ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN KEBUN
KOPI DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
(Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat)
ANDI WITRIA RUDIANTO E351070051
MAYOR KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
PERNYATAAN
MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Perkembangan Permukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2009
Andi Witria Rudianto
ABSTRACT
ANDI WITRIA RUDIANTO. Analysis the Growth of Settlement and Coffe Garden in Bukit Barisan Selatan National Park (Case Study in Sidomakmur, Subdistrict of Way Tenong, West Lampung Regency). Under supervised by RINEKSO SOEKMADI and SOERYO ADIWIBOWO.
Up to now, none of national park in Indonesia is free from conflicts with local people interest such as human settlement and agriculture activities. The presence of settlement and agriculture activities inside the park are often viewed as illegal occupation. This research was conducted in Bukit Barisan Selatan National Park and aimed at identify the constellations of means relations, and processes to enable various actors to derive benefits from utilizing resources within the park and defined a solution to response the conflict of access effectively. The result shows that existence of the settlement and agriculture within the park could not be called as an illegal occupation due to some reasons : a) people have already settled before the area was designated as a national park, b) the change of area management regime, and c) re-design of boundary demarcation did not consider socio-agrarian condition of local people. Unfortunately, the response of national park management related to the problems above mentioned is to develop resettlement. However in fact response has never solved the conflicts. Therefore, providing access for local people to utilize resources within the park represents a win-win solution between conservation purposes and the local people interests, and can prevent incidence of endless conflict among them.
Key words : Bukit Barisan Selatan National Park, access, settlement, coffee
ABSTRAK
ANDI WITRIA RUDIANTO. Analisis Perkembangan Pemukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat). Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI DAN SOERYO ADIWIBOWO.
Pada saat ini tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali dari konflik ruang dengan pemukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan pertanian yang bersinggungan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering dipandang sebagai okupasi ilegal atau tindak perambahan yang dapat mengancam kelestarian dan keutuhan kawasan. Penelitian ini dilakukan untuk mencoba menjembatani kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat dan berupaya memetakan pola masing- masing pihak dalam memperoleh, mengontrol, dan memelihara manfaat sumberdaya Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, relasi kekuasaan yang terjalin di kalangan para pihak, dan mencoba mencari prinsip, kaidah, dan koridor untuk merespon secara efektif konflik akses atas ruang.
Hasil sintesa menemukan bahwa keberadaan areal pemukiman dan pertanian tersebut tidaklah dapat langsung dikatakan sebagai bentuk perambahan. Hal ini dikarenakan : a) masyarakat secara turun-temurun telah berada di areal tersebut,jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, b) terjadinya perubahan rejim pengelolaan kawasan, dan c) penataan batas kawasan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-agraria masyarakat dengan kawasan hutan. Berkenaan dengan respon Balai TNBBS terhadap keberadaan pemukiman dan areal kebun kopi di dalam kawasan, diketahui bahwa langkah penindakan dan pengendalian akses merupakan dua bentuk respon kekuasaan yang paling sering ditempuh oleh Balai Taman Nasional dalam menangani masalah pemukiman dan pertanian di dalam kawasan. jika seluruh areal permukiman dan pertaniannya berada di dalam kawasan konservasi, maka resetelmen penduduk merupakan respon yang dipilih untuk ditempuh oleh Balai Taman Nasional.
Memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya di kawasan konservasi merupakan titik temu yang ideal antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat sekaligus upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN KEBUN
KOPI DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
(Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat)
ANDI WITRIA RUDIANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : ANALISIS PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DAN KEBUN KOPI DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat)
Nama : Andi Witria Rudianto
NRP : E351070051
Program Mayor : Konservasi Biodiversitas Tropika
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.Si.
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika
Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. NIP. 130 891 377 NIP. 131 953 388
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala bentuk syukur kupanjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Esa yang Maha Besar, karena atas qudrot dan iradah-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Konservasi Biodoversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Tesis berjudul “Analisis Perkembangan Permukiman dan Kebun Kopi di Taman Nasional Bukit Barisan” ini disusun berlandaskan atas kepedulian terhadap keberadaan kawasan taman nasional yang selalu berada dilokasi yang sarat konflik dan tumpang tindih antara berbagai kepentingan lokal (pemanfaatan tradisional, pemukiman, pertanian dan perkebunan serta kegiatan penambangan) dan kepentingan global (perlindungan keanekaragaman hayati), sehingga penulisan tesis ini diharapkan dapat menjadi titik temu ideal antara dua kepentingan tersebut sekaligus upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat
Dalam tesis ini diuraikan tentang tipologi permukiman dan kebun kopi di dalam/sekitar kawasan taman nasional, pola akses masyarakat, struktur ruang dan kedudukan taman nasional dalam kerangka pembangunan pemerintah daerah, respon Balai Taman Nasional dalam menangani isu permukiman dan kebun kopi di dalam kawasan, peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan kawasan konservasi, serta alternative solusi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut yang pada hakekatnya merupakan konflik akses atas sumberdaya taman nasional.
Akhir kata, seperti ada pepatah “tiada gading yang tak retak”, Penulis menyadari bahwa penyusunan tesisi ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Namun demikian, kehadiran tesis ini diharapkan dapat mengisi dan menambah relung informasi dalam rangka pengelolaan taman nasional ke depan. Semoga….
Bogor, Maret 2009
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Konservasi Biodoversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan izin tugas belajar dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor, (2) Ir. Supriyanto. selaku Kepala Balai Taman Nasional Manusela telah memberikan izin, rekomendasi dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Kepada Bapak Kurnia Rauf selaku Kepala Balai Besar TNBBS, Bapak Afrizal selaku Kabag Tata Usaha Balai Besar TNBBS atas waktu dan kesediaannya untuk berdiskusi dan memberikan arahan, masukan, dan koreksinya, (4) Mas Agus Hartono dan Mbak Tri yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung. Terima kasih pula kepada Erik Setiawan, Rahman Pasha, Tonni Asmawan (ICRAF Crew), Pak Cucu yang menemani di lapangan, mahasiswa S2 KVT 2007, Pak Sofwan, dan Bi Uum atas bantuannya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, yakni: Dr. Ir. Rinekso Soekmadi MScF selaku ketua Komisi, Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MSi selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan, serta kepada Dr.Ir.Arya Hadi Darmawan M.Agr.Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tesis yang telah menyediakan waktunya, memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhirnya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada istri tercinta Rahayu Kurniawati, S.Pt. dan anak-anakku tersayang Rauzan Raditya Ramadhan dan Raisyafani Nadira Fitri atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Kepada Emih Hj. Maemunah, Ayahanda Suwito DH, Ibu Nia, dan Mamah Sri serta adik tersayang diucapkan terima kasih atas dukungan dan doanya yang diberikan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1982 di Desa Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suwito DH dan Ibu Sri Sumiarsih. Pada tahun 1994 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Banjar V Ciamis, tahun 1997 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri I Banjar Ciamis. Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri I Ciamis dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus pada tahun 2004.
