Apakah mismatch antara supply dan demand pendidikan
menggambarkan secara tepat adanya mismatch antara kompetensi/
keterampilan tenaga kerja yang dibutuhkan industri dan yang tersedia? Apakah kualii kasi pendidikan merupakan proxy yang tepat untuk
mengukur skill mismatch? Brahim Boudarbat dan Victor Chernof (2009)
mengemukakan beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam
menghadapi fenomena education-job mismatch, yang menunjukkan
adanya perbedaan dalam cara pengukuran. Dikemukakan oleh Robst (2007, dikutip oleh Boudarbat & Chernof , 2009), bahwa kebanyakan penelitian yang telah dilakukan mengacu pada tingkat pendidikan seseorang, yaitu ketika seseorang bekerja pada posisi paling tidak satu tingkat di bawah tingkat pendidikannya, sehingga keterampilan/ keahlian yang dimilikinya tidak digunakan secara penuh. Hal ini biasa
dikenal dengan over-education atau over-skilled (Buchel 2001, dikutip
96
pengukuran education-match dengan menggunakan lama nya masa
pendidikan (years of schooling) dianggap sangatlah lemah untuk dijadikan ukuran skill dan kemampuan. Dicontohkan oleh Boudarbat & Chernof (2009) satu hasil penelitian dari Pietro and Urwin (2003) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan keterampilan yang digunakan pada pekerjaan, oleh karena kenyataannya seseorang dapat saja tingkat pendidikannya memenuhi syarat, namun ternyata memiliki keterampilan yang kurang bagi kebutuhan pekerjaannya atau sebaliknya.
Oleh karenanya, mismatch vertical (mismatch antara tingkat
pendidikan dan pekerjaan) bukan merupakan satu-satunya bentuk
mismatch pendidikan. Bentuk lain dari mismatch adalah mismatch horizontal (mismatch antara bidang studi/pendidikan dan pekerjaan). Bidang studi merupakan hal penting untuk dapat menganalisis jenis –jenis keterampilan yang berbeda-beda pada satu tingkat pendidikan dimana bidang studi ini menyediakan tidak hanya
human capital tetapi juga memberikan kekhususan keterampilan dari suatu pekerjaan dalam pasar kerja. Dalam hal ini, Walters (2004) membuat tabulasi silang pertanyaan tentang apakah pemberi kerja meminta atau mensyaratkan kekhususan ijazah yang dimiliki pekerja dan membandingkannya dengan apakah lulusan dalam bidang tersebut akan menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya dalam pekerjaan mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat bagi pekerjaan yang membutuhkan disiplin ilmu yang khusus, tapi tidak bagi pekerjaan yang bersifat umum
(Boudarbat & Chernof , 2009). Oleh karenanya, pengukuran link and
match pendidikan dan industri atau education-job mismatch dapat diukur baik secara horizontal maupun vertical.
Temuan peneliti di lokasi penelitian Banten dan Batam, atas dasar informasi yang diperoleh melalui jawaban responden (101 di Banten dan 63 di Batam) dari beberapa perusahaan industri pengolahan terpilih, kesesuaian kompetensi pekerja ditanyakan langsung terhadap
Link & match.indd 96
responden atas latar pendidikan yang dimilikinya terhadap pekerjaan
yang diperoleh. Analisis kesesuaian (match) antara pendidikan dengan
pekerjaan secara horizontal dilakukan dengan membandingkan terhadap bidang studi. Untuk daerah penelitian Batam hanya diisi oleh 53 responden dengan komposisi D1 sampai S1. Secara keseluruhan, dari hampir seluruh bidang studi, ditemukan lebih tinggi persentase
responden menyatakan adanya kesesuaian (match) antara latar belakang
pendidikan dengan pekerjaannya dibandingkan dengan yang tidak
sesuai (mismatch) yaitu 60:40 persen. Hanya responden dengan latar
belakang D3 teknik (4 dari 4 orang), dan D3 manajemen (4 dari 6 orang), yang lebih banyak menyatakan tidak sesuai pendidikannya. Sementara itu, di daerah penelitian Banten hasil analisis data dari 101 responden menunjukkan kecenderungan yang senada bagi seluruh jenis bidang
studi, yaitu bahwa lebih banyak responden yang menyatakan match,
dan bahkan semua responden dengan latar belakang pendidikan pasca
sarjana (S2/S3) menyatakan match. Secara total perbandingan antara
responden yang menyatakan match dengan yang mismatch di daerah
penelitian Banten adalah 77,23:22,77 persen.
