• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAWASAN TAMAN NASIONAL

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

VI. MASYARAKAT DUSUN SIDOMAKMUR : RIWAYAT, POLA AKSES DAN KONTROL

6.2. Riwayat Perkembangan Permukiman dan Kebun Kop

Dusun Sidomakmur secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Secara definitif daerah ini diresmikan tahun 1977 menjadi dusun dan termasuk ke dalam desa Sukananti. Pada tahun 2008, karena wilayahnya semakin luas dan berkembang pesat, dusun Sidomakmur diusulkan untuk ditetapkan menjadi desa. Batas wilayah dusun Sidomakmur adalah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan dusun Sidomulyo, sebelah selatan berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, sebelah timur dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Desa Srimenanti dan sebelah barat dengan dusun Tambak Sakti.

77

Dusun Sidomakmur dihuni oleh sekitar 874 jiwa (196 KK). Umumnya penduduk dusun beragama islam, dengan etnis dominan berasal dari suku jawa. Mayoritas penduduk desa adalah petani kebun dengan rata-rata lahan budidaya seluas 2 ha. Untuk pendapatan di luar kebun kopi, penduduk umumnya melakukan aktivitas seperti menjadi buruh tani atau bekerja ke luar desa (jasa). Rata-rata pengeluaran ekonomi rumah tangga penduduk setiap bulan berkisar antara Rp. 225.000 sampai dengan 400.000. Rata-rata tanggungan maksimal dalam satu keluarga adalah 3 orang anak.

Akses masuk dan keluar desa sangat mudah dilalui oleh segala jenis kendaraan dengan kondisi jalan aspal untuk sampai ke pemukiman. Sedangkan jalan yang berada dalam kawasan taman nasional masih berupa jalan tanah, namun bisa tempuh menggunakan mobil 4 x 4 WD dan motor.

Dusun ini belum memiliki sarana pasar, sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga terdapat warung-warung milik warga. Fasilitas pendidikan di dusun ini berupa 1 unit SD Inpres yang dibangun permanen, sarana balai desa, pos keamanan lingkungan dan PDAM yang merupakan hasil swadaya masyarakat. Untuk sarana peribadatan terdapat mesjid di pusat dusun.

Menurut sejarahnya dusun Sidomakmur pertama kali dibuka oleh peladang berpindah yang berasal dari Sumatera Selatan (Suku Sumendo) pada tahun 1940 dan diberi nama umbulan Padang Alang-alang. Pembukaan pertama dilakukan oleh sekitar 4 KK yang merupakan peladang berpindah berasal dari Sumatera Selatan (suku Sumendo) dan pribumi Lampung. Pertama kali lahan ditanami padi setelah itu berangsur-angsur di selingi tanaman kopi. Kondisi lahan sebelum dibuka masih berupa hutan belantara, namun sudah terdapat jalan setapak menuju Suoh. Kemudian pada tahun 1960 terjadi perluasan pembukaan lahan kawasan yang dilakukan oleh peladang lama ditambah peladang baru yang berasal dari Sumatera Selatan (suku sumendo) dan lampung. Pada saat itu lahan bukaan ditanami padi dan berangsur-angsur ditanami kopi. Kondisi lahan yang dibuka tahun ini masih berupa hutan.

Selanjutnya pada tahun 1968 terjadi bencana kebakaran yang mengakibatkan kerusakan areal perkebunan kopi dan hutan sekitarnya. Titik api berasal dari sisa-sisa kayu tebangan yang dibakar saat musim kemarau. Pasca

78

kebakaran sebagian petani membuka lagi kawasan hutan yang masih utuh di talang Air Abang sedangkan sisanya pulang ke kampung asal. Areal bekas kebakaran ditinggalkan oleh peladang dan berubah menjadi padang ilalang. Kemudian pada tahun 1977 terbentuk umbulan Padang Alang-Alang telah dihuni oleh 6 KK. Untuk meramaikan umbulan maka peratin Sukananti (Bpk. Jamal) memberi kuasa kepada Bpk. Muhari untuk memberi kesempatan kepada pendatang untuk membuka belukar yang berupa ilalang dengan jatah lahan per KK 2 ha untuk areal perkebunan dan ¼ ha untuk lokasi pemukiman.

Jumlah pemukiman secara berangsur-angsur bertambah seiring masuknya pendatang, hingga pada pertengahan tahun 1977 penduduk di talang Padang Alang-Alang meningkat menjadi 40 KK. Para pendatang sebagian besar berasal dari Jawa dan Jepara (Lamtim). Pada tanggal 07-07-1977 Peratin Sukananti menetapkan talang tersebut menjadi dusun yang diberi nama Sidomakmur, setelah sebelumnya beberapa kali pergantian nama seperti; talang padang alang-alang, talang tanjung wangi dan sidomakmur. Jenis komoditi perkebunan yang ditanam masyarakat didominasi oleh tanaman kopi. Disamping itu masyarakat juga menanam padi dan singkong.

