• Tidak ada hasil yang ditemukan

125

Op, Cit, KOMPAS, 7 Juni 2004 126

Senapelan yang terus berlangsung sarnpai sekarang, masih menyisakan peran media massa di dalamnya. Menurut Ali (seorang pedagang buah), sejumlah media massa lokal telah mereka hubungi untuk meliput aksi dan menuliskan tuntutan mereka.

Media massa (khususnya koran harian) memang mengirimkan wartawan untuk mewawancarai atau mendokumentasikan informasi dari pedagang. Setelah informasi diberikan dengan lengkap dan jelas, temyata informasi yang diberikan bertentangan dengan yang diterbitkan. Menurut Pak haji, perbuatan ini tidak hanya terjadi sekali, tetapi sudah seringkali terjadi (khususnya setelah pembongkaran dilakukan), sehingga setiap wartawan yang datang, pedagang lebih cenderung bersifat apatis. Hal ini disebabkan karena beberapa kali infonnasi yang diterbitkan lebih menguntungkan posisi pemerintah dan investor.127

Sedangkan pemberitaan mengenai konflik yang terjadi antara pedagang dengan Pemkot dan investor sangat minim (khususnya bagi media massa lokal). Seperti yang diberitakan oleh harian Riau Mandiri (5 Mei 2004) yang

Porsi pemberitaan lebih banyak terfokus pada bagaimana jalannya proses pembangunan tersebut, seperti penjualan kios kepada publik, desain bangunan dan fasilitasnya, serta penempatan pedagang (Riau Post, 23 September 2004 dan Riau Mandiri, 23 September 2004). Sedangkan pemberitaan tentang aksi demonstrasi pedagang, kondisi TPS, jumlah TPS dan fasilitas TPS, dan kondisi pedagang, mempunyai porsi yang terbatas. Satu kali berita unjuk rasa di harian Riau Mandiri (5 Mei 2004), sekali pemberitaan tentang pengrusakan TPS di harian Pekanbaru Post (25 Oktober, 2004 ).

127

memberitakan tentang aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pedagang di gedung DPRD Pekanbaru yang hampir menuai bentrok dengan anggota dewan. Redaksi Riau Post mengatakan, bahwa mereka telah memberitakan kasus pasar Senapelan tersebut, mulai dari unjuk rasa yang dilakukan pedagang sampai kepada kebijakan yang dibuat oleh Pemkot. Tetapi ketika diminta untuk memastikan data tersebut (ada atau tidak), pihak Riau Post tidak bisa memastikan ada tidaknya pemberitaan tersebut. Sedangkan Pak AI- masri menyatakan, bahwa media (terutama Riau Post) tidak pemah memberitakan hal ini.128

Selain itu, melalui ISIP (Ikatan Sosial Ibu- ibu Pedagang) pihak Pemkot dan investor juga berusaha melakukan upaya kooptasi. Kooptasi dilakukan dengan cara adu domba sehingga pedagang terpecah belah. Bagi para pedagang yang tergabung dalam ISIP (dketuai oleh Ibu Lis) dijanjikan akan diberikan potongan harga spesial kios pasca peremajaan (sampai 10 %), bahkan potongan harga tersebut sampai pada batas yang mungkin tidak bisa mereka bayangkan (sampai 30 %). Melalui ISIP juga, para pedagang yang kebanyakan merupakan ekonomi lemah dan tidak mengerti politik menjadi terpengaruh depgan cara ini. Kebanyakan pedagang yang bemaung di ISIP lah yang dijadikan alasan bagi keabsahan aksi penggusuran dan peremajaan pasar Senapelan dilanjutkan. Mereka dianggap mewakili keseluruhan pedagang yang menyetujui harga kios yang telah ditetapkan tersebut (wawancara, Pekanbaru, 6 Desember 2004). ISIP berdiri pada masa Walikota Pekanbaru di pegang oleh Usman Efendi Affan, SH, berdiri sejak tahun 1995 dan masih bertahan sampai sekarang. Menurut Pak Saiful, seluruh anggota ISIP merupakan anggota FKPPS. Oleh sebab itu, jika terjadi

128

penyelewengan di tubuh ISIP maka FKPPS juga menerima imbasnya, persetujuan sejumlah anggota ISIP (sekitar 20 %) terhadap kebijakan pembangunan pasar Senapelan yang berimbas pada langgengnya tindakan pembongkaran kios yang dilakukan Pemkot, serta terpecahnya kekuatan pedagang menjadi pendukung perlawanan dan apatis terhadap perlawanan (sejumlah pedagang yang apatis terhadap perlawanan juga ada yang mendukung kebijakan pemerintah secara diam- diam).129

