• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Ketenaga Kerjaan

Dalam dokumen LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDU (Halaman 139-158)

Secara umum tingkat pengangguran terbuka menurun rata-rata minus 4,7% pertahun dari 10,85 juta menjadi 9,39 juta dalam periode 2005-2008. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi secara signii kan dalam periode tersebut cukup mampu menyerap

128

lebih banyak tenaga kerja dan mengurangi tingkat pengangguran absolute. Sebaliknya tingkat pengangguran terdidik yakni lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) secara absolute malah tumbuh pesat rata-rata 10,71 % pertahun dari 708.254 menjadi 961.058 jiwa dalam periode 2005-2008 (Statistik Indonesia, 2006 dan 2009). Artinya, tenaga kerja SLTA ke bawah mempunyai kecenderungan yang positif, sebaliknya tenaga kerja berpendidikan tinggi (diploma dan universitas) malah mempunyai kecenderungan/pengaruh negatif berupa peningkatan beban penggangguran yang relatif lebih tinggi terhadap perekonomian nasional.

Keadaan di atas sungguh merupakan suatu ironi/kontradiksi yang bertentangan dengan tujuan hakiki pendidikan tinggi yakni untuk meningkatkan kemampuan/kapasitas angkatan/tenaga kerja agar mempermudah atau memperbesar peluang kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Pada tingkat individual bisa dibayangkan betapa susahnya para penganggur terdidik ini, setelah berjuang mengorbankan biaya dan waktu yang tidak sedikit, pada akhirnya hanya menjadi penganggur dan membebani ekonomi keluarganya. Pada tingkat dunia kerja sebenarnya penganggur berpendidikan tinggi ini seharusnya menjadi motor pemacu pertumbuhan ekonomi nasional, namun kenyataannya mereka justru membebani perekonomian nasional tersebut.

Nampaknya ada keadaan yang salah dalam dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja di Indonesia. Di satu sisi terjadi pertumbuhan pesat angkatan kerja lulusan perguruan tinggi, namun di sisi lain daya serap angkatan kerja terdidik ini di dunia kerja berkembang lebih lambat. Relatif rendahnya daya serap dunia kerja terhadap angkatan kerja terdidik ini terutama disebabkan oleh rendahnya permintaan (low demand) dengan pertumbuhan yang relatif rendah pula dan

adanya mismatch/gap antara jenis dan mutu kompetensi angkatan

kerja lulusan perguruan tinggi dengan yang dibutuhkan dunia kerja.

Link & match.indd 128

Hal ini bisa dijelaskan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir yang lebih dominan disebabkan oleh konsumsi domestik dan relatif sedikit dari investasi baru. Perkembangan investasi lebih bersifat investasi pengganti/tambahan pada usaha-

usaha yang sudah ada (replacement investment) sedangkan investasi

pada usaha-usaha baru sangat terbatas (Darwin, 2006). Pertumbuhan ekonomi di atas cenderung memperbesar “size” usaha yang sudah ada dan lebih banyak menambah tenaga kerja SLTA ke bawah pada posisi mandor ke bawah dari pada tenaga kerja berpendidikan dengan posisi kerja staf ke atas. Sementara sebagian pengangguran berpendidikan

tinggi juga disebabkan adanya mismatch antara dunia pendidikan

tinggi dengan dunia kerja seperti secara rinci dikemukakan dalam bab terdahulu penelitian ini.

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebenarnya secara relatif porsi/ tingkat pengangguran terbuka angkatan kerja terdidik (Diploma dan Universitas) tidak meningkat, malah sedikit menurun yakni dari 12,09% tahun 2005 menjadi 12,03% tahun 2008 dari total penganggur. Sementara itu, meskipun secara relatif ada trend positif, namun secara absolut memang terjadi peningkatan jumlah pengangguran terbuka tenaga kerja berpendidikan tinggi dari tahun 2005 ke 2009. Jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2005 berjumlah 708 ribu jiwa atau berkontribusi sekitar 6,52% kemudian naik drastis menjadi 961 ribu jiwa atau berkontribusi sekitar 10,23% dari total pengangguran terbuka tahun 2009. Untuk tenaga kerja berpendidikan SLTA kebawah, porsi pengangguran terbukanya terhadap angkatan kerja SLTA ke bawah turun dari 10,15% tahun 2005 menjadi 8,11% tahun 2009. Secara absolute jumlah pengangguran terbuka tenaga kerja SLTA ke bawah ini juga menurun tajam dari 10.145 ribu jiwa tahun 2005 menjadi 8.434 ribu jiwa tahun 2009. Konsekuensinya porsi/kontribusinya terhadap total pengangguran terbuka juga merosot tajam dari 93,47% menjadi 89,77% pada periode yang sama.

