• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Kompetensi terhadap Pengembangan Karir Pekerja

Dalam dokumen LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDU (Halaman 124-137)

Dalam literatur perilaku organisasi, Douglas T Hall (1976)

membagi konsep karir ke dalam empat kelompok, yaitu career as

advancement, career as a profession, career as a lifelong sequence of jobs, and career as a lifelong sequence of role-related experiences. Karir sebagai peningkatan atau pengembangan diartikan sebagai rentetan pekerjaan yang melambangkan beberapa kemajuan atau mobilitas ke atas, termasuk misalnya, peningkatan hirarki, peningkatan pendapatan/gaji dan peningkatan penerimaan pengakuan dan rasa hormat (Gutek & Larwood, 1987). Di bagian tulisan ini, perkembangan karir dimaksudkan sebagai peningkatan jabatan dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat jabatan di atasnya, yang tentu saja dapat diikuti oleh peningkatan pendapatan maupun pengakuan.

Tabel 4.7 Persentase Responden berdasarkan tingkat Pendidikan dan Posisi Pekerjaan menurut Gender

Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009

Posisi Pekerjaan Sekarang Diploma Sarjana Pasca Sarjana N Laki- Laki Manajer 0.00% 1.89% 33.33% 2 Kepala Bagian 0.00% 15.09% 0.00% 8 Kepala Seksi 5.00% 9.43% 33.33% 7 Supervisor 35.00% 18.87% 33.33% 18 Staff 60.00% 54.72% 0.00% 41 Total 76 Correlation Pearson 0.309 Perempuan Kepala Bagian 4.55% 6.25% 100.00% 4 Kepala Seksi 0.00% 12.50% 0.00% 2 Supervisor 18.18% 18.75% 0.00% 7 Staff 77.27% 62.50% 0.00% 27 Total 40 Correlation Pearson 0.457

Link & match.indd 112

Untuk menganalisa pengembangan karir responden, pertama dengan melihat sejauh mana tingkat pendidikan mempengaruhi posisi pekerjaan. Dengan menggunakan perhitungan korelasi Pearson, diperoleh angka yang mengindikasikan bahwa walaupun hubungan antara tingkat pendidikan dengan posisi perkerjaan tidak terlalu kuat (kurang dari 0,5), tetapi nampaknya pada pekerja perempuan memiliki korelasi yang lebih kuat ketimbang pada laki-laki dengan sekor r= 0,457 : 0,309. Artinya, untuk memperoleh posisi pekerjaan yang lebih tinggi dibutuhkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pula. Hal ini berlaku terutama bagi pekerja perempuan ketimbang pekerja laki-laki. Fakta bahwa tingkat pendidikan untuk mencapai peningkatan posisi kerja pada tingkat manajemen lebih signii kan bagi pekerja perempuan juga diajukan oleh Kathleen Cannings dan Claude Montmarquette (1991), dan Tuvia Melamed (1996). Hal lainnya adalah bahwa dengan tingkat pendidikan yang sama ternyata laki-laki mendapatkan posisi kerja yang lebih tinggi daripada rekan perempuannya. Hal ini ditunjukkan antara lain, bahwa walaupun mayoritas responden pekerja laki-laki dengan latar belakang pendidikan pasca sarjana (S2/S3) hanya menjadi kepala seksi, namun hanya pekerja laki-laki dari responden di kedua daerah penelitian yang menduduki posisi manajer, sementara dengan tingkat pendidikan yang sama pekerja perempuan hanya menjadi kepala bagian dan tidak menjadi manajer (lihat Tabel 4-7). Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan hasil studi Endang Soesilowati (2004) pada kasus peningkatan karir di satu perusahaan industri pengolahan makanan.

Selanjutnya, keterkaitan antara kesesuaian (match) kompetensi

pendidikan dengan jenis pekerjaan terhadap peningkatan karir, ditelusuri dengan membandingkan posisi jabatan yang sekarang didudukinya dengan posisi mereka sewaktu mulai bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Hasil analisis data mengindikasikan

bahwa walaupun secara umum baik bagi pekerja yang match maupun

mismatch memiliki kesempatan peningkatan karir /possisi jabatan,

114

mana mereka pada waktu mulai bekerja hanya mendapatkan posisi staf administrasi atau paling tinggi adalah supervisor (lihat Tabel 4-8).

