• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesenjangan antara Ketersediaan Tenaga Kerja dengan Kebutuhan industri serta Kaitannya dengan Daya Saing

Dalam dokumen LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDU (Halaman 48-63)

Industri

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi menjadi salah satu kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu

negara. Pada tahun 1990, United Nation Development Program (UNDP)

memperkenalkan pengukuran pembangunan manusia yang dikenal

dengan Human Development Index (HDI) yang menggambarkan kualitas

manusia berdasarkan tiga indikator yaitu kesehatan, pendidikan

dan kemampuan ekonomi. Berdasarkan Human Development Report

(HDR) dari UNDP (lihat tabel 2.1), kualitas SDM Indonesia beberapa tahun terakhir relatif rendah dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan data UNDP (2006, 2007/2008, 2009), pada tahun 2005, 2006 dan 2007 posisi Indonesia masing-masing berada pada ranking 110, naik ke peringkat 108, kemudian turun ke peringkat 111 dari 182 negara-negara di dunia. Selanjutnya pada tahun 2007 posisi Indonesia turun 3 peringkat dari tahun sebelumnya. Posisi ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang berhasil menempati ranking 66, Thailand yang berada pada posisi 87, dan Philipina yang menempati ranking 105. Indonesia hanya lebih unggul

dari negara-negara yang tergolong less-developed countries diASEAN

seperti Vietnam (ranking 116), laos (ranking 133), Kamboja (ranking 137), dan Myanmar (ranking 138).

Link & match.indd 36

Tabel 2.1 Peringkat HDI beberapa Negara di Asia

Negara 2005 2006 2007

Ranking HDI index Ranking HDI index Ranking HDI index

Singapura 25 0,907 25 0,916 23 0,944 Brunei 33 0,66 34 0,871 30 0,920 Malaysia 61 0,796 61 0,805 66 0,829 Thailand 73 0,778 74 0,784 87 0,783 Filipina 84 0,758 84 0,763 105 0,751 Indonesia 110 0,697 108 0,711 111 0,734 Vietnam 108 0,704 109 0,709 116 0,725 Laos 133 0,545 129 0,583 133 0,619 Kamboja 130 0,571 130 0,581 137 0,593 Myanmar 129 0,578 133 0.533 138 0,586

Sementara itu, kualitas SDM yang relatif rendah juga terlihat dari

laporan International Institute for Management Development (IMD)-

World Competitiveness Year Book (2009), dimana produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di peringkat 42 dari 57 negara-negara di dunia

yang disurvei11. Hasil survei tahun 2009 ini cukup menggembirakan

karena peringkat daya saing Indonesia naik 9 peringkat dibandingkan tahun 2008 (ranking 51), akan tetapi masih kalah jauh dari Malaysia yang menempati posisi 18 dan Thailand yang berada pada ranking 26. Dalam hal ini produktivitas berkaitan erat dengan kualitas SDM. Berdasarkan catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan,

11 Dei nisi competitiveness berdasarkan IMD adalah bagaimana suatu negara dan dunia bisnis memaksimalkan

kompetensi mereka untuk meraih kesejahteraan yang lebih besar. Dalam hal ini, competitiveness bukan hanya sekedar tingkat pertumbuhan ekonomi atau kinerja perekonomian, tetapi juga mengikutsertakan soft factors seperti lingkungan hidup, kualitas hidup, teknologi dan pengetahuan dll (IMD 2009).

38

dan stabilitas harga, (b) buruknya ei siensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan i skal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (c) lemahnya ei siensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur i sik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan

masyarakat akan pendidik

an dan kesehatan.

