PEMIKIRAN DAN AKTIVISME ISLAM ABU JIBRIL: MENGKAJI WACANA ISLAM RADIKAL DI ERA REFORMASI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Meutia Rachmawati
109033200013
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
vi
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisis pemikiran dan aktifisme Islam Abu Jibril dan mencoba mengkaji lebih dalam wacana Islam Radikal di era reformasi. Tumbangnya rezim Orde Baru di tahun 1998 telah memberikan peluang bagi munculnya kelompok-kelompok Islam Radikal sebagai kekuatan baru politik Islam di Indonesia. Kemunculan kelompok-kelompok Islam Radikal ditandai dengan maraknya aksi-aksi yang melibatkan massa dalam skala massif. Kendati ada perbedaan dari segi pandangan politik maupun strategi perjuangan, umumnya mereka memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penetapan syariat (hukum) Islam di Indonesia sebagai sistem hukum dan kenegaraan. Wacana penetapan syariat Islam sebagai sistem baru pengganti demokrasi digulirkan karena para tokoh Islam Radikal beranggapan bahwa demokrasi yang sekuler telah gagal membawa umat Islam menuju kesejahteraan dan keadilan sosial.
Menjamurnya organisasi gerakan Islam Radikal yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru memang tidak terlepas dari kondisi sosial politik Indonesia yang kala itu mengalami krisis multidimensi yang membuat umat Islam kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem maupun rezim yang ada. Dan di tengah rasa kekecewaan tersebut, Abu Jibril tampil untuk menawarkan Syariat Islam sebagai jalan keluar untuk mengatasi segala masalah sosial yang menimpa Indonesia. Minat Abu Jibril pada Syariat Islam bukan hal baru. Sejak mahasiswa, Abu Jibril aktif di organisasi pemuda Islam dan terbiasa dengan wacana keIslamana terutama Syariat Islam.
vii
KATA PENGANTAR
Assalaamu'alaikum wr. wbr
Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha ESA,
karena berkat karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini
merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan
program study Strata Satu ( S1) Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini kami beri judul: "Pemikiran Dan
Aktivisme Islam Abu Jibril: Mengkaji Ideologi Islam Radikal Di Era Reformasi"
Penulis sangat menyadari akan keterbatasan pengetahuan dan wawasan,
sehingga dalam penyusunan skripsi masih jauh dari sempurna, untuk itu
dibutuhkan kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki penulisan skripsi
ini.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan
kesehatan dalam proses penyusunan Skripsi ini.
2. Yang tercinta Papa (almarhum) dan Mama, serta adikku Teguh, yang
selalu berdoa, sabar dan tidak henti-hentinya memberikan semangat
dan dukungan. Semoga bisa membuat kalian bangga.
3. Bapak Chaider Bamualim, M.A selaku dosen pembimbing atas
ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung, dan
mengarahkan penulis. Terima kasih banyak atas bimbinganya.
4. Bapak Dr. Ali Munhanif, M.A dan Bapak M Zaki Mubarak, M.Si
terimakasih atas kesediaannya memberikan masukan terhadap skripsi
ini.
5. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA selaku penguji, terima kasih atas kesediaannya memberikan masukan terhadap skripsi ini.
viii 7. Ustad Abu Jibril yang bersedia meluangkan waktu di sela-sela
kesibukan untuk menjadi narasumber. Terima kasih atas keramahan
Ustad dan keluarga yang bersedia berbagi pengalaman dengan penulis.
8. My beloved Fahmi Abadiah, thank you for everything ciku.
9. Tante Ifwani dan om Alan Mc Clymont, terima kasih atas supportnya
dan bantuan yang sangat berharga bagi penulis.
10.Rekan-rekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta
khususnya pada prodi Ilmu Politik angkatan 2009 atas supportnya
yang sangat berharga bagi penulis.
11.Sahabat-Sahabati PMII Ciputat dan Pengurus BEMF FISIP masa bakti
2012, terima kasih atas dukungan semangat dan keceriaan
sahabat-sahabat
12.Riski mel, Arif, Ayu, Riski, Algi, Bayhaqi, Novi, Amizar, Eko, Amin,
princes Eny, Ifah, Dwi, Rangga, Liloy, Piko, Oday, Lina, kanda Dedi,
bang Ervan, Ismet, Herman, Rahmat, Ardi, Adi, Rowi, Rafsan, sahabat
seperjuangan di keseharian kehidupan penulis, terima kasih atas
segalanya.
13.Teman-teman PHD JK-PIN yang selalu membawa keceriaan dan
semangat, terima kasih.
14.Terima kasih seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga Allah Swt selalu melimpahkan Rahmat atas kebaikan dalam
membantu penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Wassalaamu'alaikum wr. wbr
Jakarta, 24 Desember 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL : ... i
LEMBAR PERSETUJUAN : ... ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME : ... ..iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN : ... iv
ABSTRAK : ... v
KATA PENGANTAR : ... vi
DAFTAR ISI : ... viii
BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
D.Tinjauan Pustaka ... 11
E.Metode Penelitian ... 13
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II : ISLAM RADIKAL DAN ISLAMISME A. Islam Radikal ... 16
B. Islamisme: Upaya Memperjuangkan Islam Sebagai Sistem Politik ... ... 18
C. Islam Radikal di Indonesia Pasca Orde Baru ... 25
BAB III : ABU JIBRIL DAN AKTIFITAS GERAKAN ISLAM A. Riwayat Hidup ... 37
B. Latar Belakang Pendidikan ... 39
C. Aktifitas Sosial, Dakwah, dan Politik ... 43
x
BAB IV : JIHAD DAN UPAYA PENEGAKAN SYARIAT ISLAM
A. Jihad . ... 55
1. Makna Jihad ... 55
2. Jihad Sebagai Tugas Bersama Seluruh Umat Islam ... 58
3. Jihad sebagai Jalan Utama Tegaknya Islam ... 61
4. Jihad dan Terorisme ... 62
B. Penegakan Syariat Islam ... 69
1.Makna Syariat Islam ... 69
2.Penegakan Syariat Islam Demi Berdirinya Daulah Islamiyah Politik ... ... 72
C. Menegakan Syariat Islam dan Pluralisme Masyarakat Indonesia ... 77
D. Penolakan Terhadap Demokrasi dan Pancasila………....80 BAB V : PENUTUP ... 86
A. Kesimpulan ... 86
B. Saran ... 90
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Runtuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998 telah membuka kesempatan
bagi segenap rakyat Indonesia untuk menikmati proses demokratisasi di
Indonesia. Masyarakat yang mulai merasakan kebebasan berkespresi dan
berpolitik dalam iklim Demokrasi yang baru saja datang. Kebebasan berkespresi
dan berpolitik tampak jelas dari sikap masyarakat yang berani berkumpul,
berdiskusi, mengutarakan pendapat, serta ikut berpartisipasi dalam kehidupan
sosial politik. Dalam situasi kebebasan berpolitik seperti itu, berbagai gerakan
Islam semakin berani menyampaikan aspirasinya, termasuk berbagai aspirasi yang
selama masa pemerintahan Soeharto dianggap subversif, misalnya tuntutan
pemberlakuan syariat Islam oleh kelompok Islam Radikal.1
Kehadiran kelompok Islam Radikal yang dengan segala upaya
menawarkan suatu sistem baru atas nama syariat Islam secara otomatis
melahirkan problema tersendiri bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Sepak terjang kelompok-kelompok Islam Radikal patut dicermati mengingat
perjuangan kelompok-kelompok ini bukan hanya berskala lokal saja, tapi juga
terkait dengan jaringan internasional.