Sejak tahun 2004 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staff Taman Nasional Manusela, Maluku Tengah. Tahun 2007 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada program Magister Sains pada Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumberdaya Alam ... 6
2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi ... 9
2.3. Peraturan Perundang-undangan Konservasi ... 10
2.4. Undang Undang Pokok Agraria ... 14
2.5. Tantangan Pengelolaan Taman Nasional ke Depan ... 20
2.6. Teori Akses ... 21
2.7. Hak Milik (Property Rights) ... 25
2.8. Konflik ... 27
2.9. Masyarakat Sekitar Hutan ... 31
2.10. Perambahan Hutan ... 32
2.11. Partisipasi dan Kolaborasi ... 36
III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ... 42
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43
ii
IV. TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN : RIWAYAT PENGELOLAAN, AKSES, DAN KONTROL
4.1. Riwayat Penetapan, Status dan Fungsi, serta Zonasi Kawasan ... 49 4.2. Organisasi Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ... 55 4.3. Upaya Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Dalam Pengelolaan Kawasan ... 59
V. STRUKTUR RUANG WILAYAH, PEREKONOMIAN, DAN KEPENDUDUKAN
5.1. Kedudukan TNBBS dalam Struktur Ruang Wilayah Kab.
Lampung Barat ... 61 5.2. Perekonomian Kabupaten dan Kecamatan di Sekitar TNBBS ... 65 5.3. Kependudukan di Sekitar TNBBS ... 67
VI. MASYARAKAT DUSUN SIDOMAKMUR : RIWAYAT, POLA AKSES, DAN KONTROL
6.1. Karakteristik Sosial Ekonomi Dusun Sidomakmur ... 69 6.2. Riwayat Perkembangan Pemukiman dan Kebun Kopi ... 76 6.3. Tipologi Pemukiman dan Pola Akses Masyarakat ke
Taman Nasional ... 84
VII. RELASI KEKUASAAN ANTAR PIHAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP WUJUD FISIK KAWASAN
7.1. Konversi TNBBS Menjadi Permukiman dan Kebun Kopi ... 86 7.2. Pandangan Balai Besar TNBBS Terhadap Permukiman
dan Kebun Kopi ... 90 7.3. Tiga Pola Relasi Kekuasaan ... 94
VIII. ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAGI
PENGELOLAAN TNBBS KE DEPAN ... 100
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan ... 104 9.2. Saran ... 107
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria Penetapan Kawasan dan Zonasi Taman Nasional ... 15
Tabel 2. Hak Agraria dalam Konteks Akses, Pemanfaatan dan Kontrol atas Taman Nasional ... 18
Tabel 3. Karakteristik Property Right dan Implikasinya ... 28
Tabel 4. Karakteristik Model Kesepakatan Konservasi dengan Masyarakat ... 41
Tabel 5. Parameter Penelitian/Variabel Studi menurut Kerangka Penelitian 47 Tabel 6. Perubahan Status dan Luas Cakupan Kawasan TNBBS ... 51
Tabel 7. Nama, Luas, Jumlah Penduduk Desa di Kecamatan Way Tenong dan Letak Terhadap TNBBS ... 55
Tabel 8. Beberapa Instansi/Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan TNBBS ... 60
Tabel 9. Persentase Sektor Pertanian bagi PDRB Kabupaten Lampung Barat, Tanggamus dan Kaur………. 66
Tabel 10. Luas Tanam, Produksi dan Jumlah Rumah Tangga Petani pada Beberapa Komoditas Pertanian Perkebunan ... 66
Tabel 11. Kepadatan Penduduk di Kabupaten Lampung Barat ... 67
Tabel 12. Letak Pemukiman Masyarakat Dusun Sidomakmur... 70
Tabel 13. Asal Daerah Penduduk Sidomakmur ... 70
Tabel 14. Jumlah Penduduk Sidomakmur Berdasarkan Tahun Bermukim .. 71
Tabel 15. Jumlah Penduduk Sidomakmur Berdasarkan Tahun Penetapan .. 72
Tabel 16. Jarak Rumah ke Lahan Garapan ... 74
Tabel 17. Luas dan Jenis Penggunaan Lahan dalam Kawasan TNBBS ... 74
Tabel 18. Status Kepemilikan Lahan Garapan... 75
Tabel 19. Jumlah Perambah dan Luas Perambahan di Kabupaten Lampung Barat ... 87
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Penelitian ... 44
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian ... 45
Gambar 3. Skema evolusi rejim pengelolaan kawasan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ... 53
Gambar 4. Peta Zonasi Taman Nasional Sebelum Revisi ... 54
Gambar 5. Peta Zonasi Taman Nasional Setelah Revisi ... 54
Gambar 6. Struktur Organisasi Balai TNBBS ... 56
Gambar 7. Kedudukan TNBBS d Kabupaten Lampung Barat ... 62
Gambar 8. Jalan Tembus Kawasan TNBBS ... 64
Gambar 9. Jenis Penggunaan Lahan di Kawasan TNBBS ... 73
Gambar 10. Sketsa Dusun Sidomakmur ... 81
Gambar 11. Riwayat Perkembangan Dusun Sidomakmur... 82
Gambar 12. Transek Series Dusun Sidomakmur (1977 s/d 2002) ... 83
Gambar 13. Diagram Pola Akses Anak Dusun/Talang Desa Sidomakmur ke Taman Nasional... 84
Gambar 14. Tipe pemukiman dan pertanian di kawasan TNBBS ... 85
Gambar 15. Peta Sebaran Perambahan ... 88
Gambar 16. Perkembangan Luasan Perambahan <1972-2002 ... 89
Gambar 17. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 1982 ... 91
Gambar 18. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 2002 ... 91
Gambar 19. Kondisi Penutupan Lahan TNBBS Tahun 2005 ... 92
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebanyakan sistem kawasan konservasi khususnya taman nasional berada
di lokasi yang sarat konflik dan tumpang tindih antara berbagai kepentingan lokal
(pemanfaatan tradisional, pemukiman, pertanian dan perkebunan serta kegiatan
penambangan) dan kepentingan global (perlindungan keanekaragaman hayati).
Hampir tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali
dari konflik ruang dengan pemukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan
pertanian yang berbatasan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering
dipandang sebagai sumber ancaman bagi kelestarian dan keutuhan kawasan
(Adiwibowo et al., 2008). Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, areal
pemukiman dan pertanian di dalam kawasan konservasi dipandang sebagai
okupasi ilegal atau tindak perambahan atas kawasan hutan negara. Sementara
masyarakat setempat mempunyai banyak alasan mengapa mereka bermukim dan
bertani di dalam kawasan.
Setiap kawasan taman nasional dan kehidupan masyarakat di sekitarnya
mempunyai riwayat ekologi, sejarah, sosial, ekonomi, kependudukan, dan
pemukiman yang berbeda-beda. Konflik ruang yang timbul di kawasan konservasi
umumnya bersifat spesifik-lokasi dan cenderung merupakan muara dari konflik
berkepanjangan terhadap penguasaan sumber-sumber agraria antara masyarakat
setempat dan negara. Balai taman nasional, sebagai organ pemerintah yang
bertanggungjawab atas keutuhan kawasan, pada umumnya merespon konflik
agrarian ini secara linier dan berbasis peraturan perundang-undangan konservasi.
Sehingga jika di taman nasional tertentu relokasi dan pemukiman kembali
(resettlement) merupakan alternatif solusi, namun di taman nasional lain langkah
tersebut justru mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Sementara ada taman
nasional dimana balai taman nasional justru memberikan pengakuan atas akses
2
Beberapa kasus yang terjadi di beberapa taman nasional memperlihatkan
bahwa bentuk penindakan dan pengendalian serta relokasi penduduk mendapatkan
reaksi keras dari masyarakat. Sebagai contoh misalnya bentuk pengendalian dan
penindakan di dusun Legon Pakis dan Keramat Jaya (Taman Nasional Ujung
Kulon) melalui pemusnahan tanaman di dalam kawasan menimbulkan perlawanan
dari masyarakat. Kemudian, penutupan akses masyarakat Desa Klakah dan Jurong
Ombo dalam memanfaatkan sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung
Merapi dan relokasi penduduk Pesisir Bukit (Taman Nasional Kerinci Seblat),
masyarakat Suku Amungme (TN Lorenz), serta kasus Dongi-Dongi (TN Lore
Lindu) menimbulkan protes dan perlawanan yang kemudian berujung pada
konflik terbuka antara pengelola kawasan dengan masyarakat.