Tabel 2.2 The Global Competitiveness Index: Perbandingan Ranking

2008-2009 dan 2009–2010

Negara 2008-2009 2009-2010 Ranking Ranking Singapore 5 3 Malaysia 21 24 Brunei Darussalam 39 32 Thailand 34 36 Indonesia 55 54 Vietnam 70 75 Filipina 71 87 Kamboja 110 109 sumber: wef 2009

Link & match.indd 38

Kemudian, berdasarkan publikasi The Global Competitiveness Report-World Economic Forum (WEF) tahun 2009, posisi daya saing indonesia berada pada urutan ke-54 dari 133 negara yang diteliti (lihat tabel 2.2). Posisi tersebut sesungguhnya telah naik 1 peringkat dari urutan ke-55 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada tahun 2009 berada pada urutan ke-24 sedangkan Thailand berada di posisi ke-36. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Vietnam (urutan ke-75), Filipina (urutan ke-87) dan Kamboja (urutan ke-109).

Kualitas SDM Indonesia yang masih relatif rendah juga dapat digambarkan dari sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang hanya lulusan SD. Pada tahun 2009, jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan, walaupun tingkat kenaikan pendidikan tinggi (Diploma I/II/III dan Universitas), namun masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pendidikan dasar (SD) yang naik hingga 19,8 persen dibandingkan tahun 2005 (lihat tabel 2.3). Meskipun secara rata-rata terdapat kenaikan tingkat pendidikan pekerja di Indonesia, pekerja pada jenjang pendidikan SD kebawah masih tetap tinggi, pada tahun 2009 jumlahnya masih sekitar 55,21 juta orang (52,65 persen), sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan tinggi masih relatif kecil. Pekerja dengan pendidikan tinggi secara absolut jumlahnya masih relatif kecil walaupun mengalami

peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya12. Pekerja dengan

pendidikan Diploma hanya sebesar 2,79 juta orang (2,66 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 4,66 juta orang (4,44 persen).

12 Berdasarkan kajian Ace dan Agus (1995 dalam Tambunan 2001) yang menyatakan bahwa peningkatan

pekerja berpendidikan tinggi terjadi pada lulusan program Diploma ke atas. Hal ini disebabkan perkembangan program-program yang bertujuan mempersiapkan tenaga kerja profesional pada berbagai Perguruan Tinggi/ Akademi. program diploma banyak bermunculan karena adanya anggapan bahwa lulusan Perguruan Tinggi/ AKademi tidak mempnyai keahlian khusus untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai.

40

Tabel 2.3 Penduduk 15 + yang Bekerja menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (juta orang)

Selanjutnya, berdasarkan data Statistik Indonesia (2008), sebagian besar lulusan sarjana tersebut bekerja di pasar kerja domestik (lihat tabel 2.4). Untuk lulusan Diploma I/II/III mayoritas bekerja di sektor jasa (57.96 persen), sisanya tersebar di sektor perdagangan (17 persen) sektor manufaktur (7,4 persen); sektor angkutan (5,05 persen) dan sektor Keuangan (4,85 persen). Sedangkan jumlah sarjana S1 yang paling banyak bekerja di sektor Jasa Kemasyarakatan yaitu sebesar 61,5 persen. Kemudian, para pekerja di sektor Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan berada di posisi kedua dengan jumlah sekitar 11.1 persen. Selanjutnya, pada posisi ketiga adalah para pekerja di sektor Perdagangan Besar, eceran, rumah makan dan hotel yang jumlahnya mencapai 9.65 persen dari total pekerja yang bergelar sarjana pada tahun 2007. Sedangkan di sektor industri pengolahan jumlah pekerja yang lulusan universitas berada pada posisi keempat (7,05 persen).