Kenyataan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan
komprehensif membuat kelompok Islam Radikal menuntut pemberlakuan syariat
1 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan
2 Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Islam diyakini memiliki konsep
kenegaraan dan politik secara luas. Sejarah Islam dipenuhi dengan kejayaan
pemerintahan masa Nabi Muhammad SAW hingga masa pimpinan para sahabat
Nabi, terutama di masa Khulafa Rasyidin. Kenyataan ini membuat aktifis Islam
Radikal berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang terkait erat dengan
politik kenegaraan. Ungkapan “Islam adalah agama dan negara” (al-Islam din wa
daulah), telah mengisyaratakan keterkaitan yang erat antara agama dan negara.2 Islam tidak hanya berkembang sebagai suatu gerakan keagamaan, tetapi
juga berkembang sebagai gerakan politik dimana agama menyatu dengan negara
dan masyarakat. Kaum Muslim percaya bahwa keimanan dan politik dalam Islam
bersumber pada kitab yang merupakan wahyu ilahi, yaitu al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW.
Para pemikir Islam Radikal asal Pakistan seperti Abul A’la al-Maududi
berpandangan bahwa Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan
petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan
politik.3 Maka keduanya secara langsung memiliki keterkaitan erat satu sama lain
yang tidak bisa dengan mudah dipisahkan.
Walaupun Islam bukanlah agama politik namun secara historis politik
tidak terpisahkan dari umat Islam. Perjalanan umat Islam diberbagai negara tetap
saja diwarnai oleh gejolak politik setempat. Begitupun maju mundurnya umat
2 Musdah Mulia, Negara Islam (Depok: Kata Kita, 2010), 14.
3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
3 Islam dari kancah pergaulan internasional juga dipengaruhi oleh percaturan politik
yang berkembang.4
Secara historis, usaha-usaha untuk mendirikan negara Islam di Indonesia
sudah berlangsung sejak lama.5 Bahkan hingga saat ini, isu pembentukan negara
Islam belum tuntas sepenuhnya. Negara Islam dicita-citakan untuk dibentuk
dengan tujuan keselamatan manusia dalam menjalankan perintah Allah SAW.
Banyak organisasi masa yang tetap bersikukuh menginginkan Indonesia
berdasarkan syariat Islam tanpa sedikitpun ada unsur demokrasi didalamnya,
sebut saja organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), hingga Laskar Jihad (LJ).6
FPI misalnya muncul sebagai reaksi atas maraknya kemaksiatan yang
makin tak terjangkau oleh hukum.7 MMI tampil untuk merespons kondisi
ekonomi dan politik yang kian tidak berdaya menghadapi kekuatan asing
(khususnya AS).8 HTI merespon ketidakadilan tata hubungan antar bangsa yang
makin didominasi imperialisme AS.9 Sedangkan munculnya LJ lebih merupakan
reaksi atas ketidak mampuan pemerintah pusat mengatasi konflik di Ambon.10
4 Moh. Mufid, Politik Dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), 1. 5 Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M
Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan
Orde Baru (Jakarta: Darul Falah, 1999), ix-xiv.
6 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta:
LIPI Press, 2005), 5.
7 Lihat Chaider S Bamualim, “Islamic Militancy and Resentment against Hadhramis in
Post-Suharto Indonersia: A Case Study of Habib Rizieq Syihab and His Islamic Defenders Front”,
Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, Vol. 31, No. 2, 2011, hal.
267-281.
8 Irfan Suryahadi Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syariah
Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001), xvii-xxviii
9 Turmudi dan Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia, Vii.
10 Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia
4 Bangkitnya gerakan-gerakan keagamaan ini ditandai dengan maraknya
aksi-aksi yang melibatkan massa dalam skala massif yang dimotori kelompok
Islam Radikal tersebut. Kendati ada perbedaan dari segi pandangan politik
maupun strategi perjuangan, umumnya mereka memiliki persamaan dalam satu
hal, yaitu menghendaki penetapan syariat (hukum) Islam di Indonesia. Para aktifis
politik Islam memperjuangkan kebangkitan Islam melalui legalitas negara Islam
yang terinspirasi dari pengembalian nilai-nilai ajaran Islam yang murni. Islam
dimaknai bukan hanya sekedar agama yang terdiri dari ritual tertentu semata,
tetapi juga sebagai jalan hidup yang mencangkup segala hal.11
Gagasan untuk mendirikan negara Islam berpijak pada anggapan bahwa
sistem pemerintahan yang berasal dari Barat seperti demokrasi, sosialisme,
kapitalisme, sekularisme, dan nasionalisme, yang merupakan sistem buatan
manusia, dianggap telah gagal untuk memajukan dan mensejahterakan umat
Muslim. Umat Muslim menderita dan kecewa dengan terus menerus berada dalam
suatu krisis yang berkepanjangan akibat sistem pemerintahan yang
mengesampingkan Islam sebagai unsur penting dalam identitas dan ideologi
nasional. Islam yang ada saat ini tampak seperti terlalu tergantung kepada Barat,
maka alternatif politik Islam disinyalir akan menjadi suatu daya tarik baru untuk
umat.12
Dari proses kebangkitan kaum Muslim di seluruh dunia, maka kemudian
muncul istilah-istilah seperti fundamentalisme, radikalisme, renaisans Islam,
militan dan sebagainya. Terlepas dari kontroversi mengenai istilah-istilah tersebut,
5 kelompok ini, baik terorganisasi maupun tidak, bertujuan mengganti sistem
kenegaraan sekuler yang tidak Islami dengan tatanan sosial politik Islami. Islam
dan politik kini dipandang sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Sistem politik
sekuler dipandang telah gagal mengangkat harkat kaum Muslim. Sistem politik
Islam diyakini sebagai satu-satunya alternatif untuk menangkis hegemoni dunia
barat.13
Salah satu sosok yang namanya kerap kali diidentikan dengan gerakan
Islam Radikal di Indonesia yang bersikap keras dalam memperjuangkan syariat
Islam adalah Ustad Muhammad Abu Jibril yang secara resmi bernama
Muhammad Iqbal Abdurahman. Abu Jibril merupakan aktifis Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI). MMI adalah organisasi yang dilahirkan melalui Konggres
Mujahidin I yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7 Agustus 2000.
Tujuannya adalah untuk bersama-sama berjuang menegakkan Syariat Islam dalam
segala aspek kehidupan, sehingga Syariat Islam menjadi rujukan tunggal bagi
sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun
internasional. Yang dimaksudkan dengan Syari’at Islam disini adalah segala
aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.14
MMI mempunyai pendirian yang erat dengan negara Islam (Daulah Islamiyah atau Islamic state). Bagi mereka, sesungguhnya Islam adalah agama dan negara (al-Islām dīn wa daulah), yang mengisyaratakan keterkaitan yang erat
13 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996), 18-19
14 Abu Bakar Baasyir “Majelis Mujahidin Indonesia” tersedia di
6 antara agama dan negara. Adapun maksud dan tujuan diselenggarakanya kongres
mujahidin adalah: Pertama, memajukan perjuangan para mujahidin dalam menegakan syariat Islam. Kedua, membangun satu kesatuan shaf mujahidin yang kokoh dan kuat, baik dalam negeri, regional, maupun internasional. Ketiga,
terbentuknya institusi mujahidin. Dan keempat, mewujudkan dewan kepemimpinan umat sebagai Khalīfatullāh fī al-Ardhi.15
Sosok Abu Jibril berkali-kali diidentikkan dengan aksi terorisme yang
beberapa tahun belakangan terjadi di Indonesia. Sikapnya yang keras dalam hal
jihad, dan juga syariat Islam, mudah menjadi pembenar tuduhan semacam itu.