130

Di sisi lain tingkat angkatan kerja terdidik yang bekerja atau diartikan sebagai daya serap relatif dunia kerja terhadap angkatan kerja tersebut nampak sedikit meningkat yakni dari 87,91% tahun 2005 menjadi 87,97% tahun 2009 dari total angkatan kerja terdidik. Keadaan ini meskipun tipis namun mempunyai trend positif, apalagi jika trend ini diperbesar pada tahun-tahun berikutnya. Sebenarnya peningkatan daya serap riel/absolut angkatan kerja terdidik ini relatif

cukup tinggi yakni naik dari 5.153 ribu jiwa tahun 2005 menjadi 7.025 ribu jiwa tahun 2009 atau dalam tiga tahun tersebut terjadi kenaikan daya serap angkatan kerja berpendidikan tinggi sekitar 36,33%. Sedangkan porsi daya serap angkatan kerja terdidik terhadap total

menunjukkan trend positif pula yakni naik dari 5,42% menjadi 6,85%

pada periode yang sama.

Sementara tingkat daya serap relatif angkatan kerja SLTA ke bawah terhadap total angkatan kerja SLTA ke bawah meningkat lebih tinggi dari daya serap relatif angkatan kerja terdidik terhadap totalnya yakni naik dari 89,85% tahun 2005 menjadi 91,89% tahun 2009. Daya serap absolut/riel angkatan kerja SLTA ke bawah meningkat lebih rendah dari angkatan kerja terdidik, yakni naik dari 89.796 ribu jiwa menjadi 95.520 ribu jiwa pada periode yang sama atau meningkat sekitar 6,37% selama tiga tahun terakhir. Berkebalikan dengan porsi daya serap angkatan kerja terdidik, porsi daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah terhadap total daya serap angkatan kerja justru

mengalami penurunan dari 94,58% menjadi 93,15% pada periode

yang sama.

Fakta-fakta tentang ketenaga kerjaan Indonesia dan analisisnya di atas memunculkan kontradiksi dan kekacauan logika beri kir. Adanya pertumbuhan absolut pengangguran terdidik dibarengi dengan penurunan tingkat dan jumlah pengangguran SLTA ke bawah, memberikan kesimpulan bahwa kontribusi penyebab tingginya dan menahan turunnya tingkat pengangguran adalah angkatan kerja berpendidikan tinggi. Banyak pihak menuding bahwa perguruan

Link & match.indd 130

tinggi dari waktu ke waktu melahirkan angkatan kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau para penganggur yang membebani perekonomian nasional. Anggapan ini didukung pula oleh fakta kasat mata tentang komersialisasi perguruan tinggi yang berlomba-lomba menampung mahasiswa sebanyak-banyaknya dengan iklan/propaganda yang muluk-muluk, meski sebenarnya kapasitas dan kompetensi mereka tidak/belum sesuai dengan yang seharusnya.

Keadaan kontradiktif di atas tidaklah salah, namun kalau dicermati secara mendalam kenyataannya justru pertumbuhan daya serap angkatan kerja berpendidikan tinggi jauh melebihi daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada periode tahun 2005-2008 pertumbuhan rata-rata per tahun angkatan kerja SLTA ke bawah untuk jumlah pengangguran terbuka sekitar minus 5,97%, daya serap angkatan kerja sekitar 2,08%, dan jumlah angkatan kerja 1,32%. Pertumbuhan rata-rata per tahun daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan angkatan kerjanya menyebabkan turunnya secara signii kan tingkat pengangguran terbuka di kelas ini.Tentu saja dalam

intensitas berapapun, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan link

and match berperan dalam memperkuat daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah ini.