Dari hasil pengamatan di lapangan Batam dan Banten, dapat dilihat bahwa masalah rendahnya kualitas sdm terjadi di kedua daerah tersebut. Rendahnya kualitas SDM disebabkan karena rendahnya tingkat lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. Lebih lanjut,

Tingkat pendidikan 2001 2005 2009

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

SD 33.82 50.73 35.41 47.61 55.21 52.65 SLTP Umum/SMP 13.78 20.67 17.19 23.11 19.39 18.49 SLTA Umum/SMU 9.6 14.40 11.56 15.54 14.58 13.90 SLTA Kejuruan/SMK 6.2 9.30 6.28 8.44 8.24 7.86 Diploma I/II/III 0.9 1.35 0.97 1.30 2.79 2.66 Universitas 2.37 3.55 2.97 3.99 4.66 4.44 Total 66.67 100 74.38 100 104.87 100 S b D S i ik I d i 2005 d BPS 2009

Sumber: Data Statistik Indonesia, 2005 dan BPS, 2009

Link & match.indd 40

rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing produk- produk Indonesia di pasar internasional (Wiranta dan Soekarni 2008). Rendahnya peringkat Indonesia di Asia maupun di dunia tersebut disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang berkaitan dengan aspek-aspek seperti kurangnya kesesuaian antara latar belakang

pendidikan dengan dunia industri (link & match), sistem pendidikan

(primer, sekunder, tersier), sistem pelatihan tenaga kerja, rendahnya dana untuk kegiatan riset dan kurangnya dana anggaran untuk pendidikan nasional.

Tabel 2.4 Penduduk Berumur 15 tahun + yang bekerja seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama dan pendidikan tinggi yang ditamatkan, 2007

p j p gg y g

Lapangan Pekerjaan Utama

Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Diploma I/II/III Universitas Jumlah % Jumlah % 1. Pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan 99,858 3.84 61,273 1.7

2. Pertambangan 16,758 0.65 27,128 0.75

3. Industri Pengolahan 197,351 7.60 253,805 7.05

4. Listrik, gas dan air 12,523 0.48 19,235 0.53

5. Bangunan 66,604 2.56 128,541 3.57

6. Perdagangan Besar, eceran, rumah makan dan hotel 441,673 17.00 347,074 9.65

7. Angkutan, pergudangan, komunikasi 131,296 5.05 150,395 4.18

8. Keuangan, Asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan

126,019 4.85 398,672 11.1

9. Jasa Kemasyarakatan 1,505,511 57.96 2,211,682 61.5

Jumlah 2,597,593 100 3,597,805 100

42

Untuk dapat menggambarkan sejauh mana kesenjangan antara ketersediaan tenaga kerja dengan kebutuhan industri, berikut disajikan analisa hasil survei terhadap 164 pekerja yang berpendidikan D1 ke atas di Batam dan Banten. Fenomena pertama, ditunjukkan melalui pernyataan responden terhadap latar belakang/alasan responden dalam memilih lowongan pekerjaan yang tersedia. Gambar 2-1, menunjukkan bahwa faktor kesesuaian yang dilihat para responden dari pekerjaan yang dimasuki, secara mayoritas memilih kesesuaian latar belakang pendidikan dengan pekerjaan yang akan dilamar sebagai alasan utama (36.3 persen), kemudian baru melihat jenis perusahaan (20,6 persen). Hal yang cukup menarik dari hasil survei ini adalah ternyata faktor gaji yang ditawarkan menjadi alasan paling terakhir bagi responden untuk melamar pekerjaan.

Hal ini mengindikasikan bahwa bekal pendidikan tinggi yang dimiliki besar peranannya dalam menentukan pilihan seseorang untuk mengisi lowongan kerja yang ditawarkan. Selanjutnya, tentu saja menarik untuk dikaji berapa lama responden mendapatkan pekerjaan yang menurut penilaian mereka sesuai dengan bekal pendidikan yang diperoleh.

Gambar 2.1 Persentase Responden Berdasarkan Pilihan terhadap faktor yang menentukan dalam melamar pekerjaan

Sumber: diolah dari data primer tim peneliti P2E, 2009

Link & match.indd 42

Dari Gambar 2-2, cukup banyak responden yang menyatakan membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu lebih dari 10 tahun untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Bahkan, hampir 10 persen responden menyatakan sampai saat penelitian dilakukan merasa belum menemukan pekerjaan yang sesuai bagi dirinya.

