• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAWASAN TAMAN NASIONAL

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

Berdasarkan telaahan yang telah diuraikan, ada beberapa kesimpulan penting yang diperoleh dalam studi ini. Merujuk pada tujuan penelitian yang pertama, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penyebab terjadinya alihfungsi kawasan TNBBS menjadi permukiman dan kebun kopi pada dasarnya terjadi karena proses panjang penguasaan sumber- sumber agraria di dalam kawasan oleh masyarakat sejak sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi taman nasional. Kemudian besarnya investasi dan pendapatan dari usaha kebun kopi menyebabkan masyarakat tetap bertahan mengelola areal tersebut sampai saat sekarang.

2. Berkenaan dengan keberadaan permukiman dan kebun kopi, melalui studi ini teridentifikasi 3 (tiga) tipe pola akses yang terbentuk di Dusun Sidomakmur. Masing-masing tipe tersebut merupakan wujud fisik akses masyarakat dusun Sidomakmur dalam memperoleh, mengatur, mengontrol dan memanfaatkan sumberdaya yang berada di dalam kawasan taman nasional. Pola akses tipe A merupakan pola akses bagi talang/anak dusun yang memiliki wilayah permukiman di luar kawasan serta sebagian areal kebun kopi berada di dalam kawasan taman nasional. Kemudian pola akses tipe B dimiliki oleh talang/anak dusun yang sebagian wilayah permukiman berada di dalam kawasan dan seluruh areal kebun kopi berada di dalam kawasan taman nasional. Sedangkan pola akses Tipe C dimiliki oleh talang/anak dusun yang seluruh areal permukiman dan kebun kopi berada di dalam kawasan taman nasional.

3. Keberadaan areal permukiman dan pertanian tersebut tidaklah dapat langsung dikatakan sebagai bentuk perambahan. Hal ini dikarenakan: a) masyarakat secara turun-temurun telah berada di areal tersebut,jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, b) terjadinya perubahan rejim pengelolaan kawasan, dan c) penataan batas kawasan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-agraria masyarakat dengan kawasan hutan.

105

tetapi memang tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya laju perambahan dan kerusakan hutan saat ini tidak lepas dari dorongan kebutuhan masyarakat akan lahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, proses perpindahan kepemilikan lahan melalui bentuk jual beli lahan dengan dalih ganti-rugi (menyebabkan semakin meluasnya kebun kopi di TNBBS), serta lemahnya kapasitas pengelola dalam mengontrol dan memonitor sumberdaya di kawasan konservasi yang dikuasainya (kurangnya anggaran dan sumberdaya manusia Balai TN).

4. Berkenaan dengan relasi kekuasaan, terdapat 3 (tiga) pola relasi kekuasaan yang terbentuk yang muncul sebagai reaksi Balai Taman Nasional sekaligus merefleksikan relasi kekuasaan yang berlangsung antara Balai Taman Nasional dengan masyarakat setempat. Pola 1 terbentuk ketika Balai Besar TNBBS melakukan langkah penindakan dan pengendalian. Kemudian Pola 2 terbentuk ketika Balai Besar TNBBS melakukan program pembinaan daerah penyangga. Sedangkan Pola 3 terjadi ketika Balai Besar TNBBS akan melakukan upaya pemindahan atau resetelmen. Pada relasi kekuasaan yang membentuk Pola 1 dan Pola 3, mesyarakat merespon melalui reaksi protes dan penolakan. Jika pola relasi ini diteruskan maka dapat berujung pada perlawanan. Sedangkan Pola 3 cenderung lebih akomodatif dan direspon dengan baik oleh masyarakat.