Tabel 4.8 Perbandingan Responden match dan tidak match

berdasarkan Posisi Pekerjaan Sekarang dan Posisi Pekerjaan Pertama Bekerja

Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009

Kesesuaian kompetensi terhadap Kepuasan Kerja

Secara sederhana kepuasan kerja merupakan ungkapan

perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Job satisfaction is in

regard to one’s feelings or state-of-mind regarding the nature of their

work16. Teori ekonomi dasar mengasumsikan bahwa kepuasan kerja,

dapat digunakan sebagai suatu proxy dalam mengukur manfaat pekerjaan yang secara positif berhubungan dengan pendapatan dan berkaitan secara negatif terhadap jam kerja. Sebuah literatur yang dominan mendukung bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, akan diikuti oleh semakin tingginya tingkat kepuasan (Farooq et.al, 2009).

16 (Mc Namara. Free Library.http://managementhelp.org/prsn_wll/job_stfy.htm)

g j j Sesuai Pendidikan Posisi mulai masuk bekerja Posisi Sekarang Manajer Kepala Bagian Kepala seksi Supervisor Staf administrasi Total Kepala Bagian 0 1 0 0 1 Kepala Seksi 0 1 0 0 1 Ya (match) Supervisor 1 1 0 2 1 5 Mandor 0 0 2 0 0 2 Buruh 0 0 0 8 5 13 Staf administrasi 1 6 3 9 39 58 Total 2 9 5 19 45 80

Tidak Kepala Bagian 0 1 0 0 0 1

(mismatch) Supervisor 0 0 3 0 3

Buruh 0 0 1 0 2 3

Staf administrasi 0 1 1 1 18 21

Total 0 2 2 4 20 28

Link & match.indd 114

Eugenia Fabra Florit & Luis E. Vila Lladosa (2007) dalam penelitiannya tentang pengaruh pendidikan terhadap kepuasan kerja menunjukkan adanya pengaruh yang tidak langsung, oleh karena diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih memungkinkan baginya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ditambahkannya, bahwa kepuasan kerja seseorang akan

menurun, bila dia merasa mismatch antara latar belakang pendidikan

dan pekerjaannya.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, seperti imbalan atau penghargaan atas hasil kerja termasuk di dalam nya pengembangan karir, hubungan dengan rekan kerja, kondisi lingkungan kerja, sikap pimpinan, dlsb. Salah satu perusahaan di Banten yang diteliti, telah melakukan survei terhadap kepuasan kerja karyawannya dengan mengukur sepuluh variabel, yaitu, Kesempatan untuk maju, Keamanan & Kenyamanan, Gaji, Perusahaan & Manajemen, Pengawasan, Faktor intrinsik dari pekerjaan, Kondisi kerja, Aspek sosial dalam pekerjaan, Komunikasi, dan Fasilitas. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa faktor intrinsik yaitu perasaan bangga atas pekerjaannya memiliki indeks kepuasan tertinggi, sedangkan yang terendah adalah faktor kesempatan untuk maju, yang ditunjukkan oleh 64% responden merasa tidak puas terhadap kejelasan perencanaan

karir dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam studi link and match

kali ini peneliti tidak secara khusus mengukur tingkat kepuasan kerja responden dengan menggunakan alat ukur yang lebih lazim yaitu menggunakan skala Likert dengan membandingkan antara harapan dan kenyataan, tetapi dengan mengajukan beberapa pertanyaan dengan beberapa pilihan jawaban yang tersedia, baik secara langsung tentang suka atau tidak suka terhadap pekerjaannya, maupun tentang beberapa faktor yang mempengaruhi semangat kerja responden, serta pertanyaan terbuka tentang tiga faktor terpenting bagi responden yang dapat memberikan kepuasan kerja.

116

Hasil studi menunjukkan bahwa memberikan hasil kerja terbaik merupakan faktor terpenting yang paling sering disebut

oleh responden baik bagi mereka yang match antara latar belakang

pendidikan dan pekerjaannya, maupun yang mismatch. Demikian

pula halnya dengan penghargaan dari atasan, promosi jabatan, serta gaji/insentif/kesejahteraan merupakan hal penting berikutnya bagi kepuasan kerja yang dinyatakan oleh sebagian besar responden. Sebaliknya, untuk jawaban terhadap tiga faktor terpenting dari pengaruh sosial/eksternal responden terhadap semangat kerja mereka, menunjukkan sedikit perbedaan. Rekan/kelompok kerja mendapatkan porsi yang penting dalam mempengaruhi semangat

kerja bagi pekerja yang match, sementara sikap atasan dianggap lebih

penting bagi pekerja yang mismatch dalam mempengaruhi semangat

kerja mereka (lihat gambar 4-5).

