• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan pembangunan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat yang pada umumnya bukan saja sebagai objek pembangunan

tetapi sekaligus sebagai subjek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Suatu pembangunan tentu diawali dengan adanya partisipasi dari suatu subjek yaitu masyarakat selaku penggerak dalam pembangunan.

Partisipasi masyarakat tentu berawal dari tahap mula dimana masyarakat membuat perencanaan terhadap suatu objek yang akan dibangun. Seperti pembangunan yang dikerjakan oleh masyarakat lingkungan XI Sicanang dalam pembuatan ekowisata sebagai bentuk usaha dari masyarakat setempat untuk memberdayakan potensi alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Partisipasi masyarakat dapat diukur dalam 3 pembagian yaitu : Pengetahuan, Sikap dan Perilaku.

Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan berkesinambungan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,rasa dan raba.Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga Notoatmodjo(2003)dalam Putra (2017). Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Dalam aspek pengetahuan masyarakat lingkungan XI Sicanang termasuk dalam kategori masyarakat yang mengetahui adanya potensi mangrove berdasarkan penglihatan dan pendengaran di wilayah tersebut. Hal tersebut

terbukti dengan hasil kuesioner dalam analisis tabel tunggal (tabel 1.6 di lampiran) hampir semua masyarakat mengetahui adanya potensi mangrove di wilayah tersebut dan wawancara dengan beberapa informan (Ati) mengatakan :

“...Kalau soal adanya hutan Mangrove ini ya jelas kita tahulah dek, bayangkan kita tinggal disini sudah dari tahun 76, dari dulu udah lihat adanya hutan itu disini. Dulunya ya masih hutan-hutan semak gitu, sekarang aja itu bisa dipijak...”

Informan lainnya (Agus) juga mengatakan hal demikian :

“...Iya dari dulu udah tahu kak, awalnya ya karena dengar-dengar dibilang orang sini tapi gak tahu dulu awalnya bisa diapain hutan ini kak...”.

Informan (Rusmiono) menegaskan :

“...Mangrove ini sudah seperti hidup saya, dari dahulu saya memang penyayang tumbuhan, Bu. Ibu bisa lihat di rumah saya yang dulu dibelakang sana, saya sudah sejak dulu menanami mangrove, makanya saya tahu betul bagaimana potensi mangrove di tempat ini, Bu...”

Pernyataan masyarakat setempat menyatakan mereka mengetahui adanya potensi mangrove tersebut namun belum tahu akan jadi apa dan seperti apa kelaknya mangrove tersebut. Selain dari pengetahuan seseorang, sikap juga bisa menjadi sebagai tolok ukur bagaimana seseorang bertindak.

Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap sosial terbentuk oleh adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan yang saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan individu yang lain.

Dengan memiliki pengetahuan dasar tentang mangrove tentu masyarakat punya sikap masing-masing dalam menanggapi dan berperilaku terhadap potensi mangrove yang ada dikawasan tersebut. Ketika ditanya bagaimana sikap mereka dan apa yang mereka ingin lakukan terhadap hutan mangrove yang ada didaerah tersebut beberapa informan menyatakan (Reza):

“...Kalau aku pengen mangrove ini bisa jadi tempat yang besar, seperti tempat-tempat wisata kan Bu. Karena di daerah kami ini kan kurang tempat hiburan, gak ada mall. Mau ke mall harus keluar agak kesana, jadi minimal kita bisa manfaatkan alam disini untuk dijadikan tempat jalan-jalan ya gak usah buluk-buluk entah untuk masyarakat sini aja dulu, Bu. Bisa jadi tempat ngumpul sama masyarakat sini...”

Informan lainya (Agus) menegaskan :

“....aku setuju mangrove ini dikembangkan kak, aku juga dari awal mau terlibat siap jadi apa aja untuk pembuatan mangrove ini. apalagi karena ngelihat Pak Rusmiono giat kali mengajak untuk memajukan daerah ini dengan buat mangrove ini, jadi ya dukung kali kak....”

Namun disisi lain sebagian masyarakat juga hanya sebatas memiliki pengetahuan terhadap mangrove tersebut namun tidak memiliki sikap yang peduli dengan adanya mangrove, Azhar (2015) menggambarkan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan dan sikap yang rendah terhadap pelestarian lingkungannya sehingga kurangnya tindakan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelestarian. Seperti hasil kategorisasi data berdasarkan sikap (tabel 4.38) menunjukkan 94 responden hanya memiliki sikap yang cukup terhadap pembangunan kawasan ekowisata mangrove ini dan 24 responden malah memiliki sikap yang kurang bahkan cenderung apatis tersebut seperti pernyataan informan (Ati) :

“...Ya, terserah mau diapain dek. Ibu mah gak ikut-ikutan, repot urus kerjaan sendiri. Jadi ya merekalah itu dek mau gimana kan. Soalnya rumah Ibu kan jauh dari situ dek. Jadi gak palah bisa kesana....”