Salah satu bentuk usaha pemindahan penduduk terjadi di daerah
Pelompek. Semakin derasnya migrasi masuk ke Pelompek merupakan ancaman
tersendiri bagi Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) karena
menganggap bahwa para pendatang yang masuk ke Pelompek dapat menyebabkan
kerusakan kawasan TNKS. Kondisi ini semakin parah ketika krisis moneter
melanda Indonesia, dimana harga komoditas hortikultur yang melonjak tinggi
terus mendorong masuknya para pendatang dari berbagai daerah. Dalam kondisi
seperti ini, Balai Besar TNKS beranggapan bahwa pertambahan populasi dan
rangsangan ekonomi membuat penduduk banyak membuka kebun di dalam
kawasan TNKS sehingga perlu dilakukan pemindahan atau relokasi penduduk.
Adapun upaya yang dilakukan Balai Besar TNKS adalah menyelenggarakan
translok yang bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Kerinci. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Balai Besar TNKS bahwa sejumlah warga desa Pelompek
dan desa-desa lain di Kecamatan Gunung Kerinci yang membuka lahan pertanian
di dalam kawasan TNKS ditranslok ke Sungai Bahar. Akan tetapi disebabkan
tidak memadainya sarana dan prasarana di daerah tujuan dibandingkan daerah asal
(terutama kesuburan tanah yang minim di lokasi pemukiman baru) mendorong
sebagian besar warga yang dipindahkan tersebut kembali ke daerah asal mereka.
Lahan pembagian dari Balai Besar TNKS dan Pemda Kabupaten Kerinci
selanjutnya dijual oleh warga yang ditranslokkan tersebut (Adiwibowo et al.,
3
Khusus untuk kasus Dongi-Dongi, benturan ini kemudian berkembang
menjadi konflik yang lebih luas karena banyak pihak yang kemudian turut terlibat
dalam kontroversi ini. Dukungan yang kuat dari WALHI Sulawesi Tengah dan
Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (YBHR) membuat warga petani tetap bertahan
di Dongi-Dongi dan membuat upaya pemerintah untuk mencari solusi berupa
lahan alternatif di luar kawasan taman nasional tidak bisa dilaksanakan.
Menanggapi perkembangan ini, Gubernur Sulawesi Tengah melalui surat
tertanggal 18 Agustus 2001 meminta Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah untuk
mengambil tindakan tegas. Bupati Donggala tidak mau kalah, melalui surat
tertanggal 16 Agustus 2001 meminta masyarakat yang menduduki Dongi-Dongi
agar segera mengosongkan daerah Dongi-dongi dalam kurun 3 x 24 jam terhitung
sejak tanggal 20 Agustus 2001. Kepala Balai TNLL juga bersurat kepada Kapolda
Sulteng untuk mengusut YBHR yang dianggap mendalangi aksi pendudukan
Dongi-Dongi. Namun langkah penindakan tersebut di atas tidak berjalan di
lapangan. Sehingga yang muncul kemudian adalah aksi saling demo, teror dan
ancaman kekerasan oleh kedua belah pihak. Aksi unjuk rasa yang digelar oleh
kedua kubu yang saling bertentangan ini merupakan aksi protes paling masif yang
pernah terjadi dalam sejarah Provinsi Sulawesi Tengah. Sampai saat ini wilayah
Dongi-Dongi secara de facto masih dikuasai oleh masyarakat. Kondisi ini
mendorong aktivitas pembukaan lahan dan permukiman yang cenderung tidak
terkontrol, serta terjadinya kebakaran hutan. Kepala Balai Taman Nasional Lore
Lindu menyadari bahwa konflik Dongi-dongi sesungguhnya adalah akumulasi
kesalahan kebijakan pembangunan masa lalu yang tak kunjung segera dibenahi
yang kemudian berdampak panjang pada kelestarian kawasan konservasi
(Adiwibowo et al., 2008).
1.2. Perumusan Masalah
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai salah satu
kawasan konservasi tidak lepas dari konflik akses dan kontrol terhadap
sumberdaya alam yang terdapat di kawasan taman nasional. Beberapa bagian
kawasannya telah mengalami kerusakan yang cukup parah sebagai akibat kegiatan
4
ekonomi masyarakat di sekitar TNBBS yang kenyataannya masih belum
sejahtera. Sekitar 74% kawasan TNBBS berada di kabupaten Lampung Barat
dimana 71% perekonomian masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian, dan
kopi robusta (Coffe robusta) menjadi komoditas unggulannya, baik di Kabupaten
Lampung Barat maupun di tingkat propinsi. Ironisnya, komoditas ini berasal dari
kawasan TNBBS yang telah dirambah oleh masyarakat dengan mengubah fungsi
hutan menjadi kebun kopi. Tercatat dari luas total kawasan TNBBS, kurang lebih
28% (89.224 ha) telah dirambah oleh masyarakat dan digunakan untuk kegiatan
pertanian, dimana 17 % (55.402 ha) berupa kebun aktif dan 11 % (33.822) kebun
tidak aktif, yaitu kebun yang ditinggalkan tetapi pada saat musim panen terkadang
masih diambil hasilnya. Kemudian dari total luas kebun yang aktif, 82% (45.657
ha) di dominasi oleh kebun kopi yang ditumpangsarikan dengan lada, kayu manis,
cengkeh, nilam dan tanaman tahunan; 6% berupa kebun damar campur dengan
tanaman tahunan, dan 12 % berupa perambahan baru (tanaman kopi muda dan
coklat serta ladang padi). Bahkan hampir seluruh areal TNBBS yang berada di
sekitar Gunung Sekincau (Resort Sekincau) sudah berubah fungsi menjadi kebun
kopi (Dinata, 2001).
Pihak Balai Besar TNBBS telah melakukan berbagai tindakan mulai dari
penyuluhan kepada masyarakat, teguran, penindakan dan pengendalian, sampai
dengan upaya penurunan perambah sebanyak 172 KK di areal perambahan seluas
332 Ha (2006) dan pemusnahan tanaman kopi seluas 15 Ha di daerah Pengekahan,
Way Haru melalui operasi pengamanan (2007). Respon yang ditempuh oleh Balai
Besar TNBBS ini banyak menimbulkan protes dari masyarakat.
Melihat hal tersebut, maka menjadi penting untuk diketahui apa
sesungguhnya yang menjadi akar penyebab terjadinya konflik akses di TNBBS?
Sejauh mana efektivitas tindakan yang pernah ditempuh oleh Balai Besar TNBBS
dalam merespon hal tersebut? Bagaimana langkah preventif serta pengendalian
yang tepat dalam merespon masalah tersebut? Atau adakah langkah-langkah
inovatif dalam merespon masalah tersebut?
Penelitian ini dilakukan untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
kritis tersebut dan berupaya memetakan pola masing-masing pihak dalam
5
TNBBS, relasi kekuasaan yang terjalin di kalangan para pihak, dan mencoba
mencari prinsip, kaidah, dan koridor untuk merespon secara efektif konflik akses
atas ruang.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis akar penyebab terjadinya alihfungsi kawasan TNBBS
menjadi permukiman dan kebun kopi dengan menelaah relasi
kekuasaan antara para pihak dalam akses dan kontrol atas sumberdaya
alam yang berada di dalam kawasan TNBBS,
2. Mencari alternatif kebijakan dan strategi sebagai solusi untuk merespon
secara efektif konflik akses atas ruang di dalam kawasan TNBBS.