129

BAB III

PERLAWANAN PEDAGANG PASAR SENAPELAN TERHADAP DOMINASI KEKUASAAN PEMERINTAH KOTA PEKANBARU

Penjelasan bab III akan diawali dari teori Scott yang membagi tindakan perlawanan yang dilakukan pedagang atas dua bagian, perlawanan terbuka dan perlawanan sembunyi. Perlawanan yang dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan dapat juga dibagi atas dua bagian, perlawanan yang dilakukan secara terbuka oleh pedagang dalam menantang dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemkot dan investor, dan perlawanan secara sembunyi yang dilakukan pedagang, tidak menentang secara terang- terangan terhadap dominasi Pemkot dan investor, umumnya pedagang melakukan tindakan- tindakan yang lebih bersifat personal.130

Walaupun perlawanan terbuka yang dilakukan oleh pedagang tidak menghasilkan perubahan sosial seperti yang diharapkan pada suatu perlawanan terbuka, akan tetapi pedagang telah melakukan suatu bentuk perlawanan yang terorganisir secara kelompok dengan baik hingga mencapai jumlah 500 orang pedagang yang ditambah lagi dengan puluhan aktivis mahasiswa dan LSM, dengan mengusung suatu isu yang sama, yaitu penurunan harga kios. Sedangkan perlawanan sembunyi yang dilakukan, memang lebih bersifat personal, seperti mengumpat, merusak TPS, dan tidak menempati TPS. Akan tetapi hal ini dilakukan oleh pedagang bukan untuk bersikap akomodatif, tetapi lebih cenderung karena upaya perlawanan terbuka yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil sama sekali. Mereka lebih bersifat pasrah terhadap kondisi yang mereka hadapi

130

dan dilampiaskan dalam bentuk umpatan, merusak, dan idak menempati TPS. Yang jelas, perlawanan jenis ini dapat dikategorikan sebagai perlawanan sembunyi karena lebih bersifat personal, tidak bemuansa revolusioner, dan tidak melakukan kekerasan secara terbuka.

Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang Basrowi dan Sukidin, maka pendekatan yang digunakan untuk melihat tindakan yang dilakukan oleh pedagang adalah pendekatan ekonomi politik. Di mana perlawanan yang dilakukan pedagang tersebut didasari oleh pertimbangan rasional terhadap perubahan yang dikalkulasikan merugikan dan mengancam pedagang. Keputusan melakukan perlawanan terletak pada individu yang menganggapnya sebagai pilihan yang efektif dan efisien sebagai bentuk perlawanan yang berdimensi sosial ekonomi.131

Di samping perlawanan yang dilakukan sendiri oleh pedagang, pedagang juga mendapat dukungan dari sejumlah individu ataupun kelompok lain yang berada di luar lingkungan atau kelompok pedagang. Para pendukung perlawanan ini dibagi atas dua. Pertama, pendukung spesialis, yaitu individu ataupun organisasi yang membangun keterampilan dan idiologi perjuangan para pedagang pasar Senapelan, yang terdiri dari para aktivis mahasiswa dan aktivis LSM (seperti mahasiswa UIN Susqa dan BOB). Kedua, pendukung umum, adalah mereka yang menaruh simpati terhadap perjuangan yang dilakukan oleh pedagang, baik secara individu maupun organisasi (seperti Lembaga Bantuan Hukum cabang Pekanbaru dan Prof.Dr. Tabrani Rab, tokoh masyarakat Riau).132

Walaupun dukungan yang diberikan kepada pedagang terkesan minim,

131

Lihat Basrowi dan Sukidin, ed, Teori-teori Perlawanan dan Kekersan Kolektif, Surabaya : Insan Cendikia, 2003, hal. 19

132

Lihat Arianto Sangaji, PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, hal. 48

tetapi dukungan ini memberikan kekuatan tersendiri bagi pedagang untuk melakukan perlawanan. Seperti dukungan yang dilakukan oleh para aktivis mahasiswa dan LSM, mereka berhasil menyuarakan aspirasi padagang dalam bentuk perlawanan secara terbuka terhadap pemerintah. Perlawanan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan, dan penyekapan telah berhasil memaksa terjadinya pertemuan antara pedagang dengan Pemkot dan investor, walau hasil yang diperoleh dari pertemuan tersebut masih perlu dipertanyakan lagi. Sedangkan dukungan moril yang diperoleh dari mereka yang peduli terhadap perlawanan mereka, tidak berbentuk nyata, akan tetapi dapat meningkatkan semangat perlawanan pedagang untuk terus berjuang.

Dokumen terkait