• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Kesejahteraan Masyarakat

Menurut Sarman (2000), sejahtera adalah masyarakat yang merasa aman santosa, selamat dan tak kurang apapun. Kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai pedoman tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Pangan, sandang, papan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Faktor makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari dapat dijadikan indikator kesejahteraan masyarakat. Faktor makanan sering dihubungkan dengan kesehatan karena terkait dengan gizi yang dikonsumsi oleh masyarakat, misalnya penyebab kekurangan gizi dikarenakan tingkat ekonomi yang masih rendah (BPS 1993).

Sebenarnya, kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subyektif, sehingga ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain, namun prinsipnya kesejahteraan berkaitan erat dengan kebutuhan dasarnya. Jika kebutuhan dasarnya sudah dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan dari individu atau keluarga sudah terpenuhi (BPS 1991).

Aspek yang dapat digunakan untuk menganalisisi kesejahteraan masyarakat berdarkan sosial ekonomi dengan melihat konsumsi atau pengeluaran

atau pendapatan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan pemukiman, sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga dan kriminalitas. Klasifikasi tingkat kesejahteraan atau kemiskinan menurut Sajogyo (1996) diacu dalam Sobari dan Suswanti (2007) adalah sebagai berikut:

1) Tidak miskin apabila nilai per kapita per tahun lebih tinggi dari nilai tukar 320 beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah kota;

2) Miskin apabila nilai per kapita per tahun lebih rendah dari pada nilai tukar 320 beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah kota;

3) Miskin sekali apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota;

4) Paling miskin apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah nilai tukar 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg untuk daerah kota.

Menurut Sobari dan Suswanti (2007), konsep kemiskinan menurut Direktorat Jenderal Tata Guna Tanah didasarkan pada kebutuhan sembilan bahan pokok dalam setahun, yaitu 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg minyak goreng, 9 kg garam, 60 liter minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar, dan 2 meter batik kasar. Kriteria kemiskinan berdasarkan parameter di atas adalah:

1) Tidak miskin apabila konsumsi per kapita per tahun di atas 200 % dari total 9 bahan pokok;

2) Hampir miskin apabila konsumsi per kapita per tahun di atas 126-200 % dari total 9 bahan pokok;

3) Miskin apabila konsumsi per kapita per tahun di atas 75-125 % dari total 9 bahan pokok; dan

4) Miskin sekali apabila konsumsi per kapita per tahun di atas 75 % dari total 9 bahan pokok.

Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa, rekreasi, dan perlengkapan rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan (BPS 1991). Tingkat kesejahteraan sosial ini berkaitan langsung dengan tingkat pendapatan nelayan dan merupakan bentuk yang nampak dari

tingkat kesejahteraan yang disandangnya. Misalkan, orang yang memiliki rumah berubin atau berkeramik, bisa dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan yang layak. Pendekatan tingkat kesejahteraan berdasarkan kesehatan dapat dilihat dari kondisi sanitasi perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, mencuci, dan kakus (BPS 1991).

Kemiskinan terkait erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Orang dikatakan miskin jika pendapatannya sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan minimum rumah tangga (Sumodiningrat 1999). Kemiskinan yang ada dapat diukur dari tingkat pendapatan dan pengeluaran; dimana kebutuhan dibatasi hanya kebutuhan minimum saja.

Purbayanto (2003) menyatakan sebagian besar atau sekitar 80% kegiatan perikanan tangkap di Indonesia dilakukan oleh nelayan tradisonal. Sementara itu, hanya kurang dari 20% sisanya adalah usaha penangkapan ikan padat modal atau lebih dikenal dengan sebutan industri penangkapan ikan yang melibatkan nelayan- nelayan terdidik. Kondisi ini telah menyebabkan ketimpangan ekonomi yang cukup besar antara nelayan industri dan nelayan tradisional. Nelayan tradisional inilah yang sebagian besar berada pada garis kemiskinan.

Menurut Karunia et al. (2008) peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Gunawan (2007) diacu dalam Karunia et al. (2008) salah satu faktor tersebut adalah kebijakan khusus pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang harus mempunyai arah pembangunan yang jelas.

Menurut BPS (1991) kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak memungkinkan untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan, sehingga indicator yang digunakan disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian.

Dahuri (2000) menyatakan bahwa tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah alasan-alasan terjadinya

kemiskinan di masyarakat nelayan. Alasan lain juga kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang berakhir pada tumpang tindihnya berbagai sektor disuatu kawasan, dan dampak polusi dari suatu lingkungan.

