• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Hukum Waris Islam

C Amal Saleh

Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena:

A. Ketentuan Hukum Waris Islam

1. Pengertian Hukum Waris Islam

Dalam Islam, hukum waris Islam dikenal dengan dua istilah yang berbeda, yaitu mawaris dan faraid. Kata mawaris berasal dari bahasa Arab waris.a-yaris.u-irs.an-m-ira-s.an yang berarti hal warisan. Secara istilah, mawaris adalah hal berpindahnya hak dan kewajiban terkait kekayaan orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Adapun kata faraid secara bahasa berarti kadar bagian atau hal pembagian. Secara istilah, Hasbi Ash-Shiddieqi memberikan pengertian faraid sebagai ilmu yang mempelajari ahli waris yang mendapatkan bagian warisan dan ahli waris yang tidak mendapatkannya, kadar ukuran yang diterima tiap- tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.

Mempelajari mawaris atau faraid merupakan fardu kifayah bagi kaum muslimin. Artinya, dalam suatu masyarakat muslim harus ada sebagian orang yang mempelajari ilmu mawaris untuk selanjutnya menjadi rujukan penerapan ilmu mawaris tersebut di kalangan umat Islam setempat. Apabila tidak ada satu pun orang yang mempelajari ilmu mawaris hingga ilmu ini tidak ditegakkan, seluruh kaum muslimin di tempat tersebut berdosa. Status mempelajari ilmu mawaris berbeda dengan menerapkan hukum waris Islam. Jika mempelajari ilmu mawaris cukup sebagian orang saja, menerapkan ilmu mawaris merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam atau fardu ain. Dengan demikian, menggunakan hukum waris Islam yang telah diturunkan Allah Swt. merupakan kewajiban yang mengikat setiap orang Islam. Hal ini terlihat dari nas Al-Qur’an dan hadis yang menegaskan perintah menggunakan ilmu mawaris ini. (Suparman Usman dan Yusuf Somawinata. 2002. Halaman 21–23)

Perhatikan firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah saw. di bawah ini.

Wa likullin ja‘aln± maw±liya mimm± tarakal-w±lid±ni wal-aqrabμn(a), wal-la©³na ‘aqadat aim±nukum fa ±tμhum na¡³bahum, innall±ha k±na ‘al± kulli syai’in syah³d±(n).

Artinya: Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Q.S. an-Nisa-’ [4]: 33)

Dari Ibnu Abbas berkata, bersabda Rasulullah saw. sebagai beriku.

Artinya: Bagilah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah (Al- Qur’an) . . . . (H.R. Muslim dan Abu- Dau-d)

Dua dalil di atas dengan jelas menyatakan perintah Allah Swt. dan rasul-Nya agar setiap kaum muslimin menggunakan ketentuan mawaris yang telah diturunkan Allah Swt. Selain kedua dalil di atas, terdapat banyak hadis nabi dan nasihat para ulama yang mengingatkan pentingnya ilmu mawaris. Di antaranya sebagai berikut.

a. Ilmu itu ada tiga hal (yang wajib dipelajari) dan yang selainnya adalah utama (untuk dipelajari), yaitu ayat yang muhkamah (cukup jelas maknanya), sunah qaimah (dibenarkan rasul), serta pembagian yang adil (faraid). (H.R. Ah.mad, Abu- Da-ud, dan Ibnu Ma-jah)

b. Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang akan meninggal, dan ilmu ini pun akan sirna sehingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang pasti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan itu. (H.R. Da-ruqutni)

c. Belajarlah faraid dan ajarkanlah, maka sesungguhnya faraid itu separuh ilmu dan ia dilupakan serta ia merupakan sesuatu yang mula-mula dicabut dari umatku. (H.R. Ibnu Ma-jah dan Da-ruqutni)

d. Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa tiga ayat dalam Q.S. an-Nisa-’ [4]: 11, 12, dan 176 merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum serta induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karena itu, faraid memiliki martabat yang sangat tinggi, hingga kedudukannya menjadi separuh ilmu. Semua kitab waris yang disusun para ulama merupakan penjelasan dan penjabaran yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut.

Mengingat demikian penting kedudukan ilmu mawaris, kita sebagai pelajar muslim harus memahami ilmu mawaris secara mendalam. Dengan begitu, apabila diperlukan oleh masyarakat, kita dapat tampil sebagai solusi. Beberapa topik utama yang harus kita pelajari adalah rukun dan syarat pewarisan dalam Islam, muwaris, ahli waris, bagian tiap-tiap ahli waris, hal-hal yang menggugurkan hak waris, serta cara penghitungan harta warisan.

2. Rukun Pewarisan dalam Islam

Rukun pewarisan dalam Islam terdiri atas tiga komponen sebagai berikut.

a. Muwaris, yaitu seorang muslim yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan yang dapat dibagi di antara ahli warisnya.

b. Ahli waris, yaitu orang muslim baik laki-laki maupun perem- puan yang memiliki hak untuk mendapatkan warisan melalui jalan-jalan yang telah ditentu- kan Allah Swt.

c. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau milik pribadi muwaris yang dapat dipindahtangankan kepada ahli waris. Satu catatan penting terkait harta warisan bahwa yang disebut harta waris hanya harta pribadi orang yang meninggal dan bukan harta bersama dalam keluarga.

3. Syarat Pewarisan dalam Islam

Adapun syarat terjadinya pewarisan dalam Islam sebagai berikut. a. Muwaris telah dinyatakan meninggal dunia baik secara hakiki (mati

sebenarnya) atau secara hukum (dianggap telah meninggal karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i).

b. Ahli waris masih hidup secara hakiki pada waktu muwaris meninggal dunia meskipun hanya berselang sesaat.

c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik orang yang

berkedudukan sebagai ahli waris maupun bagian masing-masing.

4. Muwaris

Muwaris adalah seorang muslim yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan untuk ahli warisnya. Menjadi seorang muwaris mungkin bukan keinginan segera bagi semua orang karena syarat utama seorang muwaris adalah telah wafat dan meninggalkan harta yang dapat dibagi. Adapun status meninggal bagi seseorang dapat terjadi karena dua hal, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.

Seseorang disebut meninggal secara hakiki atau sebenarnya apabila ia meninggal secara nyata ketika kematiannya dapat disaksikan dari adanya jenazah dan diketahui secara pasti oleh orang lain. Adapun kematian secara hukum terjadi apabila kematian itu tidak dapat diketahui secara pasti dengan adanya jenazah atau dipastikan oleh ahli. Kematian

Sumber: www.jamust.wordpress.com

▼ Gambar 11.2