• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Pendidikan Seksual Melalui Strategi Visual

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

C. Komunikasi Pendidikan Seksual Melalui Strategi Visual

Pikiran bersama perasaan yang akan disampaikan kepada orang lain oleh Walter Lippman dinamakan picture in our head, dan oleh Walter Hagemann disebut Bewustseinsinhalte. Yang menjadi permasalahan ialah bagaimana caranya a

dapat dimengerti, diterima, dan bahkan dilakukan oleh komunikan.130 Di sinilah media bekerja.

Menurut Suranto, media komunikasi adalah semua sarana yang dipergunakan untuk memproduksi, mereproduksi, mendistribusikan atau menyebarkan dan menyampaikan informasi.131 Media komunikasi merupakan salah satu aspek penting yang mempengaruhi keberhasilan suatu komunikasi. Dengan adanya media komunikasi baik media lisan dan tulisan, arus informasi pesan yang diberikan dapat diterima oleh panerima pesan dengan mudah.

129

Wawancara dengan informan Agung Tri Yulianto dilakukan pada 17 Juni 2011 pukul 11.30 WIB di Ruang II SLA Fredofios

130 Onong Uchaja Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,

2003) hlm. 11 131

Ketika membicarakan pemilihan media, maka komunikator harus mempertimbangkan kondisi komunikan. Berkaitan dengan hal tersebut, Dance dan Larson melihat karakteristik komunikan dengan menggunakan pendekatan pengembangan kognitif.132 Dalam tahap antarpribadi yang terjadi adalah adanya komunikasi antara dua orang yang mengkonsentrasikan dirinya pada keunikan orang lain. Ia harus mempunyai rasa tahu terhadap orang lain yang menjadi peserta komunikasi. Kedua pengarang tersebut juga menekankan pada proses mental yang terlibat dalam perbedaan jenis komunikasi. Mereka yakin bahwa jika kita berbicara dengan seseorang yang lain maka kita memerlukan kemampuan untuk mengenal atau memahami kemampuan kognitif dari orang lain dalam memproses informasinya. Kemampuan ini berbeda dalam setiap tahap bagi setiap orang dan juga pengaruhnya kepada orang lain.

Problem komunikasi yang menonjol pada penyandang autisme adalah dalam menggunakan bahasa ekspresif dan reseptif. Kemampuan bahasa ekspresif mereka tampak tidak efisien, tidak efektif, ada keanehan, dan echolalia. Ia cenderung kurang pemahaman pada pesan yang didengar dan lebih memahami informasi melalui penglihatan.133 Ini berarti, penyandang autisme memproses informasi yang ia terima secara visual (visual thinking). Mereka lebih mudah memahami segala sesuatu yang sifatnya konkrit (dapat dilihat dan dipegang)

132

Alo Liliweri. Op.Cit hlm. 68

133 http://putri.sayanginanda.com/fun/hidayat/meningkatkan-atensi-dan -komunikasi-anak-autistik-

daripada informasi yang sifatnya abstrak. Bagi sebagian besar penyandang autisme, komunikasi verbal bersifat terlalu abstrak. Oleh karena itu pada beberapa murid, guru membantu mereka dengan sistem komunikasi visual dimana hubungan antara lambang dan makna menjadi lebih terlihat. Jika kata kata hanya bisa berbicara sedikit sekali kepada mereka, penggunaan media komunikasi visual mungkin dapat berbicara lebih jelas.

Misalkan di Mall, kita kan bingung ya, supermarket di sebelah mana? Toilet di sebelah mana? Begitu dibantu dengan tanda tanda panah, arah ke toilet misalnya, kita kan terbantu. Nah kita bayangkan anak autis itu masuk ke dunia kita seperti dia masuk Mall yang tanpa tulisan apapun, bingung kan? Sama seperti kita. Kalau kita masuk Mall tanpa petunjuk aja bingung, apalagi anak autis yang masuk ke dunia kita yang jauh lebih kejelasan. Salah satu yang dapat membantu adalah strategi visual. Walaupun ada beberapa anak yang kemampuan auditorinya lebih dominan, tetapi rata rata anak autis visualnya yang jauh lebih

134

Strategi visual merupakan alat bantu dan cara belajar yang bersifat permanen dan konkret bagi bagi orang berkebutuhan khusus. Dihubungkan dengan komunikasi pendidikan seksual, strategi visual meliputi penggunaan media gambar, foto, teks tertulis, modeling, dan benda benda lainnya yang bisa menunjang proses komunikasi.

