• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otoritas Nasional ( Designated National Authority / DNA)

Keputusan pertama dari sebuah proyek CDM ditentukan dalam tingkat nasional. Hal tersebut dikarenakan proyek CDM harus dicocokkan terlebih dulu dengan kriteria proyek CDM yang berkelanjutan dalam skala nasional. Kriteria tersebut menjadi patokan dari proyek CDM| yang layak yang kemudian diajukan dilembaga CDM internasional. DNA layaknya lembaga yang memilah sebuah proyek agar sesuai dengan kepentingan nasional sehingga DNA ini dianggotai oleh perwakilan badan-badan pemerintah. Pada umumnya lembaga DNA terbagi menjadi dua lembaga yaitu Dewan CDM Nasional dan CDM clearinghouse. Dewan CDM Nasional terdiri dari perwakilan pemerintah secara sektoral. Sedangkan CDM Clearinghouse bertugas membantu Dewan CDM Nasional dalam pelaksanaan proyek CDM secara professional.

Pasca ratifikasi Protokol Kyoto Indonesia mulai mematangkan perannya dalam proyek CDM dengan membentuk lembaga DNA yang disebut KomNas MPB (Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih)81. Otoritas Nasional tersebut bertugas berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 206 tahun 2005 adalah sebagai berikut:

 Memberikan persetujuan atas proyek-proyek CDM yang diajukan dan telah berdasarkan kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan, pendapat para ahli serta masukan dari para pakar.

 Melakukan penelusuran dokumen proyek yang telah disetujui KomNas MPB di Badan Eksekutif MPB

81

 Monitoring dan evaluasi proyek yang dijalankan

 Menyampaikan laporan tahunan kinerja proyek CDM kepada sekertariat UNFCCC

Di dalam KomNas MPB yang merupakan lembaga DNA di Indonesia terdapat Badan Eksekutif yang pada prinsip dan fungsinya memiliki peran dan tugas sebagai berikut:

 Melakukan persetujuan awal dan final

 Bertindak sebagai focal point pada Kementerian Lingkungan Hidup untuk perubahan iklim dan UNFCCC

 Bertindak sebagai penghubung antara KomNas MPB dan UNFCCC

 Melihat kebijakan dan petunjuk implementasi untuk Sekertariat KomNas MPB

Dengan telah terbentuknya sebuah lembaga resmi pemerintah Indonesia terkait mekanisme CDM. Pekerjaan rumah bagi Indonesia berikutnya adalah bagaimana mentransformasi pemikiran global kepada pemikiran nasional. Sebuah keputusan meratifikasi Protokol Kyoto berarti Indonesia telah mensepakati sebuah konvensi internasional yang tentunya bersifat global yang kemudian harus diterapkan dalam skala nasional. Penerapan tersebut berkaitan dengan komitmen global yang diimplementasikan secara nasional82. Pengertian nasional di sini berarti memiliki implikasi hukum yang lintas sektoral dan multistakeholder, artinya kesepakatan harus dilaksanakan secara

82

Daniel, Mudiarsyo.Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, (PT Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2003) hlm 06

bersama-sama melibatkan pemerintah pusat serta pemerintah daerah serta lembaga-lembaga pendukungnya. Implementasi konvensi tidak selalu merupakan komitmen lembaga pemerintah pusat. Perlunya dukungan dari lembaga-lembaga swasta serta dukungan dari masyarakat pada umumnya. Karena seringkali keberhasilan implementasi sebuah kebijakan nasional ditentukan oleh peran pihak swasta maupun pihak masyarakat madani (Civil Society).

Indonesia telah mengalami transformasi sistem pemerintahan dari orde baru menjadi reformasi, yang kemudian diterapkan dalam sistem pemerintahan yang sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah. Era otonomi daerah berarti sebuah sistem yang bersifat sektoral, yang menjadikan pentingnya peran pemerintah daerah dalam melaksanakan atau membuat sebuah kebijakan. Terkait dengan konvensi internasional, perlunya tindakan lokal dari setiap pemerintah daerah dalam mengimplementasikan konvensi tersebut83. Walaupun pada dasarnya kesiapan dari pemerintah daerah yang cenderung berbeda-beda yang ditentukan dengan kemapanan sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerahnya masing-masing. Sehingga perlunya setiap pemerintah daerah bersifat terbuka dan mau belajar dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga perlu sadar bahwa dalam kancah internasional, pemerintah pusatlah yang bertanggung jawab. Sehingga diperlukan koordinasi aktif antara daerah dan pusat agar menjadi sinergi dan saling percaya. Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan sumber daya manusia dan komitmen lembaga di daerah yang merupakan kunci dari keberhasilan implementasi sebuah kebijakan secara menyeluruh.