Gambar 2.2 Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Waktu

Tunggu mendapatkan Pekerjaan yang Sesuai Sumber: diolah dari data primer tim peneliti P2E, 2009

Selanjutnya, kesenjangan dunia pendidikan dan industri dapat diindikasikan melalui pernyataan responden terhadap sumbangan pengetahuan yang diperolehnya dalam masa pendidikan terhadap pekerjaan mereka sekarang. Berdasarkan pendidikan terakhir yang ditamatkan (lihat tabel 2.5), ternyata untuk level akademi/D1/D2 mayoritas responden menyatakan perlu sedikit penyesuaian dan

44

pelatihan sebelum mulai bekerja, sedangkan 8,9 persen lulusan akademi/D1/D2 menyatakan bahwa latar belakang pengetahuan yang telah dipelajari sangat mendukung ketika mulai bekerja. Sedangkan untuk lulusan sarjana S1, mayoritas pekerja sebanyak 24,8 persen menyatakan bahwa mereka memerlukan sedikit penyesuaian ketika mulai bekerja. Lalu sisanya sebanyak 14,9 persen menyatakan perlunya pelatihan dan sebanyak 9,9 persen responden meyatakan bahwa latar belakang pengetahuan yang diterapkan di universitas sangat mendukung pekerjaannya. Dari hasil survei ini dapat disimpulkan

bahwa program link&match belum maksimal, terbukti dengan masih

diperlukannya sedikit penyesuaian dan pelatihan, terutama pada tingkat pendidikan tinggi, ketika para responden menyelesaikan pendidikan terakhirnya. Dengan semakin meningkatkan kesadaran bahwa pelatihan adalah sebuah investasi yang sangat perlu untuk perkembangan dan kemajuan perusahaan maka efektivitas atau daya pengaruh pelatihan menjadi semakin penting. Hal ini akan dianalisa lebih lanjut pada bab 3 buku ini.

Tabel 2.5 Persentase Latar Belakang Pengetahuan yang Diterapkan Dengan Pendidikan Terakhir Responden

sumber: diolah dari data primer tim peneliti P2E, 2009

Makna penting lain yang dapat dipetik dari hasil survey tersebut adalah bahwa masih terdapat kesenjangan antara ketersediaan tenaga

Pendidikan Terakhir

Total Akademi/D1/D2 Universitas Master/S3 Latar belakang pengetahun

yang diterapkan dr univ.

Sangat mendukung 8.9% 9.9% 4.0% 22.8%

Sedikit penyesuaian 12.9% 24.8% 1.0% 38.6%

Perlu pelatihan 12.9% 14.9% 27.7%

Perlu pendidikan tambahan

lain 2.0% 7.9% 1.0% 10.9%

Total 36.6% 57.4% 5.9% 100.0%

Link & match.indd 44

kerja dengan kebutuhan dunia industri. Dari sisi industri, manajemen SDM memegang peranan yang sangat penting dalam menjaring pekerja dalam proses rekruitmen pegawai yang memiliki kesesuaian latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaan dan keahlian yang dapat meningkatkan daya saing industri tersebut. Dalam memformulasikan strategi perusahaan, manajemen SDM memegang peranan utama dalam mengembangkan perusahaan dan mengelola serta mengembangkan SDM nya dalam rangka mencapai tujuan strategis perusahaan (Makhijani et. al. 2009:37 dan Hall, 2008: 67).

Kesimpulan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan tuntutan dunia kerja terhadap sumber daya manusia yang dibutuhkan. Oleh karena itu pengembangan kurikulum pendi- dikan tinggi harus bisa mengakomodasi dan mengantisipasi perkem- bangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu membe- rikan pengalaman belajar kepada peserta didik sesuai dengan standar kompetensi dan tuntutan dunia usaha dan dunia industri.