Perlu strategi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan melalui pelayanan dan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berskala besar atau nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan, perbaikan kesehatan dan gizi, perbaikan pemungkiman penduduk, pembuatan sarana dan prasarana sosial lainnya, seperti transportasi, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya di pemukiman warga. Kondisi ini mampu memanfaatkan potensi yang ada baik terhadap sumberdaya alam maupun sumberdaya manusiannya yang akan memberikan peranan yang maksimal dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan (Supriana 1997 diacu dalam Mustamin 2003). Indikator tingkat kesejahteraan menurut BPS dan SUSENAS tahun 2003 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Indikator tingkat kesejahteraan menurut BPS dan SUSENAS tahun 2003

No Indikator kesejateraan Kriteria Skor

1 Pendapatan rumah tangga

Tolak ukur yang digunakan adalah konsep kemiskinan menurut direktorat jenderal tata guna tanah yang menyertakan pendapatan perkapita pertahun dengan konsumsi beras per kapita per tahun.

Tidak miskin Hampir miskin Miskin Miskin sekali 4 3 2 1 2 Pengeluaran rumah tangga

Tolak ukur yang digunakan adalah kriteria konsep kemiskinan menurut Sajogjo, yang didasarkan pada kebutuhan 9 bahan pokok dalam setahun.

Tidak miskin Hampir miskin Miskin Miskin sekali 4 3 2 1 3 Keadaan tempat tinggal

1.Atap : genting (5), asbes (4), seng (3), sirap (2), daun (1)

2.Dinding: tembok (5), setengah tembok (4), kayu (3), bambu kayu (2), bambu (1)

3.Status: milik sendiri (3), sewa (2), numpang (1)

4.lantai : porselin (5), ubin (4), plester (3), papan (2), tanah (1) 5.luas lantai: > 100 m2

(3), 50-100 m2

(2), <50 m2 (1).

Permanen (skor 15-21) Semi permanen (skor 10- 14)

Non permanen (skor 5-9) 3 2

1

4 Fasilitas tempat tinggal 1.Pekarangan: luas >100 m2

(3), sedang 50-100 m2

(2), sempit <50 m2 (1) 2.Hiburan: diacu dalamo (4), TV (3), tape recorder (2), radio (1) 3.Pendingin: AC (4), lemari es (3), kipas angin (2), alam (1) 4.Penerangan: listrik (3), petromak (2), lampu tempel (3) 5.Bahan bakar: gas(3), minyak tanah (2), kayu arang (1)

6.Sumber air: PAM (6), sumur bor (5), sumur (4), mata air minum (3), air hujan (2), sungai (1)

7.MCK: sendiri (4), umum (3), sungai/laut (2), kebun (1)

Lengkap (skor 21-27)

Cukup lengkap (skor 14- 20)

Kurang lengkap (skor 7- 13)

3

2

1

5 Kesehatan anggota rumah tangga

Banyaknya anggota keluarga yang sakit dalam satu tahun

Baik (<25% sering sakit) Cukup (25%-50% sering sakit) Kurang (>50% sering sakit) 3 2 1

6 Kemuahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga medis/para medis (termasuk kemudahan keluarga berencana dan obat-obatan) 1.Jarak rumah sakit terdekat: 0 km (4), 0,01-3 km (3), >3 km (2), missing

(1)

2.Jarak ke poliklinik terdekat 0 km (4), 0,01-3 km (3), >3 km (2), missing

(1)

3.Biaya berobat: terjangkau (3), cukup terjangkau (2), sulit terjangkau (1) 4.Penanganan berobat: baik (3), cukup baik (2), kurang baik (1) 5.Alat kontrasepsi: mudah didapat (3), cukup mudah didapat (2), sulit

didapat (1)

6.Konsultasi KB: mudah (3), cukup (2), sulit (1)

7.Harga obat-obatan: : terjangkau (3), cukup terjangkau (2), sulit terjangkau (1)

Mudah (skor 17-23) Cukup mudah (skor 12- 16)

Sulit (skor 7-11)

3 2 1

7 Kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan

1.Biaya sekolah: : terjangkau (3), cukup terjangkau (2), sulit terjangkau (1) 2.Jarak sekolah: 0 km (3), 0,01-3 km (2), >3 km (1)

3.Prosedur penerimaan: mudah (3), cukup (2), sulit (1)

Mudah (skor 8-9) Cukup mudah (skor 6-7) Sulit (skor 3-5)

3 2 1

8 Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi

1.Ongkos dan biaya: terjangkau (3), cukup terjangkau (2), sulit terjangkau (1)

2.Fasilitas kendaraan: tersedia (3), cukup tersedia (2), tidak tersedia (1) 3.Kepemilikan: sendiri (3), sewa (2), ongkos (1)

Mudah (skor 7-9) Cukup mudah (skor 5-6) Sulit (skor 3-4)

3 2 1

9 Kehidupan beragama Toleransi tinggi

Toleransi sedang Toleransi rendah

3 2 1 10 Rasa aman dari gangguan kejahatan

Frekuensi terjadinya kejahatan per bulan pada lingkungan timpat tinggal rumah tangga

Aman (tidak pernah) Cukup aman (pernah) Tidak aman (sering)

3 2 1 11 Kemudahan dalam melakukan olahraga

Frekuensi responden dalam melakukan olahraga dalam satu minggu

Mudah (sering) Cukup mudah (agak sering)

Sulit (tidak pernah)

3 2 1