• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini dilatar belakangi oleh fenomena kelompok etnik Tionghoa yang hidup berdampingan dengan kelompok etnik Melayu di Desa Kota Pari, kecamatan Pantai Cermin, kabupaten Serdang Bedagai, dan hingga saat ini belum pernah ada satupun kajian ilmiah mengenai fenomena tersebut. Masalah yang diangkat di dalamnya mengenai seperti apa bentuk kerjasama, persaingan, dan konflik, dalam hubungan sosial sehari-hari antara kelompok etnik Melayu dengan kelompok etnik Tionghoa di Desa Kota Pari.

Kelompok etnik Melayu dapat dikatakan sebagai penduduk asli Desa Kota Pari, jika dilihat dari catatan sejarah tercatat bahwa sebagian besar lahan di desa Kota Pari merupakan milik Kerajaan Melayu yaitu kerajaan Sultan Serdang. Akan tetapi tidak semua kelompok etnik Melayu yang hidup dan menetap di Desa Kota Pari merupakan penduduk asli, melalui penelitian ini terungkap bahwa ada sebagian kelompok etnik Melayu yang juga merupakan penduduk pendatang yang berasal dari luar Desa Kota Pari seperti, Tambusai, Riau, dan Pekan Baru.

Kelompok etnik Tionghoa diperkirakan sudah ada di Desa Kota Pari sejak tahun 1920 dari hasil penelitian ini, dan hingga saat ini tidak ada catatan sejarah yang menunjukan kapan secara pasti kelompok etnik Tionghoa memasuki wilayah Desa Kota Pari. Sebagian besar kelompok etnik Tionghoa yang hidup dan menetap di Desa Kota Pari merupakan suku Hokkian, dan Hakka/ Khek. Adapun

marga kelompok etnik Tionghoa yang paling banyak didapati di Desa Kota Pari adalah Liem, dan Tan.

Hubungan kelompok etnik Melayu dan Tionghoa berjalan cukup harmonis di Desa Kota Pari, hal tersebut ditandai dengan terjalinnya hubungan kerjasama di antara keduanya pada bidang sosial, ekonomi, dan religi.

Pada bidang sosial bukti hubunga kerjasama antara kelompok etnik Melayu dan Tionghoa dapat dilihat melalui kegiatan-kegiatan seperti gotong royong desa, pesta/ resepsi keduanya saling mengundang bahkan kelompok etnik Tionghoa menyediakan resepsi khusus untuk kelompok etnik Melayu karena, tidak semua jenis makanan kelompok etnik Tionghoa dapat juga dikonsumsi oleh kelompok etnik Melayu, lalu kemudian pada saat ada upacara kematian keduanya saling menghadiri meski memiliki aliran kepercayaan yang berbeda.

Pada bidang ekonomi, hubungan kerjasama antara kelompok etnik Melayu dan Tionghoa berjalan melalui kerjasama jual beli hasil panen, ternak, dan kerjasama antara pemilik usaha dan pekerja, dimana sebagian besar kelompok etnik Tionghoa merupakan pengusaha dan mempekerjakan kelompok etnik Melayu sebagai karyawan bahkan, ada yang menjadi orang kepercayaan.

Pada bidang religi juga terjalin hubungan kerjasama antara kelompok etnik Melayu dan Tionghoa meskipun, keduanya menganut aliran kepercayaan yang berbeda. Hubungan kerjasama antara kelompok etnik Tionghoa dan Melayu pada bidang religi dapat dilihat melalui kegiatan-kegiatan pembangunan rumah ibadah, seperti halnya pada saat pembangunan rumah ibadah untuk kelompok etnik

Melayu (Masjid) yang merupakan penganut agama Islam, kelompok etnik Tionghoa yang mayoritas merupakan penganut agama Budha secara sukarela memberikan bantuan untuk keperluan pembangunan Masjid tersebut, begitu juga dengan kelompok etnik Melayu meskipun tidak pernah memberikan bantuan berupa materil untuk pembangunan rumah ibadah kelompok etnik Tionghoa yang sebagian besar menganut agama Budha, tetapi kelompok etnik Melayu tidak pernah menunjukan rasa keberatan dengan keberadaan beberapa rumah ibadah kelompok etnik Tionghoa yang menganut agama Budha, apalagi sampai mengganggu kegiatan keagamaannya. Hingga saat ini toleransi beragama antara keduanya masih terawat dengan baik.