Informan (Siti) juga menegaskan :

“...Gak sampai situ kemampuan saya, gak ngerti juga mau diapain mangrovenya. Kalau memang mau dibangun ya wes, kalau enggak juga ya wes. Asal gak jadi masalah gak apa-apa itu...”

Pernyataan informan diatas juga menunjukkan bahwasanya partisipasi perempuan dengan laki-laki berbeda dalam tahap perencanaan. Hasil Uji T (tabel 4.23) Partisipasi masyarakat lingkunganXI Sicanang menunjukkan bahwa partisipasi laki-laki lebih tinggi dibanding dengan partisipasi perempuan, namun tingkat perbedaannya tidak terlalu signifikan. Perbedaan gender memang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam perencanaan pembangunan kawasan ekowisata mangrove.

Partisipasi perempuan dalam perencanaan ini lebih banyak pada bagian mempersiapkan jenis mangrove yang akan ditanam, kemudian mereka ikut dalam mempersiapkan makanan dan minuman setiap kali selesai musyawarah. Hal ini juga membuktikan bahwa partisipasi mayoritas perempuan di lingkungan XI Sicanang masih belum optimal. Nurhaeni (2016) menemukan adanya pengabaian peran perempuan dibandingkan laki-laki dalam seluruh tahapan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengembangan pariwisata berkelanjutan. Meskipun beberapa bidang pekerjaan kepariwisataan sudah melibatkan perempuan, keterlibatan mereka masih sebatas keterlibatan di level

operator, belum keterlibatan pada posisi strategis, termasuk posisi manajerial. Kebijakan yang ada belum memihak pada optimalisasi pemberdayaan perempuan.

Keterlibatan perempuan pada tahap perencanaan, senantiasa lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan disparitas gender tertinggi terjadi pada kegiatan mengikuti rapat pengembangan sarana prasarana (sarpras) pariwisata, mengikuti rapat pengembangan kegiatan wisatawan di lokasi wisata dan aktif mengeluarkan pendapat dalam berbagai rapat, mengikuti rapat pembangunan/pengembangan potensi pariwisata, dan mengikuti rapat menggali potensi pariwisata. Hasil penelitian tersebut juga sama dengan keadaan masyarakat perempuan yang ada di lingkungan XI Sicanang. Mereka merasa nyaman dengan kondisi mereka hanya sebagai pelengkap maupun peramai saja dalam pembangunan kawasan ekowisata. Mereka menganggap perempuan memang dikondratkan berperan hanya dalam sektor domestik, sehingga belum siap untuk aktif dalam sektor publik. Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan informan (Mariaty) :

“...Ikut Buk, tapi saya bagian yang masak untuk mereka ini anggota-anggota pengelolah mangrove ini Bu. Kan saya perempuan susah juga kalau tancap-tancapin bambu bu. Tapi kalau nancap dan nanam mangrove saya ikut Bu...”

Informan lainnya (Uci) juga mengatakan :

“...Aku bantu Bu Mariati masak untuk anggota kak. Namanya cewek kan paling itulah yang bisa dibuat..nyaman aja udah gini..masak-masak kan enak kan daripada banyak mikir dan kerja untuk mangrove itu kak....”

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perempuan dalam perencanaan saja sudah membatasi diri dalam berpartisipasi lebih aktif dalam aspek lain, sehingga

ini selalu menjadi alasan perempuan mengalami marginalisasi dalam pembangunan.

Pembangunan ekowisata ini dimula dengan diadakannya musyarawah yang dilakukan oleh ketua pengelola mangrove dengan cara mengumpulkan masyarakat untuk berdiskusi tentang pembangunan ekowisata mangrove tersebut. Musyawarah dalam pembuatan mangrove tersebut berlangsung hampir sampai 8 bulanan sekitar 26 kali (tabel 4.8) rapat seperti pernyataan informan (Rusmiono) :

“..Awalnya sebelum pembuatan ini kita sudah adakan rapat banyak kali, Bu. Semua masyarakat diundang, bahkan sampai anggota keliling nyariin warga-warga buat kumpul. Tapi ya gitu, Bu. Gak semua masyarakat bisa diajak untuk kerjasama Bu. Tapi gak bisa disalahkan juga karena mereka kan punya pekerjaan lain, jadi susah juga fokus kalau diajak buat ekowisata mangrove ini, tapi tetap ada sebagian masyarakat yang mau diajak untuk berdiskusi dan merintis pembangunan ekowisata mangrove ini...”