Secara umum, media komunikasi yang digunakan untuk mendukung proses komunikasi pendidikan seksual meliputi :

134 Sharing strategi visual dengan informan Abdu Somad dilakukan pada 19 April 2011 pukul 13.26

1. Bahasa lisan

Bahasa merupakan media yang paling banyak digunakan dalam

perasaan komunikator kepada komunikan. Pun dalam komunikasi pendidikan seksual untuk remaja autisme. Guru seringkali menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi seksualitas kepada siswa autisme yang memasuki masa puber.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika memilih bahasa verbal sebagai media penyampai informasi. Penyandang autisme mengalami beberapa hambatan, seperti sulit mengungkapkan diri, tidak dapat menjalin kontak mata, dan kemampuan memusatkan perhatian (atensi) terhadap informasi yang diterima yang temponya singkat. Oleh karena itu, beberapa hal yang menjadi kunci keberhasilan komunikasi dengan penyandang autisme adalah pemilihan kata kata yang sederhana, mudah dimengerti, berupa kalimat pendek, dan tidak banyak menggunakan kata - kata konotatif. Perkataan dalam pengertian konotatif adalah yang mengandung pengertian emosional atau mengandung penilaian tertentu (emotional or evaluative meaning).135 Materi seksualitas yang menyangkut istilah-istilah organ reproduksi biasanya disampaikan dengan menggunakan nama sebenarnya. Misalnya organ seksual pada pria secara jelas disebutkan namanya sebagai penis dan pada wanita dinamakan vagina.

135

Penggunaan istilah konotatif, seperti penggunaan kata burung untuk menggantikan kata penis, dihindari agar tidak terjadi miscommunication pada penyandang autisme.

2. Gambar, foto, teks tertulis

Gambar dan foto biasanya digunakan oleh guru untuk menjelaskan berbagai konsep abstrak, seperti pernikahan, organ tubuh, pemahaman tentang nilai sosial, dll.

Di luar sampel yang dipilih, salah satu guru menggunakan media komunikasi visual untuk menanamkan nilai sosial pada siswa yang dulu pernah sekolah di SLA Fredofios. Media visual yang digunakan merupakan benda yang disukai oleh siswa yang bersangkutan. Berikut penuturan dari Ibu Dewi :

enggak tahu pertamanya dia dapat informasi darimana, tetapi waktu masuk ke sini, sudah terbentuk perilaku seperti itu. Jadi dia sering bicara, perilakunya langsung mau menyerang, langsung mau pegang. Terus dia juga suka buka bajunya orang dan pegang pegang tangan terus dicium. Di dalam kelas juga seperti itu, dalam setiap pelajaran dengan guru cewek pasti seperti itu. Kebetulan hanya saya guru ceweknya. Gimana caranya, kalau seperti itu kan kita enggak bisa konsentrasi belajar. Terus akhirnya saya membuat visualisasi dengan gambar, jadi gambar tangan gitu saya silang, kemudian saya tulis juga dilarang pegang tetek. Saya bikin seperti rambu rambu lalu lintas karena dia kan suka rambu rambu lalu lintas. Rambu rambu tersebut saya gunakan untuk memberi tahu tidak boleh pegang tetek. Jadi perilaku negatif itu saya coba

hilangkan dengan rambu rambu itu. Awalnya memang sulit ya, tapi

harus berulang 136

3. Penggabungan media verbal dan visual

Selain dengan media verbal atau media visual, biasanya lambang - lambang tersebut sering dipadukan penggunaannya demi efektivitas komunikasi. Dengan kata lain, penjelasan mengenai seksualitas tidak hanya cukup dijelaskan secara lisan tetapi harus disertai dengan gambar - gambar atau pendukung visual lainnya agar penjelasan tersebut menjadi lebih nyata.

Dalam proses instruksional, penggabungan media komunikasi ini biasanya digunakan pada kegiatan belajar yang ditujukan untuk mencapai kemampuan-kemampuan praktis, seperti keterampilan memakai pembalut pada remaja autisme putri dengan menggunakan teknik modeling.

Visualisasi melalui teknik modeling akan lebih efektif untuk mengajarkan hal - hal yang bersifat praktis daripada sekedar penjelasan- penjelasan teoritis yang bersifat abstrak.

Penggabungan media verbal dan visual juga digunakan untuk menjelaskan materi seksualitas yang lebih kompleks, seperti pemahaman organ seksual dan fungsi reproduksi. Materi ini biasanya diajarkan dengan

