BAB III : ABU JIBRIL DAN AKTIFITAS GERAKAN ISLAM
A. Kesimpulan
Euforia reformasi telah memberikan peluang munculnya
kelompok-kelompok Islam Radikal sebagai kekuatan baru politik Islam di Indonesia.
Wacana pemberlakuan syariat Islam sebagai sistem baru pengganti demokrasi
digulirkan karena sistem demokrasi yang sekuler dianggap bobrok dan telah gagal
membawa umat Islam menuju kesejahteraan dan keadilan sosial. Maka dari itu,
aktifis Islam Radikal seperti Abu Jibril sangat berkeinginan menggunakan syariat
Islam sebagai dasar hukum dan perundang-undangan negara karena beranggapan
bahwa syariat Islam merupakan pilihan terbaik untuk menata kehidupan umat.
Islam di mata aktifis Islam Radikal seperti Abu Jibril bukan lagi sekadar
agama yang mengajarkan kebaikan dan bakti kepada Sang Pencipta melalui jalan
peribadatan. Tapi lebih dari itu, Islam telah berkembang sebagai suatu wacana
yang lebih luas. Para aktifis Islam menggulirkan syariat sebagai suatu wacana
tandingan terhadap sistem sosial ala Barat yang dianggap telah gagal mensejahterakan umat. Upaya penegakan syariat Islam telah menjadikan jihad
sebagai jalan utama perjuangan. Namun, mempromosikan syariat Islam melalui
jihad bukanlah perkara mudah. Terlebih setelah terjadinya serangan teroris 11
September 2001 terhadap WTC dan Pentagon di Amerika Serikat (AS), respon
87 jihadis Islam sebagai musuh yang mesti dihancurkan. Keadaan ini pun diperburuk
dengan rangkaian teror di tahun-tahun berikutnya di Indonesia.
Islam Radikal sebenarnya muncul dari suatu situasi dimana warga negara
tidak bebas mengekspresikan aspirasi dan hak-hak sipil maupun politiknya.
Konteks politik yang menekan kebebasan warga negara untuk menyampaikan
aspirasi politiknya itu, terutama semasa rezim Orde Baru membuat masyarakat
kecewa dan berusaha menyalurkan kekecewaan mereka dengan mencari wacana
agama yang radikal. Kebebasan merupakan hak setiap manusia yang secara alami
dimiliki sejak lahir. Karenya ketika kebebasan tersebut tidak ditemukan dan tidak
bisa diartikulasikan dalam kehidupan sosial politik, akibat konteks sosial politik
yang otoriter yang tidak menjamin terciptanya kebebasan berekspresi, maka
situasi ini menyuburkan benih-benih radikalisme. Manusia yang secara alami
cenderung menginginkan kebebasan berekspresi, justru mencari jalan keluar atau
konteks baru di mana kebebasan yang tertekan itu bisa diekspresikan.
Kondisi sosial politik yang tidak kondusif untuk mengekspresikan
pemikiran dan gerakan para aktifis Islam telah mendorong mereka untuk
menyingkir dari lingkungan yang telah mengekang kebebasan mereka. Keluarnya
mereka dari pengawasan rezim yang penuh tekanan bukan hanya untuk mencari
suatu tempat baru yang lebih bersahabat untuk mengemukakan gagasan-gagasan
mereka, tetapi juga karena adanya keinginan untuk melampiaskan ketidakpuasan
dan rasa dendam mereka akibat tekanan rezim otoriter. Dan ungkapan rasa
dendam tersebut dilakukan dengan mengkonstruksi ideologi radikal yang dapat
88 Proses pencarian wacana Islam tandingan dilakukan dengan berbagai cara
dan di berbagai tempat. Dalam kasus Abu Jibril, pada saat Indonesia tidak bisa
menjadi tempat bagi artikulasi aktifisme Islamnya, maka ia mencari tempat lain
untuk maksud tersebut. Sejak mahasiswa, Abu Jibril yang aktif di organisasi
pemuda Islam seringkali mendapat tekanan dari rezim Orde Baru yang kala itu
memberlakukan asas tunggal (Pancasila) sebagai satu-satunya asas semua
organisasi massa dan politik. Dan siapapun yang berseberangan dituduh subversif.