Sebagai realisasi di dalam memenuhi tuntutan dunia kerja terse- but, maka dalam perancangan kurikulum pendidikan mengacu pada karakteristik pendidikan yang dibutuhkan. Kerjasama yang harmonis antara dunia pendidikan dan industri memiliki peran untuk menyiap- kan lulusannya agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri (wiraswas- ta) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada. Berdasarkan pen- gamatan di Batam dan Banten dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan yang saat ini berhasil dikembangkan adalah yang mengacu pada tuntutan dunia kerja, yaitu dunia usaha dan dunia industri yang berkembang di masyarakat. Sedangkan, di level pendidikan tinggi, ker- jasama antara dunia pendidikan dan industri belum optimal. Alangkah baiknya jika kerjasama yang harmonis antara SMK di Batam misalnya,

46

dengan dunia industri, dapat pula diterapkan bagi tingkat pendidikan tinggi dengan dunia industri. Hal ini menjadi tantangan berbagai pihak yang terkait seperti dinas pendidikan, dinas tenaga kerja, lembaga pendidikan, dan dunia industri dalam mewujudkan kerjasama yang terintegrasi sehingga dapat mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang berkualitas dan siap pakai di dunia industri.

Rendahnya kualitas SDM merupakan masalah utama dalam pengembangan SDM yang berkualitas. Hal ini disebabkan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia masih relatif sedikit dibandingkan lulusan pendidikan dasar. Rendahnya tingkat pendidikan tinggi ini juga mempengaruhi produktivitas pekerja yang pada akhirnya mempengaruhi daya saing industri nasional. Tingkat daya saing

industri Indonesia, berdasarkan data Human Development Report

yang dikeluarkan UNDP, masih jauh tertinggal dibandingkan Negara- negara Asean seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Indonesia hanya lebih unggul dari Negara-negara yang

termasuk kategori less-developed countries seperti Kamboja, Vietnam,

Laos dan Myanmar.

Di sisi lain, dengan mengacu pada data pengangguran yang memperlihatkan lebih tingginya lulusan S1 dibandingkan dengan lulusan D3 yang belum mendapatkan pekerjaan, di samping mengkampanyekan secara besar-besaran peran sekolah menengah kejuruan (SMK), Diknas memacu pendirian politeknik-politeknik baru. Namun demikian, berdasarkan pengamatan peneliti, nampaknya permasalahan yang dihadapi oleh SMK, maupun Politeknik adalah justru masih terbatasnya minat siswa. Untuk SMK, biasanya menjadi tujuan akhir bagi siswa yang nilai rata-rata ujian nasionalnya tergolong rendah dan tidak terkualii kasi untuk mendapatkan kursi di SMU Negeri. Hambatan yang sama juga dihadapi oleh Politeknik, karena

Link & match.indd 46

nampaknya perolehan gelar Sarjana S1 masih lebih diminati daripada hanya mendapatkan gelar Diploma. Untuk Universitas pun minat siswa masih lebih banyak tertuju pada jurusan-jurusan tertentu, tanpa melihat kebutuhan kerja yang tersedia di lokasi sekitar.

Berdasarkan kendala dan realisasi link&match yang terjadi di

Batam dan Banten maka terdapat beberapa rekomendasi untuk perbaikan implementasi kebijakan link&match di masa yang akan

datang. Pertama, mendirikan sekolah-sekolah teknik khususnya di

Batam, untuk mengakomodasi free trade zone (FTZ). Jurusan yang ba-

nyak dibutuhkan oleh industri di Batam adalah jurusan mekatronika.

Kedua, perlunya mendirikan fakultas yang berhubungan dengan tranportasi kelautan yang akan digunakan untuk kelancaran distri-

busi barang dan jasa. Ketiga, perlunya mematangkan kualitas SDM,

sehingga perusahaan akan semakin banyak menggunakan tenaga

SDM lokal yang memenuhi persyaratan perusahaan. Keempat, perlu-

nya meningkatkan kualitas para dosen dengan menyekolahkan para dosen ke Singapura dan Malaysia dan Universitas/Institut terbaik di In-

donesia lainnya (ITB, ITS, UGM) melalui dana APBD. Kelima, pembagian

proporsi secara berimbang antara teori dan praktek pada pendidikan tinggi, sehingga SDM nya menjadi tenaga yang lebih siap pakai.