83

Perubahan yang mendasar yang terjadi dengan adanya otonomi daerah adalah terkait dengan pengembangan sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing. Undang-undang No: 34/ 2004 memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk dapat mengembangkan kesejahteraan sumber daya alamnya secara mandiri. Hal tersebut dalam rangka percepatan pencapaian kesejahteraan masyarakat dan daya sainng tiap daerah dalam azas persamaan, keadilan dan hak asasi manusia.84Undang-undang ini kemudian yang memberikan kesempatan setiap daerah di Indonesia untuk turut mengimplementasi kebijakan lingkungan hidup pemerintah Indonesia terkait mekanisme Protokol Kyoto.

Sistem otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia menuntut setiap pemerintah daerah dapat lebih mandiri dan membantu jalannya sebuah kebijakan secara baik dan merata. Terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia tentang Protokol Kyoto, terdapat beberapa kewajiban bagi daerah di Indonesia untuk dapat mendukung kebijakan tersebut. Kewajiban setiap daerah pasca ratifikasi Protokol Kyoto sebagai berikut85.

 Memperbaiki mutu emisi di daerah

 Pemerintah daerah turut serta aktif dalam mewujudkan pelaksanaan kebijakan nasional dengan merumuska, melaksanakan dan menerbitkan program-program yang terkait dengan kebijakan nasional, seperti:

1. Mendorong tindakan mitigasi perubahan iklim

84

Kementrian Lingkungan Hidup.Ibid,hlm 11 85

Kementrian Lingkungan Hidup.Protokol Kyoto atas konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim(KLHRI: Jakarta, 2003) hal 09

2. Melakukan tindakan untuk memfasilitasi program adaptasi terhadap perubahan iklim

Program-program tersebut meliputi sektor energi, perhubungan, pertanian dan pengelolaan limbah. Sehingga pemerintah daerah juga dapat mempelajari alih tekhnologi serta metode adaptasi terkait dengan perubahan iklim. Hal tersebut dikarenakan dengan menjalankan kebijakan nasional pemerintah juga dapat memanfaatkan keuntungan sebagai berikut:

• Memanfaatkan peluang akses terhadap alih tekhnologi yang difasilitasi oleh kerjasama antar negara anggota

• Memanfaatkan kerjasama riset ilmiah dan teknik

• Memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pendidikan dibidang perubahan iklim

Dalam implementasi sebuah kebijakan yang bersifat nasional yang berskala internasional, memiliki kecenderungan kurang berjalan dengan baik. Hal tersebut jika implementasi kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara umum. Sehingga DNA sebagai lembaga otoritas yang menjalankan proyek kebijakan mekanisme CDM harus mengambil inisiatif untuk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam arti luas86. Masalah utama yang dihadapi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat luas adalah kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat terkait kebijakan tersebut. Sehingga perlunya melakukan pembelajaran terhadap masyarakat secara umum terkait

86

dengan pembangunan berkelanjutan dari kebijakan tersebut. Kemudian memberi gambaran yang kongkret bahwa pembangunan berkelanjutan adalah investasi untuk generasi mendatang yang memerlukan kebijakan yang jelas dan diterima oleh masyarakat.

Dalam proses peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebijakan mekanisme CDM. DNA mempersiapkan beberapa dokumen agar dapat menarik masyarakat untuk sadar lingkungan serta dapat menjadi pengembang dari proyek CDM. Pengembang proyek CDM merupakan kelompok masyarakat atau lembaga swasta yang menjadi kolega DNA untuk melaksanakan proyek CDM. Beberapa dokumen yang perlu disiapkan DNA untuk menarik kesadaran masyarakat adalah sebagai berikut87:

1. Siklus Proyek: Merupakan uraian singkat mengenai tahapan-tahapan yang harus dilalui pengembang termasuk tata waktu penyelesaian proyeknya. Hal ini diperlukan agar pengembang tidak dipenuhi harapan berlebihan bahwa proyeknya dapat diterima DNA

2. Pengembangan Proyek: Petunjuk singkat terkait dengan dokumen yang harus disiapkan oleh pengembang, seperti PIN (Project Information Note), PCN (Project Concept Note), PDD (Project Design Document). Hal ini diperlukan karena setiap dokumen memiliki ciri dan kegunaan masing-masing.