Hubungan antar kelompok etnik Tionghoa dan Melayu di Desa Kota Pari berjalan cukup harmonis, meskipun berjalan cukup harmonis bukan berarti hubungan keduanya tidak memiliki hambatan seperti persaingan (Competition), dan konflik (Conflict). Penlitian ini menemukan adanya hambatan hubungan kelompok etnik Melayu dan Tionghoa yang apabila terus dirawat lalu berkembang, berpotensi akan merenggangkan hubungan keduanya. Adapun jenis hambatan hubungan kelompok etnik Tionghoa dan Melayu menurut salah satu teori prasangka sosial disebut sebagai Deprivasi Relatif yaitu, keadaan psikologis di mana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan atau kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Menurut Brown, keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan

perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka.

Rasa tidak puas atas kesenjangan atau kekurangan subjektif dirasakan oleh kelompok etnik Melayu yang melihat kelompok etnik Tionghoa karena berdasarkan keadaan sosial, dan ekonomi berada di posisi yang jauh lebih baik dibanding kelompok etnik Melayu. Hal tersebut ditandai dengan rasa keberatan kelompok etnik Melayu atas keinginan kelompok etnik Tionghoa untuk melakukan perluasan bisnis khususnya di bidang peternakan karena, aroma kotorannya dianggap telah mencemari udara yang ada di Desa Kota Pari. Alasan keberatan yang dilontarkan oleh kelompok etnik Melayu sebenarnya cukup logis untuk dicerna, tetapi alasan tersebut tampaknya bukan merupakan satu-satunya alasan keberatan kelompok etnik Melayu, ada alasan lain yang juga turut mendorong kelompok etnik Melayu sehinga rasa keberatan untuk menolak upaya perluasan bisnis milik kelompok etnik Tionghoa menjadi semakin menguat, alasan lain tersebut adalah kondisi di mana kelompok etnik Melayu merasa kondisinya tidak lebih baik dibanding dengan kelompok etnik Tionghoa secara sosial, dan ekonomi.

Kelompok etnik Tionghoa dan Melayu hidup berdampingan dengan mempertahankan agama, kebudayaan, dan bahasa mereka masing-masing, mereka berbaur tetapi tidak menjadi satu. Sebagai individu mereka saling bertemu tetapi hanya untuk urusan-urusan tertentu yang sifatnya mendesak atau bahkan memaksa. Dalam ilmu-ilmu sosial kondisi seperti itu dikenal dengan istilah

masyarakat majemuk, yang pertama kali digagas oleh John Sydenham Furnivall, pada tahun 1948

5.2 Saran

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh melalui pengalaman yang penulis dapatkan selama melakukan pengumpulan data di lapangan dalam penelitian ini, penulis mengajukan beberapa saran di dalam skripsi ini untuk perbaikan ke depannya.

1. Pemerintahan Desa Kota Pari beserta jajarannya seperti Babinkamtibmas, dan Babinsa diharapkan lebih proaktif dalam memperhatikan hubungan antara kelompok etnik Melayu dan Tionghoa di Desa Kota Pari, dan apabila terjadi perselisihan sebaiknya diambil langkah-langkah penanganan secepatnya agar tidak segera terjadi ketegangan sosial.

2. Peran para tokoh masyarakat, dan tokoh agama lebih dimasifkan dalam merangkul seluruh masyarakat yang ada di Desa Kota Pari untuk menjaga kerukunan hidup beragama, tentu tanpa membeda-bedakan kelompok suku, agama, dan ras.

3. Masyarakat Desa Kota Pari sebaiknya turut serta dalam menjaga keharmonisan hubungan hidup antar kelompok.

4. Sebaiknya hasil peenlitian ini dipelajari lebih jauh oleh lembaga-lembaga terkait baik lembaga-lembaga pemerintah maupun non-pemerintah untuk melakukan pengembangan dengan lebih banyak melakukan penelitian sejenis, sebagai upaya untuk memperkuat langkah-langkah

mitigasi pencegahan terjadinya ketegangan sosial antar kelompok etnik.