Kenyataan bahwa pada pertengahan 1980-an Abu Jibril sempat berjihad ke
Afghanistan mungkin juga menguatkan pendapat tersebut. Abu Jibril juga pernah
ditahan di Malaysia dengan tuduhan melakukan kegiatan yang membahayakan
keamanan Malaysia karena dituduh aktif dalam organiasi Mujahidin Malaysia.
Atas dasar Akta Keamanan dalam Negeri (ISA), Abu Jibril ditahan di Penjara
Kemunting Perak pada 21 juni 2001.16
Beberapa hari sesudah bom meledak di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot
pada 17 Juli 2009, putra Abu Jibril, Muhammad Jibril, ditahan karena dituduh
terlibat dalam pemboman tersebut. Nama Abu Jibril juga kembali terdengar saat
penembakan Dulmatin di Pamulang, Tangerang Selatan, pada 9 Maret 2010,
apalagi lokasi penembakan Dulmatin tidak jauh dari kediaman Abu Jibril di
komplek Witanaharja, Pamulang. Mantri Fauzi, warga Pamulang yang
menampung Dulmatin, juga merupakan murid pengajian Abu Jibril. Karenanya
15 Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syariah Islam, XXVIII. 16 Haris Firdaus ”Abu Jibril” tersedia di http://rumahmimpi.net/2010/04/abu-jibril/
7 isu keterlibatan Abu Jibril dengan terorisme kembali menjadi bahan pembicaraan.
Hal ini juga disebabkan karena pengajiannya di Masjid Al-Munawwaroh
dianggap eksklusif dan mengajarkan kekerasan.17
Abu Jibril dikenal gigih dalam memperjuangkan tegaknya syariat Islam.
Menurutnya, perkembangan Islam saat ini tidak mengarah pada penegakan syariat
Islam. Masing-masing kelompok punya kepentingan dan membaca Islam dengan
cara yang tidak semestinya. Islam menghendaki umat mengikuti syariat yang
lurus, mengikuti perintahNya, menjauhi laranganNya. Janganlah mengikuti
tatanan hidup lain, karena melepaskan syariat Islam dalam sendi kehidupan
manusia, maka hal itu dengan sendirinya akan menjauhkan umat Muslim dari
Islam. Islam tidak boleh dikaitkan dengan istilah lain misalnya Islam moderat,
Islam madani, dan sebagainya. Yang ada hanya satu Islam, yaitu Islam yang
mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.18
Islam merupakan sistem yang komperehensif yang mengatur segala segi
kehidupan, baik ruhani maupun praktikal, serta mengatur urusan-urusan manusia
dalam kehidupanya di dunia dan akhirat sesuai dengan undang-undang dan
nilai-nilai akhlak yang harus dituruti.19
Abu Jibril menegaskan bahwa, Islam adalah satu-satunya undang-undang
kehidupan dan peraturan hidup yang hakiki bagi manusia dan diridhoiNya. Oleh
karena itu, barang siapa yang menjalankan syariat Islam dalam hidupnya maka
akan mendapatkan jaminan kehidupan yang mulia di dunia dan akhirat dari Allah
17 Haris Firdaus ”Abu Jibril” tersedia di http://rumahmimpi.net/2010/04/abu-jibril/
Internet; diunduh 21 september 2012.
18 “Abu Jibril: Ulama Sekarang Mewakili Penguasa” tersedia di http://abujibriel.com/
Internet; diunduh 21 september 2012.
8 SWT. Untuk menjaga kesucian agama Islam, Allah SWT telah mengirimkan
orang-orang yang berupaya mengembalikan syariat sesuai dengan yang
diturunkan oleh Allah SWT dan membumikan sunnah-sunnah yang diwariskan
Rasulullah SAW kepada umat saat ini. Mereka dijadikan oleh Allah SAW sebagai
wali di muka bumi untuk tetap mengawal umat sehingga tidak berbelok ke arah
yang berseberangan dengan jalan Islam.20
Abu Jibril secara tegas menolak sistem demokrasi yang dalam
pandanganya tidak sesuai dengan syariat Islam. Demokrasi sejatinya merupakan
suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, kesamaan politik, konsultasi atau dialog dengan rakyat
dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas.21
Keseriusan Abu Jibril dalam memperjuangkan tegaknya Syariat Islam
dapat dilihat dari sikap konsisten beliau dalam berdakwah dan memimpin MMI.
MMI dibawah kepemimpinan Abu Jibril bertekad meneruskan
kebijakan-kebijakan sebelumya, antara lain berfungsi sebagai motivator umat untuk
penegakan syariat Islam dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan pemerintahan
negara, serta membuat fatwa tentang kasus-kasus tertentu mengenai ajaran-ajaran
yang menyimpang dari Islam seperti ajaran Ahmadiyah,22Syi’ah23 yang dianggap
sesat dan menyesatkan.
20Abu Jibril “Berilmu Dahulu, Beramal Kemudian” tersedia di http://abujibriel.com/
internet; diunduh 26 september 2012.
21 Trubus Rahardiansyah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan
Pendekatanya (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), 121.
22 Ahmadiyah, adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza
9 Abu Jibril dan MMI selalu berupaya untuk memperkenalkan sekaligus
memperkuat ingatan umat tentang syariat Islam melalui jalan dakwah. Abu Jibril
sebagai Amir MMI tidak henti-hentinya mendakwahkan betapa pentingnya syariat
Islam bagi keberlangsungan kehidupan sosial bangsa Indonesia menuju kehidupan
yang lebih baik.
Sejarah Islam di masa modern ini merupakan interaksi terus-menerus
antara ajaran-ajaran Islam dan gerakan-gerakan perubahan. Namun kenyataanya,
kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik sering tidak
diperhatikan atau kurang mendapat perhatian. Sejatinya, kebangkitan Islam bukan
merupakan akibat dari perasaan keterasingan massal atau penolakan terhadap
modernisasi, akan tetapi munculnya Islam kembali sebagai bagian penting dari
ideologi politik.24
Cita-cita Abu Jibril untuk mewujudkan tegaknya Syariat Islam di
Indonesia tentu bukanlah hal mudah, mengingat Indonesia merupakan negara bahasa-bahasa besar di dunia dan penerjemahan Al-Quran sudah hampir mencapai 100 bahasa di dunia. Tersedia di http://www.ahmadiyya.or.id/index.php/artikel/sejarah-jemaat-ahmadiyah. Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang sesat dan menyesatkan. Di Indonesia aliran ini bermarkas di Parung, Bogor yang memiliki kampus yang dinamakan Kampus MUBARAK untuk mencetak kader mubaligh Ahmadiyah. Tersedia di, http://ahmadiyah.20m.com/. Internet; diunduh 21 september 2012.
23 Syiah dalam pengertian bahasa, adalah Pengikutan, Pembelaan atau menyatu untuk
pembelaan dan kepentingan seseorang, atau sesuatu perkara, pada mulanya kata itu adalah umum tidak spesifik untuk sesuatu golongan;' tetapi kemudian kata Syiah itu menjadi spesifik untuk mereka yang menamakan din pengikut Ali dan keluarganya. Syiah lmamiyah Itsna Asyariyah, Ja'fariyah ; sekte Syiah inilah yang merupakan mayoritas di kalangan Syiah di seluruh Dunia, mereka berada di Iran, Irak, Libanon, sebagian kecil di India, Pakistan dan negeri-negeri Teluk Mereka menamakan diri mereka Imamiyah atau Itsna Asyariyah, karena mereka percaya bahwa sesudah Rasulullah S.A.W. yang boleh ada sebagai Khalifahnya hanya Dua belas Imam yang bersifat Ma'shum seperti halnya Nabi. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah. Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Tersedia di, http://www.syiah.net/2007/10/agama-syiah-dan-landasan-kepercayaannya-bag-1.html Internet; diunduh 21 september 2012.