3. Sistem Penyaringan Proyek: PDD yang lolos saringan merupakan dokumen unggulan. Pengembang harus dapat memahami prosedur penyaringannya, sehingga mereka pun akan menyiapkan dokumen secara baik agar dapat lolos.

87

Kemudian proyek tersebut dapat disahkan oleh DNA yang berarti telah memenuhi kriteria nasional.

4. Pemantauann Proyek: Dokumen ini merupakan petunjuk singkat yang teknis terkait kegiatan dan metode pemantauan proyek. Pengembang perlu memahami pemantauan proyek yang mereka lakukan, hasilnya akan diverifikasi dan hasil verifikasinya akan tersedia untuk publik.

5. Keberatan Publik: Dengan terbukanya dokumen verifikasi bagi publik, maka DNA perlu menginformasikann bahwa jika terdapat keberatan atau semacamnya terkait proyek yang telah diverifikasi diperlukan prosedur yang tertib. Keberatan tersebut umumnya terkait dampak proyek terhadap lingkungan dan social akibat implementasi proyek.

6. Kriteria dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan: Merupakan informasi ringkas terkait alat untuk menyaring dan memantau proyek. Komponen utama, kriteria serta indikator yang telah dikonsultasikan secara luas perlu dijadikan pengetahuan umum dan dikemas secara menarik dan sederhana.

Jika semua informasi tersebut dapat disampaikan kepada masyarakat secara langsung dan dengan kemasan yang menarik. Maka tugas DNA sebagai lembaga otoritas nasional proyek CDM sedikit berkurang. Akan tetapi yang akan jadi masalah utama dalam kampanye tersebut adalah daya nalar masyarakat yang cenderung berbeda-beda setiap lapisannya. Sehingga diperlukan penyampaian dengan bahasa-bahasa sederhana disertai kampanye verbal dari satu kelompok ke kelompok lain pada setiap lokasi di mana proyek CDM dikembangkan.

B. Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Implementasi Mekanisme Protokol Kyoto

DNPI sebagai otoritas lembaga yang menjalankan proyek-proyek implementasi Protokol Kyoto, membentuk sebuah lembaga khusus dalam bidang perdagangan karbon antar Negara. Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara atau TKPPKA yang dibentuk berdasarkan SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor No. 50/05/2012, telah melakukan kegiatannya sejak ditandatanganinya SK tim tersebut. Tim ini terbentuk antara lain sebagai perimbangan terhadap proposal negara sahabat, khususnya pemerintah Jepang dan juga beberapa negara lain termasuk Australia, untuk melakukan perdagangan karbon antar Negara88.

Karena luasnya cakupan peluang perdagangan karbon antar negara, tim ini kemudian dibentuk dengan susunan Ketua Tim Pengarahnya adalah Menko Perekonomian dan sebagai Wakil Ketua Tim Pengarah adalah Menteri Perdagangan dengan anggota 4 orang pejabat setingkat menteri. Sedang untuk Tim Pelaksananya diketuai oleh Deputi Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembiayaan Internasional Kemenko Perekonomian dan ketua alternate Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dengan 8 (delapan) orang anggota tim setingkat eselon 1 dari berbagai kementerian terkait. TKPPKA selama masa tugasnya, yang dimulai sejak penandatanganan SK pada tanggal 16 Mei 2012 - 31 Desember 2012, telah melakukan berbagai pertemuan dan koordinasi dengan pihak negara Jepang maupun koordinasi internal antar kementerian

88

terkait. Sesuai dengan SK yang telah dikeluarkan, maka tugas Tim Pelaksana TKPPKA adalah sebagai berikut.89

1. Melakukan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon dengan pihak negarapartner yang berminat untuk melakukan kerjasama dengan Indonesia.

2. Mengambil langkah-langkah penyelesaian terhadap permasalahan dan hambatan dalam perundingan atas Skema Perdagangan Karbon Antarnegara.

3. Menyusun dan menyampaikan rekomendasi kebijakan yang diperlukan dalam pelaksanaan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon Antarnegara kepada Tim Pengarah.