Gambar 4.5 Perbandingan persentase responden antara yang match dan

yang mismatch terhadap tiga faktor eksternal yang paling

mempengaruhi semangat kerja.

Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009

Komposisi persentase antara pekerja yang match dengan yang

mismatch juga ditunjukkan dalam pilihan utama terhadap tiga faktor imbalan dan fasilitas terhadap semangat kerja responden. Walaupun

Link & match.indd 116

gaji yang merupakan take home pay dipilih oleh kedua kelompok responden sebagai faktor terpenting dibanding dua faktor lainnya,

namun bagi pekerja yang match kompensasi lainnya menduduki posisi

pilihan persentase responden yang ke dua lebih penting ketimbang

kelengkapan peralatan kerja, sementara bagi kelompok yang mismatch,

justru lebih banyak responden yang memilih kelengkapan peralatan dibandingkan dengan bentuk kompensasi insentif tambahan yang dapat mempengaruhi semangat kerja mereka.

Bagan 4.6 Perbandingan persentase responden antara yang match dan

yang mismatch terhadap tiga faktor imbalan yang paling

mempengaruhi semangat kerja.

Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009

Dengan menggunakan 4 skala pilihan dari sangat tidak suka sampai sangat suka terhadap pekerjaannya, mayoritas responden dari

kedua kelompok (match dan mismatch) menyatakan suka terhadap

posisi jabatan yang sedang mereka lakukan, dan tidak ada seorang pun dari kedua kelompok responden yang menyatakan sangat tidak suka. Namun demikian, setelah dilakukan pembobotan jawaban mulai dari 1 untuk yang sangat tidak suka- sampai 4 bagi jawaban sangat suka, diperoleh perbandingan angka rata-rata 3.20 : 2.77 antara mereka yang

118

match dengan yang mismatch. Artinya,responden pada kelompok

match menunjukkan tingkat kesukaan terhadap posisi jabatan yang

diembannya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mismatch.

Tabel 4.9 Persentase dan Sekor rata-rata Responden atas Tingkat Kesukaannya terhadap Posisi Jabatan Mereka

Sumber: Diolah dari data primer Tim peneliti P2E 2009

Kesimpulan dan Pengujian Hipotesa

Pada bab pertama (1) buku ini dikemukakan bahwa penelitian ini mengajukan empat hipotesa. Oleh karenanya, dalam memberikan kesimpulan, sekaligus penulis menyajikan pengujian terhadap hipotesa yang diajukan tersebut.

H1: Mendapatkan pekerjaan yang memiliki kesesuaian (match)

dengan latar belakang pendidikan membutuhkan waktu yang

lebih lama dibandingkan dengan yang tidak sesuai (mismatch)

Hasil analisa dengan tabulasi silang menunjukkan bahwa hipotesa kerja tidak diterima. Hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan tidak adanya hubungan yang signii kan antara waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama sejak mereka lulus dari sekolahnya

dengan match dan mismatch terhadap latar belakang pendidikan.

Untuk seluruh masa tunggu, baik bagi responden pekerja laki-laki

Suka dengan posisi jabatan sekarang

Pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan

Total

Ya (match) Tidak (mismatch)

Sangat Suka 25 21.74% 2 4.17% 27 16.56%

Suka 88 76.52% 33 68.75% 121 74.23%

Tidak suka 2 1.74% 13 27.08% 15 9.20%

115 100.00% 48 100.00% 163 100.00%

Sekor Rata-rata 3.20 2.77 2.07

Link & match.indd 118

maupun perempuan paling tidak dua pertiga dari mereka adalah

pekerja yang menyatakan kesesuaian kompetensi (match), kecuali

bagi responden pekerja perempuan yang memiliki waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka hingga lebih dari 12

bulan (satu tahun), justru lebih banyak yang menyatakan mismatch.

Sedangkan waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan yang menurut mereka sesuai dengan yang mereka inginkan pun hampir

tidak ada perbedaan bagi mereka yang match dengan yang mismatch

antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaannya. Namun demikian, bagi responden pekerja perempuan, ada kecenderungan bahwa semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan

pekerjaan yang sesuai, semakin banyak yang menyatakan match

antara latar belakang pendidikan dan pekerjaan.