24 Jhon L. Esposito, Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial-Politik (Jakarta: Bulan
10 yang kaya akan keanekaragaman suku bangsa, budaya, hingga agama. Namun
harapan untuk menumbuhkan semangat penegakan syariat Islam tidak pernah
pupus dari benak Abu Jibril.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka
dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai konteks
spesifik dan makro yang telah mendorong bangkitnya radikalisme baik itu sebagai
pemikiran dan gerakan yang menjadikan Abu Jibril sebagai studi kasus dalam
penelitian ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Studi ini menjadikan Abu Jibril sebagai studi kasus, seorang aktifis
Muslim yang menjelma menjadi tokoh Islam Radikal yang kontroversial yang
berkeinginan untuk merubah tatanan sosial politik Indonesia yang dituduhnya
sekuler menjadi tatanan sosial yang lebih Islami. Untuk memudahkan penelitian
ini, maka penulis membatasi masalah pada pemikiran dan gerakan politik Islam
Radikal Abu Jibril. Adapun rumusan masalahnya dapat dirinci dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa faktor dan konteks spesifik yang memungkinkan seorang aktifis
Islam seperti Abu Jibril menjelma menjadi pemikir dan aktifis Islam
Radikal?
2. Apa saja wacana dominan Islam Radikal yang digagas dan
diobsesikan Abu Jibril? Dan apa yang menginspirasi Abu Jibril untuk
11 3. Bagaimana cara Abu Jibril mewujudkan wacana tersebut secara
konkret ke dalam masyarakat Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara jelas
mengenai faktor dan konteks spesifik yang memungkinkan berubahnya aktifisme
Islam yang normal menjadi Radikal yang juga berarti merubah aktifisnya menjadi
aktifis Islam Radikal. Penelitian ini mencermati bagaimana proses-proses dan
konteks yang membuat seorang aktifis Muslim menjelma menjadi aktifis dan
tokoh Islam Radikal. Dalam studi ini akan juga dilihat apa saja wacana dominan
yang diobsesikan oleh aktifis Islam Radikal dan bagaimana cara mereka
mewujudkannya dalam masyarakat.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah untuk memperkaya wacana
politik Islam, terutama kajian politik Islam Radikal. Penulis berharap agar
penelitian ini secara khusus bermanfaat dalam membantu untuk memahami
bagaimana seorang aktifis Islam berubah menjadi aktifis Islam Radikal serta
agenda yang mereka perjuangkan dan bagaimana cara mewujudkannya dalam
masyarakat.
D. Tinjauan Pustaka
Telah terdapat banyak studi yang mengkaji gerakan Islam Radikal di
Indonesia. Studi-studi yang membahas mengenai pergerakan politik
12
Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi (2008). Buku ini membahas mengenai transisi demokrasi di Indonesia yang pada
perkembanganya telah menimbulkan ekses yang membuat makin subur dan
berpengaruhnya elemen Islam Radikal yang dari segi doktriner tidak bersahabat
dengan demokrasi. Kelompok Islam garis keras ini seringkali muncul menjadi
kelompok penekan terhadap pemerintah yang berkuasa.
Kajian lain tentang Islam Radikal adalah karya Noorhaidi Hasan berjudul
Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (2008). Buku ini memberi kontribusi amat penting untuk memahami Islam Radikal di Indonesia sebagai bentuk ekspansi Islam politik dalam perpolitikan di
Indonesia pasca-Orde Baru. Menurutnya, “fenomena pergeseran aksi pergerakan
dari gerakan salafi menuju aktifisme politik dan militansi tidak terlepas dari
ambisi-ambisi politik para pemimpin gerakan yang melihat perubahan cepat
dalam perpolitikan di Indonesia yang justru mempermudah untuk membangun
aksi-aksi kolektif.”25
Kajian lainnya adalah “Mendiskusikan Radikalisme Islam: Definisi dan
Strategi Wacana”, juga oleh Noorhaidi Hasan.26 Dalam artikel ini Noorhaidi
membahas seberapa dalamnya pengaruh Islam Radikal di Indonesia. Dalam
tulisan ini, Noorhaidi juga menjelaskan hubungan erat antara Islam Radikal
dengan Islamisme. Menurutnya, Radikalisme dan Islamisme bertujuan untuk
“menuntut reposisi peran Islam dalam ruang diskursif dan landskap politik,
25Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia
Pasca-Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2008)l, hal.
26 Noorhaidi Hasan, “Mendiskusikan Radikalisme Islam: Definisi dan Strategi
Wacana,”Masjid dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso, Ambon, Ternate, dan
13 ekonomi, sosial, dan budaya.” Sedangkan Islamisme menurut Noorhaidi
“Bagaikan titik patahan dalam rentang panjang sejarah, yang terkait erat dengan
gejala perubahan sosial, politik dan ekonomi yang diakibatkan oleh persentuhan
dunia Islam dengan modernisasi dan globalisasi.”27
Berdasarkan literatur-literatur yang penulis paparkan di atas, maka bisa
dilihat bahwa tidak ada unsur kesamaan antara hasil penelitian penulis dengan
literatur-literatur tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe kualitatif.
Prosedur penelitian ini menghasilkan data yang deskriptif, yaitu
menggambarkan dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang
sedang diteliti, dalam hal ini mengenai politik Islam Radikal. Penelitian ini
akan mengkaji lebih jauh mengenai konteks spesifik dan makro yang telah
mendorong bangkitnya radikalisme baik itu sebagai pemikiran dan gerakan
yang menjadikan Abu Jibril sebagai studi kasus dalam penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Wawancara mendalam. Wawancara ini upaya pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara tanya-jawab dengan responden (Abu Jibril) dengan
mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak berstruktur. Teknik ini
27 Noorhaidi Hasan, “Mendiskusikan Radikalisme Islam: Definisi dan Strategi
Wacana,”Masjid dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso, Ambon, Ternate, dan
14 berguna untuk mendapatkan informasi dari orang pertama secara langsung
sehingga nilai informasi itu dapat disebut penting dan terpercaya.
b. Observasi. Yaitu pengamatan yang penulis lakukan secara langsung
terhadap aktivitas Abu Jibril dengan mengikuti pengajian yang
dipimpinnya selama beberapa kali.
c. Studi literature dan dokumentasi. Yaitu mencari dan mengumpulkan data
mengenai masalah-masalah yang bersangkutan melalui sumber-sumber
bacaanberupa buku, surat kabar, internet dan lain-lain yang berkaitan
dengan objek yang sedang diteliti.
3. Teknik Analisa Data
Adapun teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat
gambaran terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara
memberikan interpretasi secara hati-hati terhadap data-data tersebut. Dengan
menggunakan teknik penelitian ini berharap dapat memberikan gambaran yang
sistematis, faktual, aktual, dan akurat mengenai fakta-fakta seputar politik Islam
Radikal, khususnya mengenai menjelmanya seorang aktifis Muslim menjadi
aktifis Islam Radikal, agenda-agenda yang diimpikannya serta cara mereka
memperjuangkan agenda tersebut. Untuk pedoman penulisan ini penulis
menggunakan buku terbitan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan Penyusunan Proposal dan Skrispi yang
diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
15
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan diuraikan secara ringkas, dari
masing-masing bab sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang
menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas mengenai Islam Radikal dan Islamisme. Dalam bab
ini akan dipaparkan mengenai konsep Islam Radikal, Islamisme sebagai upaya
memperjuangkan Islam sebagai sistem politik. Dan Islam Radikal pasca
runtuhnya Orde Baru.
Bab ketiga, berisi mengenai Profil Abu Jibril. Dimulai dari riwayat hidup
serta latar belakang pendidikanya. Dalam bab ini juga akan dibahas mengenai
aktifitas sosial politik Abu Jibril.