Berdasarkan data sakernas 1997-2006, selanjutnya studi World
Bank menunjukkan bahwa secara keseluruhan, mismatch antara
pendidikan dan dunia kerja lebih banyak terjadi pada pekerja laki-
laki dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi secara konstan sejak
tahun 1997-2006, hanya saja ketidak sesuaian tersebut bagi pekerja laki-laki meningkat selama periode krisis moneter dan mencapai puncaknya pada tahun 2001. Ketidak sesuaian yang terjadi terutama pada pekerja dengan latar belakang pendidikan D1-D3, 69 % dari mereka adalah laki-laki, kemudian sejak tahun 2003-2006 menjadi 60 berbanding 40% antara pekerja laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, Boudarbat dan Chernof (2009) menyatakan bahwa masalah gender
tidak memberikan pengaruh yang signii kan terhadap match maupun
mismatch pendidikan dan industri. Hal ini didukung oleh beberapa studi yang telah dilakukan, seperti, Wolbers (2003), dan Witte and Kalleberg (1995), dan Robst (2007), menemukan bahwa pekerja perempuan
98
lebih banyak yang match, sementara studi yang dilakukan oleh Krahn
and Bowlby (1999), menunjukkan bahwa justru lebih banyak pekerja
laki-laki yang match, dan bahkan Garcia-Espejo and Ibanez (2006) dan
Storen and Arnesen (2006) menemukan tidak ada perbedaan gender
antara pekerja yang match dan mismatch (Boudarbat dan Chernof ,
2009).
Mengacu pada beberapa studi tersebut, penelitian ini mengajukan hipotesa bahwa lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan bidang pekerjaan dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Hal ini diasumsikan oleh karena, perempuan tidak terlalu dituntut untuk segera bekerja setelah mereka menyelesaikan sekolahnya, sehingga perempuan lebih dapat menunggu sampai dia mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Asumsi tersebut tentu saja masih perlu dibuktikan, oleh karena partisipasi perempuan dalam dunia kerja terus meningkat (Soesilowati, 2007), bahkan dalam krisis ekonomi moneter pada tahun 1997-1998 yang lalu walaupun lebih banyak perempuan yang terkena pemutusan kerja di sektor industri formal, namun mereka justru lebih cepat dan lebih mudah beralih ke sektor informal. Desakan atau kebutuhan ekonomi menjadi pendorong utama perempuan untuk bekerja, baik itu di sektor perdagangan
maupun industri13.
Gambaran tentang tingkat pendidikan dan perbandingan gender14
dapat dilihat pada Tabel 4.1 (persentasi antar tingkat pendidikan ditulis dengan memakai tanda %, sementara persentasi antar pernyataan ya dan tidak hanya dituliskan tanpa angka %).
13 Ungkapan bahwa “saya akan berhenti bekerja bila mendapatkan suami yang berkecukupan dan dapat
memenuhi semua kebutuhan keluarga”, serta perempuan dengan pendidikan sarjana bekerja sebagai operator dijumpai dalam studi Soesilowati (2004). Hal ini menggambarkan bahwa bekerja bagi dirinya dilakukan karena terpaksa, sehingga bisa dimengerti bila dia bekerja pun tanpa mempertimbangkan adanya kesesuaian antara bidang pekerjaan dengan latar belakang pendidikan yang dikantunginya
14 Walaupun istilah gender tidak terbatas pada perbedaan jenis kelamin, namun pada tulisan ini peneliti tetap
menggunakan istilah tersebut oleh karena atas dasar pembedaan jenis kelamin tersebut lah, nampaknya pembedaan persepsi dan perlakuan( termasuk pemberian imbalan) terjadi.
Link & match.indd 98
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan Sesuai latar Belakang Pendidikan N (Jumlah Responden) Ya (match) Tidak (mismatch)
Laki-laki Diploma 28.38% 46.67% 35 60.00 40.00 S1 59.46% 53.33% 60 73.33 26.67 S2/S3 12.16% 0.00% 9 100.00 0.00 Total 100.00% 100.00% 104 71.96 28.04 Perempuan Diploma 51.35% 41.18% 26 73.08 26.92 S1 43.24% 58.82% 26 61.54 38.46 S2/S3 5.41% 0.00% 2 100.00 0.00 Total 100.00% 100.00% 54 66.67 33.33 Grand Total 111 47 158 70,25 29,75 100,00
Tabel 4.1 Persentase Responden berdasarkan Kesesuaian Latar Belakang Pendidikan dengan Jenis Pekerjaan
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Dari tabel 4.1 tersebut terlihat bahwa pekerja laki-laki sedikit
lebih banyak yang menyatakan match ketimbang responden pekerja
perempuan (71,96% : 66,67%). Namun, walaupun persentasi pekerja
laki-laki lebih besar ketimbang perempuan yang menyatakan match
antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaan, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan menunjukkan komposisi latar belakang pendidikan yang didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan Sarjana S1. Untuk tingkat pendidikan pasca sarjana (S2/ S3) baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan, semuanya
menyatakan match antara pendidikan dengan pekerjaan yang saat ini
100
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauhmana latar belakang pendidikan yang dimiliki memberikan dukungan kepada pekerjaan? Ternyata, secara total 45,40% responden menyatakan bahwa mereka masih memerlukan sedikit penyesuaian dari bekal pendidikan yang diperoleh terhadap pekerjaannya, tapi perbedaan komposisi
persentase antara masing-masing kelompok pekerja yang match
dengan yang mismatch tidak terlalu signii kan dalam soal pelatihan.
