• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Otonomi Daerah telah memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintahan di setiap daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang lebih memihak kepada rakyat. Sehingga pemerataan pembangunan sampai ke daerah pedalaman dapat dirasakan oleh masyarakat. Keleluasaan Pemerintah Daerah untuk mengurusi dirinya sendiri tidak selamanya menimbulkan dampak positif bagi masyantkat, di sebagian wilayah justru menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dengan terjadinya praktek dominasi. Dominasi kekuasaan dalam pembangunan telah menimbulkan konflik vertikal antara Pemkot Pekanbaru dan investor di satu pihak dengan pedagang tradisional pasar Senapelan di pihak yang lain. Di mana, dominasi kekuasaan tersebut menimbulkan tindakan perlawanan dari pedagang. Di antara kesimpulan yang dapat di ambil dari konflik tersebut antara lain:

1. Dominasi kekuasaan terjadi dalam pembuatan kebijakan yang tidak menguntungkan pedagang pasar Senapelan atau kebijakan yang tidak (non) partisipatif. Tindakan ini diiringi dengan tindakan pemaksaan dan tindakan pengendalian pedagang. Kebijakan yang tidak partisipatif tersebut, diawali dengan pembuatan Peraturan Daerah (Surat Keputusan) yang membuat Pemkot legal secara hukum. Dengan mengeluarkan Surat Keputusan atau Peraturan Daerah tersebut, Pemkot berhasil menguasai pedagang. Kebijakan yang tidak partisipatis ini diwujudkan melalui

kebijakan penempatan pedagang di lokasi bam, yaitu blok B dan C, serta penempatan pedagang pada TPS yang tidak layak untuk berdagang. Selain itu, kebijakan non partisipatif terlihat kembali ketika Pemkot memutuskan untuk tetap melakukan pembongkaran paksa ribuan kios, los, dan kaki lima yang menyebabkan sekitar 2000- an pedagang tradisional kehilangan akses ekonomi mereka. Walau mereka masih mampu untuk melakukan kegiatan ekonomi, akan tetapi akibat pemindahan dan pembongkaran itu telah mengurangi keuntungan yang mereka peroleh. Bahkan mengakibatkan sebagian pedagang jatuh miskin dan kehilangan pekerjaan atau menganggur.

2. Tindakan represi dilakukan oleh Pemkot dengan bantuan aparat keamanan dan preman setempat. Tindakan represi, yang dilakukan oleh aparat keamanan, diiringi dengan tindakan kekerasan. Tindakan pemukulan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja kota Pekanbaru, sedangkan tindakan pemukulan dan penangkapan dilakukan oleh aparat kepolisian wilayah Pekanbaru sewaktu terjadi aksi unjuk rasa pedagang dan pembongkaran paksa kios pasar Senapelan. Sedangkan fragmentasi dan intimidasi ditujukan kepada pedagang, baik secara individu maupun kelompok dilakukan melalui preman. Secara personal, pedagang diancam dengan telepon, surat kaleng, sogokan, dan adu domba antar sesama pedagang. Sedangkan secara kelompok dilakukan dengan mendatangkan preman secara langsung ke lokasi TPS seraya melakukan ancaman dan merusak dagangan. Tindakan ini bertujuan untuk menghentikan segala bentuk perlawanan yang dilakukan pedagang terhadap kebijakan

pembangunan pasar Senapelan tersebut.

3. Dominasi dalam bentuk kooptasi terlihat di bidang informasi. Penguasaan informasi dilakukan melalui media massa (khususnya media massa lokal) dan organisasi pedagang. Media massa. sebagai corong yang seharusnya menyoroti persoalan secara holistik, temyata lebih minim memberitakan persoalan konflik tersebut. Porsi pemberitaan yang diangkat lebih banyak mengenai aplikasi kebijakan pembangunan yang akan membawa pada perubahan yang baik (modernisasi) daripada ketimpangan hubungan yang terjadi antara pedagang pengan pemerintah dan pengusaha. Di samping itu. Sedangkan kooptasi melalui organisasi pedagang dilakukan melalui ISIP, Ikatan Sosial Ibu- ibu pedagang ini dijadikan sebagai alat adu domba di tingkat pedagang. Dengan adanya tindakan ini, pedagang terpecah menjadi dua, yaitu pedagang yang tetap mendukung perlawanan dan pedagang yang setuju dengan kebijakan pembangunan tersebut.

4. Perlawanan yang dilakukan oleh pedagang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu perlawanan terbuka (public transcript) dan perlawanan yang dilakukan secara tidak langsung atau sembunyi- sembunyi (hidden transcript). Perlawanan terbuka dilakukan secara kolektif atau bersama- sama. Dengan mengumpulkan ratusan orang, pedagang melakukan aksi unjuk rasa, mogok makan, dan memberikan pernyataan tertulis bahwa mereka menolak setiap kebijakan pemerintah yang merugikan pedagang. Perlawanan ini bertujuan meniadakan basis dominasi atau mengubah kebijakan yang telah ditetapkan. Walau kemudian perlawanan ini tidak berhasil mengubahnya dikarenakan beberapa kendala teknis dan non-

teknis. Kendala teknis, antara lain: keterbatasan dana untuk menyuplai logistik aksi di satu sisi dan keharusan menghidupi anak istri atau mencari natkah di lain sisi. Hal inilah yang menjadikan pedagang lebih memilih untuk berhenti melakukan aksi kolektif. Sedangkan kendala non- teknis antara lain: minimnya penanaman idiologi perlawanan kepada anggota kelompok (pedagang), menyebabkan kurangnya koordinasi di antara anggota kelompok dan anggota kelompok dengan kelompok lainnya, sehingga kurang mendapat simpati dari elemen masyarakat lainnya.