1.3. Manfaat Penelitian
1. Mengetahui respon pemerintah dalam menyikapi dan mengatasi masalah
perkebunan kopi yang terletak di dalam kawasan TNBBS,
2. Memberikan alternatif pilihan strategi dan kebijakan pengelolaan bagi
Balai Taman Nasional dalam mengakomodir berbagai kepentingan para
pihak (stakeholders) dalam rangka merespon secara efektif konflik akses
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konservasi Sumberdaya Alam
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan
sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui
untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang
terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Definisi konservasi alam di kedua peraturan perundang-undangan tersebut
mirip, meski berbeda penekanannya. Di UU No. 5/1990 lebih ditekankan di
sumberdaya alam hayati; sedangkan di UU No. 23/1997 penekanannya pada
sumberdaya yang terbaharui atau tak terbaharui. Istilah hayati menunjukkan
makhluk hidup, dan lawan katanya adalah non hayati atau benda mati (tak hidup).
Istilah terbaharui dan tidak terbaharui menyangkut sifat sumberdaya yang dapat
atau tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan lagi, tidak menyangkut hayati atau
non hayatinya.
Kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
sebagaimana dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 adalah melalui:
1. perlindungan sistem penyangga kehidupan (seperti hutan lindung, hutan
mangrove, sempadan sungai; sempadan pantai);
2. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
7
Kegiatan-kegiatan tersebut dijabarkan dari Strategi Konservasi Dunia
(World Conservation Strategy), untuk menunjukkan pentingnya pelestarian
sumberdaya alam yang terpulihkan bagi pembangunan berkelanjutan yang dapat
dicapai melalui cara (MacKinnon et al. 1993):
1. Menjaga proses penting serta sistem penopang kehidupan yang
penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan;
2. Melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi
program budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat
tanaman dan hewan budidaya. Selain itu hal ini penting bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi dan terjaminnya
sejumlah besar industri yang menggunakan sumberdaya alam.
3. Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh
manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta
dapat menopang sejumlah besar industri.
Menurut Suporahardjo (2005) bahwa prinsip pengelolaan kawasan
konservasi didasarkan pada co-ownership, co-operation, coresponsibility:
1. Prinsip Co-ownership
Kawasan yang akan dikembangkan untuk Kawasan Konservasi
adalah milik bersama, pemanfaatan dan perlindungan dilaksanakan
bersama berdasarkan pada nilai kearifan teknologi dan budaya lokal.
2. Prinsip Co-operation
Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, dilakukan dengan prinsip
mengatur peranan masing-masing yang dapat dilakukan oleh masyarakat
dan seluruh para pihak.
3. Prinsip Co-responsibility
Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, kegiatan perlindungan
dan pembinaan kawasan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat dan para pihak.
Definisi, prinsip, dan kategorisasi pengelolaan kawasan konservasi yang
telah ditentukan oleh IUCN sebenarnya merupakan hal yang bersifat “netral”
yang berarti bahwa bentuk dan kategorisasi pengelolaan tersebut tergantung pada
8
lain, sumberdaya alam yang termasuk ke dalam enam kategori pengelolaan
kawasan dilindungi dapat dimiliki dan/atau secara langsung dapat dikelola oleh
Negara, lembaga swadaya, kepemilikan bersama, baik dalam bentuk pengelolaan
sendiri ataupun kombinasi.
Di dalam pengelolaan kawasan konservasi, Grazia Borrini-Feyerabend
(2007), menyatakan suatu konsep yang relatif baru dalam ranah konservasi yaitu
konsep “kepengurusan kawasan dilindungi (Governance Protected Areas). Istilah
“kepengurusan” mencakup kekuatan, hubungan, hak, responsibilitas, dan
akuntabilitas. Beberapa mendefinisikan itu sebagai “interaksi antar struktur,
proses, dan tradisi yang mempengaruhi bagaimana kekuasaan diuji,bagaimana
keputusan diambil dalam menangani isu utama, dan bagaimana masyarakat serta
para pihak berperan di dalam pengelolaan”. Di dalam konteks kawasan
konservasi, bentuk kepengurusan sumberdaya mencakup tataran topic yang luas,
mulai dari kebijakan sampai dengan praktek; dari perilaku sampai dengan
pengertian; dan dari investasi sampai dengan dampak. Hal ini berpengaruh pada
keberhasilan dan efektifitas pengelolaan kawasan serta keadilan pengelolaan
dalam hal pembagian biaya dan distribusi manfaat sumberdaya kawasan. Hal
tersebut merupakan kunci didalam mencegah dan menyelesaikan konflik sosial
yang sering muncul di dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Perbedaan mendasar dari bentuk-bentuk kepengurusan dalan pengelolaan
kawasan konservasi terbentuk dari “ siapa yang memegang secara de facto otoritas
pengelolaan berdasarkan peraturan perundangan, hukum adat, ataupun hak kelola
yang dilegitimasi oleh aturan lainnya. Merujuk hal diatas, maka terdapat empat
tipe/bentuk dasar di dalam kepengurusan kawasan konservasi (Grazia
Borrini-Feyerabend, 2007) yaitu:
1. Government Managed Protected Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan
konservasi dimana otoritas pengelolaannya dipegang oleh pemerintah
(misalnya melalui Kementrian/Direktorat PHKA/Balai Taman Nasional).
2. Co-Managed Protected Areas, yaitu pengelolaan kawasan dengan
melibatkan para pihak baik organisasi formal ataupun non formal, baik
pemerintah ataupun lembaga swadaya (NGO) dimana bentuk
9
pelaksanaan pengelolaan, para pihak bersama-sama membentuk badan
pengelola untuk memutuskan strategi/kebijakan pengelolaan kawasan.
Co-manajemen merupakan bentuk penguasaan kawasan yang mengedepankan
demokrasi dan terjadi karena situasi yang kompleks. Kekuatan dari bentuk
ini bergantung pada komitmen bersama para pihak dalam menjalankan
kesepakatan/konsensus
3. Private Protected Areas, yaitu bentuk atau tipe penguasaan kawasan,
dimana pengelolaannya dilakukan oleh individu, koperasi, lembaga
swadaya atau badan usaha bersama. Tipe penguasaan kawasan seperti ini
pengelolaannya dapat ditujukan untuk kepentingan konservasi (non-profit)
atau untuk memperoleh keuntungan (profit) melalui kegiatan ekowisata,
perburuan, dan lain-lain, bergantung pada kebijakan pemilik hak kelola.
4. Community Conserved Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan
konservasi oleh masyarakat lokal dengan berdasarkan kearifan tradisional
dan hak ulayat/hukum adat. Dengan demikian, maka pengelolaannya
berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lainnya, sesuai dengan adat
dan kesepakatan tradisional dari masyarakat lokal yang bersangkutan.
2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi
Sampai saat ini, konservasi alam di Indonesia masih menghadap berbagai
masalah mendasar. Pada aras paradigma, masih relevan untuk dipertanyakan
kembali benarkah berbagai kebijakan konservasi yang ada sekarang merupakan
hasil dari refleksi yang berangkat dari kesadaran akan kenyataan kritis
sumberdaya alam atau hanya sekedar reaksi mengikuti kecenderungan konservasi
yang menggejala secara global.
Pada tataran konsepsi berbagai kebijakan konservasi masih berlandaskan
pada pandangan yang bersifat preservatif, yang secara kaku memandang
sumberdaya alam sebagai sesuatu yang statis dan bersifat arcadian sehingga perlu
diawetkan dalam sebuah museum alam yang seolah-olah terlarang untuk disentuh.