Hal menarik dari Tabel 4-2, mengindikasikan bahwa persentase
kelompok pekerja match laki-laki yang membutuhkan pelatihan lebih
tinggi daripada perempuan dalam kelompok yang sama, sebaliknya bagi responden yang menyatakan perlunya pendidikan tambahan, tidak dinyatakan oleh seorang pekerja perempuan pun dari kelompok
yang mismatch. Namun demikian, baik bagi responden pekerja laki-
laki maupun perempuan baik yang match maupun yang mismatch
antara latar belakang pendidikan dan pekerjaannya lebih banyak yang menyatakan bahwa pelatihan merupakan faktor yang penting ketimbang pendidikan dalam mempengaruhi produktivitas pekerja. Hal ini dinyatakan oleh separuh berbanding sepertiga responden laki- laki, dan separuh berbanding seperlima responden perempuan.
Di sisi lain, dari analisis data tentang pelatihan yang pernah diterima responden menunjukkan kecenderungan bahwa kelompok
pekerja yang mismatch lebih banyak yang tidak pernah mendapatkan
pelatihan daripada yang pernah mendapatkan pelatihan, sebaliknya,
untuk kelompok pekerja yang match lebih banyak yang telah
mendapatkan pelatihan dibandingkan dengan yang mismatch. Hal
ini mengindikasikan bahwa pelatihan yang diberikan perusahaan memang diperlukan, namun, nampaknya perusahaan tidak terlalu mentargetkan pemberian pelatihan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya.
Link & match.indd 100
Tabel 4.2 Perbandingan Persentase Responden Match dan Mismatch
berdasarkan Dukungan Bekal Pendidikan
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Selanjutnya, menarik untuk melihat komposisi umur responden pekerja berdasarkan kesesuaian latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya. Apakah responden dalam kelompok usia yang lebih tua
lebih banyak yang tidak match, mengingat program link and match,
seperti yang telah dikemukakan sebelumnya mulai dicanangkan pada
tahun 1989. Bila implementasi program link and match mulai dilakukan
pada tahun 1990 dan dianggap sebagai waktu awal perkuliahan responden, diperkirakan usia responden berkisar 17-18 tahun, maka pada saat penelitian dilakukan usia responden tidak lebih tua dari 37 tahun. Bila kecocokan antara latar belakang pendidikan dengan bidang
pekerjaan merupakan hasil dari implementasi program link-match
maka persentase usia responden pada kelompok usia lebih muda
Dukungan Bekal
Pendidikan
Jenis Pekerjaan Sesuai dengan Latar Belakang Pendidikan (%)
Total
Ya (match) Tidak (mismatch) N %
Sangat mendukung 84.00 16.00 25 23.36 Laki-laki Sedikit penyesuaian 69.05 30.95 42 39.25 Perlu pelatihan 70.37 29.63 27 25.23 Perlu pendidikan tambahan lain 61.54 38.46 13 12.15 Perempuan Sangat mendukung 85.71 14.29 7 12.96 Sedikit penyesuaian 65.63 34.38 32 59.26 Perlu pelatihan 53.85 46.15 13 24.07 Perlu pendidikan tambahan lain 100.00 0.00 2 3.70 Sangat mendukung 23.48 10.42 32 19.63 Total Sedikit penyesuaian 43.48 50.00 74 45.40 Perlu pelatihan 24.35 29.17 42 25.77 Perlu pendidikan tambahan lain 8.70 10.42 15 9.20 Total 100.00 100.00 163 100.00
102
(kurang dari 36 tahun) akan lebih tinggi yang match dibandingkan
dengan pekerja pada kelompok usia yang lebih tua.
Gambar 4.2 Perbandingan Persentase Kesesuaian pekerjaan Responden dengan latar belakang pendidikan berdasarkan kelompok Umur.
Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009
Hasil yang mencengangkan ditunjukkan pada gambar 4.2, nampak bahwa semakin tua kelompok usia responden, justru
semakin tinggi persentase mereka yang menyatakan match
antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa kesesuaian antara pekerjaan dengan latar
belakang pendidikan hampir tidak berkaitan dengan program link and
match yang dicanangkan oleh pemerintah, tetapi lebih ditentukan oleh proses seleksi perusahaan itu sendiri. Terlepas dari ada tidaknya
pengaruh kebijakan program link and match yang telah dicanangkan
pemerintah cq Mendiknas, menarik untuk menelusuri lebih lanjut sejauhmana kesesuaian antara kompetensi pendidikan dengan jenis pekerjaan berkorelasi terhadap beberapa variabel penting sumber daya manusia.
Link & match.indd 102