H2:Tingkat pendidikan memberikan pengaruh terhadap produktivitas yang berbeda antara pekerja yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan yang tidak sesuai.

Telah dikemukakan pada uraian tentang produktivitas, bahwa pendidikan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas kerja. Pelatihan menjadi faktor yang sangat penting dalam bekal pengetahuan terhadap pekerjaannya (penyesuaian) dan juga dalam meningkatkan produktivitas kerja. Walaupun 45,40% responden menyatakan bahwa mereka masih memerlukan sedikit penyesuaian dari bekal pendidikan yang diperoleh terhadap pekerjaannya, tapi

lebih sedikit pekerja yang match menuntut perlunya pelatihan dalam

mengadaptasi pekerjaannya ketimbang mereka yang mismatch.

Sebaliknya hasil analisa data dengan menggunakan tabulasi silang mengindikasikan bahwa perbedaan persentase pekerja yang

match dengan yang mismatch tidak terlalu signii kan dalam soal pelatihan. Namun demikian, kecenderungan bahwa pekerja yang

120

pelatihan lebih banyak daripada pekerja yang pernah mendapatkan

pelatihan, sementara persentase pekerja yang mismatch telah

mendapatkan pelatihan dibandingkan dengan yang mismatch. Hal

ini mengindikasikan bahwa pelatihan yang diberikan perusahaan memang diperlukan, namun demikian, nampaknya perusahaan tidak terlalu mentargetkan pemberian pelatihan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya. Oleh karenanya, bila kemudian

produktivitas kerja yang match lebih tinggi/baik dibandingkan dengan

yang mismatch, tidak semata-mata disebabkan oleh kesesuaian

pekerjaan dengan latar belakang pendidikan, tetapi juga oleh karena pelatihan yang mereka dapatkan di perusahaan yang bersangkutan.

H 3: Lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dan bidang pekerjaan dibandingkan dengan pekerja laki-laki

Hasil tabulasi silang antara kesesuaian jenis pekerjaan dengan latar belakang pendidikan berdasarkan jenis kelamin, ternyata, persentasi pekerja laki-laki lebih besar ketimbang perempuan yang menyatakan kecocokan antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaan (71,96% : 66,67%), namun baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan pasca sarjana (S2/S3),

semuanya menyatakan match antar pendidikan dengan pekerjaan

yang saat ini mereka geluti.

H4: Pekerja yang memiliki kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan bidang pekerjaannya lebih tinggi tingkat kepuasan kerjanya dibandingkan dengan yang tidak sesuai

Secara rata-rata keseluruhan, pekerja yang match cenderung

memiliki upah yang lebih tinggi ketimbang yang mismatch. Oleh

karena pendapatan merupakan faktor terpenting yang dapat mempengaruhi semangat kerja bagi mayoritas responden pekerja,

dan lebih banyak persentase responden yang match mendapatkan

upah yang lebih tinggi ketimbang yang mismatch, maka kemudian

Link & match.indd 120

tidak mengherankan bila ternyata lebih banyak pekerja yang match

menyatakan suka terhadap pekerjaannya ketimbang mereka yang

mismatch. Dengan menggunakan 4 skala pilihan dari sangat tidak suka sampai sangat suka terhadap pekerjaannya, diperoleh perbandingan

sekor rata-rata 3,20 : 2,77 antara mereka yang match dengan yang

mismatch. Sebagai tambahan, ternyata rekan kerja mendapatkan porsi yang penting dalam mempengaruhi semangat kerja bagi pekerja yang

match, sementara sikap atasan dianggap lebih penting bagi pekerja

yang mismatch dalam mempengaruhi semangat kerja mereka.

Dalam studi ini, peneliti juga mencoba mengkaji keterkaitan antara

kesesuaian (match) kompetensi pendidikan dengan jenis pekerjaan

terhadap peningkatan karir, dengan membandingkan posisi jabatan yang sekarang didudukinya dengan posisi mereka sewaktu mulai bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Hasil analisis data mengindikasikan

bahwa walaupun secara umum baik bagi pekerja yang match maupun

mismatch memiliki kesempatan peningkatan karir /possisi jabatan,

namun posisi manajer hanya terwakili pada pekerja yang match di

mana mereka pada waktu mulai bekerja hanya mendapatkan posisi staf administrasi atau paling tinggi adalah supervisor.