Antara tahun 1979-1981, kurang lebih 2,5 tahun ia dipenjarakan dengan alasan
subversif. Selepas dari tahanan, Abu Jibril masih tetap dicurigai dan karenanya
terus diawasi rezim penguasa. Karena itulah Abu Jibril menyingkir dan pada
tahun 1986 mengembara ke Afghanistan, tempat yang penuh gejolak dan tempat
dia untuk mengalami, memahami dan memaknai jihad secara lebih faktual, dan
kemudian menginspirasinya untuk melakukan gerakan secara radikal dengan jihad
untuk mewujudkan masyarakat yang lebih islami dengan penerapan syariat Islam.
Dan wacana serta konteks radikal yang terinspirasi dari Afghanistan semakin
bersemai dalam pikiran Abu Jibril ketika di tahun 1991 Abu Jibril bertemu
kembali dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’ashir, dalam pelarian mereka di Malaysia, yang juga dikenal sebagai tokoh radikal semenjak dahului.
Intensitas Abu Jibril dalam pengalaman dan pemahaman Islam Radikal
yang krusial seperti itu, membuat Abu Jibril terinspirasi untuk mewujudkanya di
Indonesia. Abu Jibril melihat bahwa Indonesia berada dalam situasi miris yang
minim keadilan sosial dan jauh dari jalan tegaknya Islam. Abu Jibril memandang
89 diturunkan Allah demi mewujudkan kemaslahatan hidup di dunia dan
kesejahteraan di akhirat. Syariat Islam diperlukan untuk menggantikan sistem atau
tatanan hukum sosial lainya. Islam sama sekali tidak mentoleril adanya sistem lain
yang diberlakukan selain syariat Islam karena umat Islam memang tidak
diperkenankan mengikuti satu jalan hidup selain syariat Islam. Jadi jelas bahwa
aktifis Islam Radikal seperti Abu Jibril lahir karena terdorong keadaan sosial
politik disekitarnya yang bersifat tidak Islami.
Label negatif yang dilekatkan kepada para aktifis Islam ternyata tidak
menyurutkan perjuangan mereka dalam rangka menegakkan Syariat Islam di
Indonesia. Dan kepercayaan Abu Jibril dan aktifis Muslim lainya terhadap
kesempurnaan syariat Islam serta kondisi sosial politik yang kala itu penuh
tekanan rezim penguasa, justru telah melahirkan sikap radikal, baik tindakan
maupun pemikiranya.
Menjamurnya gerakan Islam Radikal yang muncul pasca runtuhnya Orde
Baru memang tidak terlepas dari kondisi sosial politik Indonesia yang kala itu
mengalami krisis multidimensi yang membuat umat islam kecewa dan kehilangan
kepercayaan terhadap sistem maupun rezim yang ada. Dan di tengah rasa
kekecewaan tersebut, Abu Jibril melihat Islam sebagai jalan keluar untuk segala
masalah sosial yang menimpa Indonesia. Krisis kepercayaan terhadap sistem yang
lama membuat mereka berusaha untuk membangun dan memperjuangkan sistem
yang mereka yakini benar.
Tentu pemikiran Abu Jibril ini dikatakan radikal karena keinginanya untuk
90 berarti perubahan yang sifatnya mendasar.183 Kondisi sosial politik Indonesia
dengan berbagai permasalahanya yang kompleks telah digunakan kaum Islamis
untuk mengajukan wacana tandingan dari wacana utama yang dianut negara, yaitu
mencoba menggantikan demokrasi dengan syariat Islam.
Hingga saat ini fenomena Islam Radikal dengan keinginan mendasar
penerapan Islam secara kaffah memang masih kuat di Indonesia. Dan munculnya
tokoh radikal seperti Abu Jibril memang bukan didasarkan pada semakin luas
pengetahuan masyarakat tentang agama, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh
kondisi sosial politik yang dianggap telah gagal mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan di bawah komando demokrasi. Hal inilah yang menjadi alasan kuat di
promosikanya syariat Islam sebagai sistem alternatif yang dianggap mampu
membawa umat menuju kondisi yang diharapkan. Artinya, demokrasi memberi
peluang bagi kelompok Islam Radikal unutk tumbuh dan berkembang. Sebab itu
dalam demokrasi mereka hadir untuk menawarkan suatu alternatif sistem
pemerintahan yang lebih Islami yang mereka yakin dapat mewujudkan
kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat Indonesia