• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETIDAKHADIRAN PEMEGANG SAHAM MAYORITAS;

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2007 (Halaman 165-171)

Pascabayar PSTN

KETIDAKHADIRAN PEMEGANG SAHAM MAYORITAS;

142. Sekalipun, bertentangan dengan pendapat diatas, Temasek mungkin dapat dianggap sebagai pelaku bisnis sesuai dengan pasal 1 (5) Undang-Undang No.5/99, faktanya sama sekali memperlihatkan adanya pelanggaran pasal 27 (a) UU tersebut. --- 143. Pasal 27 (a) Undang-Undang No.5/99 menyatakan: ---

“Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: --- (a) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.” ---

144. Pasal 27 (a) hanya melarang kepemilikan dari pemegang saham pengendali mayoritas pada beberapa perusahaan, dibawah kondisi tertentu. Pasal ini tidak melarang kepemilikan dari jenis lain pemegang saham pengendali.--- 145. Seperti dikatakan sebelumnya, Temasek atau salah satu daru Terlapor 2 s/d 9

memiliki “saham mayoritas” pada Indosat atau Telkomsel. ICL/ICPL hanya memiliki 41,94% dari saham pengendali di Indosat dan bahkan Singtel Mobile memiliki saham pengendali di Telkomsel lebih kecil, yakni 35%. Precondition

penting pada pemakaian pasal 27 (a) tidak terpenuhi. --- 146. MENEG BUMN telah jelas menyatakan bahwa kepentingan pemegang saham

ICL/ICPL dan Singtel Mobile pada Indosat dan Telkomsel, masing-masing, tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemegang saham mayoritas. Seperti tertera pada paragraf 90 dan 91 diatas, the White Paper menyatakan secara jelas bahwa

Telkom mengendalikan mayoritas dari Telkomsel” dan “Kepemilikan STT di

Indosat melalui ICL(ICPL) bukan sebagai mayoritas (kurang dari 50% dari saham terdaftar di Indosat). Ditambahkan, kepemilikan perusahaan Singapura di

Telkomsel juga kurang dari 50%.” Dengan kata lain, MENEG BUMN dan juga

perlemen di Indonesia telah mempertimbangkan kata dari Pasal 27 (a) dan menerjemahkan hal itu sebagai pemegang saham mayoritas yang mempergunakan angka (yakni kurang dari 50%). --- 147. Karena ICL/ICPL dan Singtel Mobile tidak memiliki lebih dari 50% dari

kepemilikan saham di Indosat dan Telkomsel, masing-masing mereka, oleh karena itu permulaan kondisi awal untuk aplikasi pasal 27 (a) tidak terpenuhi. ---

166

148. Untuk menghindari masalah tersebut, KPPU mendefinisikan “saham mayoritas” pada pasal 27 sebagai “pengendali” dari suatu perusahaan. Tidak hanya itu, tapi KPPU juga menginterpretasikan “pengendali” secara luas termasuk mengendalikan secara de facto terhadap kebijakan perusahaan. KPPU menyatakan bahwa dalam kasus ini mengenai segala kepemilikan lebih dari 25% dari saham pengendali, dapat merupakan kasus juga bagi pemilik saham pengendali yang memiliki saham dibawah 25%. --- 149. Ada dua alasan mengapa kesimpulan tersebut tidak benar. Pertama, penjelasan

KPPU mengenai “saham mayoritas” sama sekali tidak konsisten baik dari pengertian asli maupun tujuan dari pembentukan, dan juga tidak didukung dengan argumen yang bisa KPPU percaya. Kedua, bahkan pada KPPU’s broad

construction, Indosat dan Telkomsel tidak dikendalikan oleh Temasek atau salah

satu dari Terlapor 2 s/d 9.---

Pembentukan yang wajar dari “saham mayoritas” pada pasal 27; ---

150. Interpretasi KPPU mengenai “saham mayoritas” tidak dapat dipertahankan sama sekali, baik dari sudut pandang hukum Indonesia, dan juga dari sudut pandang hukum anti monopoli di yurisdiksi lain. --- 151. Berdasarkan hukum Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana, pakar hukum yang diajukan STT Grup A menyatakan dalam laporannya yang diserahkan kepada KPPU: ---