Dalam pada itu, dalam periode yang sama pertumbuhan rata- rata per tahun angkatan kerja berpendidikan tinggi untuk jumlah pengangguran terbuka sekitar 10,72%, daya serap angkatan kerja sekitar 10,88%, dan jumlah angkatan kerja sekitar 10,90%. Disinilah jawaban dari kontradiksi di atas dapat dijelaskan, dimana benar daya serap angkatan kerja berpendidikan tinggi berkembang pesat jauh di atas daya serap angkatan kerja SLTA ke bawah, namun karena pertumbuhan jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi melebihi daya serapnya, maka pada saat yang sama akan terjadi pertumbuhan jumlah penganguran terbuka yang tinggi pula. Jadi kinerja positif

132

pertumbuhan daya serap/kesempatan kerja berpendidikan tinggi yang relatif tinggi memang terkoreksi oleh pertumbuhan yang lebih tinggi jumlah angkatan kerjanya.

Kondisi ini sangatlah wajar dan mestinya sudah terprediksikan jauh sebelumnya, dimana kemajuan dan perluasan akses pendidikan tinggi sebagai salah satu aspek pokok yang mendukung pembangunan bangsa memang tidak dapat dihindarkan dan tidak perlu ditahan tetapi harus dikembangkan lagi. Tentu saja hal yang diperlukan di satu sisi adalah pengelolaan dan penataan yang baik dunia perguruan tinggi agar jenis dan mutu kompetensi lulusannya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, serta di sisi lain perlu upaya keras untuk mendongkrak investasi bidang-bidang usaha baru untuk memperluas kesempatan kerja berpendidikan tinggi.

Sesungguhnya perkembangan daya serap/kesempatan kerja yang menunjukkan relatif tingginya pertumbuhan permintaan angkatan kerja berpendidikan tinggi dibandingkan SLTA ke bawah, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses kemajuan kualitatif yang tentu diharapkan dapat meningkatkan daya saing dunia kerja khususnya industri manufaktur dan pada gilirannya memperkuat daya saing ekonomi. Hal ini juga mengungkapkan telah terjadi proses perubahan struktur ketenaga kerjaan yang semakin memperbesar porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi.

Indonesia sebagai negara sedang berkembang mempunyai struktur angkatan kerja yang masih sangat dominan dari angkatan kerja berpendidikan SLTA ke bawah, sedangkan tingkat angkatan kerja yang berpendidikan tinggi masih merupakan porsi yang relatif kecil. Namun demikian, perkembangan pesat secara terus menerus angkatan kerja berpendidikan tinggi, jika tidak disertai perluasan kesempatan

kerja dan perbaikan link and match di antara perguruan tinggi dengan

dunia kerja, maka dalam satu dekade kedepan perguruan tinggi akan benar-benar menjadi biang penyebab pengangguran terbuka. Indikasi

Link & match.indd 132

tersebut terlihat dari perubahan porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi yang relatif pesat yakni tahun 2005 mencapai 5,86 juta jiwa atau

5,54%, kemudian meningkat menjadi 7,79 juta jiwa atau 7,14% dari total angkatan kerja tahun 2008. Dibandingkan dengan di negara- negara maju seperti Canada misalnya tahun 2006 porsi angkatan kerja bependidikan tinggi mencapai 27,9% dari total angkatan kerja (Brahim, 2009), porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi Indonesia masih jauh lebih rendah. Sejalan dengan perkembangan pembangunan porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi tak terhindarkan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Jika tingkat pertumbuhan angkatan kerja Indonesia tetap tinggi seperti tiga tahun terakhir ini, maka dalam tiga belas tahun ke depan porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi akan sama dengan kondisi di Canada tahun 2006.

