halaman 241

Pada awalnya perdagangan emisi merupakan mekanisme yang alot dibahas saat pembentukkan Protokol Kyoto. Negara-negara Eropa merupakan kelompok yang mengajukan ide mengenai perdagangan emisi guna mengurangi emisi GRK dalam atmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Perdagangan emisi banyak menimbulkan pertanyaan yang menyebabkan deadlocknya pembahasan mengenai mekanisme tersebut. Kendala yang dihadapi dalam pembentukan perdagangan emisi adalah perdagangan emisi kurang signifikan dalam usaha untuk mengurangi emisi serta dianggap belum tentu dapat mengurangi emisi GRK.38 Akan tetapi, pada tahun 2001 Uni Eropa sebagai penggagas ide perdagangan emisi tetap meresmikan mekanisme tersebut diwilayah Eropa yang meliputi anggota Annex B.

Perdagangan emisi dalam implementasinya harus memperhatikan stok emisi negara yang membeli atau menjual emisi. Hal tersebut diperlukan karena dikhawatirkan terdapat pihak yang terlalu banyak menjual emisi untuk kepentingan nasionalnya, sehingga kadar emisi di negaranya tidak diperhatikan.39 Jadi solusi yang kemudian dikeluarkan adalah setiap negara yang menjual emisi harus memiliki cadangan emisi sekitar 90 persen dari keseluruhan emisi yang dimilikinya. Hal tersebut dilakukan untuk mengontrol ketidakstabilan kadar emisi dalam atmosfer, yang mana tujuan utama dari perdagangan emisi tersebut adalah untuk menstabilkan emisi GRK atau mangurangi kadar emisi GRK dalam atmosfer yang dapat menyebabkan pemanasan global.

B.2 Implementasi Bersama (Join Implementation/ JI)

Dalam beberapa pertemuan Komite Negoisasi Antar Pemerintah (Intergovermental Negotiating Commite, INC) menjelang COP 1 pada tahun 1995, telah 38

Richard B, Stewart dan Jonathan B, Wiener,Reconstructing Climate Policy: Beyond Kyoto. (AEI Press: Washington, 2003) halaman 09

39 Ibid,

dibicarakan mengenai mekanisme Joint Implementation (JI). JI merupakan usulan dari Norwegia, yang mana dimaksudkan agar seluruh negara turut serta dalam mengatasi pemanasan global.40 Perundingan mengenai Joint Implementation tidak begitu lancar, dikarenakan adanya penolakan dari beberapa negara. Negara anggota OPEC menolak adanya mekanisme Joint Implementation, karena mekanisme tersebut dianggap tidak akan efektif dan dapat menyebabkan negara-negara maju menolak menandatangani Protokol Kyoto. Selain negara anggota OPEC, China dan India juga menolak mekanisme tersebut dan berharap kelompok G77+China akan kompak untuk bersama-sama menolak mekanisme Joint Implementation, sebagai mekanisme yang harus diikuti oleh negara-negara berkembang. G77+China merupakan sebutan bagi kelompok negara-negara berkembang yang mengikuti konferensi pembentukan Protokol Kyoto.

Joint Implementation (JI) merupakan proyek dari Protokol Kyoto terkait penurunan emisi GRK. Proyek tersebut tertera pada artikel ke-6 dalam Protokol Kyoto, bahwa kelompok Annex 1 dapat mengimplementasikan proyek ERUs (Emission Reduction Units) dengan kelompok Annex 1 lainnya.41 Melalui Proyek Joint Implementation negara-negara Annex 1 dapat mengurangi masing-masing 1 Ton CO2, yang merupakan salah satu target dari Protokol Kyoto. Proyek JI harus memberikan pengurangan yang signifikan dari sumber atau emitor. Sehingga proyek tersebut dapat dilaksanakan mulai tahun 2000 jika telah sesuai dengan prosedur yang ada. Akan tetapi pada dasarnya proyek ERUs mulai efektif dilaksanakan pada tahun 2008.

40

Daniel Mudiyarso,Mekanisme Pembangunan Bersih. (PT Gramedia: Jakarta, 2003 ) halaman 01 41

Koh Kheng Lian, Lye Lin Heng, Jolene Lin,,Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto Protocol Asia and The World .(World Scientific Publishing: London, 2010)ibid, halaman 247

Dalam implementasi proyek Joint Implementation, terdapat dua prosedur yang dapat dilakukan yaitu Track One atau Track Two.42 Prosedur pertama atau Track One menyebutkan bahwa, jika host parties dari proyek Joint Implementation (JI) telah memenuhi semua persyaratan untuk mentransfer atau menerima proyek Emision Reduction Units (ERUs) diharuskan untuk memverivikasi proyek tersebut atau meningkatkan pembersihan sesuai dengan proyek JI. Hal tersebut dimaksudkan sebagai tambahan jika proyek tersebut berjalan sebaliknya. Hal tersebut juga dimaksudkan agar adanya penyesuaian proyek Join Implementation dengan peraturan nasional dari negara yang memverivikasi proyek JI, yang kemudian menseleksi setiap proyek agar sesuai dengan target ERUs. Prosedur kedua atau Track Two, jika terjadinya kekurangan dalam melengkapi persyaratan dari proyek Join Implementation (JI). Maka, proyek tersebut harus diverifikasi dibawah aturan dari Komite Pengawas dari proyek Joint Implementation (Joint Implementation Supervisory Commite, JISC). Dalam prosedure kedua ini JISC bertugas untuk menentukan relevansi dari persyaratan yang telah dipenuhi oleh negara yang akan mentransfer dan menerima proyek ERUs. Sehingga sebelum dilaksanakannya proyek ERUs komite pengawas atau JISC telah memverifikasi bahwa negara tersebut telah siap untuk melaksanakan proyek ERUs.

Proyek ERUs yang terdapat dalam mekanisme JI pada dasarnya tidak dapat diterima sepenuhnya oleh negara berkembang. Karena proyek tersebut hanya antar negara maju, sedangkan negara berkembang kurang berperan dalam proyek tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan proyek tersebut cenderung ditujukan kepada negara-negara eropa timur yang notebene merupakan negara yang sedang dalam masa transisi dari negara berkembang menuju negara maju. Sedangkan di wilayah Asia hanya sedikit 42

memperpoleh jatah proyek ERUs, sehingga mekanisme JI sedikit terhambat oleh faktor-faktor tersebut.

B.3 Clean Development Mechanism (CDM)

CDM adalah sebuah usulan mekanisme fleksibel Protokol Kyoto yang muncul secara tiba-tiba ketika pertemuan yang membahas Protokol Kyoto hendak ditutup pada tanggal 11 Desember 1997 atau sehari setelah mengalami pengunduran dari waktu penutupan yang direncanakan. CDM muncul kepermukaan diawali oleh proposal yang diajukan oleh delegasi dari negara Brazil. Proposal tersebut terkait dengan dana yang dapat digunakan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh negera-negara berkembang. Dana tersebut dikenal Clean Development Fund, yang mana dana tersebut diperoleh dari denda dari Negara-negara Annex 1 yang tidak taan dalam memenuhi komitmennya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca43. Besarnya dana yang dikeluarkan berdasarkan nilai tertentu per ton emisi yang dihasilkan yang melebihi jatah yang seharusnya. Sehingga semakin seringnya terjadi kelebihan batas emisi, maka