• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan dan Rekomendasi

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Perkembangan perubahan peraturan Kementerian Kehutanan melalui surat keputusan tentang perubahan fungsi lahan di lokasi sampel penelitian, maka disimpulkan tentang ada tidaknya kesesuaian dengan PP 104/2015, yakni : 1) Sesuai, 2) Tidak sesuai, 3) Tetap tidak merubah fungsi lahan, sebagai berikut: 1) Sesuai dengan PP 104/2015 ada di 3 (tiga) lokasi;

2) Tidak sesuai dengan PP No.104/2015 ada di 5 (empat) lokasi; 3) Tetap tidak merubah fungsi Kawasan Hutan ada di 3 (tiga) lokasi.

Akibat dinamisnya terjadi perubahan Surat Keputusan (SK) Kementerian Kehutanan tentang Kawasan Hutan di lokasi penelitian, maka terjadi pula perubahan peruntukan maupun fungsi Kawasan Hutan, sehingga dengan kondisi tersebut akan mempengaruhi/berdampak pada kondisi obyek tanah yang dikuasai oleh masyarakat. Apabila Surat Keputusan yang lama dengan Surat Keputusan yang baru terbit tersebut dikomparasikan, maka terdapat:

1) Perbedaan luasan pada masing-masing fungsi Kawasan Hutan dari jumlah total luasan. Pada masing-masing fungsi Kawasan Hutan ada terdapat penurunan luasan tetapi terdapat pula yang mengalami penambahan luasan;

2) Perubahan fungsi Kawasan Hutan berdampak pada status penguasaan tanah masyarakat. Contoh di dalam SK sebelumnya dinyatakan sebagai kawasan APL tetapi berubah menjadi hutan produksi atau hutan lindung;

3) Meskipun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan suatu lokasi sebagai Kawasan Hutan (peta) tetapi kondisi dilapangan bukan lagi hutan tentunya tidak akan memberikan dampak positif bagi fungsi sejatinya hutan itu sendiri bahkan akan cenderung merugikan masyarakat yang selama ini sudah puluhan tahun mengusahakan tanah tersebut. Hal inilah yang perlu ditata kembali dengan melibatkan masyarakat sehingga nantinya tidak terjadi lagi gejolak dilapangan.

Memperhatikan perubahan-perubahan surat keputusan Kementerian Kehutanan yang di komparasikan di lokasi penelitian tersebut, maka kami mempertanyakan sampai sejauhmana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam melaksanakan pengukuhan Kawasan Hutan sudah berpedoman pada:

1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni:

(a). Bagian Ketiga, Pengukuhan Kawasan Hutan di dalam Pasal 14, ayat (1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan Kawasan Hutan, ayat (2) Kegiatan pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas Kawasan Hutan.

(b). Pasal 15 ayat (1) Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. penunjukan Kawasan Hutan, b. penataan batas Kawasan Hutan, c. pemetaan Kawasan Hutan, dan d. penetapan Kawasan Hutan.

Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

2) Putusan Hakim yang dalam hal ini termasuk Putusan Hakim Konstitusi maka sebaiknya dalam penetapan batas wilayah kehutanan berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi, yakni:

141

(a). Putusan MK. Nomor 34/PUU-IX/2011, Penguasaan Hutan Oleh Negara harus

menghormati hak atas tanah masyarakat,

(b). Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011, Pengukuhan Kawasan Hutan harus segera dituntaskan untuk menghasilkan Kawasan Hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan,

(c). Putusan MK. Nomor 35/PUU-X/2012, Hutan Adat bukan Hutan Negara. 3) Salah satu Surat Keputusan tentang Kawasan Hutan, yakni

SK3658/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon di Kabupaten Pandeglang dalam hal MEMUTUSKAN dan MENETAPKAN pada point KETIGA dikatakan: Dalam hal masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang sah dalam penetapan Kawasan Hutan ini dikeluarkan dari Kawasan Hutan sesuai peraturan perUndang-Undangan.