Meskipun pada saat ini porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi di Indonesia dibandingkan di negara-negara maju masih relatif kecil, namun pertumbuhan tinggi yang tidak dibarengi pertumbuhan daya serap yang lebih tinggi maka secara relatif angkatan kerja berpendidikan tinggi ini sudah menjadi biang penyebab yang menahan laju penurunan pengangguran terbuka. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pihak otoritas Indonesia tidak/belum siap menghadapi lonjakan angkatan kerja berpendidikan tinggi. Ketidak siapan ini baik dari sisi rendahnya perluasan kesempatan kerja yang merupakan hasil dari kurangnya akselerasi pertumbuhan ekonomi utamanya melalui investasi pada usaha-usaha baru berteknologi menengah-tinggi yang relatif banyak menyerap angkatan kerja berpendidikan tinggi maupun

tidak siap dalam mengatasi mismatch antara dunia pendidikan tinggi

dengan dunia kerja.

Pelajaran berharga dari fakta-fakta dan analisis di atas adalah adanya signal kekurang siapan dalam hal ini pemerintah, dunia kerja, dan dunia pendidikan tinggi Indonesia mengantisipasi masalah pengangguran terbuka angkatan kerja berpendidikan tinggi. Jika pemerintah masih kurang memperhatikan masalah ini,

134

hampir dipastikan dalam satu dekade mendatang pertumbuhan cepat angkatan kerja berpendidikan tinggi berlanjut terus akan menghasilkan semakin besarnya porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi, maka ancaman akan terjadinya bencana ledakan pengangguran terbuka berpendidikan tinggi tidak terhindarkan lagi. Relatif kecilnya porsi angkatan kerja berpendidikan tinggi saat ini disertai kurangnya

link and match antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja mungkin belum menjadi masalah serius, namun satu dekade ke depan ketika porsi angkatan kerja tersebut berlipat ganda maka persoalan

mismatch sudah sangat serius dan komplikasi serta akan sulit untuk diperbaiki.

Secara lebih rinci keadaan ketenaga kerjaan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini diungkapkan pada tabel 5.1 dan 5.2 Tabel 5.1 Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan

Dan Kegiatan Seminggu Yang Lalu, 2005 dan 2008.

Sumber : diolah dari data statistik Indonesia,2006 dan 2009. Keterangan : Angka dalam kurung adalah persentase ke bawah.

Pendidikan 2005 2008 Bekerja Pengang- Guran Terbuka Angkatan Kerja % AK Thd PUK Bekerja Pengang- guran Terbuka Angkatan Kerja % AK Thd PUK SLTA Ke Bawah 89,85 (94,58) 10,15 (93,47) 100,00 (94,46) 67,14 91,89 (93,15) 8,11 (89,77) 100,00 (92,86) 66,05 Diploma 87,07 (2,29) 12,93 (2,97) 100,00 (2,36) 85,61 88,78 (2,80) 11,21 (3,86) 100,00 (2,89) 83,54 Universitas 88,54 (3,13) 11,46 (3,55) 100,00 (3,18) 89,37 87,41 (4,05) 12,59 (6,37) 100,00 (4,25) 88,42 Diploma dan Universitas 87,91 (5,42) 12,09 (6,52) 100,00 (5,54) 87,61 87,97 (6,85) 12,03 (10,23) 100,00 (7,14) 86,38 Total (ribu jiwa) 89,74 (100,00) 94.948 10,26 (100,00) 10.854 100,00 (100,00) 105.802 68,02 91,61 (100,00) 102.553 8,39 (100,00) 9.395 100,00 (100,00) 111.947 67,18

Link & match.indd 134

Tabel 5.2 Pertumbuhan Tenaga Kerja Yang Bekerja, Pengangguran Terbuka, dan Angkatan Kerja, Tahun 2005-2008. (%)

Sumber : diolah dari data statistik Indonesia,2006 dan 2009.