5. Berkenaan dengan respon Balai Besar TNBBS, langkah penindakan dan pengendalian akses merupakan dua bentuk respon kekuasaan yang paling sering ditempuh oleh Balai Taman Nasional dalam menangani masalah pemukiman dan pertanian di dalam kawasan. Jika seluruh areal permukiman dan pertaniannya berada di dalam kawasan konservasi, maka resetelmen penduduk merupakan respon yang dipilih untuk ditempuh oleh Balai Taman Nasional. Hanya sangat disayangkan, respon yang umum ditempuh Balai Taman Nasional kepada pemerintah daerah yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh kawasan konservasi sering tidak memadai. Tidak ada upaya dari manajemen Balai atau Ditjen PHKA untuk melakukan kerjasama intens dan terencana dengan pemerintah daerah selain daripada upaya yang bersifat penyuluhan dan kegiatan-kegiatan yang bersifat ad-hoc saja. Pembangunan 3

106

(tiga) ruas jalan yang membelah kawasan pada tahun 2004 menunjukkan betapa konsensus atau kesepakatan yang mendeklarasikan kabupaten Lampung Barat sebagai Kabupaten Konservasi tidak berjalan secara konsisten dan sesuai dengan komitmen yang diharapkan.

Kemudian, merujuk pada tujuan penelitian yang kedua, berkenaan dengan alternatif strategi dalam merespon secara efektif konflik akses atas ruang di dalam kawasan TNBBS diperoleh sintesis untuk solusi sebagai berikut:

1. Balai Besar TNBBS disarankan untuk memperkenankan masyarakat agar dapat mengakses kebun kopi di dalam kawasan tetapi dengan ketentuan sebagai berikut: a) masyarakat tidak boleh membuka, memperluas, memperjualbelikan kebun kopi di dalam kawasan, b) jumlah penduduk di dalam kawasan tidak boleh bertambah. Apabila jumlah anggota masyarakat bertambah maka harus ada KK yang keluar dari kawasan taman nasional, dan c) masyarakat dapat melakukan kegiatan rehabilitasi lahan serta ikut aktif dalam usaha pengamanan kawasan.

2. Mekanisme akses ini diberikan kepada masyarakat Dusun Sidomakmur dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

a. masyarakat secara turun-temurun telah berada di kawasan hutan, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, dan

b. masyarakat memiliki tingkat ketergantungan tinggi akan sumberdaya di kawasan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.

3. Pemberian akses ini harus memiliki batasan waktu, sehingga selama waktu yang diperbolehkan masyarakat didorong untuk dapat mencari alternatif sumber mata pencaharian di luar kebun kopi. Batas waktu yang diberikan kepada masyarakat untuk mengakses kawasan dapat mengadopsi pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37/Menhut-II/2007tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yaitu selama 35 tahun.

Dengan memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya di kawasan diharapkan menjadi titik temu yang ideal antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat serta menjadi salah satu upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat.

107

9.2. Saran

Berkenaan dengan strategi dalam merespon dan menangani masalah permukiman dan keberadaan kebun kopi di dalam kawasan, maka disajikan beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi pengelolaan taman nasional ke depan. Adapun saran yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Perlu adanya perubahan paradigma pengelolaan kawasan taman nasional dari yang semula hanya memandang alam sebagai sesuatu yang arcadian

kini harus menjadi lebih kontekstual sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi mastarakat setempat, terutama bagi mereka yang telah memiliki akses turun temurun terhadap taman nasional. Masyarakat yang sebelumnya dianggap sebagai penyebab utama terjadinya degradasi kawasan konservasi kini harus dipandang sebagi mitra penting dalam usaha pengamanan kawasan konservasi.

2. Balai taman nasional harus mengambil langkah proaktif dalam membangun, memantau dan mengevaluasi setiap kesepakatan- kespakatan yang dilakukan antara Balai Taman Nasional dengan masyarakat, Balai Taman Nasional dengan pemerintah daerah, perihal akses dan kontrol ke kawasan konservasi

3. Pelaksanaan tata batas kawasan, haruslah dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat dengan memetakan secara cermat riwayat, struktur akses, dan kondisi sosio-agraria masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar taman nasional

4. Perlu segera dibuat agenda rancang tindak secara sistematik yang memuat strategi dan kebijakan pengelolaan taman nasional yang dapat membangun perekonomian masyarakat serta menjembatani konservasi dengan pengembangan wilayah.