6.1.2. Memperhatikan riwayat penguasaan dan penggunaan tanah masyarakat dalam Kawasan Hutan di lokasi sampel penelitian di atas, maka disimpulkan bahwa penguasaan tanah berdasarkan riwayatnya dapat dibagi ke dalam beberapa fase yakni:

1) Penguasaan tanah sebelum Indonesia Merdeka ada di 6 lokasi;

2) Penguasaan tanah di era sebalum 1950 dan tahun 1950-1960 ada di 5 lokasi; 3) Penguasaan Tanah era tahun 1973 Kota Batam sebagai OPDIPB menjadi Badan

Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (sudah bersertipikat) ada di 1 lokasi.

Memperhatikan, bahwa masyarakat telah menguasai fisik tanah sebelum Indonesia merdeka, era tahun 1950-1960 dan era tahun 1973 (Kawasan Otorita Batam), maka penguasaan tanah masyarakat dapat di lepaskan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, hal ini berdasarkan pada:

1) Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 24 ayat (2) dalam Penjelasan antara lain disebutkan: jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan baik bukti tertulis maupun bentuk lainnya yang dapat dipercaya. Namun, pada kenyataan penguasaan tanah tersebut selama itu tidak di ganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau Desa/Kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya, yakni berdasarkan bukti penguasaan fisik sebagai berikut: (a). Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara

nyata dan dengan iktikad baik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut;

(b). Kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak di ganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau Desa/Kelurahan yang bersangkutan;

(c). Hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya; 2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.62/Menhut-II/2013, Tentang Pengukuhan

Kawasan Hutan, Pasal 24 ayat (1) mengatakan bahwa: Bukti-bukti hak pihak ketiga dapat berbentuk tertulis atau tidak tertulis.

Selain adanya penguasaan tanah, maka bukti tidak tertulis berupa penggunaan tanah oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah:

(a). Permukiman yang di huni > 10 KK; (b). Fasilitas Umum (Fasum):

(c). Fasilitas Khusus (Fasus)

Kemudian pada ayat (5) dengan ketentuan:

(a). permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial yang berdasarkan sejarah keberadaannya sudah ada sebelum penunjukan Kawasan Hutan;

142

Akibatnya:

(a). Lemahnya koordinasi antara instansi/lembaga yang terlibat dalam kegiatan tersebut yaitu BPN, Pemda (Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Tata Ruang, Setda, Camat, Lurah/Kepala Desa setempat) dan BPKH;

(b). Akhirnya Berita Acara Pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan tidak di tanda tangani oleh Dinas Kehutanan ataupun BPKH.

Di lokasi yang tidak berhasil pelaksanaan IP4T disebabkan:

(a). Diterbitkan surat dari BPKH Wilayah III Pontianak yang meminta penghentian kegiatan IP4T pada Kawasan Hutan dengan alasan menunggu petunjuk lebih lanjut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

(b). Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, dari Sekda setempat meminta untuk menghentikan kegiatan IP4T meskipun sudah diterbitkan SK. Bupati tentang Pelaksanaan Kegiatan IP4T Pada Kawasan Hutan

2) Melalui Enclave (Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) Pelaksanaan Enclave Hutan Desa Aranio Kawasan Hutan berdasarkan PERDA Provinsi Kalimantan Selatan No.9/2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035 tidak dapat dilanjutkan, namun sudah ditandai OUT LINE. Tanda tersebut merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Daerah setempat dengan BPKH dan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat melakukan tata batas yang intinya akan mengeluarkan obyek permukiman dan tanah garapan di Desa tersebut.

3) Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Mengingat Kota Batam sebagian besar ditunjuk sebagai hutan lindung, Kantor Pertanahan Kota Batam dan Kementerian Kehutanan di gugat oleh 2 perusahaan swasta yang berkedudukan di Kelurahan Sekupang dan Batu Ampar, Kota Batam dalam rangka mengurus sertipikat HGB diatas HPL.

