• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan perambahan hutan untuk kegiatan budidaya pertanian merupakan salah satu bentuk dari kegiatan penyerobotan lahan hutan di samping pemukiman liar. Penyerobotan lahan hutan seperti dikemukakan Sastrosemito (1984) merupakan salah satu jenis gangguan hutan yang disebabkan manusia yang sasaran pokoknya adalah lahan hutan. Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1977) penggunaan lahan hutan untuk keperluan selain hutan, dalam hal ini terutama untuk pemukiman dan perladangan, tanpa izin dari yang berwenang disebut penyerobotan lahan hutan.

Sunito (1989:21) dalam Sunderlin dan Resosudarmo (1997) mendefinisikan perambah hutan adalah orang-orang yang mungkin menggunakan sistem tebas bakar (Slash and Burn System) vegetasi yang ada, tetapi dengan niatan utama untuk mendirikan usaha pertanian yang permanen atau semi permanen. Meskipun mungkin ditanam beberapa jenis tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, penanaman tanaman komersial (seringkali tanaman tahunan) merupakan fokus budidayanya. Biasanya lahannya tidak diberakan, tetapi digunakan terus menerus dan hanya ditinggalkan setelah kesuburannya hampir atau telah hilang sama sekali, karena tidak ada rencana jangka panjang untuk kembali ke lokasi yang sama. Perambahan juga dapat diartikan sebagai penggunaan lahan hutan untuk keperluan selain hutan, dalam hal ini terutama untuk pemukiman dan perladangan tanpa izin dari pihak yang berwenang (Wahidiat, 2002).

Selanjutnya berdasarkan Hasil Lokakarya Pengendalian Perladangan Berpindah dan Perambahan Hutan (1993) dalam Yani (1995) disebutkan bahwa perambahan hutan adalah setiap kegiatan usaha tani dalam kawasan hutan secara tidak sah yang mengakibatkan kerusakan hutan dengan atau tanpa tempat tinggal yang menetap.

33

2.10.2. Dampak Kegiatan Perambahan Hutan

Penyerobotan lahan hutan pada daerah yang dicagarkan seperti taman nasional atau kawasan konservasi lainnya, disamping akan menimbulkan kerusakan pada vegetasi hutan dan tanah hutan, juga akan berakibat buruk terhadap kehidupan satwaliar yang dilindungi (Fakultas Kehutanan IPB, 1986).

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) pembukaan lahan hutan baik untuk perladangan maupun untuk pemukiman akan menganggu ekosistem hutan dan mengubah keanekaragaman jenis dan struktur vegetasi. Di samping itu, Alikodra (1986) menyatakan bahwa pembukaan lahan hutan dapat mengganggu satwa liar; baik berupa pemotongan jalur pergerakan satwaliar maupun merubah potenis makanan serta dapat pula mendorong kepunahan satwa langka.

Selain berdampak negatif terhadap keberadaan vegetasi dan satwa liar, perambahan hutan juga memiliki dampak negatif terhadap nilai ekonomis hutan yang dihasilkannya. Sudohadi dan Darusman (2000) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB, menunjukkan bahwa total nilai manfaat yang diberikan hutan kepada manusia adalah sebesar 2,7 milyar rupiah per hektar untuk setiap tahunnya. Sehingga dapat diartikan bahwa untuk setiap hektar perambahan hutan yang terjadi, secara tidak langsung kita kehilangan sebanyak 2,7 milyar rupiah.

Lebih lanjut Wiriadinata (1988) menyatakan bahwa penyerobotan lahan hutan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap hutan dan hasil hutan, tanah hutan, iklim mikro dan masyarakat. Secara rinci dampak negatif tersebut adalah sebagai berikut:

1. Terhadap hutan dan hasil hutan:

a. Mengganggu keanekaragaman jenis dan struktur vegetasi hutan serta ekosistemnya.

b. Mengganggu habitat satwaliar.

c. Mendorong punahnya flora dan fauna langka. d. Penurunan fungsi hidrologis hutan.

e. Mengganggu dan menurunkan kualitas dan kuantitas hasil hutan. 2. Terhadap tanah hutan:

34

b. Mempercepat proses mineralisasi dan pencucian unsur-unsur hara. c. Mempercepat proses erosi.

3. Terhadap iklim mikro:

a. Meningkatkan jumlah Karbondioksida (CO2) dan mengurangi Oksigen

(O2) di udara.

b. Meningkatkan suhu adara. 4. Terhadap masyarakat:

a.Menghasilkan sumber penghasilkan masyarakat. b.Kekurangan air pada tanaman pangan yang diusahakan.

c.Menurunkan pendapatan masyarakat, karena potensi sumberdaya hutan yang dimanfaatkan berkurang.

d.Menimbulkan banjir dan tanah longsor yang dapat mengakibatkan kerugian harta maupun jiwa penduduk.