Kesalahan paradigma ini pada akhirnya menyebabkan pendekatan pengelolaan
kawasan konservasi pada umumnya selalu menempatkan masyarakat sebagai
10
Akibatnya, pengelolaan berjalan tanpa arbitrase, tanpa komunikasi, dan rakyat
sebagai pemegang kedaulatan selalu harus mengalah atau bahkan dikalahkan.
Di dalam pengelolaan taman nasional hal tersebut pun tidak dapat
diindahkan. Menurut Adiwibowo et al.,(2008) disebutkan bahwa rentang
kekuasaan Balai Taman Nasional diperoleh atau bersumber dari i) kebijakan dan
peraturan perundangan negara tentang kawasan konservasi (juridical power), dan
ii) ilmu pengetahuan dan diskursus tentang konservasi keanekaragaman hayati
(knowledge/discourse power). Juridical power mengatur tindakan apa saja yang
dilarang dan yang dibolehkan oleh negara (forbidden vs allow). Sementara
knowledge/discourse power memberi penilaian tindakan apa saja yang tergolong
salah atau benar (right vs wrong) menurut ilmu pengetahuan atau diskursus
konservasi.
Untuk selanjutnya akan dipaparkan kebijakan dan peraturan perundangan
yang menjadi landasan Balai Taman Nasional dalam mengelola kawasan taman
nasional. Atas dasar ini masyarakat yang membuka atau berada di dalam kawasan
konservasi baik berupa kegiatan pertanian dan permukiman dipandang sebagai
perbuatan yang salah dan dilarang.
2.3. Peraturan Perundang-undangan Konservasi
Istilah konservasi yang sekarang dikenal pada dasarnya merupakan hasil
diskursus ilmu yang telah mengalami perubahan dan pembaharuan dalam jangka
waktu yang panjang sampai dengan sekarang. Istilah ini berawal muncul sebagai
aktualisasi pertumbuhan romantisme Eropa pada awal abad ke 18 yang
dipengaruhi oleh perkembangan perilaku baru yang berasal dari interpretasi
religius ilmu pengetahuan. Kemudian pada akhir abad 19 muncul perkembangan
yang bersifat progresif aksi-aksi pengawetan alam (nature preservation). Dalam
perkembangan selanjutnya, logika preservasi sering terjebak pada pandangan
arkeologis yang cenderung melihat sumberdaya sebagai sesuatu yang statis dan
harus diawetkan. Koreksi terhadap kekeliruan dasar logika preservasi ini
kemudian memunculkan istilah baru yang diangap lebih relevan yaitu konservasi
alam (nature conservation) yang diartikan sebagai perlindungan dengan nuansa
11
terkandung makna pengawetan (preservation), tetapi juga perlindungan
(protection) dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use). Menjelang akhir
1990an narasi konservasi alam meredup dan diganti dengan konservasi
keanekaragaman hayati (biodiversity conservation).
Menurut Adiwibowo et al. (2008), sebagai produk ilmu pengetahuan
modern ada tiga hal yang melekat dalam istilah konservasi. Pertama, dalam
konservasi senantiasa terkandung makna, ideologi, pengetahuan, dan
simbol-simbol yang merefleksikan kepentingan dan kebutuhan manusia, akumulasi ilmu
pengetahuan, dan kondisi alam itu sendiri. Kedua, dalam pengetahuan senantiasa
melekat kekuasaan (power), terlepas apakah pengetahuan tersebut merupakan
pengetahuan lokal (indigenous knowledge, local knowledge), atau merupakan
ilmu pengetahuan modern (scientific knowledge). Ketiga, istilah konservasi
keanekaragaman hayati dalam waktu singkat menjadi perhatian semua pihak
sebagai akibat kampanye dan lobby yang intensif dari kalangan LSM
internasional dan akademisi. Dari yang semula hanya merupakan ajang
kepedulian peneliti dan akademisi (diskursus pengawetan alam), kini menjadi
ajang kepedulian pemerintah, LSM, pengusaha, dan bahkan lembaga-lembaga
internasional. Konservasi keanekaragaman hayati kini telah menjadi diskursus
global terutama semenjak dideklarasikannya Konvensi Keanekaragaman Hayati
(Convention on Biological Diversity).
Dalam tesis ini, istilah konservasi dipandang sebagai produk ilmu
pengetahuan yang didalamnya melekat kekuasaan (power) setelah istilah
konservasi diwujudkan dalam bentuk konvensi dan peraturan
perundangan-undangan yang bersifat mengikat, membatasi, dan mengatur akses terhadap
sumberdaya alam yang berada di areal yang ditunjuk sebagai suatu kawasan
konservasi. Salah satu bentuk kawasan konservasi yang bersifat membatasi dan
mengatur akses para pihak atas sumberdaya yang ada di dalamnya adalah kawasan
taman nasional, dimana kerangka pokok dari taman nasional berdasarkan kongres
IUCN di New Delhi 1969 secara eksplisit menyatakan bahwa taman nasional
merupakan ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi
manusia serta pihak pengelola memiliki power untuk mengambil langkah-langkah
12
menerapkan perlindungan efektif (effective protection), serta bentuk pemanfaatan
kawasan taman nasional hanya ditujukan pada kondisi yang spesial untuk tujuan
inspirasi, pendidikan, budaya, dan rekreasi.
Meski disadari bahwa kerangka pokok taman nasional di atas belum tentu
dapat diterapkan di semua negara namun secara prinsip batasan tersebut dapat
diterima oleh sebagian besar anggota IUCN. Di Indonesia sendiri, penetapan dan
pengukuhan taman nasional sendiri diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta peraturan lainnya baik
berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, ataupun Keputusan Menteri.
Kriteria penetapan taman nasional diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam dimana disebutkan bahwa kawasan taman nasional harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara
alami
2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis
tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih
utuh dan alami
3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh
4. Memiliki keadaan alam yang asli & alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam
5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan
rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan
dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Kemudian di bawah ini akan dipaparkan beberapa pasal Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 yang berkaitan langsung dengan pengelolaan taman
nasional.
13
alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayai tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya secara lestari.
Pasal 31 : Di taman nasional dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, budaya dan wisata alam.
Pasal 32 : Taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari
zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain yang sesuai dengan
keperluan.
Pasal 33 : Taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan terganggu
fungsinya
Konsekuensi dari arahan pengelolaan ini adalah : Pertama, taman nasional
harus dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti untuk keperluan
perlindungan dan pelestarian, zona pemanfaatan untuk kegiatan penelitian, wisata
alam, dan pendidikan, serta zona rimba dan zona lain karena pertimbangan
kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan
dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kedua, pengelolaan taman
nasional menggunakan pendekatan konservasi ekosistem, yaitu pengelolaan
ekosistem sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh, dan tidak hanya terbatas
hanya pada konservasi spesies. Hal ini secara nyata disebutkan dalam pasal 33,
UU No. 5 Tahun 1990, bahwa taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan
terganggu fungsinya.
Hal inilah yang kemudian membangun paradigma pengelolaan kawasan
taman nasional. Paradigma yang memandang kawasan taman nasional sebagai
suatu yang arcadian , yang memandang bahwa alam yang unik, khas, dan utuh
harus diawetkan dan dilindungi serta terbebas dari sentuhan manusia. Cara
pandang tersebut membawa konsekuensi bahwa akses yang bersifat memotong,
merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan tumbuhan dan satwa, serta
mengubah bentang alam untuk berbagai keperluan (termasuk pertanian dan
14
yang diperbolehkan adalah pengawetan dan perlindungan keanekaragaman hayati,
penelitian, pendidikan, pembinaan habitat dan populasi satwa, pariwisata alam
dan wisata alam terbatas.