Konsekuensi dari penunjukan Kawasan Hutan Lindung yg sebelumnya masuk Area Penggunaan Lain (APL), berdampak:

(a). penolakan pendaftaran tanah baru dan penerbitan sertipikat oleh Kantah Kota Batam,

(b). penolakan Hak Tanggungan oleh Bank,

(c). ketidak pastian hukum atas penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat yang sudah bersertipikat HPL dan HGB diatas HPL.

Dalam amar putusannya setelah Banding dimenangkan oleh 2 perusahaan swasta yang berdomisili di Batuampar dan Sekupang. Kemudian diterbitkan SK. Menteri Kehutanan yang baru yang menerangkan perubahan Hutan Lindung menjadi APL kembali. Hal ini berdampak pada Kelurahan-Kelurahan yang lain menjadi kawasan APL diantaranya Kelurahan Buliang, Kecamatan Batuaji, Kota Batam.

6.2. Rekomendasi

1) Peningkatan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: P.79 Tahun 2014, Nomor: PB.3/Menhut-II/2014, Nomor: 17/PRT/M2014, Nomor:8/SKP/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di Dalam Kawasan Hutan menjadi Peraturan Presiden atau Intruksi Presiden dan penyusunannya melibatkan semua Kementerian agar terjadi harmonisasi dalam pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan;

2) Petunjuk Teknis Pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan sebaiknya melibatkan semua Kementerian agar terjadi harmonisasi pelaksanaan di lapangan;

(b). permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dalam Desa/kampung yang berdasarkan sejarah keberadaannya ada setelah penunjukkan Kawasan Hutan dapat dikeluarkan dari Kawasan Hutan dengan kriteria yang sudah di tetapkan.

Artinya dengan adanya bukti tidak tertulis seperti permukiman > 10KK, Fasum dan Fasus di lokasi-lokasi penelitian, maka tanah-tanah tersebut dapat dilepaskan. Selain permukiman dan fasum serta fasus, maka tanah pemanfaatan tanah berupa garapan masyarakat, yakni: pertanian kering ataupun basah dapat juga dilepaskan. Hal ini merujuk pada ketentuan batas maksimum tanah pertanian berdasarkan Undang Undang Nomor 56/Prp/1960 di dalam Pasal 1 ayat (2) mengenai batas maksimum penguasaan tanah pertanian ditentukan oleh faktor-faktor, yakni: jumlah penduduk, luas daerah serta faktor-faktor lainnya. Di dalam Penjelasan Umum UU No.56/Prp/1960 butir (7) di jelaskan lebih lanjut, bahwa faktor-faktor tersebut meliputi:

(a). Tersedianya tanah-tanah yang dapat dibagi; (b). Kepadatan penduduk;

(c). Jenis-jenis dan kesuburan tanahnya (di bedakan antara sawah dan tanah kering);

(d). Besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga;

(e). Tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.

6.1.3. Penyelesaian penguasaan tanah masyarakat dalam Kawasan Hutan dapat disimpulkan melalui sebagai berikut:

1) IP4T Kawasan Hutan

Berdasarkan Peraturan Bersama Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-III/2014, 17PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang berada Dalam Kawasan Hutan, yang diimplementasikan ke dalam JUKLAK/TEKNIS IP4T Kawasan Hutan. Selanjutnya diimplementasikan dalam SK-SK Bupati/Walikota, yang dilaksanakan oleh di 11 (sebelas) lokasi.

Pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan tersebut dapat di bagi ke dalam :

(a). Pelaksanaan IP4T yang berhasil dan tidak ada hambatan, ada di 3 lokasi. (b). Pelaksanaan IP4T yang berhasil tetapi mengalami hambatan ada 5 lokasi. (c). IP4T tidak dilaksanakan ada di 2 lokasi.