“ Kesimpulan yang dapat saya tarik dari pengertian “own majority shares”

adalah pemegang saham pengendali mayoritas harus memiliki lebih dari 50% (limapuluh persen) dari saham yang dijual dan paid up capitalperusahaan. ---

Untuk ICL dan ICPL (pemegang saham langsung di Indosat) hanya memiliki 40,8% dari saham Indosat, STT, STTC, AMHC, AMH, ICL dan ICPL tidak dapat dikatakan sebagai “own majority shares” Indosat berdasarkan pengertian pasal 27 dari Undang-Undang Persaingan Usaha.

...

Konsep dari material influence tidak dikenal oleh hukum perusahaan Indonesia dan atas alasan tersebut, tidak bisa dipergunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan arti dari “own majority shares”.

...

Pendekatan KPPU mengenai saham mayoritas di [laporan kedua (Second

Report)] tidak akurat bahkan sampai pada titik tidak berlaku secara hukum.

Menurut pendapat saya, seperti yang telah disebutkan pada awal paragraf ,

“majority shares” adalah pemegang saham pengendali diatas 50%

(limapuluh persen) dari saham yang dijual dan paid up capital perusahaan. Lebih lanjut, sangat penting digaris bawahi bahwa material inluence

bukanlah pengujian yang relevan berdasarkan undang-undang Indonesia dalam menentukan apakah saham mayoritas itu ada, dan terdapat kekhilafan hakim dalam menentukan putusan merupakan bagian dari KPPU.” ---

167

152. Profesor Hikmahanto Juwana menyimpulkan berdasarkan definisi dari “saham mayoritas” undang-undang perusahaan Indonesia. Dia menjelaskan undang-undnag berikut ini didalam laporannya:--- “Undang-Undang penting yang dapat dipakai sebagai referensi adalah sebagai berikut: --- a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perusahaan Terbatas

(“UUPT”)--- b. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”) c. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

(“UU BUMN”) --- ...

a. Berdasarkan UUPT tidak ditemukan definisi dari “own majority shares”. b. Berdasarkan UUPM dalam penjelasan pasal 15 ayat 2 dijelaskan: ---

“Mayoritas saham adalah pemegang saham yang memiliki lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal yang ditempatkan dan disetor perusahaan.” --- Penjelasan dari UUPM tersebut dapat di interpretasikan bahwa pemegang saham pengendali mayoritas adalah pemegang saham yang memiliki lebih dari 50% saham yang dijual dan paid up capital. ---

c. Berdasarkan UU BUMN pengertian “own majority shares” tidak digunakan. Tetapi, terdapat kesamaan pengertian. Pada pengertian “sebagian besar” dapat dilihat pada pasal 1 nomor 1 dan 2 dari UU BUMN. --- Pasal 1 nomor 1 adalah: --- “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” --- Dimana selanjutnya pasal 1 nomor 2 menjelaskan: --- “Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.”--- 153. Adalah suatu hal biasa ketika kata-kata pada perundang-undangan tidak ambigu. Seperti dinyatakan oleh Prof Dr Jimly Asshidiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam Perihal Undang-Undang, jika ketentuan hukumnya sudah jelas, apapun hasilnya, suatu persidangan harus mengaplikasikan ketentuan sesuai dengan adanya. Jika hukum diperlihatkan secara jelas (express verbis) tidak akan ada ruang bagi pengadilan untuk menginterpretasikan sebaliknya. Pada kasus ini, istilah saham mayoritas sudah cukup jelas dan tidak berambigu, dan tidak terdapat ruang untuk interpretasi yang lainnya. --- 154. Terdapat kesamaan dari segi pandang undang-undang anti monopoli internasional, interpretasi yang masuk akal dari “majority shares” adalah didasarkan pada