Bab keempat, dalam bab ini membahas pemikiran politik Islam Abu Jibril
mengenai jihad dan upaya penegakan syariat Islam. Pembahasan ini mengajak
kita untuk memahami jihad dalam pandangan kelompok Islam Radikal yang
diwakili oleh Abu Jibril. Juga akan dibahas lebih mendalam mengenai
usaha-usaha penegakan syariat Islam di Indonesia. Dan Penolakan Abu Jibril terhadap
Demokrasi dan Pancasila.
Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan, saran dan
16
BAB II
ISLAM RADIKAL DAN ISLAMISME A. Islam Radikal
Kata radikal atau radic secara bahasa berarti mengakar. Perubahan radikal berarti perubahan mendasar karena hal itu menyangkut upaya penggantian
dasar-dasar yang berubah tadi.28 Istilah radikalisme sebenarnya bukanlah konsep asing
dalam ilmu sosial. Disiplin politik, sosial, dan sejarah sejak lama telah
menggunakan terma ini untuk menjelaskan fenomena sosial tertentu. Kata radikal
digunakan sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang
sedang berlangsung.29
Radikalisme sendiri merupakan suatu bentuk gerakan yang berusaha untuk
merombak secara total tatanan sosial politis yang ada dengan menggunakan
kekerasan.30 Maka dari itu, radikalisme selalu dihubung-hubungkan dengan
benturan tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan dengan tatanan nilai yang
telah mapan saat itu. Radikalisme merupakan respon terhadap suatu kondisi yang
dianggap tidak sesuai dengan keinginan sehingga menimbulkan suatu
bentuk-bentuk penolakan atau perlawanan. Dengan demikian, Islam Radikal adalah suatu
bentuk gerakan yang berusaha untuk merombak secara total tatanan sosial politik
yang ada dengan menggunakan kekerasan untuk menawarkan alternatif sistem
pemerintahan yang lebih Islami yang diyakinnya dapat mewujudkan kesejahteraan
lahir batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
28 Turmudi dan Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia, 281.
29 Bahtiar Effendy dan Hendro prasetyo, ed., Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM-IAIN,
1998),xvii.
30 Zainuddin Fananie, dkk, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial (Surakarta:
17 Kemunculan para aktifis Islam Radikal mengindikasikan bahwa mereka
menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku. Dengan kata lain,
perubahan pola pikir sebagian kecil masyarakat yang diwujudkan dalam aktifisme
kelompok radikal keagamaan, barangkali merupakan upaya yang diusahakan
sebagian masyarakat untuk ikut menyelesaikan masalah-masalah sosial melalui
penegakan nilai-nilai keagamaan secara ketat dan sifatnya mendesak. Namun,
aksi-aksi yang dilancarkan kelompok-kelompok radikal seringkali menimbulkan
ketegangan di tengah-tengah masyarakat dalam setiap kemunculanya.
Justifikasi radikal diberikan oleh masyarakat karena kelompok-kelompok
ini umumnya bersifat intoleran.31 Munculnya pandangan negatif masyarakat
terhadap kelompok radikal barangkali dikarenakan kemunculan kelompok radikal
selain melalui proses yang panjang, biasanya kelompok ini cenderung bersifat
eksklusif. Masyarakat baru mengetahui suatu kelompok radikal jika kelompok ini
secara langsung terlibat dalam satu aktifitas di ruang publik yang bisa dilihat
langsung oleh masyarakat. Jadi, tidak mengherankan jika kemunculan kelompok
radikal sering disalahtafsirkan.
Namun yang patut dicermati bahwa radikalisme sebenarnya bukanlah
suatu masalah sejauh ia hanya bersarang dalam pemikiran para penganutnya.
Tetapi, ketika radikalisme pemikiran bergeser menjadi gerakan-gerakan radikal,
maka jelas akan menimbulkan masalah, terutama ketika cita-cita radikal tersebut
18 dihalangi dan mendapat tentangan dari pihak lain, maka situasi yang muncul
adalah radikalisme yang diiringi oleh kekerasan.32
B. Islamisme: Upaya Memperjuangkan Islam Sebagai Sistem Politik
Islamisme berangkat dari dasar yang meyakini bahwa Islam merupakan
agama yang di dalamnya terkandung norma-norma beserta ajaran yang bersifat
komperehensif dan unggul. Oleh karena itu, Islam patut untuk dijadikan sebagai
pedoman utama bagi manusia guna mawujudkan kehidupan yang tertib dan
teratur.
Islamisme merupakan sebuah proyek yang kegiatanya terfokus pada
negara. Islamisme berusaha untuk mencari tatanan politik yang lebih sempurna
dengan cara mendirikan lembaga-lembaga negara, atau berusaha untuk
mengendalikan yang sudah ada sehingga Islam dapat mendominasi segala aspek
kehidupan untuk dapat mencapai keadilan dan menjaga integritas umat Muslim.33
Islam Radikal memiliki kaitan dengan Islamisme yang bertujuan menuntut
reposisi umat Islam. Islamisme bagaikan titik patahan dalam rentang panjang
sejarah, yang terkait erat dengan gejala perubahan sosial, politik dan ekonomi
yang diakibatkan oleh persentuhan dunia Islam dengan modernisasi dan
globalisasi.34
Pergerakan Islamisme terbagi dalam tiga arus utama di antaranya dakwah,
politik, dan jihad. Ketiga arus tersebut bersifat dinamis, maksudnya bersifat
32Turmudi dan Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia, 5.
33 Ricklefs, M.C, Islamisation and its opponents in Java: a political, social, cultural, and
religious history, (Singapore: NUS Press,2012), 515.
34 Noorhaidi Hasan. dkk, Masjid dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso,
19 dinamis karena asal mula dari Islamisme politik bisa saja adalah gerakan dakwah,
dan pada perkembanganya gerakan dakwah dapat pula berubah menjadi suatu
gerakan yang bersifat politis, dan pelebaran pola perjuangan pada giliranya dapat
melahirkan sebuah transformasi gerakan politis menuju gerakan jihadis.
Transformasi yang berlangsung tergantung dari kondisi yang terjadi saat itu.
Gerakan Islamis sendiri tidak serupa satu dengan lainya, semua tergantung dari
strategi perjuangan masing-masing kelompok.35
Arus Islamisme yang pertama ialah Islamisme politik kontemporer yang dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang menerima demokrasi dan mendukung konstitusi. Umumnya kelompok ini
cenderung terbebas dari stigma radikal, karena Islamisme politik ini bergerak
dengan pendekatan damai dan akomodatif. Kelompok Islamis tipe ini senantiasa
mendukung konstitusi yang berlaku, mereka cenderung untuk menjauhi jalan
revolusioner dalam mencapai tujuanya. Misi Islamis yang diembanya biasanya
disampaikan dalam bentuk pengajuan perubahan konstitusi melalui partai Islam
yang terlibat dalam proses pemerintahan.36
Arus Islamisme yang kedua ialah dakwah salafi, merupakan kelompok
Islamisme politik yang biasanya secara terang-terangan menolak sistem
pemerintahan demokratis dan konstitusional, dan dalam aksinya mereka kerap
mempropagandakan Islam sebagai sistem pemerintahan alternatif yang ideal dan
jauh lebih baik. Salafi atau salaf yang berarti para pendahulu. Secara terminologis
35 al-Makassary dan Gaus AF, ed., Benih-Benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus
Jakarta dan Solo, 12
36 al-Makassary dan Gaus AF, ed., Benih-Benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus
20 berarti mereka adalah para pengikut generasi Islam terdahulu, seperti para sahabat
nabi, Tabi’in (pengikut sahabat nabi), dan Tabi’un (para pengikut Tabi’in).37 Di
Indonesia pengaruh dakwah salafi cukup kuat. Kelompok ini cenderung
mananggapi dengan sikap positif suatu rezim yang tegak dibawah pemimpin
Muslim. Para pengiikut salafi tidak menggunakan kekerasan dalam aksi
perrjuangan mereka. Kekerasan hanya boleh dilakukan semata-mata sebagai
perang melawan musuh-musuh Islam demi tujuan dakwah.