136 Wawancara dengan Informan Fred Vrugteveen dilakukan pada 5 April 2011 pukul 11.00 WIB

menggunakan social story disertai dengan gambar untuk mengkonkretkan hal hal abstrak yang sulit dipahami. Ibu Arum mencontohkannya sebagai berikut :

ya, karena memang sudah ada di kurikulum di situ ada jenis kelamin. Jenis kelamin itu ada dua, laki laki dan perempuan. Ada kompetensi yang harus dicapai, misalkan si anak mengetahui jenis kelamin laki laki dan perempuan. Jadi kita kasih tahu ciri ciri perempuan dan laki laki. Setidaknya secara fisik dari luar dulu, misalnya perempuan memiliki payudara dan berambut panjang, itu kan kelihatan dari luar. Terus kalau laki laki apa? Nah baru kemudian lebih dalam lagi. Laki laki memiliki alat kelamin namanya penis, perempuan namanya vagina. Ya kita kasih tahu namanya. Kemudian di kasih gambar, tapi gambarnya bukan gambar nyata, hanya gambar abstrak seperti yang ada di buku buku. Kalau gambar yang di buku itu kan transparan ya, jadi sudah ada bagian dalamnya juga. Di dalam tubuh wanita, wanita memiliki indung telur, ini gunanya untuk menghasilkan sel telur. Nanti kalau sel telurnya sudah matang, sel telur turun ke rahim. Ini yang namanya rahim. Lha nanti kalau sudah dibuahi, ada adek bayinya di sini. Pernah lihat kan orang hamil? Perutnya besar karena di dalamnya ada adek bayinya. Kalau adek bayinya sudah keluar itu namanya melahirkan. Tetapi kalau tidak dibuahi, nanti sel telur akan keluar dalam bentuk darah, namanya menstruasi. Seperti itu. jadi yang cowok juga tahu kalau wanita mengalami yang namanya menstruasi. Kalau sedang menstruasi, cewek tidak boleh sholat misalkan, atau berenang. Dan ini enggak apa apa, karena darah ini darah kotor jadi memang harus dikeluarkan. Kalau cowok bagaimana? Cowok juga mengeluarkan zat dari tubuhnya. Saat mimpi basah, cowok mengeluarkan air mani. Kenapa bisa mimpi basah? Karena itu tadi, sebenarnya prinsipnya sama, kamu memiliki sel sperma yang harus dikeluarkan kalau sudah matang. Kalau kamu bangun pagi

137

D. Hambatan Komunikasi

1. Hambatan Pada Sumber

137 Wawancara dengan Informan Dessi Amalia Arumsari dilakukan pada 21 Juni 2011 pukul 11.21

Salah satu penghambat komunikasi pendidikan seksual adalah ketakutan guru jika anak akan menyalahgunakan informasi seksualitas yang diberikan. Ada anggapan bahwa pendidikan seksual justru akan memancing rasa ingin tahu anak tentang seksualitas yang lebih jauh lagi. Ketidakpercayaan pada remaja autisme pada akhirnya mengecilkan tujuan pendidikan seksual yang sebenarnya. Mengenai hal ini, Bapak Agung berpendapat :

sisi lain menjaga agar anak tidak menyalahgunakan informasi tersebut. istri DT. Saya was-was juga, dulu malah enggak berani sama sekali. Saya jangan sampai memberi tahu dan memberi contoh yang salah.138

2. Hambatan Pada Media

Keterbatasan media juga berpengaruh terhadap kelancaran proses instruksional di sekolah. hal ini sebagaimana disampaikan oleh Bapak Agung :

alat peraga masih kurang. Dulu saya pernah mengusulkan sex toys. Walaupun nanti menyimpannya harus benar benar rapat. Itu kan bisa digunakan untuk mengenalkan organ pada anak, tapi belum bisa terpenuhi sampai sekarang, jadi nanti memakai manequen

139

138

Wawancara dengan informan Agung Tri Yulianto dilakukan pada 11 April 2011 pukul 12.53 WIB di Ruang II SLA Fredofios

139 Wawancara dengan informan Agung Tri Yulianto dilakukan pada 11 April 2011 pukul 12.53 WIB

3. Hambatan Pada Komunikan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jenis kognisi yang berbeda menyebabkan penyandang autisme sulit memahami hal hal yang abstrak. Dalam proses komunikasi pendidikan seksual, terkadang siswa tidak paham karena ada beberapa materi yang memang abstrak. Sebagaimana disebutkan oleh Bapak Agung :

anak enggak dong. Dalam arti sulit memahaminya. Kalau sebatas alat alat seksualnya mungkin mereka paham karena bisa ditunjukkan sendiri, tapi kalau organ yang ada di dalam, seperti sperma keluarnya darimana? Sel telur seperti apa? Itu kan sulit, karena

140

Hambatan pada pihak komunikan biasanya juga berkaitan dengan masalah kerangka berpikir. Hambatan kerangka berpikir terjadi karena tidak benarnya proses decoding terhadap pesan. Dengan kata lain ada perbedaan persepsi antara komunikator dan komunikan terhadap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi. Misalnya pada saat pelajaran Agama. Saat guru bertanya pada DT apakah dia pernah mengalami mimpi basah, DT menjawab belum pernah. Kesalahan decoding terjadi karena selama ini komunikan memahami mimpi basah sebagai mengompol.

140 Wawancara dengan informan Agung Tri Yulianto dilakukan pada 11 April 2011 pukul 12.53 WIB

BAB IV