Keenam, perlu adanya kontrol dari BAN DIKTI baik untuk akreditasi maupun pengembangan kapasitas internal, dilakukan secara rutin

dan diskusi dengan para dosen. Ketujuh, perlu adanya kewajiban

magang di industri supaya SDM mendapatkan pengalaman bekerja sehingga dapat meningkatkan peluang bekerja bagi mereka bila

hasil pemagangannya bagus. Kedelapan, perlunya memanfaatkan

dana CSR dan Community Development (COMDEV) perusahaan untuk

pengembangan dunia pendidikan tinggi. Seharusnya kerjasama antara Perguruan tinggi dengan industri menjadi bagian dari Program Nasional, dapat dimasukkan bagian dari pelaksanaan CSR perusahaan, tapi dengan bentuk kerjasama yang lebih bermanfaat,

48

sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Kesembilan, perguruan

tinggi perlu duduk bersama secara rutin dengan dunia industri untuk mendapat masukan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Kesepuluh, perlu adanya kebijakan insentif untuk perusahaan misalnya pengurangan tax untuk industri yang mau melakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi atau lembaga-lembaga Pendidikan lain.

Link & match.indd 48

DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2008. ‘Statistik Indonesia, 2008’. Jakarta.

IMD, 2009. ’The World Competitiveness Scoreboard 2009’, http://www.imd.

ch/research/ publications/wcy/upload/scoreboard.pdf (diakses 20 November 2009).

Hall, B.W., 2008. The new human capital strategy: improving the value of

your most important investment-year after year, Amacom, USA.

Makhijani, N., Rajendran, K., dan Creelman, J., 2009. Best Practices in

Alligning People with Strategic Goals, Azkia Publisher, Jakarta. Mangkuprawira, T., S., 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia

Strategik, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Nawawi, H., 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk bisnis yang kompetitif, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Politeknik Batam, 2009. ‘Proi l Politeknik Batam’, www.polibatam.ac.id (diakses 8 Desember 2009).

Rusman, 2009. Manajemen Kurikulum. Rajawali Press : Jakarta

Tambunan, T., 2001. Kinerja Ekspor Manufaktur Indonesia. LP3E Kadin, Indonesia, Jakarta.

UNDP,2006. ‘Human Development Report 2006’, http://hdr.undp.org/

en/media/HDR06-complete.pdf (diakses 14 November 2009).

---,2007/2008. ‘Human Development Report 2007/2008’, http://hdr.

undp.org/en/ media/HDR_20072008_EN_Complete.pdf (diakses 25 November 2009).

50

---,2009. ‘Human Development Report 2009’, http://hdr.undp.org/

en/media/HDR_2009 _EN_Complete.pdf (diakses 25 November 2009).

UIB,2009.’History’, http://www.uib.edu/history.asp’, (diakses 15 November

2009).

Wiranta, S., dan Soekarni, M., 2008. Peranan Sumber Daya dan Teknologi Terhadap Perekonomian Nasional, dalam Pengembangan SUmber Daya Manusia: di antara Peluang & Tantangan, ed. Tjiptoherijanto, P. dan Nagib, L.,LIPI Press, Jakarta.

World Economic Forum, 2009.’TheGlobal Competitiveness Report 2009’,

http://www.weforum.org/pdf/GCR09/GCR20092010fullreport. pdf (diakses 20 Desember 2009).

Link & match.indd 50

BAB 3

POLA PENYERAPAN DAN TINGKAT PRODUKTIVITAS

Dalam dokumen LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDU (Halaman 48-63)