168

interpretasi yang ketat dari persentase pemegang saham pengendali. Seperti kesimpulan dari Dr. Frank Montag dalam laporannya sebagai seorang ahli, ketidakbiasaan dan pengecualian dari larangan pada pasal 27, dengan membandingkan dengan undang-undang antimonopoli di yurisdiksi lain adalah membutuhkan arti yang sebenarnya dari pengertian “majority shares”. Fungsi dari pembentukan pasal ini berdasarkan peraturan anti monopoli internasional dan skema dari Undang-Undang Nomor 5/99 secara keseluruhan adalah menuju pada kesamaan pandangan pada hukum Indonesia, seperti pemegang saham harus memegang lebih dari 50% dari modal yang dibagikan dalam hal pengendalian. --- 155. Argumen KPPU didasarkan pada pengertian dari sisi gramatikal, sistimatikal dan teleologikal dari pasal 27. Hal yang sama juga terjadi pada peraturan dan praktek di negara lain: --- a) KPPU mengakui bahwa pengertian “gramatikal” pasal 27 menginterpretasi

“majority shares” sebagai pemegang lebih dari setengah saham perusahaan.

Tetapi KPPU meolak pengertian ini karena berpandangan terlalu sempit jika ternyata ada lebih dari satu klasifikasi saham di perusahaan83. Pengertian ini bisa saja dipakai apabila yang dibutuhkan oleh undang-undang adalah mengenai pertanyaan de facto mengenai siapa yang mengendalikan suatu perusahaan. Tetapi yang menjadi permasalahan sekarang: pengertian dari pemegang mayoritas saham pengendali (majority shareholder). Penolakan KPPU terhadap interpretasi gramatikal terhadap hal tersebut merupakan suatu ujian badan pembuat undang-undang. --- b) Interpretasi sistimatikal dan teleological KPPU pada pasal 27 didasarkan pada pengertian luas dari pengendalian pembuat keputusan dari suatu perusahaan84. Sekali lagi, interpretasi ini adalah kemauan sendiri dan didasarkan pada kesengajaan menolak terhadap apa yang sudah tertera dengan jelas pada peraturan. Badan legislatif dapat memilih untuk menempatkan “majority

shares” sebagai kondisi pengendalian secara de facto, tetapi pada kenyataannya

tidak dilakukan.--- c) Berdasarkan diskusi yang dilakukan melihat pada peraturan yang lain mengenai pemegang mayoritas saham pengendali (majority shareholder) pada akhir kesimpulannya KPPU tidak diketemukan peraturan perundang-undangan lain yang mendefinisikan pengertian dari pemegang mayoritas saham pengendali

(majority shareholder),tetapi malahan didasarkan pada pengertian controlling

shareholders85. Jika itu terjadi, yang bisa mendukung Temasek pada pasal 27

UU No.5/99 adalah jika penyediaan dimaksudkan pada control of the

shareholder bukan pada persentase dari pemegang saham, maka lebih baik di

tulis sebagai referensi terhadap keberadaan “controlling shareholding”di beberapa perusahaan dari pada memakai istilah pemegang mayoritas saham pengendali (majority shareholder). ---

d) KPPU memberikan pernyataan yang tegas , pada uni Eropa, akuisisi saham yang tidak menyebabkan perubahan kontrol di perusahaan pesaing telah diatur

83

Laporan ketiga, bagian analisis, paragraph 7 -13 84

ibid, paragraph 14-20 dan 22 -25 85

169

oleh sebuah “hukum persaingan usaha tidak sehat”86 adalah tidak tepat. Tidak ada hukum seperti itu. Tidak juga dengan pasal Ezrachi dan Gilo yang diarahkan juga oleh KPPU sehubungan dengan jenis hukum tersebut. Adalah benar untuk mengatakan bahwa beberapa kasus yang berhubungan dengan akuisisi saham dan efek dari konsekuensinya mungkin diatur dengan ketentuan pada pasal 81 dan 82 dari perjanjian Uni Eropa, dimana kondisi-kondisi untuk pasal-pasal telah terpenuhi, tetapi itu tidak memberikan petunjuk untuk interpretasi dari Pasal 27 UU No.5 tahun 1999 dimana terdapat ketentuan yang berbeda. UU No.5 tahun 1999 mengandung ketentuan-ketentuan yang luas, sama dengan pasal 81 dan 82: hal ini diatur (secara Khusus) pada Pasal 4-16 dan Pasal 25. sejauh ini telah ditarik kesimpulan dari pasal Ezrachi dan Gilo sehubungan dengan hukum Indonesia, adalah ketentuan-ketentuan dari UU No.5 Tahun 1999 tersebut yang menjadi pokok persoalan, dibandingkan dengan perbedaan pengaturan padsa pasal 27 yang tidak memiliki kesamaan baik pasal 81 atau pasal 82. --- e) Diskusi KPPU mengenai pengendalian merger di wilayah hukum lain87