4. Melaksanakan tugas terkait lainnya yang diberikan oleh Tim Pengarah.

Dalam pelaksanaan kegiatannya, TKPPKA kemudian juga dibantu oleh Tim Sekertariat yang dalam hal ini ditugaskan kepada Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon di DNPI.

Dalam perkembangan kerjasama antar Negara Indonesia dengan Jepang, Pemerintah Jepang telah menyelesaikan 32 (tiga puluh dua) kegiatan studi kelayakan/Feasibility Study atau FS, sejak dimulainya kegiatan pada tahun 2010 sampai dengan sekarang. Pada periode tahun 2012, masih sedang dilakukan 25 (dua puluh lima) FS, yang akan selesai pada periode Maret 2013. Sampai dengan bulan Maret 2013 nanti, Pemerintah Jepang diperhitungkan akan sudah menyelesaikan 57 (lima puluh tujuh) 89

kegiatan FS, yang terdiri dari kegiatan di energi terbarukan (hydro, geothermal, surya, dan angin), efisiensi energi (di pembangkit listrik dan industri), REDD+, carbon captured and storage (CCS), transportasi, pertanian, dan penggantian bahan bakar. Perundingan dengan Pemerintah Jepang sendiri sampai dengan saat ini sebenarnya telah dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu sebelum TKPPKA dibentuk dan setelah TKPPKA dibentuk. Sebelum TKPPKA dibentuk, perundingan dimotori oleh DNPI selaku pemegang mandat pengembangan pasar karbon nasional sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 46 tahun 2008. Setelah dibentuknya TKPPKA, maka perundingan dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian dan dibantu oleh DNPI.

Pada beberapa perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang seringkali terdapat beberapa hambatan. Yang kemudian masih belum menemukan kesepahaman antara keduabelah pihak adalah masalah bentuk dari perjanjian antara kedua negara, dimana Indonesia menghendaki adanya “internationally binding agreement” sedang pihak Pemerintah Jepang menganggap bahwa bentuk “non binding agreement” sudah mencukupi sebagai dasar dan landasan kerjasama. Bagi Pemerintah Jepang, internationally binding agreement berarti harus melewati proses yang panjang karena harus ada persetujuan dengan parlemen, sementara pada pertengahan tahun 2013 akan ada pemilihan umum baru dan pergantian kabinet. Sementara bagi pemerintah Indonesia, bentuk perjanjian dengan internationally binding agreement adalah suatu kelaziman untuk kerjasama seluas perdagangan karbon antar negara yang diusulkan oleh pemerintah Jepang.

Terkait dengan pelaksanaan proyek dalam mengimplementasikan Protokol Kyoto Jepang memiliki usulan mengenai kerjasama bilateral antar Negara. Hal tersebut

dikarenakan Jepang menginginkan efisiensi jalannya proyek untuk mengurangi emisi GRK. Usulan tersebut dinamakan Billateral Offset Crediting Mechanism (BOCM). Pemerintah Jepang menawarkan kerjasama dalam bentuk bilateral dengan beberapa negara berkembang lain untuk melakukan suatu perdagangan karbon model baru, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Jepang telah mendeklarasikan target penurunan emisi sebesar 25% berdasarkam dari tahun 2020. Biaya pengurangan emisi di Jepang saat ini sangat tinggi, karena terutama terkait dengan Jepang sendiri yang memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi sehingga biaya untuk menurunkan emisi menjadi hampir seperti biaya untuk mengembangkan teknologi baru. Saat ini untuk sektor kehutanan biaya pengurangan emisi di Jepang berkisar 60-120 USD per ton CO2 dan untuk sektor energi berkisar 40-80 USD per ton CO2. Harga-harga ini didapatkan dari pasar karbon domestik di Jepang. Ketidakpastian pasar karbon paska 2012 menyebabkan Jepang juga mempunyai kesempatan untuk melakukan usulan pasar jenis baru, didukung oleh komitmennya yang kuat untuk pengurangan emisi secara nasional.90

Secara ekonomis, Jepang juga membutuhkan media dan cara baru untuk melakukan investasi, baik investasi modal maupun investasi teknologi. Dalam hal ini BOCM akan menjadi salah satu metoda yang sangat baik. BOCM bahkan akan menggabungkan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga meningkatkan investasi, menggairahkan sektor swasta Jepang, mengurangi beban pengurangan emisi secara domestik, dan lebih jauh mengamankan posisi Jepang sebagai investor untuk negara berkembang.