Pada Tabel 1 dipaparkan kriteria penetapan kawasan dan zonasi taman
nasional yang berlaku di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku.
2.4. Undang-Undang Pokok Agraria
Keberadaan pemukiman dan areal lahan pertanian di dalam kawasan yang
menjadi sumber utama penghidupan masyarakat secara tidak langsung
menciptakan konflik akses terhadap kawasan taman nasional. Pada dasarnya,
konflik akses atas ruang di dalam kawasan tersebut merupakan bentuk konflik
agrarian antara masyarakat dengan pemerintah, dalam hal ini Balai Taman
Nasional selaku pengelola kawasan. Dengan demikian, maka salah satu peraturan
perundangan yang penting untuk diulas dalam konteks akses dan kontrol terhadap
sumber-sumber agraria di kawasan konservasi adalah Undang-Undang No 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (atau yang selanjutnya
disebut sebagai UUPA). Dalam Pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa hak yang
melekat pada sebidang tanah meliputi : hak milik, hak usaha, hak
guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut-hasil hutan,
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak hak yang sifatnya sementara.
Apabila akses ke taman nasional sebagaimana dimaksud dikaitkan dengan
hak atas sumberdaya tanah sebagaimana dimaksud diatas, maka hanya Hak Pakai
dan Hak Memungut Hasil Hutan yang diakomodir di dalam kawasan taman
nasional (Tabel 2). Namun kedua hak dimaksud terbatas lingkup dan lokasinya.
Hak Memungut Hasil Hutan hanya dapat berlaku untuk pemanfaatan tumbuhan
liar dan satwa liar sebagaimana dimaksud dalam PP No 8 Tahun 1999. Sementara
Hak Pakai hanya berlaku untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam
sebagaimana dimaksud dalam PP No 18 Tahun 1994. Kedua Hak dimaksud hanya
dapat dilakukan di zona pemanfaatan. Tampak bahwa Hak Memungut Hasil
15
Tabel 1. Kriteria Penetapan Kawasan dan Zonasi Taman Nasional Berdasarkan PP Nomor 68 Tahun 1998 dan Permenhut Nomor 56
P.56/Menhut-II/2006 (Adiwibowo, et al., 2008)
Kriteria Penetapan Taman Nasional (PP No 68 Tahun 1998) • Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara alami
• Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami
• Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh
• Memiliki keadaan alam yang asli & alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam
• Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri
Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)
Zona Taman Nasional
Zona Inti Zona Rimba Zona
Pemanfaatan
Zona Lain Zona
Tradisional
Zona Rehabilitasi
Zona Religi, Bud.&Sejarah
Zona Khusus
• Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistem
√
• Mewakili formasi biota tertentu & atau unit-unit
penyusunnya √
• Mempunyai kondisi alam yg masih asli & tidak atau
belum diganggu manusia √
• Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yg menunjang pengelolaan yg efektif & menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami
√
• Mempunyai ciri khas potensinya & dapat menjadi contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi
√
16
Lanjutan Tabel 1
Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)
Zona Taman Nasional
Zona Inti Zona Rimba Zona
Pemanfaatan Zona Lain Zona Tradisional Zona Rehabilitasi Zona Religi, Bud.&Sejarah Zona Khusus
• Mempunyai komunitas tumbuhan & atau satwa serta ekosistemnya yg langka atau keberadaannya terancam punah keberadaannya terancam punah
√
• Merupakan habitat satwa dan/atau tumbuhan tertentu yg prioritas & khas/endemik tertentu yg prioritas & khas/endemik
√
• Merupakan tempat aktivitas & kehidupan satwa migran √ √
• Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi & mendukung upaya perkembangbiakan jenis satwa
√
• Memiliki ekosistem dan/atau keanekaragaman jenis yg mampu menyangga pelestarian zona inti & zona pemanfaatan
√ √
• Mempunyai daya tarik alam / formasi eksositem tertentu / geologi yg indah & unik
√
• Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi & daya tarik untuk pariwisata & rekreasi alam
√
• Kondisi lingkungan di sekitarnya yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan
√
• Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangun sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan
√
• Tidak berbatasan langsung dengan zona inti √
17
Lanjutan Tabel 1
Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)
Zona Taman Nasional
Zona Inti Zona
Rimba Zona Pemanfaatan Zona Lain Zona Tradisional Zona Rehabilitasi Zona Religi, Bud.&Sejarah Zona Khusus
• Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat
√
• Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumber daya alam tertentu yg telah dimanfaatkan melalui kegiatan perkembangbiakan, perbanyakan & pembesaran oleh masyarakat setempat
√
• Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya memerlukan campur tangan manusia
√
• Adanya invasi species yang mengganggu jenis dan spesies asli dalam kawasan
√
• Pemulihan kawasan dimaksud sekurang- kurangnya memerlukan waktu 5 tahun
√
• Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih
dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat √
• Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-undang maupun tidak
√
• Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupan sebelum wilayah tsb
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional
√
• Telah terdapat sarana prasarana al telkom, fasilitas transportasi & listrik sebelum wilayah tsb
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional
√
18
Tabel 2. Hak Agraria dalam Konteks Akses, Pemanfaatan dan Kontrol atas Taman Nasional
Sumber : Adiwibowo, et al, (2008) dengan beberapa modifikasi
Keterangan :
A. UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
B. PP No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
C. PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam D. PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan Liar dan Satwa Liar
E. PP No 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Jenis akses/kontrol di dalam taman nasional menurut UU No 5/1990, UU No
41/1999 & peraturan pelaksanaanya
Hak Agraria Berdasarkan UUPA 1960 Hak
Pengusahaan Pariwisata Alam Dasar Hukum Hak Milik Hak Guna Usaha & Hak Guna Bangunan Hak Sewa Tanah Hak Membuka Tanah Hak Memungut Hasil Hutan Hak Pakai
Mengunjungi taman nasional (berkunjung, berkemah, mendaki, hiking)
- - - -
√ √ √ EPengkajian, penelitian, dan
pengembangan
- - - -
√ √ √D
Mengelola usaha pariwisata alam di
zona pemanfaatan & zona lain
- - - - -
√ √C
Memungut hasil hutan (tumbuhan liar & penangkapan satwa liar) utk kegiatan penangkaran
- - - -
√ √-
DPerburuan satwa liar untuk keperluan olah raga buru atau perburuan tradisional
- - - -
√ √-
DMemungut tumbuhan & satwa liar yang
tidak dilindungi untuk perdagangan
- - - -
√- -
D
19
terbatas sifatnya dan dikonstruksikan dengan maksud untuk melindungi
integritas ekosistem kawasan konservasi. Namun pembatasan akses ini berikut
larangan perbuatan telah merubah struktur dan relasi agrarian masyarakat sekitar
hutan yang telah lama berinteraksi dengan hutan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi dan telah menggantungkan kehidupannya kepada
sumberdaya hutan terutama sumberdaya lahan. Padahal jika kita melihat ke
belakang, keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang
memanfaatkan sumberdaya lahan di kawasan taman nasional sebagai sumber
penghidupan tidaklah serta merta muncul begitu saja. Mereka sudah di sana
dalam waktu yang lama. Interaksinya dengan hutan telah membentuk identitas,
budaya, kebiasaan, dan tata nilai yang dipegang teguh dan dihormati
masyarakatnya dalam kurun waktu yang amat panjang.