Ditinjau dari perannya pada sektor-sektor ekonomi, secara keseluruhan 86% kesempatan kerja/angkatan kerja yang bekerja (tenaga kerja) tahun 2008 terkonsentrasi pada empat sektor utama yakni sektor Pertanian (40,30%), Perdagangan, Rumah makan, & Hotel (20,69%), Jasa Kemasyarakatan (12,77%), dan Industri Pengolahan (12,24%). Dari total tenaga kerja tersebut 93,15% adalah tenaga kerja berpendidikan SLTA ke bawah dan 6,85% tenaga kerja berpendidikan tinggi (Diploma dan Universitas). Pola sebaran tenaga kerja SLTA ke bawah dan berpendidikan tinggi agak berbeda, dimana mayoritas tenaga kerjanya (86,25%) bekerja di empat sektor utama yakni setor Pertanian (42,77%), Perdagangan, Rumah makan, & Hotel (21,25%), Industri Pengolahan (12,63%), dan Jasa Kemasyarakatan (9,60%). Sebaran tenaga kerja berpendidikan tinggi (Diploma dan Universitas) mayoritas (83,41%) bekerja pada empat sektor utama yakni sektor Jasa Kemasyarakatan (55,89%), Perdagangan, Rumah makan, & Hotel (13,12%), Keuangan, Asuransi, Persewaan, dan lain-lain (7,44%), dan Industri Pengolahan (6,96%). (Lihat Tabel 5.3).

Sektor Industri Pengolahan sebagai sektor yang menjadi obyek kajian penelitian ini, nampaknya bukanlah merupakan sektor yang dominan dalam penyerapan tenaga kerja terutama tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Pada sektor Industri Pengolahan ini daya serap tenaga kerja berpendidikan tinggi pada tahun 2008 hanya berjumlah

Bekerja Pengangguran

Terbuka

Angkatan Kerja

SLTA kebawah 2,08 -5,97 1,32

Perguruan Tinggi (Diploma dan Universitas)

10,88 10,72 10,90

136

sekitar 489 ribu jiwa yang terdiri dari tenaga berijazah Diploma sekitar 203.266 jiwa atau 41,65% dan berijazah sarjana (S1, S2, dan S3) sekitar 285.775 atau 58,35% dari tenaga kerja dikelas ini. Daya serap tenaga kerja sektor Industri Pengolahan berpendidikan tinggi relatif agak kecil, porsinya terhadap total tenaga kerja sektor Industri Pengolahan hanya 3,89%, porsinya terhadap total tenaga kerja berpendidikan tinggi di semua sektor hanya 6,96%, dan porsinya terhadap total tenaga kerja seluruh sektor lebih

kecil lagi yakni kurang darisetengah persen (0,48%).

Walaupun sektor Industri pengolahan relatif kecil berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja, namun sektor ini sangat penting karena merupakan kontributor utama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto Indonesia dan mempunyai produktivitas lebih dari dua kali lipat dari rata-rata produktivitas seluruh sektor. Keadaan tahun 2008 menunjukan bahwa sektor Industri pengolahan dengan porsi tenaga kerja hanya 12,24 % mampu menghasilkan porsi nilai tambah tertinggi yakni sekitar 26,9 % dari total Produk Domestik Bruto Indonesia. Artinya, produktivitas tenaga kerja Industri Pengolahan mencapai secara relatif sekitar 2,22 kali lipat dari produktivitas rata- rata seluruh sektor. Bahkan produktivitas tenaga kerja berpendidikan tinggi sektor Industri pengolahan mempunyai produktivitas sekitar 3,86 kali lipat dari rata-rata produktivitas tenaga kerja berpendidikan tinggi seluruh sektor.

Dari sisi ketenaga kerjaan, peranan yang relatif kecil tenaga kerja berpendidikan tinggi sektor Industri pengolahan tentu tidak akan terlalu mempengaruhi dinamika angkatan kerja secara keseluruhan, namun dominasi struktur kontribusi nilai tambah sektoralnya akan sangat mempengaruhi dinamika pendapatan nasional Indonesia. Relatif rendahnya porsi daya serap atau kebutuhan tenaga kerja sektor Industri pengolahan yang tidak terlalu mempengaruhi dinamika ketenaga kerjaan, tentu semestinya juga tidak akan terlalu menyulitkan dalam perekrutan dari relatif demikian besarnya pasar tenaga kerja berpendidikan tinggi. Meskipun ada pernyataan berbagai

Link & match.indd 136

pihak tentang banyaknya peluang kerja yang tidak terisi dan beberapa pihak Industri mengeluhkan kesulitan mereka untuk memperoleh tenaga kerja berpendidikan tinggi yang siap pakai atau sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun keadaan ini tidak serta merta langsung disebabkan masalah ”job mismatch” tetapi juga cenderung disebabkan kekakuan dan buruknya mobilisasi serta sistem informasi pasar kerja Indonesia yang tersebar luas (antar daerah) dan lemahnya koordinasi pihak Perguruan Tinggi-Pemerintah-Industri.