Kondisi-kondisi di atas yang menyebabkan Jepang membuat proposal BOCM dan menyampaikannya ke Indonesia dan beberapa negara berkembang yang lain. BOCM ini 90

juga bahkan melibatkan perusahaan-perusahaan swasta terbesar Jepang untuk melakukan feasibility study (FS), seperti Mitshubishi, Kanematsu, Shimitzu, Tokyo Gas, Arab Oil Company, dan beberapa perusahaan raksasa lainnya. Selain Indonesia, negara lain yang menjadi objek FS adalah Vietnam, India, Malaysia, Thailand, Maldives, South Africa, Mexico, Thailand, Kenya, Cambodia, Bangladesh, Turkey, Poland, Russia, dan beberapa negara lain (total 18 negara). Pada tahun 2010, Jepang telah melakukan 50 FS di 18 negara, dengan 9 di antaranya ada di Indonesia. Tahun 2011, Indonesia tetap menjadi target utama dari kegiatan ini dengan total jumlah FS yang dilakukan sebanyak 23 proyek. Kegiatan FS yang akan dilaksanakan oleh Jepang akan dipresentasikan ke Pemerintah Indonesia.

BOCM ini pada dasarnya merupakan proyek tindak lanjut dari implementasi mekanisme Protokol Kyoto layaknya CDM. Sehingga dalam pelaksanaanya pun memiliki tujuan yang sama yaitu mengurangi emisi GRK dan memnuhi credit Cers yang telah ditentukan pada saat UNFCCC. Dalam beberapa perundingan antara pemerintah Indonesia dan Jepang, terdapat beberapa hambatan terkait dengan mekanisme dari proyek yang akan dijalankan. Pada dsaranya kerjasama ini bersifat bilateral, akan tetapi pihak Indonesia cenderung berharap kerjasama ini tidak hanya terbatas pada dua Negara saja. Sehingga pemerintah Indonesia menginginkan adanya perubahan Bilateral menjadi Joint Crediting Mechanism, karena pemerintah Indonesia beranggapan bahwa pada saatnya nanti akan ada Negara lain yang dapat bergabung dengan proyek tersebut.91

Rencana kerjasama Indonesia-Jepang ini, pada tahun pertama sertifikat penurunan emisi tidak dicatat dalam penjualan di pasar, akan tetapi di catat sebagai komitmen

91

Laporan pertemuan tim TKPPKA terkait pembahasan dokumen Proposal Joint Crediting Mechanism (JCM) DNPI, 14 September 2012

masing-masing negara dalam penurunan emisi sehingga disebut sebagai non-tradeble. Dengan adanya mekanisme kerjasama ini, maka Joint Committeeharus membuat aturan prosedurnya, seperti konsistensi pencatatan sesuai dengan penurunan emisi masing-masing negara. Selain itu, diperlukan juga transparansi bagi negara lain untuk mengakses data emisi yang diturunkan. Kemudian Proyek yang akan dikembangkan memiliki tipe yang berbeda-beda. Akan tetapi, Pemerintah Indonesia dalam hal ini tetap melihat lifetime serta investasi dari proyek yang diusulkan. Sehingga sama seperti CDM, pemerintah Indonesia harus mencermati periode kredit yang bisa saja 7 atau 10 tahun.

Kerjasama BOCM/JCM antara Jepang dan Indonesia pada akhirnya mencapai tingkat keseriusan dari kedua belah pihak. Sehingga dibentuklah sebuah payung hukum yang melandasi kerjasama tersebut.Low Carbon Growth Partnership(LCGP) merupakan landasan hukum yang disepakati oleh kedua belah pihak. Akan tetapi dalam prosesnya pemerintah Jepang meminta bahwa LCGP tidak bersifat mengikat secara hukum. Hal ini karena prosedur pemerintah Jepang untuk pembuatan dokumen perjanjian atau persetujuan yang mengikat secara hukum sangat memakan waktu dan tenaga, diantaranya perlu persetujuan parlemen. Hal tersebut yang akhirnya membuat sedikit masalah dalam mencapai kesepakatan dalam pembuatan landasan hukum. Karena pemerintah Indonesia pada saat itu menginginkan sebuah peraturan yang lagal walaupun tidak mengikat secara hukum semacam Memorandum of Understanding (MOU). Hal tersebut menjadi penting karena berkaitan dengan aspek adaptasi bagi Indonesia terkait isu pemanasan Global.