Informan lainnya (Agus) juga mengatakan :

“...Jelas ada rapat kak dari awal terbentuknya ini, waktu itu masyarakat diajak kumpul semua, ada juga malah perwakilan dari wilayah lain kan manatau mereka mau tertarik juga, tapi memang awalnya aja yang banyak kak. Makin banyak rapat makin gak ada yang datang, kayaknya mereka gak yakin sama mangrove ini bisa maju...”

Pernyataan Informan tersebut tepat seperti hasil uji analisis kruskal (tabel 4.31) yang menyatakan bahwa ada perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan pekerjaan. Masyarakat yang bekerja sebagai petani, karyawan, buruh harian, pedagang tidak banyak bisa ikut terlibat dalam perencanaan pembangunan kawasan ekowisata tersebut dikarenakan waktu mereka yang tidak ada untuk ikut terlibat. Mereka menganggap terlibat dalam perencanaan pembangunan ekowisata mangrove merupakan hal yang kurang menarik dan seperti mengerjakan hal yang

sia-sia. Mencari uang dan mampu memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari yang paling prioritas bagi mereka, sehingga mereka sulit untuk membagi waktu untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok dalam pembangunan ekowisata mangrove.

Ketidakhadiran masyarakat dalam musyawarah juga bukan semata-mata hanya karena sibuk bekerja, melainkan ada juga beberapa masyarakat yang mengaku mereka tidak mengetahui bahwa adanya musyawarah dalam perencanaan pembangunan kawasan ekowisata tersebut. Pernyataan tersebut didukung dengan kutipan wawancara dengan informan (Ati) :

“...Gak pernah dengar tuh ada rapat-rapat pembuatan mangrove, mungkin dipilih-pilih orangnya ya?Soalnya gak ada dikasih tau dikami tuh.”

Informan lainnya (Siti) menegaskan :

“...Ada memang dulu diajak tapi gak jelas gitu masih samar-samar gitu infonya dan saya waktu itu gak ada mikir mangrove itu bisa berkembang gitu.”

Setelah menyelesaikan program rapat tentu masyarakat merealisasikan rencana-rencana yang ingin dibuat dengan mempersiapkan berbagai hal dalam pembangunan. Salah satunya adalah mempersiapkan daerah penanaman mangrove untuk mendukung pembangunan ekowisata tersebut.

Untuk mempersiapkan daerah penanaman mangrove itu tentu disesuaikan dengan kondisi marginal lahan yang meliputi akses, topografi, kondisi tanah sehingga uji korelasi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan memiliki hubungan yang kuat dengan kondisi marginal lahan di lokasi tersebut (tabel 4.17) seperti pernyataan beberapa informan (Rusmiono) mengatakan :

“...Masyarakat yang ikut rapat dan mau terlibat jadi anggota mangrove jelas ikut mempersiapkan daerah penanaman mangrovenya Bu. Daerah penanamannya disesuaikan sama pinggir-pinggiran laut itu Bu. Karna ada lahannya makanya bisa Bu. Kalau gak ada ya gak bisa..”

Informan lainnya (Agus) menegaskan :

“..Aku ikut mempersiapkan lahan mana yang bisa ditanami mangrove kak, sampai yang nyari tumbuhan mangrovenya pun ikut mempersiapkan kak...”

Namun di sisi lain sebagian masyarakat tidak ikut bahkan enggan terlibat dalam mempersiapkan seperti pernyataan informan (Siti) :

“...gak ada waktu ngurus-ngurus gituan dek, gak yakin aja sama mangrove itu, tua-tua dimangrove nanti takutnya dek.”

Selain marginal lahan yang meliputi aksesbilitas, topografi dan sebagainya, sumber daya juga memiliki hubungan yang kuat dalam pembangunan (tabel 4.18). Sebab tanpa memiliki sumber daya atau potensi alam tersebut maka perencanaan pembangunan kawasan ekowisata tidak dapat berlangsung. Namun tetap respon masyarakatlah yang menentukan arah pembangunan ekowisata mangrove ini. Pada tabel tunggal dalam tahap perencanaan, masyarakat diajak untuk ikut mempersiapkan lokasi penanaman mangrove sebagai bentuk tahap lanjutan dari musyawarah yang diadakan masyarakat. Namun hanya sebagian saja masyarakat yang ikut terlibat dalam mempersiapkan lokasi penanaman mangrove tersebut. Bahkan hanya sebagian kecil dari jumlah responden yang menyatakan ikut mempersiapkan penanaman mangrove seperti pernyataan responden (Rocky)

“...Sikitnya kami yang mulai ini dari awal kak, semua memang ada diundang tapi gak semua merespon kak, kayak awalnya ada 58 orang juga yang ikut rapat kan, tapi pas mau mulai nyiapkan mangrove ini paling Cuma 30annya kak...”

