• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. KETERANGAN SAKSI DAN AHLI PEMERINTAH

2. KETERANGAN AHLI PEMERINTAH

a) KETERANGAN PROF. ROBERT A. SIMANJUNTAK, PH.D.

Sejalan dengan penjelasan Pemerintah terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, Ahli Prof. Robert Simanjuntak, Ph.D.

juga menyatakan bahwa local taxing power (kewenangan daerah di bidang perpajakan) harus dikembangkan dalam rangka penguatan sumber pendapatan daerah. Bahwa penetapan pungutan PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar juga dengan tujuan untuk penguatan local taxing power tersebut, sehingga diharapkan daerah dapat meningkatkan sumber penerimaannya yang pada akhirnya dapat mendorong pelaksanaan otonomi daerah secara lebih nyata dan bertanggung jawab.

Selain itu Prof. Robert Simanjuntak, Ph.D. juga menyampaikan bahwa dalam rangka menilai potensi dan kinerja suatu jenis pungutan, maka diperlukan seperangkat kriteria diantaranya yaitu kecukupan dan elastisitas; keadilan; kelayakan/kemampuan administratif; kesepakatan politis; efisiensi ekonomi; dan kecocokan sebagai pungutan daerah. Prof. Robert Simanjuntak, Ph.D. menilai bahwa apabila dilihat dari berbagai kriteria-kriteria tersebut dan prinsip-prinsip umum perpajakan maka PKB dan BBN-KB atas alatlegalitas.org

berat dan besar tidak menyalahi kriteria-kriteria maupun prinsip perpajakan yang ada, dimana PKB dan BBN-KB atas alat berat dan besar yang termasuk dalam tax on capital sangat layak untuk dikenakan pajak.

Table

Conceptual Basis of Tax Assignment

Type of Tax Determination of Collection &

Adminis

Single-stage sales taxes

Excises

Source: World Bank and IMF, various policy studies.

Note: F is federal or central; S is state or province, L is local or municipal

Table: A Summary View of Subnational Tax Assignment in 15 Developing Countries

Type of Tax Number of countries with subnational

Data include Argentina, Bangladesh, Brazil, China, Colombia, India, Indonesia, Malaysia, Mexico, Nigeria, Pakistan, Papua New Guinea, Philippines, Russia, Thailand.

Source: World Bank, various sources

Table: Indonesia, Tax Assignment 2004 – before Law 28/2009

Type of Tax Responsibility Disposition Revenues (%) Base Rate Admin Center Province Local National Tax

Transfer Tax 2)

Source: Law 33/2004, Law 25/1999, Law 34/2000, and several government regulations Note: 1) from the central share (10%): 6.5% will be distributed evenly to districts/cities and 3.5% is collection incentives; from the region’s share (90%): 16.2% are provinces share, 64.8% local shares, and 9% collection costs. 2) all the central share (20%) will be distributed evenly to districts/cities; and 80% of the regions share: 16% for provinces and 64% for districts/cities. 3) 80% of regional share: 16% province, 32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 4) 80% regional share: 16%

province, 64% producing districts/cities. 5) and 6) 80% regional share: 16% province, 32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 7) and 8) the centre portion reduced by 0.5% to add regional portion, and this additional revenues earmark for basic education, 9) introduced in Law 33/2004.