5. Sedangkan perlawanan personal atau sembunyi yang pedagang lakukan tidak banyak berpengaruh langsung pada jalannya proyek pembangunan tersebut, seperti tindakan mengumpat, tidak menempati TPS, sikap sinis terhadap pendatang, maupun aksi pengrusakan TPS. Perlawanan ini terkesan sporadis, tidak kontiniu, dan hanya berupa pelampiasan kekecewaan belaka. Pedagang tidak melakukan aksi yang langsung berpengaruh terhadap jalannya proyek pembangunan, seperti pencurian material bangunan, tidak menteror pekerja proyek, dan tetap membayar retribusi pajak kepada pemerintah. Perlawanan ini tidak dilakukan dengan koordinasi kultural yang ada pada komunitas pedagang. Perlawanan ini lebih bersifat pelampiasan rasa kekecewaan yang dalam terhadap pihak Pemkot dengan investor dan perwujudan ketidakberdayaan pedagang terhadapnya. Selain itu, minimnya atau kurangnya pendidikan politik yang pedagang miliki, menjadikan perlawanan yang dilakukan dipegang oleh segelintir individu yang dianggap andal. Tanpa inisiatif dari individu- individu tersebut, perlawanan akan vacum, bahkan mungkin sirna sama

sekali.

6. Dalam melakukan perlawanan, pedagang mendapatkan dukungan dari sejumlah pendukung, baik yang mendukung secara khusus maupun yang umum. Dukungan khusus diberikan oleh sejumlah aktivis dan individu tertentu yang peduli dan turut berjuang secara langsung bersama- sama dengan pedagang, seperti: aksi unjuk rasa, mogok makan, dan advokasi melalui jalur hokum Dukungan ters~but berlangsung sesaat, sejumlah aktivis hanya bergerak didataran aksi, tidak melakukan upaya pemberdayaan atau pembelajaran dengan ,baik kepada pedagang tentang politik dan idiologi sehingga dukungan itupun sima seiring dengan sirnanya aksi unjuk rasa yang dilakukan pedagang. Pengecualian untuk dukungan yang diperoleh pedagang melalui jalur hukum, dukungan ini masih diperoleh oleh pedagang sampai saat ini. Sedangkan dukungan umum, diperoleh dari tokoh masyarakat dan intelektual setempat. Dukungan yang diberikan jumlahnya minim dan hanya bersifat dukungan moral.

7. Adanya indikasi perlawanan tersebut makin lama makin redup seiring dengan beIjalannya waktu dan kukuhnya pemerintah (dan pengusaha) dengan pendirian awal. Walau demikian, secara personal pedagang tetap berharap pemerintah mendengarkan nasib mereka. Dengan harapan yang tipis, pedagang tetap melakukan perlawanan melalui jalur hukum.

8. Sementara, upaya resolusi konflik dapat dibedakan atas dua, yaitu konsiliasi dan mediasi. Konsiliasi dilakukan oleh pihak pemerintah dan mediasi dilakukan oleh institusi di luar kelompok pedagang dan investor,

yakni DPRD Pekanbaru dan IKMR. Pemerintah (Pemkot) memiliki wewenang atau kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang berkonflik dalam wilayahnya. Akan tetapi, pada kasus peremajaan pasar Senapelan ini, pihak pemerintah lebih memilih memihak salah satu pihak, yakni investor sehingga konfllik pun tidak terselesaikan, malahan menjadi luas. Sedangkan mediasi dilakukan oleh DPRD dan IKMR, melalui kedua lembaga ini diharapkan perdamaian dapat terwujud. DPRD dan IKMR dianggap sebagai lembaga independen yang berada di luar kelompok yang berkonflik, sehingga,sangat memungkinkan untuk menyelesaikan konflik antara pedagang dengan pihak Pemkot dan investor. Hal yang menarik, IKMR merupakan lembaga keetnisan Minang yang terbesar yang ada di Pekanbaru, dan mayoritas pedagang berasal dari etnis ini (60 %), akan tetapi, kenyataannya IKMR sebagai lembaga mediasi tidak diterima oleh pedagang dan dianggap sebagai kaki tangan Pemkot. Lain halnya dengan DPRD Pekanbaru, ketidakberhasilannya menekan Pemkot dan investor untuk menurunkan harga kios yang dituntut pedagang dan memaksakan pertemuan dengan pedagang menyebabkan konflik ini tetap berlangsung. Resolusi memang dijalankan dan dilaksanakan, akan tetapi tidak menghasilkan penyelesaian yang berarti bagi konflik tersebut. DPRD dan IKMR terkesan enggan untuk mengambil resiko berhadapan langsung dengan pemerintah dan memilih posisi aman.

Dokumen terkait