Sedangkan responden lainnya seperti acuh kurang acuh terhadap pembangunan kawasan ekowisata mangrove ini. Mereka menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya sudah diajak untuk ikut berpartisipasi mulai dari rapat, namun sedikit masyarakat yang merespon dengan positif untuk ikut terlibat dalam perencanaan pembangunan kawasan ekowisata mangrove ini. Sebagian masyarakat menganggap pembangunan kawasan ini tidak cocok pada lokasi mereka, karena merasa kondisi wilayah mereka tidak aman dengan banyaknya masyarakat yang masih terlibat dalam berbagai hal tindakan negatif seperti penggunaan narkoba, perampokan dan sebagainya. Namun banyak masyarakat yang menyatakan bahwa kondisi seperti itu dulu yang kurang aman, namun sekarang sudah cukup aman dan layak dijadikan kawasan ekowisata. Hasil lapangan tersebut sesuai dengan uji korelasi yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki hubungan yang kuat dengan faktor keamanan (tabel 4.19). Seperti pernyataan informan (Siti) :

“...tapi ya serem juga kalau ini jadi tempat wisata. Disini wong banyak maling, anak-anak narkoba.. yang ada orang takut datang kesini ya gak jalan juga ujung-ujungnya..” Namun hal tersebut dibantah oleh Informan (Agus) :

“...Wah, itukan dulu kak. Buktinya salah satu malingnya sekarang malah ikut ngelolah mangrove ini, artinya cocok ini dijadikan kawasan ekowisata, buka peluang untuk kami-kami buat perbuatan yang positif..”

Sehubungan dengan pertanyaan di atas bahwa beberapa masyarakat merasa beruntung dengan adanya kawasan ini membuat mereka memiliki aktivitas yang lebih positif sesuai dengan kondisi kehidupan mereka yang tadinya lebih tidak teratur. Masyarakat yang merasa sangat terbantu dengan adanya kawasan ini

merupakan masyarakat yang jarak rumahnya paling jauh dengan kawasan ekowisata tersebut. Lantaran mereka merupakan orang-orang yang berhasil di rekrutatau diajak oleh ketua pengelola mangrove lewat pendekatan mendalam.

Seperti hasil uji analisis kruskal (tabel 4.27) diatas yang menyatakan bahwa ada perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan jarak tempat tinggal dengan lokasi ekowisata mangrove. Namun partisipasi berdasarkan jarak tempat tinggal pada penelitian ini cukup unik. Malah semakin jauh tempat tinggalnya dari kawasan ekowisata tersebut malah partisipasi masyarakatnya semakin tinggi. Malahan masyarakat yang tinggal dekat kawasan tersebut tidak terlibat partisipasi baik dari perencanaan sampai selanjutnya dalam pembangunan kawasan ekowisata tersebut.

Masyarakat yang jarak tempat tinggalnya jauh dari kawasan ekowisata sekitar 500-1.000 meter merupakan masyarakat yang paling banyak berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan ekowisata ini. Hal tersebut terbukti dari jumlah anggota pengelolah mangrove sebanyak 30 orang yang kini masih aktif dan mereka tinggal dengan jarak 500-1.000 meter dari lokasi ekowisata mangrove. Masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan kawasan mangrove tersebut malah cenderung tidak terlibat dalam perencanaan pembangunan kawasan tersebut. Sehingga dalam perencanaan pembangunan ekowisata mangrove juga terjadi pro dan kontra antar masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sekitar seperti kurang merespon akan berhasilnya pembangunan ekowisata ini, walau pada tahap perencanaan banyak masyarakat yang menyatakan mereka tahu

dan dilibatkan dalam musyawarah namun tidak semua masyarakat ikut sampai tahap selesai perencanaan. Seperti pernyataan Informan (Siti) :

“...Yaaa malas ikut-ikutan dek, kami semua sikit yang ikut walaupun memang nampak pagar mangrove dari sini, tapi jujur aja gak berminat gitu...apalah orang hutannya itu, tiap hari nengok hutan, mana bisa jadi apa-apa..

Namun berbeda dengan Informan (Markus) :

“...rumah saya yang diujung dekat mesjid itu Bu. Pas Ibu masuk dari depan itu, nah itulah rumah saya pagar hijau bu...kalau soal ikut partisipasi dimangrove ini memang udah kayak jalannya ya Bu...Pak Rusmiono dorong saya untuk ikut melestarikan mangrove ini, dan saya rasapun mungkin inilah kebaikan yang bisa saya buat untuk alam Bu...