sangatlah tidak relevan, karena hal tersebut berbicara mengenai isu persaingan yang lain. Sejak awal, hal tersebut mengarah kepada akuisisi saham: mereka kemudian menerapkan peraturan ex ante. Sejak dulu pasal 27 dipakai sebagai

ex post terhadap pemegang saham, tahun 2001 dan 2002. Kedua, setiap

yurisdiksi mengenai larangan merger hanya bisa diterapkan pada perusahaan dimana merger yang telah dilakukan atau yang akan melakukan merger terlihat melanggar kompetisi.88 Tidak ditemukan secara eksplisit dari efek anti- kompetisi (anti-competitive effects) pada pasal 27, dan juga KPPU tidak mencantumkan kondisi tersebut pada analisa hukumnya. Disandarkan pada perbedaan pandangan pada konteks hukum, dan penerapan situasi berbeda dimana tidak ditemukan pengertian yang mendukung “majority shares” pada pasal 27. Pada akhirnya, Dr Montag menyatakan bahwa pengertian yang diilustrasikan pada kejadian luar biasa di pasal 27 dengan membandingkan dengan ketentuan dari sistem anti monopoli yang modern, maka disarankan dalam shareholding requirement harus disesuaikan dengan pengertian asli. 156. Tindakan KPPU berkeinginan untuk melakukan pembenaran atas interpretasi Pasal

27(a) Undang-Undang No.5/1999 dengan memberikan alasan sebagai berikut: --- (a) Jika Pasal 27(a) hanya diterapkan ketika terdapat pemilik saham mayoritas, pada pengertian harfiah, hal itu tidak akan mencegah kerugian terhadap persaingan dan kepentingan masyarakat yang disebabkan adanya konspirasi diantara pemegang saham minoritas ung sebenarnya mengendalikan beberapa perusahaan. --- (b) Penjelasan dari UU No.5 Tahun 1999 menentukan bahwa salah satu

tujuannya adalah untuk mencegah konsentrasi ekonomi. Oleh karena itu Pasal 27 (a) harus dibaca sebagai suatu ukuran terhadap konsentrasi ekonomi.

86

ibid, paragraph 34 87

Ibid, paragraph 30-22 dan 35-43

88

Di UK, merger diperbolehkan apabila Komisi Kompetisi menentukan bahwa merger “menghasilkan, atau diharapkan menghasilkan pengurangan kompetisi di semua pasar baik berupa barang atau jasa di UK.” (Bagian 35(2)(a) Enterprise Act 2002). Dibawah peraturan merger European Commission, merger dilarang apabila “secara signifikan mengganggu ke efektifan dari kompetisi pasar, terutama apabila menghasilkan posisi dominan yang kuat” (Pasal 2(3) dari Regulation 139/2004/EC.

170

(c) Pengaturan legislasi perbankan dan sektor pasar modal menggambarkan “pengendalian” perusahaan/pemilik saham sebagai kesatuan dengan kepemilikan saham kurang dari 50% pada perusahaan. --- 157. Setiap alasan yang diajukan dibawah ini adalah tidak beralasan: --- (a) Jika pemegang saham minoritas berkonspirasi untuk mengurangi persaingan di pasar, konspirasi ini dapat membentuk menjadi kartel yang dapat diserang dengan menggunakan pasal 11, sebuah trust yang dapat diserang dengan menggunakan pasal 12 atau oligopoly yang dapat diserang menggunakan pasal 4 UU No.5/99. --- (b) UU No.5/99 tidak melarang konsentrasi pasar. Daripada, UU No.5/99