Dan arus Islamisme yang ketiga adalah kelompok Islamisme jihadis, yaitu kelompok Islamisme yang seringkali diidentikan dengan aksi kekerasan, teror,
dan tindak anarki yang berbahaya, oleh karena itu stigma radikal sangat melekat
kuat pada kelompok ini. Islamisme jihadis-radikal (menolak sama sekali untuk
berpartisipasi didalam kerangka sistem demokrasi) yang sering didefinisikan
sebagai kelompok perjuangan bersenjata Islam yang muncul dalam tiga bentuk,
pertama, internal ( memerangi rezim Muslim yang dianggap sesat atau thoghut).
Kedua, iredentist (berperang untuk merebut wilayah yang diperintah oleh kaum non-Muslim). Ketiga, global (memerangi dominasi barat).38
Dari ketiga arus Islamisme di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
kelompok-kelompok Islamis dimanapun keberadaanya selalu berusaha untuk
mengganti sistem dan aturan sosial politik yang ada dengan aturan sosial dan
norma yang didasarkan pada Islam. Karena memang tujuan perjuangan mereka
adalah pendirian negara Islam atau pemberlakuan sistem Islam sebagai aturan
37 al-Makassary dan Gaus AF, ed., Benih-Benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus
Jakarta dan Solo, 15.
38 International Crisis Group (ICG), “Understanding Islamism”. Lihat,Burhanuddin
21 sosial utama dalam kehidupan masyarakat. Perjuangan dengan jalan damai
ataupun kekerasan yang dipilih semua dikembalikan lagi pada nilai yang diyakini
para aktor Islamis dalam kegiatan aktifisme Islam yang dijalani kelompoknya.
Perjuangan para Islamis umumnya dipengaruhi teologi salafi yang
ajaranya menganjurkan untuk kembali kepada al-qur’an, sunnah, dan hukum
syariat. Hal ini karena dalam pandangan Islamisme, Islam diyakini sebagai suatu
sistem kehidupan yang lengkap dan bersifat universal. Maka dari itu, penerapan
syariat dianggap sebagai hal penting yang harus segera terlaksana. Gerakan
Islamis memandang bahwa masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja
tidak cukup, tapi harus Islami dalam landasan maupun strukturnya.39
Argumentasi-argumentasi Islamisme semacam itu secara bertahap telah
mampu melahirkan transformasi pergerakan kaum Islamis menuju ranah politik.
Perubahan iklim politik tersebut dinilai akan mempermudah gerakan-gerakan
Islamis dalam memperjuangkan visi misi Islam yang diembanya. Perubahan
politik dan terbukanya kesempatan telah menumbuh suburkan berbagai gerakan
Islamis yang dahulu kala pergerakanya hanya sampai di bawah tanah kini berani
tampil terbuka untuk mempromosikan Islam sebagai sistem pemerintahan
alternatif paling ideal.
Lahirnya gerakan sosial sebenarnya merupakan suatu aksi kolektivitas
yang bertindak untuk mendorong atau mencegah terjadinya perubahan dalam
masyarakat atau kelompok dimana mereka menjadi bagian didalamnya. Sebagai
suatu bentuk aksi kolektif, gerakan sosial merupakan suatu tindakan yang telah
39 M Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal : Transmisi Revivalisme Islam Timur
22 membentuk pola tingkah laku, identitas, kepentingan yang khas sebelum
mengorganisasikan diri dan memobilisasi sumber daya untuk mencapai
tujuanya.40
Eksistensi gerakan sosial membutuhkan proses mobilisasi politik yang
bertujuan menguatkan basis organisasi gerakan dengan memobilisasi masa
melalui bentuk pengkaderan. Mobilisasi umumnya disertai dengan pengerahan
golongan masyarakat awam dalam upaya mencoba menggunakan kekuatan
melawan golongan elit, penguasa dan kelompok lawan. Mobilisasi sumber daya
merupakan gerakan kolektif sebagai aksi-aksi rasional, bertujuan, dan
terorganisasi.41
Keberhasilan mobilisasi sumber daya yang dipengaruhi beberapa faktor
internal dan eksternal. Faktor internal biasanya berasal dari organisasi dan
kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal biasanya dipengaruhi oleh peluang
politik yang ada serta lembaga politik yang menunjangnya.42
Kepemimpinan memegang peranan inti dalam gerakan sosial. Dalam
membentuk karakter seorang individu untuk dimobilisasi kedalam aktifitas
gerakan sosial, biasanya para pemimpin mengidentifikasi perasaan ketidakadilan
yang dialami individu yang terangkum dalam kelompok, membangun identitas
kolektif, serta memfasilitasi pengembangan strategi dan pelaksanaan aksi kolektif
40 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:
Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Darmawan Triwibowo,
ed., Gerakan Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi (Jakarta: LP3ES, 2006), 157.
41 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:
Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Triwibowo, ed., Gerakan
Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi , 157.
42 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:
Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Triwibowo, ed., Gerakan
23 dengan memanfaatkan peluang politik yang tersedia. Peranan pemimpin
menduduki posisi penting dalam membangkitkan ketidakpuasan menjadi sebuah
gerakan protes.43
Dalam memobilisasi sumber daya, faktor lain yang mempengaruhi adalah
struktur peluang politik yang tersedia. Faktor ini merujuk pada kondisi sistem
politik yang bisa memfasilitasi namun bisa juga menghambat pertumbuhan
gerakan sosial. Namun, struktur peluang politik yang ada tidaklah bersifat tetap
dan tantangan bagi gerakan sosial adalah mengidentifikasikan serta
mendayagunakanya secara optimal. Karakter kelembagaan politik yang ada juga
menentukan keberhasilan proses mobilisasi.44
Dalam hal ini, tiga konsep gerakan sosial yang penting diantaranya,
struktur peluang politis (political opportunity), siklus penentangan (cycles of contention), dan pembikaian (framing).45
Konsep struktur peluang politis menjelaskan bahwa kebangkitan gerakan
sosial seringkali dipicu oleh perubahan besar yang terjadi dalam struktur politik.
Perubahan drastis semacam ini membuka banyak peluang yang menyediakan
keuntungan-keuntungan bagi aktor sosial untuk memprakarsai fase-fase baru
politik penentangan dan mendorong masyarakat untuk ikut mengambil peluang.
Seiring dengan terbukanya peluang politik, gerakan sosial menjadi suatu siklus
43 Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek
Demokrasi, 27.
44 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:
Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Triwibowo, ed., Gerakan
Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi, 158.
45 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia
24 kehidupan, dari tahap perencanaan, ke tahap pembentukan, dan konsolidasi.46
Dari tahapan-tahapan inilah seorang awam bertransformasi menjadi aktifis
gerakan sosial, yang mana siklus kehidupan membawa seorang aktifis pergerakan
berubah menjadi ideolog sesuai dengan peluang politis yang ada.
Keberlangsungan suatu gerakan sosial banyak ditentukan oleh seberapa lama
peluang politik tersedia.
Kemunculan para aktifis Islam Radikal sebetulnya dipengaruhi oleh
kejatuhan rezim Orde Baru yang secara dramatis telah mengakibatkan perubahan
politik besar-besaran di Indonesia. Perubahan politik tersebut ditandai dengan
adanya kebebasan politik yang menimbulkan efek bagi seluruh anggota
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam segala bentuk aksi-aksi politik.