Seperti kita ketahui bahwa perubahan iklim merupakan kasus yang berskala global yang membutuhkan aksi-aksi lokal yang berawal dari diri kita sendiri. Dibutuhkan kearifan local untuk menjaga lingkungan dari dampak perubahan iklim. Pemerintah Indonesia telah berperan aktif dalam penanggulangan perubahan iklim, dapat dilihat dengan terbentuknya lembaga-lembaga pemerintah yang berkaitan dengan isu perubahan iklim seperti DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim). Langkah ini dimaksudkan dalam antisipasi dan adaptasi dari perubahan iklim. Pada dasarnya terdapat dua program pokok dalam mengurangi dan mengantisipasi perubahan iklim yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi merupakan program pemerintah yang berkaitan dengan peengurangan emisi GRK. Sedangkan program adaptasi merupakan upaya antisipasi dan adaptasi dari proyek mitigasi dan perubahan iklim.92 Sehingga pentingnya peran masyarakat secara langsung untuk mendukung program adaptasi perubahan iklim, yaitu dengan merubah pola hidup secara mendasar seperti pola hidup hemat energy, air dan penggunaan bahan bakar fosil yang merupakan penyebab utama dari perubahan iklim.

Agenda adaptasi pada dasarnya telah diatur oleh UNFCCC agar setiap negara dapat mengimplementasikannya, terutama negara-negara berkembang yang rentan akan dampak dari perubahan iklim. Komitmen agenda adaptasi ini harus dimiliki seluruh negara yang merupakan anggota UNFCCC, yang mana seluruh negara diharuskan mengambil langkah konkret terkait adaptasi yang meliputi pendanaan adaptasi dan transfer teknologi. Dalam hal ini negara maju diminta agar membantu negara berkembang terkait dengan pendanaan adaptasi.93Lebih lanjut UNFCCC kemudian

92

Ristek,Sains & Teknologi: Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangan dan Kebutuhan (PT Gramedia: Jakarta, 2009) halaman 486-489

93

www.unfccc.int/adaptation/implementing_adaptation/items/2535.phpdiakses pada tanggal 1 februari 2012

menekankan agenda adaptasi yang dibahas pada COP-13 yang diadakan di Nusa Dua, Bali. Kesepakatan tentang adaptasi disebut dengan Bali Action Plan.

COP-13 yang dilaksanakan di Nusa Dua, Bali merupakan pertemuan seluruh negara di dunia dalam membahas kelanjutan dari penanggulangan perubahan iklim. COP-13 juga merupakan pertemuan yang membahas mengenai komitmen negara-negara di dunia tentang perubahan iklim untuk menggantian Protokol Kyoto yang akan habis masa berlakunya pada tahun2012.Bali Road Map, merupakan kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan tersebut, yang mana terdapat kesepakatan penting yang disebut Bali Action

Plan.94 Bali Action Plan merupakan kesepakatan terpenting yang berkaitan dengan

rencana jangka panjang untuk menangani perubahan iklim. Bali Action Plan merupakan kesepakatan perundingan tentang implementasi dari mitigasi, adaptasi, alih teknologi dan pendanaan serta pembentukan lembaga tambahan di bawah konvensi bernama Ad Hoc

Working Group on Long-Term Cooperative Action. Lembaga tersebut bertugas dalam

kurun waktu sampai 2009 dan hasil kerjanya harus dipaparkan pada konferensi Copenhagen. Bali Action Plan mengidentifikasi bahwa adaptasi adalah salah satu kunci untuk dapat menguatkan persiapan setiap negara untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di masa yang akan datang. Kesepakatan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara benar, efektif dan diimplementasikan dalam jangka panjang.95

Pemerintah dari negera-negara berkembang termasuk Indonesia membutuhkan langkah konkret dari agenda adaptasi. Karena negara berkembang merupakan kelompok yang dirugikan dengan adanya perubahan iklim. Akan tetapi, yang menjadi menarik adalah agenda adaptasi ini tidak dapat berjalan jika tanpa bantuan dari negara maju. Hal

94

UNDP,The Bali Action Plan: Key Issues in The Climate Negotiation. (UNDP, 2008) hlm 3 95

tersebut dikarenakan faktor yang mendukung dari agenda adaptasi meliputi transfer