• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber mata pencaharian, dengan demikian pengelolaan hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rahadjo, 2003).

Pendekatan partisipaif merupakan proses pembelajaran dialogik (mutual

learning dan societal guidance). Yang sebenarnya sudah diterapkan sejak

dahulu. Para pihak termasuk masyarakat lokal dilibatkan perannya mulai proses perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan dan evaluasi secara aktif serta diberikan keleluasaan untuk menambil keputusan yang terbaik menurut harapan dan kepentingan sesuai dengan koridor yang disepakati bersama (Setiamihardja, 2003).

37

Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sadar untuk menggabungkan diri mendukung dan menyukseskan kegiatan konservasi, pelestarian hutan dan lingkungan hidup (Zain,1997).

Menurut Rahardjo (2003) partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti

ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil

pembangunan. Tanpa partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan (hasil)

pembangunan berarti masyarakat tidak naik tingkat hidup atau tingkat kesejahteraannya. Partisipasi dalam pembangunan dibagi menjadi lima jenis yaitu:

1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas

input tersebut dan ikut menikmati hasilnya,

2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya,

3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung,

4. Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi

input,

5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.

Menurut MacKinnon et al. (1993), pengelola kawasan konservasi dapat melindungi kawasannya sendiri dari ancaman dan kerusakan yang tak alami, tetapi kebijakan ini tidak mungkin berjalan dan terjamin untuk jangka panjang tanpa dukungan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya alam adalah untuk rakyat dan harus dilakukan dalam suatu kerangka sosial. Keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila masyarakat setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi, masyarakat dapat menggagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat setempat akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang membahayakan.

Hal yang penting dalam menumbuhkan kerjasama dan peran serta masyarakat ini melalui kepercayaan sosial (social trust). Antara komunitas

38

setempat dan pengelola harus ada kepercayaan tentang manfaat yang mereka peroleh dari interaksi di antara mereka.

Gray dalam Suporahardjo (2005) mengingatkan bahwa para aktor yang

mengusahakan suatu kolaborasi agar mengantisipasi dan membuat evaluasi atas kemampuannya mengatasi kenyataan dan potensi kendala-kendala yang mungkin dihadapinya. Beberapa kondisi yang menyebabkan tingkat keberhasilannya rendah, yaitu ketika:

1. Konflik berakar dari perbedaan ideologi,

2. Suatu stakeholder mempunyai power untuk melakukan aksi sepihak , 3. Legitimasi pelaksana pertemuan tidak ditemukan,

4. Isu-isu terlalu mengancam karena adanya pertentangan sejarah, 5. Intervensi yang dilakukan sewcara berulang namun tidak efektif, 6. Pemeliharaan hubungan antar organisasi disamakan dengan biaya yang

besar bagi mitra.

Langkah-langka yang dapat dilakukan dalam membangun strategi pencapaian manajemen kolaborasi yang efektif, dapat di uraikan sebagai berikut:

1. Kolaborasi dapat berjalan dengan sukses bila berhasil membangun

”common ground” (pandangan yang sama); kemitraan akan sukses jika

memberikan penekanan pada kepentingan bersama atau menemukan cara menjembatani kecocokan kepentingan yang masih berbeda,

2. Pentingnya menciptakan kesempatan baru untuk berinteraksi,

3. Pentingnya melibatkan stakeholder kedalam proses interaksi yang intensif, bukan hanya pada tataran produk akhir. Agar keputusan yang dibuat dapat menjadi efektif dan mewakili seluruh kepentingan stakeholder,

4. Pentingnya mengatasi permasalahan dengan menggunakan cara-cara baru dan kreatif yang didasarkan pada positifisme dalam mempertimbangkan jalan keluar dari suatu problem,

5. Pentingnya meningkatkan kepekaan terhadap tanggung jawab dan komitmen dari para stakeholders.

39

Menurut Birner dan Mappatoba (2002), ada tiga orientasi nilai dan ideologi yang mendasari keterlibatan para pihak dalam proses pembentukan kesepakatan konservasi, yaitu: (1) orientasi “konservasionis”; (2) orientasi “developmentalism”; dan (3) orientasi “eko-populis” atau “advokasi hak adat”. Berdasarkan perbedaan orientasi tersebut, maka pihak yang bersifat “konservasionis” pasti menekankan konservasi alam sebagai prioritas tujuan. Namun berdasarkan pengalamannya, para organisasi konservasi ini semakin melibatkan aktivitas-aktivitas pembangunan pedesaan ke dalam agenda mereka karena menyadari bahwa aktivitas semacam itu di zona penyangga dapat mendukung mencapai tujuan-tujuan konservasi secara lebih baik. Sedangkan pihak yang berorientasi pada wacana ”developmentalism” menempatkan kemiskinan, peningkatan populasi, dan kurangnya teknologi tepat guna sebagai penyebab utama atas perusakan sumber daya alam. Organisasi dengan orientasi ini memfokuskan pada penyuluhan pertanian, transfer teknologi dan pembangunan infrastruktur. Teknik-teknik pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan secara ekologis dan isu-isu seputar konservasi alam kian menjadi bagian dari program-program organisasi developmentalis, baik karena kebutuhan untuk melindungi basis produksi dalam jangka panjang maupun sebagai indikasi perluasan orientasi nilai dari organisasi ini.