Keadaan ini secara implisit mengindikasikan bahwa sampai saat ini bisa diduga, meski terkesan persoalan ”Job Mismatch” pada tenaga kerja berpendidikan tinggi di Industri Pengolahan Indonesia cukup tinggi, namun tidak akan setinggi intensitas yang sebenarnya. Hasil penelitian lapangan tentang ”Job Mismatch” tenaga kerja berpendidikan tinggi di beberapa industri sampel penelitian di Batam dan Banten cukup sesuai dengan dugaan tersebut (Lihat Tabel 5.4).

138

Tabel 5.3 Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Selama Seminggu Yang Lalu Menurut Sektor Dan Pendidikan Yang Di Tamatkan, 2008.

Sumber : Diolah dari data Statistik Indonesia, 2009.

Keterangan : Angka dalam kurung adalah persentase ke bawah.

Dunia Pendidikan Tinggi, Industri, dan Masalah Link and Match

Beberapa tahun terakhir ini dunia pendidikan tinggi yang semestinya merupakan institusi nirlaba yang bersifat sosial, berlindung pada prinsip kepentingan keberlanjutan/daur hidup, sebagian besarnya cenderung berubah menjadi institusi yang berorientasikan bisnis/proi t. Dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan, berbagai perguruan tinggi berlomba-lomba dengan berbagai iklan yang melebihi keadaan sebenarnya dan biaya yang relatif mahal berupaya

No. Sektor SLTA Ke Bawah

Diploma Universitas Diploma & Universitas Total 1 Pertanian 98,84 (42,77) 0,75 (10,82) 0,41 (4,07) 1,16 (6,83) 100,00 (40,30) 2 Pertambangan 95,11 (1,07) 1,72 (0,64) 3,17 (0,82) 4,89 (0,75) 100,00 (1,04) 3 Industri Pengolahan 96,11 (12,63) 1,62 (7,10) 2,27 (6,86) 3,89 (6,96) 100,00 (12,24)

4 Listrik, gas, dan Air 85,68 (0,18) 5,36 (0,38) 8,96 (0,43) 14,32 (0,41) 100,00 (0,20) 5 Bangunan 96,25 (5,48) 1,04 (1,97) 2,71 (3,55) 3,75 (2,90) 100,00 (5,30) 6 Perdagangan, R.

Makan, & Hotel

95,65 (21,25) 2,32 (17,15) 2,03 (10,35) 4,35 (13,12) 100,00 (20,69) 7 Angkutan, Pergudangan, & Komunikasi 93,52 (6,05) 3,08 (6,63) 3,40 (5,05) 6,48 (5,70) 100,00 (6,03) 8 Keuangan, Asuransi, Persewaan, Dll. 64,19 (0,98) 8,81 (4,48) 27,00 (9,49) 35,81 (7,44) 100,00 (1,42) 9 Jasa Kemasyarakatan 70,02 (9,60) 11,15 (50,84) 18,83 (59,39) 29,98 (55,89) 100,00 (12,77) Total (ribu jiwa) 93,15 (100,00) 95.526,30 2,80 (100,00) 2.871,87 4,05 (100,00) 4.154,58 6,85 (100,00) 7.026,45 100,00 (100,00) 102.552,75

Link & match.indd 138

untuk menerima sebanyak banyaknya mahasiswa baru. Akibatnya jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi tumbuh dengan pesat dan seiring dengan perbaikan ekonomi masyarakat kecenderungan ini diperkirakan akan berlanjut terus.