Pada tahun 1982, ketika TNBBS dideklarasikan, kawasan pemukiman dan pertanian di dusun Sidomakmur berdasarkan tata batas masuk ke dalam kawasan TNBBS. Walau sudah ditetapkan menjadi bagain dari kawasan TNBBS tetapi warga dusun Sidomakmur masih tetap tinggal bermukim dan berkebun kopi di areal tersebut. Bahkan pada tahun 1983 melalui program ABRI Masuk Desa (AMD) dilakukan pelebaran jalan (rintisan) menuju Kayu Are dan Suoh. Tahun 1987, dusun Sidomakmur terus mengalami perkembangan, pada tahun ini jumlah penduduk yang berdomisili berjumlah 100 KK. Para pendatang umumnya berasal dari Jawa, setelah mendapat informasi dari kerabat yang sudah lebih dahulu berdomisili di Sidomakmur. Pertambahan penduduk ini juga berpengaruh terhadap penggunaan lahan di Sidomakmur. Kemudian pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan untuk kedua kalinya dan diperkirakan luas hutan yang rusak akibat kebakaran tersebut mencapai diperkirakan >100 ha. Pada saat tersebut jumlah penduduk yang berdomisili di Sidomakmur berjumlah 150 KK.

79

Kondisi dusun Sidomakmur yang terus mengalami perkembangan pesat tentu saja mendapat respon dari Balai TNBBS. Respon dari Balai TNBBS ini cukup represif, dengan argumen untuk mempertahankan kawasan, sehingga konflik dengan masyarakat tidak dapat dihindarkan. Akhirnya setelah proses renegosiasi, pada saat rekonstruksi batas TNBBS tahun 2002, maka pemukiman Dusun Sidomakmur dikeluarkan dari TNBBS (tidak termasuk talang Air Kelat dan Talang Bukit), namun kebun-kebun yang dikelola masyarakat masih tetap berada dalam kawasan taman nasional. Sampai saat ini, masyarakat dusun Sidomakmur masih mengolah kebun yang berada di dalam kawasan, bahkan beberapa orang berusaha untuk terus memperluas areal kebun dengan cara membuka lahan hutan untuk ditanami kopi.

Tanaman kopi sendiri memiliki usia produktif yang panjang. Dengan masa panen pertama pada usia 4-6 tahun, serta memiliki harga yang relatif tinggi menyebabkan masyarakat Sidomakmur membuka lahan hingga ke kawasan konservasi. Hanya saja sistem monokultur yang dijalankan menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan keanekaragaman hayati karena terbukanya tutup tajuk selama 2-4 tahun. Invasi ilalang dan rerumputan menjadi tidak terbendung, dan tuntutan atas asupan tenaga kerja petani menjadi lebih besar lagi. Akibatnya, lahan tersebut seringkali ditelantarkan dan petani memilih membuka hutan baru untuk berladang. Pola pertanian yang linier-ekspansif semacam ini telah menyebabkan terjadinya perluasan lahan di dalam kawasan TNBBS. Pembukaan hutan baru untuk ekspansi perladangan ini pada umumnya dilakukan dengan metode slash and burn. Kemudian pola kepemilikan lahan pada umumnya dimulai dengan petani yang baru datang menjadi buruh kopi di ladang milik perambah-perambah yang sudah ada sebelumnya. Setelah modal yang terkumpul dirasa cukup, maka perambah tersebut akan berusaha untuk memiliki lahan garapan sendiri, baik dengan merambah kawasan hutan maupun dengan ganti rugi terhadap lahan yang tak terawat.

Kondisi saat ini, disamping perambah lama juga terdapat perambah yang baru bermukim pada tahun 1998, 1999 dan 2000. Hal ini disebabkan karena melonjaknya harga panen kopi yang mencapai 400 % dibanding harga normal (harga normal rata-rata Rp. 5000/kg untuk berat kering). Untuk petani-petani

80

baru ini, mereka cenderung untuk membeli lahan-lahan pertanian yang sudah ada dengan sistem ganti rugi, walaupun masih ada beberapa diantara mereka yang tetap melakukan kegiatan perambahan kawasan hutan.

Adanya kegiatan transaksi lahan pertanian dikalangan para petani atas lahan garapan mereka merupakan salah satu kekhawatiran terhadap kelangsungan kawasan TNBBS. Mereka cenderung untuk ”memperjualbelikan” lahan pertanian tersebut apabila mereka merasa perlu untuk menjualnya atau sedang keadaan terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Hanya saja, kata-kata jual beli disini disamarkan dengan istilah ganti rugi. Pada saat sekarang pola ”ganti rugi” lahan merupakan modus perambahan terbesar di TNBBS. Hal ini tentu saja menimbulkan dampak yang tidak baik bagi keberadaan kawasan taman nasional tersebut. Apabila masalah ini tidak segera diselesaikan, maka semakin lama tingkat ketergantungan perambah terhadap taman nasional pun akan semakin besar.

Berikut ini pada Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12 secara berturut-turut disajikan sketsa, riwayat perkembangan, dan skema transek series

dusun Sidomakmur.