b) Keterangan DR. Hefrizal Handra

Dr. Hefrizal Handra menyampaikan bahwa pengenaan PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar telah memenuhi kriteria pajak yang potensial, mudah diadministrasikan dan berkelanjutan, sehingga alat-alat berat dan besar tersebut sangat layak dikenai pajak. Selain itu Dr. Hefrizal Handra berpendapat bahwa sebuah pajak dikatakan tidak efisien secara ekonomi apabila menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga menimbulkan disinsentif untuk berusaha, namun dalam pengenaan PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar sampai dengan saat ini menurut Dr. Hefrizal Handra tarif yang sangat rendah dari PKB dan BBN-KB atas alat berat dan besar masih jauh dari kemungkinan untuk menurunkan niat pengusaha untuk berinvestasi, jadi dapat disimpulkan bahwa pungutan PKB dan BBN-KB atas alat berat dan besar tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Selanjutnya menurut Dr. Hefrizal Handra jika PKB dan BBN-KB atas alat berat dan besar dinilai dari sisi keadilan telah sesuai. Dr. Hefrizal Handra berpendapat bahwa keadilan umumnya dikenal di perpajakan adalah keadilan vertikal dan keadilan horizontal, dapat dikatakan bahwa pengenaan pajak pada alat berat atau alat besar menurut prinsip keadilan vertikal sangat tepat karena dipastikan tidak akan ada penduduk miskin atau usaha skala kecil dan mikro yang memiliki alat tersebut. Selanjutnya apabila dilihat dari sisi keadilan horizontal maka pengenaan tarif yang berbeda di dua daerah yang berbeda akan mengganggu rasa keadilan, namun hal tersebut harus disadari sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pungutan atas PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar telah memenuhi sisi keadilan.

Selain itu Dr. Hefrizal Handra juga menyampaikan bahwa PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar di Indonesia pada dasarnya adalah merupakan pajak properti, hal ini tercermin dari pengenaan pajak yang didahului oleh registrasi kepemilikan alat berat atau alat besar yang akan memastikan kepemilikannya, sehingga pengenaan

pajak terhadap alat berat dan alat besar justru membantu memperkuat pencatatan kepemilikan alat tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian Dr. Hefrizal Handra, yang menggunakan data tahun 1983 hingga 2005, kekuatan perpajakan daerah (local taxing power) masih sangat rendah. Dari data pada tabel terlihat bahwa, kekuatan perpajakan daerah kabupaten/kota dihitung dengan rasionya terhadap PDB tetap saja pada tingkat 0,4% dari 1983 hingga 2005, sedangkan kekuatan perpajakan provinsi sedikit meningkat secara berarti dari 0,6% di tahun 1993 menjadi 1% di tahun 2005. Namun secara keseluruhan, dibandingkan dengan kekuatan perpajakan pusat, maka kekuatan pendapatan daerah tidak ada apa-apanya.

Tabel 1. Perbandingan Pendapatan Antar Tingkatan Pemerintahan

Sumber: Diolah Penulis dari Devas (1989, Table 1.3) untuk data 1983/1984, dan Handra(2008)

Inilah yang kemudian menjadi dasar diupayakannya peningkatan kekuatan pendapatan daerah dengan melakukan perluasan objek pajak, peningkatan keleluasaan penentuan tarif, penyerahan pajak baru ke daerah, dan lain-lain. Salah satu bentuk perluasan objek PKB dan BBN-KB adalah dengan menjadikan kendaraan milik pemerintah menjadi objek pajak. Sedangkan untuk mempertahankan kekuatan perpajakan daerah, khususnya daerah provinsi secara nasional, alat berat dan alat besar dipertahankan sebagai objek pajak PKB dan BBNKB.

Tingkat

Pemerintahan Sebelum Diterapkannya UU

34/2000 Sejak Diterapkannuya UU 34/2000

1983/1984 1999/2000 2001 2005

Kontri-busi Rasio thp PDB

Kontri-busi Rasio thp PDB

Kontri-busi Rasio thp PDB

Kontri-busi Rasio thp

Kabupaten/Kota 1.9% 0.4% 1.7% 0.3% 1.7% 0.4% 1.7%PDB0.4%

Propinsi 3.1% 0.6% 2.0% 0.4% 3.2% 0.7% 4.7% 1.0%

Pusat 95.0% 20.1% 96.2% 18.6% 95.1% 20.3% 93.6% 20.1%

Total 100% 21.1% 100% 19.3% 100% 21.4% 100% 21.4%

c) Keterangan Prof. DR. Gunadi

Dalam memberikan keterangannya di persidangan Prof. Dr. Gunadi setidaknya memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut;