Kondisi yang lebih baik bagi pekerja yang match dibandingkan

dengan yang mismatch yang ditunjukkan dengan tingkat kepuasan,

peningkatan karir dan lingkungan kerja yang kondusif, tentu saja menjadi modal bagi kualitas pekerja dengan daya saing tinggi. Hal ini memperkuat alasan pentingnya sinergitas antara dunia pendidikan dengan dunia kerja (industri), baik melalui implementasi

program link and match yang dilanjutkan dan ditingkatkan, maupun

melalui program sejenis lainnya. Yang terpenting adalah pengajaran pendidikan dapat menghasilkan kualitas keahlian yang relevan bagi keterampilan yang dibutuhkan industri, sehingga tercapai ei siensi investasi pendidikan.

122

DAFTAR PUSTAKA

Boudabart, B dan Chernof , V. (2009). The Determinants of Education-

Job Match among Canadian University Graduates. Discussion

Paper No. 4513 October 2009. IZA.

BKN. (n.d.). Penyusunan Pedoman Pengukuran Kompetensi Pegawai Negeri

Sipil dalam Jabatan Struktural. (http://www.bkn.go.id/penelitian/ bukupenelitian2004/bukuPeny.Ped. Peng.KompetensiPNS/babii. htm. Diakses 17 November 2009).

Cannings, K., & Montmarquette, C. (1991). Managerial Momentum: A Simultaneous Model of the Career Progress of Male and Female Managers. Industrial & Labor Relations Review, 2 (44), 212-228. Farooq, S; Javid, A; Ahmed U; Khan, M. J. (2009). Educational and

Qualii cational Mismatches: Non-Monetary Consequences in

Pakistan. European Journal of Social Sciences – Volume 9, Number 2.

Florit, E. F & Vila Lladosa, L. E. (2007). Evaluation of the ef ects of education on job satisfaction: independent single-equation vs. structural equation models. International Advances in Economic Research. (http://www.entrepreneur.com/tradejournals/article/165167781. html. Diakses 30 Januari 2010).

Gutek, B. A., & Larwood, L. (1987). Working Toward a Theory of Women’s

Career Development. In L. Larwood, Women’s Career Development.

Newbury Park: SAGE Publication.

Hall, D. T, (1976). Careers in Organizations. Santa Monica, California:

Goodyear.

Link & match.indd 122

Human Development Department East Asia and Pacii c Region (2010). Indonesia Skills Report: Trends in Skills Demand, Gaps, and Supply

in Indonesia. Forthcoming Publications.World Bank.

Kompensasi. (n.d.), (http://ab-i sip-upnyk.com/i les/bab_8_kompensasi.

pdf. Diakses 17 November 2009).

Mc Namara, C. (n.d.). Job Satisfaction. Free Management Library.

(http://managementhelp. org/prsn_wll/job_stfy.htm. Diakses 19 November 2009).

Melamed, T. (1996). Career Success: An Assessment of a Gender-Specii c

Model. Journal of Occupational & Organizational Psychology , 3

(69), 217-242.

Palan, R. (2007). Competency Management, Teknik Mengimplementasikan

Manajemen SDM Berbasis Kompetensi untuk Meningkatkan Daya Saing Organisasi terjemahan dari Competency management- A Practicioner’s Guide (Vol. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia no 13). Jakarta : PPM.

Panggabean, Mutiara. S. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia.

Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.

Rivai, V., & Sagala, E. J. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia

untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Rajagrai ndo Persada.

Samsudin, S. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:

Pustaka Setia.

Soesilowati, E. S. (2004). Indonesian Women Employee’s Career Development: A Qualitative Case Study of Women Employees in the Manufacturing Industry. Unpublished PhD thesis. Melbourne: Monash University

124

Soesilowati, E. S. (2007). Women’s Participation in Economic Activities.

APEC Digital Economy Forum for Women in Indonesia. 19 -21 November. Jakarta: PDII-LIPI.

Syafei, B. A. (2007, Oktober 05). Kompeten dan Kompetensi. (http://

deroe.wordpress.com/2007/ 10/05/kompeten-dan-kompetensi/. Diakses 12 November 2009).

Yodhia, A. (2007). Merancang Manajemen Berbasis Kompetensi. (http://

my.opera.com/ winsolu/blog/pengertian-kompetensi. Diakses 15 November 2009).

Link & match.indd 124

BAB 5

STRATEGI PENINGKATAN LINK AND MATCH

DUNIA PENDIDIKAN TINGGI

Dalam dokumen LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDU (Halaman 124-137)