Pada dasarnya UUPA berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat,
namun sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa
Indonesia tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan saja tetapi juga menjadi hak bangsa Indonesia. Maka sebagai
implikasinya pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi (Pasal 3 UUPA). Dalam perjalanannya, konstruksi hukum
Pasal 3 UUPA plus Hak Menguasai dari Negara ini (Pasal 2 UUPA) justru
menjadi “kendaraan” yang efektif bagi para penyelenggara negara untuk
mengubah, menggunakan atau memanfaatkan secara sepihak tanah-tanah ulayat
atau hutan ulayat atas nama program pembangunan. Sehingga ketika tanah
ulayat tersebut akan digunakan untuk kepentingan nasional, negara atau bahkan
global, warga masyarakat yang mempunyai Hak Pakai atas sebagian tanah ulayat
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan negara. Hal ini
tampil kuat dalam UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (kini telah diganti dengan UU No 41 Tahun 1999). Melalui UU No 5
Tahun 1967, Departemen Kehutanan secara sepihak dapat menetapkan 61 persen
20
negara dengan alokasi untuk hutan produksi, lindung dan konservasi
(Adiwibowo et al., 2008).
2.5. Tantangan Pengelolaan Taman Nasional ke Depan
Perubahan sistem penguasaan sumberdaya hutan sebagai dampak dari
berubahnya institusi pengelola menyebabkan berubahnya pola penguasaan dan
kepemilikan lahan hutan. Sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai taman
nasional, masyarakat secara “bebas” dapat mengakses sumberdaya hutan dan
lahan, namun hal tersebut berubah ketika kawasan tersebut menjadi taman
nasional. Perubahan dari de-facto customary property regime ke de-jure state
common property regime ini membawa pengaruh besar pada tatanan kehidupan
masyarakat sekitar hutan. Akses, pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber
agraria di kawasan hutan yang semula merupakan hubungan hak ulayat yang
bersifat tradisional digantikan dengan hubungan hak yang mempunyai relasi
dengan konservasi modern, yakni: kunjungan ke taman nasional; pengkajian,
penelitian dan pengembangan; memungut hasil hutan (tumbuhan liar dan
penangkapan satwa liar) untuk keperluan penangkaran, olah raga buru atau
perburuan tradisional, memungut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi
untuk perdagangan, dan mengelola usaha pariwisata alam di zona pemanfaatan.
Perubahan rejim penguasaan kawasan hutan ini membawa konsekuensi
putusnya hubungan hak ulayat antara masyarakat dengan hutan yang telah
terjalin sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan penetapan zonasi-zonasi
pengelolaan yang masih bias dan lebih banyak dilakukan secara sepihak serta
kurang dikonsultasikan dengan masyarakat, padahal hal ini memiliki implikasi
yang sangat besar. Akibatnya, seperti yang selama ini terjadi, muncul konflik
yang berkepanjangan antara masyarakat setempat dengan pengelola taman
nasional. Disinilah dituntut peran strategis pengelola taman nasional dan
pemerintah dalam menyeimbangkan trade off antara kepentingan masyarakat
dengan kepentingan global. Sehingga menjadi tantangan kita bersama
bagaimana mewujudkan taman nasional yang dapat menjalankan fungsinya
dalam melindungi keanekaragaman hayati sekaligus memiliki kemanfaatan yang
21
riwayat sosio-agraria yang telah terjalin jauh sebelum kawasan tersebut
ditetapkan sebagai kawasan taman nasional.
2.6. Teori Akses
Peluso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh
manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih
luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak
untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (“the right to benefit from things”).
Akses dalam definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a
bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses
sebagai“sekumpulan hak” (“a bundle of rights”). Kekuasaan, menurut Peluso,
terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang
berhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers)
dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses
ke sumber daya. Implikasi dari definisi Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang
inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme,
proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi
untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen
material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses
yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-ubah menurut ruang dan waktu.
Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda
dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda.
Individu dan institusi yang menguasai akses terhadap sumberdaya,
berusaha untuk selalu memelihara posisi dan keberadaannya agar tetap memiliki
kontrol dalam mengakses sumberdaya tersebut. Analisis akses akan membantu
kita untuk memahami mengapa beberapa individu atau institusi mengambil
manfaat dari sumberdaya, baik memiliki hak atau pun tidak memiliki hak dalam
mengakses sumberdaya tersebut. Hal ini merupakan perbedaan yang mendasar
antara analisis akses dan properti. Jika dalam studi properti ditelaah relasi
properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi
tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber
22
2.6.1. Teori Akses: Meletakkan Hak Milik pada Tempatnya
Salah satu penulis memberikan pandangan bahwa hak milik merupakan
hak yang berdasarkan atas wewenang dan sanksi hukum; pandangan lain
menyatakan bahwa hak merupakan sesuatu yang muncul secara alamiah (hak
alamiah). Meskipun kedua pandangan tersebut sepintas tampak bertentangan
namun pada dasarnya keduanya saling mendukung dan berkorelasi membentuk
suatu doktrin yang disebut dengan hak milik
Apa itu hak milik (property right)? 1849 (Proudhon 1993:13)
Lebih dari 150 tahun setelah istilah ini dikemukakan, Proudhon mulai
untuk mempertanyakan bagaimana melakukan analisa terhadap hak milik. Di
dalam teori akses, terdapat perbedaan batasan dari property itu sendiri., dimana
terdapat beberapa perbedaan kunci antara kedua terminology tersebut.. Kita
menggambarkan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari
sesuatu. Macpherson (1978) dalam Peluso (2003) mengidentifikasi bahwa hak
milik merupakan "... suatu hak dimana seseorang dapat mempergunakan
sumberdaya atau mengambil manfaat dari sumberdaya tersebut…”. Suatu hak
dapat dilaksanakan jika diakui dan didukung oleh masyarakat, hukum, dan adat
kebiasaan. Istilah "manfaat" secara umum memiliki makna yang sama baik pada
definisi hak milik dan akses. Teori hak milik dan akses sama-sama membahas
bagaimana hubungan para aktor/individu dalam memperoleh manfaat dari
sumberdaya serta posisi/kedudukan mereka terhadap sumberdaya tersebut.
Manfaat dari sumberdaya sangatlah penting bagi individu, institusi, dan
masyarakat dalam mempertahankan hidup dan untuk itu mereka saling
berinteraksi satu sama lain membentuk kerjasama atau bahkan kompetisi di
dalam upaya mendapatkan sumberdaya yang bersangkutan.
Perbedaan mendasar antara akses dan hak milik adalah pada istilah
"kemampuan (ability)" dan "hak (right)". Kemampuan menggambarkan suatu
kekuasaan, yang bermakna: 1) kapasitas para aktor dalam menguasai dan
mempengaruhi orang lain, dan 2) kekuasaan tidak hanya dipandang sebagai
kemampuan dalam memberikan pengaruh terhadap orang lain. Kekuasaan pada
dasarnya tidak dapat dipisahkan dan selalu muncul sebagai konsekuensi dari
23
mempengaruhi. Peraturan yang terbentuk dari kekuasaan dapat meyakinkan
orang untuk bertindak sesuai dengan aturan tanpa adanya paksaan (Foucault
1978a, 1979 dalam Peluso 2003).
Akses adalah segala sesuatu yang mungkin digunakan oleh individu
dalam memperoleh manfaat dari sumbedaya. Hak milik secara umum didapat
dari pengakuan social ataupun diperoleh dari pengakuan yang bersumber
peraturan dan kesepakatan yang telah diketahui besama baik dalam bentuk
hokum, perjanjian, ataupun adat kebiasaan. Pemilik hak menikmati
keberadaannya dalam tingkatan sosial yang memilki kemampuan untuk
mengakses sumberdaya. Hak biasanya selalu berasosiasi dengan hukum,
kebiasaan, dan konvensi tetapi tidaklah selalu sepadan keberadaannya. Akses
secara tidak langsung dapat merupakan aktivitas yang dilakukan oleh individu
walaupun tidak sesuai dengan hak miliknya dan atau norma sosial serta
kesepakatan yang ada.