2.10.3. Kondisi Sosial Ekonomi Perambah

Masyarakat di sekitar kawasan konservasi mempunyai sistem sosial ekonomi dan budaya tersendiri dengan ekosistem dalam kawasan konservasi. Menurut kaidah ekologi, bila suatu sistem berdekatan umumnya akan terjadi eksploitasi dari ekosistem yang kuat terhadap yang lemah. Fenomena yang umum adalah eksploitasi terhadap kawasan konservasi oleh sistem sosial sekitarnya. Untuk mengetahui perkembangan perambah hutan terlebih dahulu kita perlu mendalami sosial ekonomi dan budaya dari suku/etnis, teknologi usaha tani yang dimiliki, pengaruh vegetasi dan pengaruh tanah (Dove, 1988).

Masyarakat sekitar kawasan konservasi pada umumnya bekerja sebagai petani. Untuk dapat hidup layak, diperlukan luas lahan minimal 1-2 ha dan biasanya mereka menanami lahan tersebut dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan (kopi, cengkeh, lada). Saat ini pertambahan penduduk cenderung meningkat sehingga jumlah petani dengan sendirinya juga akan bertambah. Ini berarti kebutuhan lahan bagi penduduk di sekitar kawasan konservasi menjadi semakin tinggi (Pusat Studi Lingkungan Unila, 1984). Soemarwoto (1978) menyatakan karena pertumbuhan jumlah penduduk petani,

35

maka luas lahan menunjukkan kecenderungan yang semakin kecil. Sehingga kebutuhan terhadap lahan garapan oleh masyarakat akan selalu bertambah.

Dengan meningkatnya jumlah petani tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan, dalam hal ini lahan pertanian (Soemarwoto, 1978). Hal ini dapat mendorong para petani terutama yang berada di sekitar kawasan konservasi, untuk merambah kawasan hutan guna memenuhi kebutuhan mereka akan lahan garapan. Semakin besar kebutuhan lahan untuk pertanian maka semakin besar pula tingkat gangguan keamanan terhadap kawasan hutan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1983). Contoh kasus, salah satu penyebab terjadinya peningkatan jumlah penduduk di kecamatan Sumberjaya kabupaten Lampung Barat adalah akibat adanya program transmigrasi dari Pulau Jawa. Para transmigran ini merehabilitasi kebun-kebun kopi tua (kosong) atau membuka kawasan hutan untuk bercocok tanam kopi (Budidarsono, et al, 2002;35). Banyak orang Jawa yang pada awalnya hanya datang sebagai buruh musiman untuk memanen kopi, mulai membudidayakan kopi sendiri dengan membangun kebun dan secara aktif membuka areal hutan yang luas

Selain pengaruh faktor kepadatan penduduk, jumlah anggota keluarga perambah juga dianggap berpengaruh terhadap luas lahan yang digarap (Fakultas Kehutanan IPB, 1986). Tingkat pendidikan yang rendah dan adanya persepsi masyarakat yang menganggap hutan sebagai sumber daya alam yang bebas untuk dibudidayakan semakin mendorong masyarakat sekitar hutan untuk menyerobot/merambah lahan hutan (Wirdinata, 1988). Tingkat kesadaran masyarakat diasumsikan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka tingkat kesadaran tentang pentingnya pemeliharaan kawasan hutan konservasi semakin tinggi pula (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1983). Disamping itu faktor pendorong lainnya adalah ketidaktahuan masyarakat akan arti dan fungsi kawasan konservasi (hutan), sehingga banyak tindakan masyarakat yang tidak mendukung kelestarian kawasan tersebut (Fakultas Kehutanan IPB, 1986). Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan terhadap kawasan hutan oleh masyarakat sekitar hutan seperti perambahan hutan adalah pengetahuan masyarakat itu sendiri tentang kawasan hutan (Fakultas Kehutanan IPB, 1977).

36

Pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai kawasan hutan dan fungsi hutan akan mempengaruhi sikap mereka terhadap hutan yang kemudian akan tercermin pada interaksinya pada hutan, terutama kaitannya dengan aktivitas perambahan lahan hutan yang mereka lakukan (Fakultas Kehutanan IPB, 1977).

Menurut Ginting (1972) dalam Yani (1995) perladangan merupakan salah satu pilihan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa alasan utama yaitu teknologi yang sederhana dan sudah dikuasai masyarakat setempat serta intensitas penggunaan tenaga kerja rendah yang sangat cocok untuk daerah yang kurang penduduknya. Ada 2 (dua) tipe sistem perladangan di Indonesia saat ini, yaitu tipe perladang berpindah dengan cara merambah hutan dan tinggal menetap di dalam kawasan hutan dan tipe peladang berpindah dengan cara merambah hutan dan tinggal menetap di luar kawasan hutan (Suwardjo, 1993). Mirip dengan tipe perladangan yang dikemukakan oleh Suwardjo, Greenland (1974) dalam Srivasta (1986) dalam Yani (1995) juga membedakan peladang berupa perpindahan peladang yang diikuti dengan perpindahan tempat tinggal. dan perpindahan peladang yang tidak selalu diikuti dengan perpindahan tempat tinggal.