Keberhasilan pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan tersebut adalah terkumpulnya: (a). Data/informasi Subyek dan Obyek,

(b). Jumlah Bidang dan

(c). Jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Hambatan pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai:

(a). Peraturan Bersama Empat Menteri dianggap cacat hukum karena ditandatangani dalam masa transisi kepimpinan nasional;

(b). Juknis IP4T kawasanan hutan hanya disusun oleh BPN tanpa melibatkan Kementerian Kehutanan;

143

Akibatnya:

(a). Lemahnya koordinasi antara instansi/lembaga yang terlibat dalam kegiatan tersebut yaitu BPN, Pemda (Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Tata Ruang, Setda, Camat, Lurah/Kepala Desa setempat) dan BPKH;

(b). Akhirnya Berita Acara Pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan tidak di tanda tangani oleh Dinas Kehutanan ataupun BPKH.

Di lokasi yang tidak berhasil pelaksanaan IP4T disebabkan:

(a). Diterbitkan surat dari BPKH Wilayah III Pontianak yang meminta penghentian kegiatan IP4T pada Kawasan Hutan dengan alasan menunggu petunjuk lebih lanjut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

(b). Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, dari Sekda setempat meminta untuk menghentikan kegiatan IP4T meskipun sudah diterbitkan SK. Bupati tentang Pelaksanaan Kegiatan IP4T Pada Kawasan Hutan

2) Melalui Enclave (Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) Pelaksanaan Enclave Hutan Desa Aranio Kawasan Hutan berdasarkan PERDA Provinsi Kalimantan Selatan No.9/2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035 tidak dapat dilanjutkan, namun sudah ditandai OUT LINE. Tanda tersebut merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Daerah setempat dengan BPKH dan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat melakukan tata batas yang intinya akan mengeluarkan obyek permukiman dan tanah garapan di Desa tersebut.

3) Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Mengingat Kota Batam sebagian besar ditunjuk sebagai hutan lindung, Kantor Pertanahan Kota Batam dan Kementerian Kehutanan di gugat oleh 2 perusahaan swasta yang berkedudukan di Kelurahan Sekupang dan Batu Ampar, Kota Batam dalam rangka mengurus sertipikat HGB diatas HPL.

Konsekuensi dari penunjukan Kawasan Hutan Lindung yg sebelumnya masuk Area Penggunaan Lain (APL), berdampak:

(a). penolakan pendaftaran tanah baru dan penerbitan sertipikat oleh Kantah Kota Batam,

(b). penolakan Hak Tanggungan oleh Bank,

(c). ketidak pastian hukum atas penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat yang sudah bersertipikat HPL dan HGB diatas HPL.

Dalam amar putusannya setelah Banding dimenangkan oleh 2 perusahaan swasta yang berdomisili di Batuampar dan Sekupang. Kemudian diterbitkan SK. Menteri Kehutanan yang baru yang menerangkan perubahan Hutan Lindung menjadi APL kembali. Hal ini berdampak pada Kelurahan-Kelurahan yang lain menjadi kawasan APL diantaranya Kelurahan Buliang, Kecamatan Batuaji, Kota Batam.

6.2. Rekomendasi

1) Peningkatan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: P.79 Tahun 2014, Nomor: PB.3/Menhut-II/2014, Nomor: 17/PRT/M2014, Nomor:8/SKP/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di Dalam Kawasan Hutan menjadi Peraturan Presiden atau Intruksi Presiden dan penyusunannya melibatkan semua Kementerian agar terjadi harmonisasi dalam pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan;

2) Petunjuk Teknis Pelaksanaan IP4T Kawasan Hutan sebaiknya melibatkan semua Kementerian agar terjadi harmonisasi pelaksanaan di lapangan;

144

3) Hasil pelaksanaan IP4T merupakan salah satu masukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan lingkungan Hidup untuk melakukan Perubahan Batas, karena pesoalan yang menonjol di Kehutanan tidak adanya batas yang pasti berdasarkan hasil penelitian terhadap perubahan-perubahan Surat Keputusan Kementerian Kehutanan;

4) Terhadap tanah yang sudah dikuasai masyarakat berdasarkan riwayat penguasaan, penggunaan sebelum ditunjuk sebagai Kawasan Hutan serta pemanfaatan tanah yang intensif seyogia dapat dilepaskan, yang selanjutnya dalam rangka memberikan kepastian hukum dapat didaftarkan pada Kementerian ATR/BPN.

145