Hampir sebagian besar literatur yang berkembang dalam lingkup hak
milik bersama dan penguasaan sumberdaya menunjukkan bahwa hukum (baik
lisan atau tulisan, resmi atau tidak resmi) tidak sepenuhnya menggambarkan
secara jelas semua bentuk dan jalan yang digunakan individu, institusi, atau
organisasi dalam mengakses sumberdaya dalam kondisi yang kompleks dan
jaring kekuasaan yang tumpang tindih diantara para aktor tersebut.
Dalam beberapa dimensi akses, akan dibahas secara mendalam atau
melihat secara lebih luas studi mengenai hak kepemilikan (property). Hak milik
dalam sebagian besar literatur cenderung dihubungkan pada istilah
“kepemilikan”, tetapi hal tersebut telah berubah secara drastis dalam beberapa
tahun terakhir. Bahkan istilah “relasi hak milik” dan “penguasaan” hanya
mengkaji hubungan sumberdaya kepemilikan dan kendali hukum yang
dijalankan oleh institusi sosial terkadang memiliki posisi lebih besar peranannya
dibandingkan hak kepemilikan yang diatur oleh hukum negara. Membahas
konsep hak milik dan penguasaan untuk menempatkan hak milik dalam akses
merupakan satu set dari gabungan faktor dalam aras yang luas didalam institusi,
hubungan sosial politik dan ekonomi, dan membentuk jaring yang kompleks dan
24
dalam mengakses sumberdaya terkadang tidak sah atau tidak terlegitimasi
hukum yang berlaku (ilegal). Karenanya, analisis akses harus memperhatikan
hak milik secara holistik, termasuk tindakan ilegal, hubungan hasil, hubungan
kepentingan, dan sejarah terjadinya akses itu sendiri (Peluso, 2003).
Berdasarkan uraian di atas maka teori akses dapat digunakan untuk: 1)
mengidentifikasi dan memetakan aliran manfaat dari sumberdaya; 2)
mengidentifikasi mekanisme para aktor berbeda dalam mengendalikan dan
memelihara aliran manfaat beserta distribusi dari sumberdaya yang diakses; dan
3) menganalisis hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang
melibatkan para aktor dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya. Analisa
akses terhadap sumberdaya pada awalnya membutuhkan identifikasi manfaat
yang diperoleh dari sumberdaya yang diakses (Peluso, 2003).
2.6.2. Mekanisme Akses
Di dalam mekanisme akses, terdapat dua kategori dasar perilaku dan
tindakan individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya, yaitu 1)
mekanisme akses secara legal berdasarkan hak kepemilikannya (berkesesuaian
dengan hokum, kesepakatan, ataupun norma socsal), dan 2) mekanisme akses
secara ilegal atau tidak sah.
a. Akses yang Berdasar Atas Hak Milik (Legal Access)
Legal akses terbentuk ketika kemampuan para aktor dalam mengakses
manfaat atas sumberdaya berkesesuaian dengan peraturan, kesepakatan, dan adat
kebiasaan yang pada saat ini disebut sebagai milik (property) (MacPherson,
1978 dalam Peluso, 2003). Hak tersebut dimiliki oleh para pemegang hak yang
dilegitimasi oleh komunitas sosial, pemerintah dan bentuk konvensi lainnya
yang muncul dalam kerangka pengakuan hak/klaim. Hukum dasar dari hak milik
ini memberikan akses kepada individu untuk melakukan apapun dalam
memanfaatkan sumberdaya, sampai memindahtangankan sumberdaya tersebut
kepada orang lain. Hanya saja, bentuk legal akses yang berdasarkan pada aturan
sosial atau kesepakatan biasanya tidak secara kuat mengikat dan memaksa para
aktor untuk mengikuti mekanisme yang legal dalam memperoleh manfaat dari
25
Namun terkadang kebijakan atau peraturan yang ada tidak secara jelas
menggambarkan batasan kekuaaan para aktor dalam mengakses sumberdaya,
sehingga pada akhirnya akan bermuara pada konflik. Sebagai contoh,hal ini
dapat ditemukan dalam bentuk pengelolaan sumberdaya secara bersama dimana
batasan hak dan akses tidak jelas. Atas nama desentralisasi atau partisipasi,
pendekatan manajemenen kolaborasi yang didasarkan pada pelibatan masyarakat
di dalam pengelolaan sumberdaya ternyata tidak berhasil mengakomodir hak
penduduk local di sekitar hutan dalam mengakses sumberdaya hutan (Sundar
dan Baviskar 2001 dalam Peluso, 2003). Sehingga peraturan yang legal yang
mengatur akses pada akhirnya tidak memberikan hak masyarakat lokal dan
menjadikan sumberdaya negara dalam hal ini hutan menjadi close access bagi
masyarakat atau masyarakat dipaksa untuk tunduk pada aturan yang telah
ditetapkan.
b. Akses Ilegal (Illegal Access)
Ilegal akses merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh
individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya yang bertentangan dengan
peraruran ataupun kesepakatan yang telah ditentukan. Illegal akses biasanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak sesuai dengan kaidah atau dilakukan
secara terpaksa karena terbatasnya ruang dalam mengakses sumberdaya.
Tujuannya adalah untuk mengendalikan, memelihara dan mengontrol akses
terhadap sumberdaya. Ilegal akses terbentuk dari berbagai macam sumber
misalnya karena adanya paksaan terhadap suatu kelompok masyarakat dan
membatasi mereka dalam mengakses sumberdaya, biasanya bila tidak
dikendalikan akan menimbulkan konflik dan berujung pada kekerasan, karena
masing-masing pihak berusaha untuk mempertahankan keberadaannya dalam
mengakses sumberdaya (Peluso, 2003).
2.7. Hak Milik (Property rights)
Hak milik atau property rights merupakan hak yang dimiliki oleh
individu, masyarakat, negara atas sumberdaya (asset/endowment) untuk
mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk
26
mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat
pengatur hubungan antar individu (North, 1990). Konsep hak kepemilikan
memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang
diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan
antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak
tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui
pengaturan administrasi pemerintah.
Dalam banyak hal hak kepemilikan (property right) merupakan produk
dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat, sehingga tidak seorangpun
dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat (dan negara).
Implikasinya: 1) Hak seseorang adalah kewajiban orang lain, 2) Sumber
kekuatan untuk akses dan control terhadap sumberdaya (Hanna, 1996).
Bentuk “property regime”dapat bermacam-macam:
1. Private property (milik pribadi)
2. State property (milik negara)
3. Communal (common) property (milik komunal– adat, ulayat, dan lainnya)
4. Public property (milik umum)
5. Open access property (akses terbuka)
Turner (1994) mengatakan bahwa struktur hak kepemilikian yang dapat
menghasilkan alokasi sumberdaya secara efisien mempunyai empat karakteristik
sebagai berikut:
1. Universality ; seluruh sumberdaya dimiliki secara individu dan seluruh
hak-hak atas penggunaan sumberdaya tersebut didefinisikan dengan jelas
2. Exclusivity ; seluruh biaya yang dibelanjakan dan manfaat yang diperoleh
dari pemanfaatan sumberdaya tersebut harus ditanggung atau dinikmati
oleh pemiliknya.
3. Transferability ; hak kepemilikan harus dapat dipindah tangankan secara
sukarela dari satu pemilik ke pemilik yang lain
4. Enforceability ; hak kepemilikan harus aman dari kemungkinan adanya
gangguan dari pihak lain.
Secara umum karakteristik dan bentuk property regime beserta