Akhirnya dalam wacana “eko-populis”, isu-isu ekologi ditempatkan dalam konteks advokasi atas hak-hak komunitas lokal dan komunitas adat. Pihak-pihak dengan orientasi ini menganggap komunitas lokal sebagai penjaga alam yang sebenarnya dan lebih memberi kepercayaan kepada institusi-instusi tradisional pengelolaan sumber daya alam. Sejalan dengan perbedaan orientasi nilai dan ideologi di atas, maka pihak-pihak yang berorientasi “eko-populis” atau “advokasi hak adat” akan memperjuangkan model kesepakatan konservasi yang bercorak pengakuan akses masyarakat kepada Taman Nasional. Sebaliknya, pihak-pihak dari dua orientasi nilai dan ideologi yang berbeda cenderung untuk memperjuangkan model kesepakatan konservasi yang bercorak pengendalian akses kepada Taman Nasional, dengan memberi aneka insentif pembangunan dan aktivitas ekonomi di luar kawasan Taman Nasional.

40

Implikasi adanya perbedaan mendasar tersebut, memunculkan dua macam kesepakatan konservasi yang sangat berlainan satu sama lain, baik dalam hal pihak yang menjadi sasaran, proses pembentukan, cakupan kesepakatan (hak dan tanggung jawab), maupun program-program pembangunan yang menyertai. Penjelasan mengenai perbedaan dua model kesepakatan konservasi ini dapat dilihat pada Tabel 4.

41

Tabel 4. Karakteristik Model Kesepakatan Konservasi dengan Masyarakat (Adiwibowo, et al., dengan beberapa modifikasi)

Atribut Kesepakatan Konservasi yang Bersifat Mengakui

Akses Masyarakat ke TN (Model 1)

Kesepakatan Konservasi yang Bersifat Mengendalikan Akses Masyarakat ke TN (Model 2)

Instansi/Lembaga yang menjadi Fasilitator Instansi/lembaga yang berorientasi “eko-populis” dan “advokasi”

Instansi/lembaga yang berorientasi konservasionis atau developmentalis.

“Logika” di balik upaya membangun Kesepakatan Konservasi

Komitmen konservasi yang ditegakkan dan dilaksanakan oleh lembaga adat menurut aturan dan kearifan adat, sebagai bagian dari strategi untuk memperoleh kembali hak akses terhadap sumber daya alam di dalam taman nasional

Komitmen untuk menyepakati dan melaksanakan aturan- aturan konservasi yang dirumuskan secara detail dan jelas (dalam bentuk pasal-pasal hukum), dan sebagai imbalannya disalurkan program-program pembangunan ekonomi dan infrastruktur

Lingkup wilayah yang dipetakan • Yang dipetakan adalah wilayah kelola masyarakat adat (permukiman, hutan, ladang, sawah) yang terletak baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional

• Peta mendeskripsikan tata ruang wilayah kelola adat dan pengaturan akses ke sumber daya alam di dalam kawasan TN

• Pemetaan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan memakai sarana GPS.

• Yang dipetakan adalah batas administratif desa yang terletak di dalam TN, diluar TN dan batas kawasan TN.

• Peta mendeskripsikan pola penggunaan lahan desa (permukiman, ladang, sawah), baik yang berada di dalam maupun diluar kawasan TN

• Pemetaan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan memakai sarana GPS.

Institusi yang mewakili masyarakat dalam kesepakatan konservasi

Institusi-institusi tradisional, dalam hal ini lembaga adat Lembaga formal baru yang khusus dibentuk berkaitan dengan pelaksanaan KKM, yaitu Lembaga Konservasi Pekon (LKP)

Aturan konservasi yang digunakan Aturan adat yang bersifat “nalar lisan”, tidak dirinci secara tertulis dalam bentuk aturan-aturan yang terinci.

Aturan baru yang dirumuskan kembali dari aturan adat maupun aturan konservasi dan dituangkan secara tertulis dalam bentuk pasal-pasal yang rinci mengenai hak, kewajiban dan larangan.

Pengesahan kesepakatan • Dokumen berisi sejarah desa, peta wilayah adat,

aturan dan kelembagaan adat terkait konservasi yang telah direvitalisasi.

• Ditanda-tangani oleh Kepala Balai Taman Nasional dan Lembaga Adat , tanpa pengesahan Camat.

• Dokumen berisi sejarah desa, peta wilayah kesepakatan, dan pasal-pasal kesepakatan konservasi.

• Ditanda-tangani oleh Lembaga Adat, Kepala Desa dan Ketua BPD, diketahui oleh Camat dan Kepala Seksi Konservasi, dan kemudian disahkan oleh Kepala Balai Taman Nasional

42