Kondisi semacam ini telah melahirkan berbagai kelompok identitas dan
kelompok-kelompok kepentingan yang beramai-ramai mengisi ruang-ruang
publik yang tersedia.
Bagian penting lainya dari kelahiran gerakan sosial adalah siklus
penentangan. Siklus penentangan lahir dari sekelompok orang yang tidak
memiliki kuasa apapun namun berusaha melakukan aksi penentangan melawan
pemerintahan yang ada. Aksi penentangan terjadi dikarenakan adanya
tuntutan-tuntutan baru yang memaksa untuk segera direalisasikan. Siklus penentangan
tumbuh demi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kolektif yang dilatarbelakangi oleh
rasa solidaritas para anggota kelompok.47
46 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia
Pasca-Orde Baru, 132.
47 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia
25 Kondisi penting lainya yang melatarbelakangi kemunculan gerakan sosial
adalah pembingkaian. Proses pembingkaian terjadi ketika aktor gerakan sosial
mengemukakan wacana-wacana di tengah masyarakat yang akan dijadikan target
mobilisasi.48 Pembingkaian sebenarnya merupakan suatu proses yang dilakukan
dengan cara menampung berbagai aspirasi, keluhan dan permasalahan
berdasarkan arah pembingkaian yang telah ditentukan.
Para pelaku gerakan sosial merupakan individu-individu atau kelompok
yang tengah mengembangkan strategi untuk dapat mencapai tujuan dasar mereka.
Perasaan diskriminasi dan ketidakadilan yang dirasakan sebetulnya hanyalah
perasaan yang sifatnya tidak langsung dalam suatu gerakan sosial, tapi hal
tersebut suatu waktu bisa berubah wujud menjadi gerakan sosial bila terdapat
sumber daya yang memadai untuk dimobilisasi serta adanya peluang besar untuk
menggerakan aksi-aksi kolektif.
C. Islam Radikal di Indonesia Pasca Orde Baru
Sepak terjang gerakan radikal selalu menimbulkan ketakutan tersendiri
bagi masyarakat. Gerakan Islam Radikal telah menjadi isu politik di tengah
masyarakat seiring dengan serangkaian aksi peledakan bom di beberapa tempat di
Indonesia antara tahun 1990 hingga menjelang tahun 2000. Kecurigaan publik
mengarah langsung kepada kelompok-kelompok Islam Radikal yang dituduh
sebagai pihak-pihak paling bertanggung jawab dari aksi kekerasan yang telah
menghilangkan ratusan nyawa tersebut. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
48 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia
26 bagaimana kelompok Islam Radikal bisa tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan cinta damai? Apa penyebab
utamanya? Dan sikap subversif rezim Orde Baru kepada para aktifis Islam
Radikal disebut-sebut sebagai salah satu penyebab tumbuh suburnya
gerakan-gerakan ini.49 Dan pergerakan kelompok Islam Radikal semakin terlihat nyata dan
terbuka pada kondisi Indonesia setelah ditinggalkan kekuasaan Orde Baru, ketika
reformasi mengalirkan demokratisasi ke tengah-tengah publik.
Runtuhnya rezim Orde Baru diikuti dengan munculnya rasa trauma
terhadap Pancasila. Ketakutan terhadap Pancasila ini merebak karena dasar negara
itu dianggap identik dengan rezim Orde Baru. Pancasila seakan menandakan
adanya semacam trauma terhadap dasar negara yang menjadi ideologi tunggal dan
satu-satunya sumber nilai kebenaran itu.50
Keutamaan Pancasila sebagai ideologi tunggal negara membuatnya kerap
kali berbenturan dengan norma-norma atau ideologi lain yang hidup ditengah
masyarakat, bahkan benturanya dengan ajaran-ajaran agama juga tidak terelakan.
Benturan itu tidak hanya pada level gagasan, bahkan melebar menjadi benturan
sosial politik. Contohnya, pemaksaan asas tunggal bagi partai politik (parpol) dan
organisasi masyarakat (ormas), penangkapan mereka yang tidak setuju asas
tunggal, dan sebagainya.51
Hampir sepanjang pemerintahan Orde Baru, semua organisasi yang
mendukung penerapan hukum Islam dipandang sebagai ancaman politik, dan
49As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES,
2009), 50.
27 negara melakukan upaya-upaya untuk mendepolitisisasi Islam. Kondisi ini
mendesak banyak orang yang mendukung penerapan hukum Islam untuk
menyingkir dan menuju pergerakan-pergerakan bawah tanah.
Bagi para aktifis Muslim, tentu sangat menyulitkan menerima adanya asas
tunggal, karena Pancasila yang merupakan buatan manusia, ditempatkan diatas
Al-qur’an dan Islam yang berasal langsung dari Tuhan. Banyaknya permasalahan
dan konflik yang menimpa Indonesia dengan ideologi pancasilanya, membuat
para aktifis Muslim berani mengusulkan syariat Islam sebagai visi alternatif bagi
masyarakat.
Banyak aktifis Muslim menganggap politik asas tunggal sebagai upaya
untuk mendepolitisisasi otoritas Islam. Orde Baru berusaha melemahkan dan
mendepolitisisasi Islam politik untuk menghapuskan kemampuannya
menghadirkan oposisi efektif terhadap rezim itu. Namun tentu bukan hal yang
mudah bagi para aktifis Muslim untuk dapat merealisasikan cita-cita Islamis
mereka. Ketiadaan jalur institusional untuk berpartisipasi adalah penghambat bagi
pergerakan mereka. Ketiadaan akses justru malah membuat mereka semakin
termarginalisasi, diasingkan, dan akhirnya berubah radikal.
Kebijakan Orde Baru “menyembunyikan” Islam politik demi melenyapkan
gerakan-gerakan tersebut justru semakin membuat pergerakan Islamis bawah
tanah menjadi gerakan konservatif yang kuat berakar dan sama sekali tidak
28 meradikalkan para aktifis Muslim yang bercita-cita menjadikan Islam sebagai
sistem alternatif ideal untuk masyarakat.52
Sampai saat ini hubungan antara Islam dan negara modern memang
problematis, hal ini bisa kita lihat dari masih banyak pandangan dan mazhab yang
tidak mudah dipertemukan apalagi disatukan. Dan realita yang terjadi, banyak
timbul konflik di tengah masyarakat lantaran ambisi sebagian orang yang
memimpikan berdirinya negara Islam, dan sejarah modern tidak pernah sepi dari
wacana Islamisme tersebut. Gelombang reformasi telah memunculkan kembali
wacana penyatuan agama-negara yang diikuti dengan berdirinya partai-partai
politik Islam dan agenda Perda Syariah yang mulai di isukan di beberapa daerah.
Mengamati fenomena gerakan Islam dirasakan tepat bila menempatkan
negara sebagai faktor penting yang turut serta menumbuh suburkan
gerakan-gerakan Islam. Hal ini dikarenakan kemunculan gerakan-gerakan keagamaan pada
umumnya, kendatipun tidak semuanya, merupakan reaksi terhadap negara, atas
apa yang dipunya atau dilakukan negara, baik dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan, kebijakan, alokasi sumberdaya, kesediaan untuk
mengakomodasikan berbagai kepentingan yang berkembang di masyarakat, dan
lain sebagainya. Tidak hanya terbatas pada kemunculannya, bentuk, isi, pola
maupun strategi yang diadopsi oleh gerakan-gerakan keagamaan itu pun pada
dasarnya merupakan hasil penyesuaian terhadap sikap dan perilaku negara.53
52 Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum
Islamis di indonesia, Malaysia, dan Turki, (Jakarta: freedom Institute, 2011), xx.
53Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum
29 Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tapi
kenyataanya negara tidak menempatkan Islam sebagai sumber hukum utama.
Namun, negara tetap bersedia menerapkan syariat Islam walau hanya dalam
hukum-hukum tertentu, seperti hukum waris, perkawinan, hibah, dan
sebagainya.54
Di masa Orde Baru hubungan politik antara Islam dan negara tidak
berjalan baik. Kecurigaan negara terhadap para aktifis gerakan Islam sangatlah
kuat, para aktifis Islam dianggap sebagai musuh negara yang sewaktu-waktu
dapat menjadi bumerang tersendiri untuk negara.
Runtuhnya rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa, maka secara
drastis negara berubah menjadi demokratis. Demokratisasi ini direspon baik oleh
kalangan Islamis, banyak aktifis-aktifis Muslim yang bergabung dengan partai
pemerintah, dan banyak juga yang mendirikan partainya sendiri, semua itu
dilakukan demi memperjuangkan hukum Islam sebagai hukum positif utama
dalam UUD kenegaraan. Wacana mewujudkan kembali Piagam Jakarta seketika
kembali terdengar. Namun, perjuangan menegakan syariah Islam tidak selalu
melalui aksi di parlemen, karena banyak juga aktifis-aktifis Muslim yang
menunjukan keenggananya ikut serta dalam proses demokratis, namun tetap
mempromosikan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah. Intinya, bagi kelompok
Islamis, syariat Islam tidak akan mampu berjalan maksimal bila syariat Islam
tidak dilibatkan langsung dalam sistem kenegaraan.55
54 Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum
Islamis di indonesia, Malaysia, dan Turki, xx.
55 Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum
30 Persoalan lainya pasca runtuhnya Orde Baru adalah, hampir tidak ada
batasan yang mampu menghambat penyebaran ideologi di Indonesia.56
Penyebaran ideologi di Indonesia semakin kuat seiring dengan terjadinya aksi
peledakan bom di beberapa daerah di Indonesia beberapa tahun silam yang
menjadi indikasi kuat bahwa pertarungan ideologi tidak lantas berhenti dengan
berakhirnya perang dingin.
Dalam konteks Islam, ideologisasi muncul belakangan ketika beberapa
wilayah Islam harus berhadapan dengan modernisme barat yang ditegaskan
melalui kolonialisme. Hampir seluruh pranata intelektual Islam saat ini tidak
memiliki pemikiran tandingan yang dapat dipakai untuk menghadapi barat. Pada
awal abad ke-20 munculah para konseptualisasi atau ideologisasi Islam.
Jamaludin al-Afgani57 (1839-1897) adalah perintis awal yang
mengonseptualisasikan ajaran Islam sebagai sebuah semangat perlawanan
terhadap kolonialisme dengan membentuk partai politik Hizbul Wathon di Mesir.
Melalui partai itu Afgani mulai bersikap keras terhadap penguasa Islam
tradisional dan mulai melakukan perlawanan terhadap barat. Menurut Afgani,
tersisihkanya Islam jika dibandingkan dengan barat semata-mata karena tidak
56Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 290.
57 Jamaluddin al-Afgani dilahirkan dalam tahun1838. Ia merupakan seorang pemikir
31 adanya persatuan dalam Islam, Islam yang ada tercerai-berai sehingga menjadi
lemah. Maka munculah gagasan Pan Islamisme, yaitu gagasan yang
mengutamakan pentingnya persatuan Islam. Walau gagasanya tidak begitu
berkembang, tapi melalui gagasan ini justru telah melahirkan gagasan
nasionalisme Islam. Nasionalisme tidak boleh mengabaikan pentingnya
persaudaraan sesama muslim yang mungkin bersifat lintas nasional.
Gagasan-gagasan al-Afgani kemudian di sistematisasi dan dilanjutkan Mohammad Abduh58
(1849-1905) dan Rasyid Ridla59 (1865-1935), serta beberapa pengikut lainya,
yang kelak menginspirasi lahirnya nasionalisme di timur tengah.60
Namun, Islam yang berdampingan dengan nasionalisme perlahan-lahan
memudar, lantaran tidak mampunya negara-negara Islam di timur tengah dalam
58 Muhammad Abduh lahir di Delta Nil 1849, ia dilahirkan dari keluarga petani di Mesir
Hilir. – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11 Juli 1905 pada umur 55/56 tahun) adalah seorang pemikir Muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin al-Afghani. Abduh percaya betul bahwa hanya melalui reformasi dalam bidang pendidikan umat Islam disatu sisi akan mendapatkan kebebasan dan kemampuan berfikir serta tahu hak-haknya, dan di sisi lain meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab dan kewajibanya. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990).
59 Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Qalmuni
Al-Husaini (dikenal sebagai Rasyid Ridha; 1865-1935) adalah seorang intelektual Muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat Muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Makkah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931. Ridha menerbitkan surat kabar yang bernama Al-Manar. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya. Nama
besarnya terus dikenang hingga ia wafat pada Agustus 1935. Lihat, Nidia Zuraya “Hujjatul Islam: Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam” tersedia di
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m63s-hujjatul-islam-rasyid-ridha-tokoh-reformis-dunia-islam-5habis Internet; diunduh 20 Juni 2013.
32 menemukan solusi dari ketegangan sosial politik dan intelektual, serta kegagalan
negara-negara nasional yang dipimpin umat Islam untuk menghalau dominasi
barat di negara mereka.
Maka munculah Hasan al-Bana61 yang menawarkan alternatif ajaran
Islam. Gagasanya doktrin Islam kafah. Al-Bana dengan Ikhwanul Muslimin
mengakui Daulah Islamiyah sebagai instrument penting dalam mewujudkan
pemberlakuan syariat. Sejak awal, al-Bana percaya dengan universalitas Islam
sehingga sebaran dakwahnya tidak tersekat teritori negara.62
Secara doktrin gagasan al-Bana memang mengandung militansi yang kuat.
Aspek inilah yang kemudian dielaborasi lebih dalam oleh Sayyid Qutb,63 pemikir
61 Hassan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah
kawasan Buhairah, Mesir. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin). Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo. Didorong oleh fenomena yang disaksikanya sendiri di Kairo, berupa munculnya tradisi permissivisme dan jauhnya kehidupan dari akhlak Islam, yang seperti juga terjadi di berbagai tempat di dunia. menurut al- Bana, Islam adalah agama Allah yang satu, yang diwahyukan kepada para rasul dan nabi-Nya sejak dimulai risalah samawiyah hingga risalah penutupnya dengan
kehadiran Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung satu aqidah dengan syari’ah beragam:
ibadat dan muamalat. Pemikiran Hassan al-Banna dikenal memiliki dampak yang besar dalam pemikiran Islam modern. Untuk membantu meluruskan tatanan Islam, al-Banna menyerukan melarang semua pengaruh Barat dari pendidikan dan memerintahkan semua sekolah dasar harus menjadi bagian dari mesjid. Dia juga menginginkan larangan partai politik dan lembaga demokrasi lainnya dari Syura (Islam-dewan) dan ingin semua pejabat pemerintah menjadikan agama sebagai pendidikan utama. Hassan al-Banna melihat Jihad sebagai strategi defensive, yaitu telah menjadi
kewajiban individual. Lihat, “Hasan Al Banna: Mengeja Islam Secara Kaffah” tersedia di
http://www.hasanalbanna.com/kategori/peradaban/pemikiran-islam/ Internet; diunduh 20 Juni 2013.
62 Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 292.
63 Sayyid Qutb lahir di Musha pada Oktober 1906. Beliau merupakan anggota utama