Berhubung sebagian besar perguruan tinggi lebih berorientasi

bisnis/proi t, maka dalam penyelenggaraan pendidikan aspek

kurikulum dan alokasi jenis dan mutu kompetensi yang sesuai kebutuhan dunia kerja khususnya industri kurang/tidak dijadikan acuan. Keadaan ini jelas menimbulkan pertumbuhan cepat angkatan kerja berpendidikan tinggi melebihi pertumbuhan daya serap/ kesempatan kerja kategori ini disertai pemburukan disparitas jenis dan mutu kompetensi diantara yang dihasilkan perguruan tinggi dengan yang dibutuhkan dunia kerja khususnya industri. Dengan kata lain kebanyakan perguruan tinggi telah menjadi penyebab tingginya pengangguran terbuka dan menambah mismatch antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja/industri. Meskipun beberapa perguruan tinggi seperti politeknik dianggap cukup sesuai menghasilkan angkatan kerja siap pakai, namun jumlah (saat ini 154 buah) dan kapasitasnya masih terbatas.

Kurangnya kerjasama diantara perguruan tinggi dengan dunia industri dan assosiasi-asosiasinya menyebabkan kurikulum yang dipakai perguruan tinggi kurang mengacu/sesuai kebutuhan industri dan belum tersedianya informasi akurat tentang jumlah dan alokasi serta jenis dan mutu kompetensi angkatan kerja yang dibutuhkan dunia industri. Tidak jelas institusi yang mengendalikan serta memberikan panduan terhadap alokasi dan jumlah mahasiswa masing-masing perguruan tinggi berdasarkan jenis kompetensinya, apalagi setelah era otonomi daerah. Akibatnya terjadi adanya limitasi angkatan kerja berpendidikan tinggi jenis kompetensi tertentu seperti metalurgi misalnya yang banyak dibutuhkan dunia industri, disisi lain melimpahnya angkatan kerja dengan kompetensi lainnya yang tidak banyak dibutuhkan dunia industri. Keadan ini ikut berkontribusi

140

terhadap lemahnya link and match diantara dunia pendidikan tinggi

dan dunia industri.

Hal penting lain yang menjadi ciri perguruan tinggi di Indonesia adalah relatif terbatasnya kemampuan mengikuti perkembangan atau mengembangkan atau menghasilkan inovasi Iptek melalui kegiatan

”Research and Development” (R&D) secara memadai dan melibatkan semua mahasiswanya. Kebanyakan upaya pengembangan dan pambaharuan Iptek di perguruan tinggi Indonesia berasal dari para dosen yang kembali dari studi di luar negeri yang terbatas pula jumlahnya, kemudian butuh waktu 3 sampai 5 tahun (diajarkan pada mahasiswa) baru bisa ditawarkan pada dunia industri dan mungkin telah ketinggalan dari kebutuhannya yang juga berasal dari luar negeri dan langsung dipakai. Jadi sangat masuk akal dalam penelitian ini terungkap bahwa dalam penguasaan Iptek kebanyakan dunia pendidikan tinggi agak ketinggalan dari dunia industri.

Dalam pada itu, peta dunia industri Indonesia dicirikan oleh mayoritas industri menggunakan teknologi tingkat rendah dan sedang dengan orientasi padat karya (labour intensive). Konsekwensinya, secara relatif kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi agak terbatas yakni hanya mampu menampung 3,89% dari total tenaga kerja sektor industri tahun 2008. Ciri lainnya adalah relatif tertutup (terutama PMA) atau setidaknya pasif terhadap pihak luar yang bukan relasi mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang menjadi kendala dalam hubungan kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri. Keadaan ini yang menyebabkan sulitnya dunia pendidikan tinggi memperoleh masukan/informasi rencana kebutuhan tenaga kerja beserta spesii kasi kompetensi masing-masing industri yang pada gilirannya menjadi kendala dalam penyusunan informasi/peta pasar kerja yang rinci dan akurat secara regional dan nasional. Selain itu, keadaan tersebut juga membatasi kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri dalam penyusunan kurikulum dan program magang para mahasiswa yang diperlukan agar nantinya

Link & match.indd 140

lulusan perguruan tinggi tersebut siap kerja dan sesuai jenis dan mutu kompetensinya dengan yang dibutuhkan dunia industri.

Kurangnya hubungan kerjasama antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri dan ketidak efektifan fungsi pengendalian/ pengelolaan aktivitas perguruan tinggi secara nasional merupakan

Dalam dokumen LINK AND MATCH DUNIA PENDIDIKAN DAN INDU (Halaman 139-158)