melarang penyalahgunaan dari konsentrasi tersebut. Dijelaskan pada pasal 25 UU No.5/99. --- Pasal 25 mengizinkan kelompok pelaku usaha untuk ememgang 75% atau lebih dari pasar yang tersedia tanpa adanya penyalahgunaan. Pada kasus KPPU sendiri, kelompok pelaku usaha ini dapat mengendalikan 75% atau lebih dari pasar melalui kepemilikan saham minoritas dibeberapa perusahaan. Dalam hal demikian, pasal 27 harus dibaca sebagai suatu pengecualian terhadap peraturan kebebasan umum yang secara spesifik diatur pada pasal 25 – dimana pasal 25 memperbolehkan kelompok pelaku usaha untuk mengendalikan 75% atau lebih dari pasar, Pasal 27 (a) melarang pengendalian seperti itu, apabila dilakukan oleh kelompok pelaku usaha dengan (pengertian harfiah) pemegang saham mayoritas pada perusahaan pesaing terpisah. --- (c) Pertama, legislasi menyerahkan kepada KPPU untuk menggunakan kata

“pemilik saham pengendali” dan bukan “pemegang saham mayoritas”. Kedua, statute ini digunakan dengan tujuan yang benar-benar berbeda dari UU No.5/99 dan dengan demikian penggunaan yang tidak tepat bahkan dapat dijadikan sebagai analogi. Dalam berbagai kegiatan, KPPU tidak mengindahkan legislasi Indonesia yang disebutkan oleh Profesor Hikmahanto dalam laporannya (lihat diatas); legislasi yang bertujuan untuk sejalan dengan UU No.5/99 dan secar jelas mengilustrasikan bahwa “pemegang saham mayoritas” harus diinterpretasikan sebagai pemilik saham lebih besar dari 50% di perusahaan. --- 158. Pada kenyataannya diskusi KPPU mengenai hal ini telah salah arah dalam

usahanya untuk menerapkan pasal 27 sebagai ketentuan pengendalian merger retroaktif. Secara keseluruhan hal tersebut tidak sah. UU No.5/99 berisikan ketentuan pengendalian merger: hal ini diatur pada pasal 28 dan 29. Pasal 27 tidak ada dibagian hukum yang mengatur mengenai pengendalian merger, dan ketentuan ini pada dasarnya benar-benar berbeda dengan ketentuan pengendalian merger. Hal ini menggarisbawahi masalah bahwa setiap usaha untuk mendasarkan pada konsep merger pengendalian tidak relevan dengan konstruksi yang dilarang atas beberapa tipe yang berbeda, dalam kerangka dengan kondisi structural dari kepemilikan saham mayoritas. Lebih lanjut penerapan pasal 27 oleh KPPU secara retroaktif

171

untuk menggantikan pasal 28 dan 29 menimbulkan permasalahan yang mendasar mengenai keadilan dan ketidak pastian hukum --- 159. Mr Pasaribu juga telah (dengan adil) menyetujui didalam pernyataannya yang

bertentangan dengan pernyataan KPPU bahwa interpretasi secara harfiah harus diberikan untuk frase “saham mayoritas”. ---

Secara de facto tidak ada kendali dari seluruh kegiatan Indosat atau Telkomsel ---

160. Bahkan jika KPPU benar menerapkan apa yang dimaksud dengan “majority

shares” pada pasal 27, tetap saja KPPU harus menunjukkan secara de facto

pengendalian Indosat dan Telkomsel oleh Temasek. --- 161. Temasek dan Terlapor 2 s/d 9 tidak melakukan pengendalian terhadap Indosat atau Telkomsel. Seperti yang disebutkan pada paragraf ## diatas, [pemegang saham yang mengendalikan Indosat adalah Pemerintah Indonesia dan Telkomsel pun tidak dikendalikan oleh Temasek atau salah satu dari Terlapor 2 s/d 9, yag mengendalikan adalah PT Telkom, yang memegang 65% saham]. --- 162. Berdasarkan alasan tersebut, Mr Pasaribu didalam pendapatnya yang berlawanan dengan KPPU, menolak tuduhan KPPU yang didasarkan pada pasal 27. Temasek menyatakan Mr. Pasaribu berhak melakukan hal tersebut. ---

Dalam dokumen KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Tahun 2007 (Halaman 165-171)