pertama UU-PDRD dibentuk berdasarkan UUD 1945 (Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D,dan Pasal 23A) oleh lembaga legislatif, sehingga telah memenuhi asas legalitas formal, prosedural dan konstitusional maka UU-PDRD sah, dan mempunyai daya laku serta mengikat masyarakat dan semua pihak, kedua terkait dengan perbedaan istilah dalam UU PDRD dengan UU Lalu Lintas disampaikan bahwa karena kedua undang-undang tersebut berbeda, latar belakang, tujuan dan maksud serta kriteria pembentukannya berbeda (misalnya Undang-Undang Pajak dengan tujuan perolehan penerimaan yang memadai dan penyederhanaan administrasi dan kepatuhan, serta menutup celah pengelakan pajak) adalah wajar saja kalau suatu istilah yang sudah didefinisikan dalam suatu Undang-Undang didefinisikan lain dalam UU PDRD, ketiga disampaikan bahwa guna memberikan kepastian hukum dan keadilan tentang besaran pajak yang harus dibayar, maka rumusan tentang dasar pengenaan pajak dan tarif pajak merupakan sesuatu keharusan adanya (conditio sine qua non) dalam Undang-Undang perpajakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adanya, keempat terkait dengan pajak berganda disampaikan bahwa walaupun subjek dan masa pajaknya sama, namun karena dasar ketentuan pemungutan dan jenis pajaknya berbeda, secara yuridis, pembayaran PPh badan, PPN, PKB dan BBN-KB oleh wajib pajak, tidak dapat dikatakan telah terjadi pungutan pajak berganda.

Selanjutnya sebagai penutup disampaikan oleh Prof. Dr. Gunadi bahwa karena PKB dan BBN-KB alat-alat berat dan alat-alat besar dipungut dalam jumlah yang pasti tidak semena-mena, jelas pembayar, waktu dan tempatnya dengan Undang-Undang dan berdasarkan peraturan daerah dapat merata kepada semua pembayar pajak dengan jelas dan pasti maka dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 28D(1) UUD 1945.

d) Keterangan Prof. DR. Abdul Halim. MBA. AKT

Prof. Dr. Abdul Halim. MBA. Akt. dalam memberikan keterangannya berpendapat bahwa permasalahan yang dihadapi dalam perkara a quo adalah mengapa alat besar atau alat berat menjadi objek pajak?

Khususnya pajak kendaraan bermotor, hal ini lebih kepada masalah nomenklatur dalam UU PDRD atau dalam bahasa keilmuan sering disebut sebagai definisi operasional, bukan pada masalah bahwa pungutan PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Lebih lanjut Prof. Dr. Abdul Halim. MBA. Akt. memandang bahwa UU PDRD yang ada saat ini justru membawa kepada tujuan berbangsa dan bernegara, khususnya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam artian mencerdaskan Pemerintah Daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerahnya.

e) Keterangan DR. Zen Zanibar M. Z., S.H., M.H.

Terhadap perkara a quo Dr. Zen Zanibar M. Z. S.H., M.H.

menyimpulkan beberapa hal, pertama Pemohon mempertentangkan Undang-Undang dengan Undang-Undang dan mempertentangkan daerah yang mengatur pajak daerah bagi pemilik kendaraan bermotor dengan daerah yang tidak mengatur, kedua pengaturan pajak alat berat ditetapkan oleh daerah berdasarkan otonomi daerah yang berpayung pada asas desentralisasi yang dianut Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan kedua hal tersebut tidak terdapat kerugian konstitusional akibat pengaturan adanya undang-undang maupun oleh perda. Selanjutnya Dr. Zen Zanibar M. Z. S.H., M.H.

berpendapat bahwa keberatan terhadap pengaturan oleh Perda atau mempertentangkan Perda dengan terhadap Undang-Undang seyogianya diajukan kepada Mahkamah Agung.

B. TANGGAPAN PEMERINTAH ATAS KETERANGAN SAKSI DAN AHLI