• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL

UNTUK REMAJA AUTISME

(Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Antara Guru dan Murid

Dalam Mengenalkan Pendidikan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta)

Oleh:

Tri Setyo Ariyanti

D0206102

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi

Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

pada Program Studi Ilmu Komunikasi

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :

KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME

Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Antara Guru dan Murid

Dalam Mengenalkan Pendidikan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta

Adalah karya asli dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Saya bersedia menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata dikemudian hari terdapat bukti - bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya yang asli atau sebenarnya.

Surakarta, 3 November 2011

(5)

HALAMAN MOTTO

kekuatan terbesar

manusia

adalah

ketika

berikhtiar

karena yakin

akan

kekuasaan Allah

dan

bertawakkal

karena yakin

akan

kebesaranNya

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dariku,

Untuk Ibu

Sumber kasih sayang dan kekuatan

You always inspire me

how to be A GREAT MOM someday

Untuk Bapak

Figur paling pemurah dan baik hati

Tak ada hal lain yang lebih membahagiakan

selain menjadi anak KEBANGGAAN Bapak

Untuk Teman - teman spesialku

Alif, Opiq, Todi, Ivan, Jason, Aga, Farel, Claudia, Salsa, Tia, Dian

(7)

KATA PENGANTAR

Berawal dari pertemuan penulis dengan Alif, seorang penyandang autisme, enam tahun yang lalu, penulis kemudian tertarik untuk mengerjakan skripsi dengan tema tersebut. Sungguh pengalaman yang luar biasa berharga, penulis bisa mengenal dan memahami individu spesial ini secara lebih dekat.

Puji syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karena kasih dan sayang-Nya jualah yang telah mengirimkan orang-orang terbaik untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis selama proses kreatif skripsi. Maka pantas jika penulis mengucapkan untaian tulus rasa terima kasih pada :

1. Prof. Dr. Pawito, Dekan FISIP UNS yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. Ibu Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi sekaligus tak hentinya memberi motivasi dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsinya.

(8)

untuk berbagi pengalaman dan pelajaran hidup berharga kepada penulis di sela-sela kegiatan bimbingan.

4. Ir. Bugi Rustamadji, Msc, Kepala Sekolah SLA Fredofios atas kepercayaan yang diberikan kepada penulis sehingga bisa melaksanakan penelitian di SLA Fredofios. Banyak hal yang saya pelajari dari cerita inspiratif Bapak dan keluarga.

5. Keluarga besar SLA Fredofios, Pak Somad, Pak Agung, Bu Dewi, Bu Arum, dan Bu Nuri yang tak pernah berhenti berjuang dan memberikan kasih sayangnya kepada para murid. Dan tak lupa kepada Pak Sarman yang selalu membuat sekolah bersih dan nyaman. Terima kasih untuk setiap kepercayaan, sikap hangat, bantuan, dukungan, informasi, serta pengalaman luar biasa yang diberikan kepada penulis selama penelitian.

6. Pak Otji, Bu Desi, Pak Prawoto, Pak Joko, Bu Dikran, dan semua orangtua murid yang sudah bersedia berbagi cerita dan perjuangan luar biasanya kepada penulis.

7. Terima kasih

sudah menjadi orangtua yang begitu luar biasa selama 23 tahun ini. Hal

(9)

setiap keputusan yang aku ambil meskipun aku tahu bahwa Bapak dan Ibu pasti memil

8. Mas Sigit, Mbak Tika, dan Toni. Pelengkap kehangatan keluarga. haha!

9. My Soulmate, Ifa dan Sintul. Beruntung sekali menemukan kalian di kampus ini.

10. Lia, si alias muka awet mudanya tak akan pernah sirna, auwoh! Tak pernah terpikir apa jadinya skripsiku tanpa bantuanmu. Terimakasih sudah menjadi teman yang begitu baik dan partner super kuat

yang bisa aku ajak muter-muter cari tempat penelitian.

11. My Sukifamily, Sukilop, Sukimeg, Sukidit, Sukinis, Sukimut, Sukigal, Sukidar, Sukiji, Sukifred, dan Sukijong. Tak ada rasa galau yang tak teratasi selama ada kalian di sini, hehehehe...

12. Seluruh penghuni Kost Tisanda 2,

(10)

13. Keluarga besar Komunikasi 2006, khususnya Dian, Ichan, dan Fika serta

skripsi ini. Thanks a lot.

14. Terakhir, sekaligus menjadi inti dari perjalanan panjang ini, teman-teman baruku, Opiq, Todi, Claudia, Jason, Aga, Salsa, Ivan, Tia, Dian, dan Farel.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan di masa mendatang.

Surakarta, November 2011

(11)

DAFTAR ISI

Persetujuan ii

Pengesahan iii

iv

Motto v

Persembah vi

Kata Pengantar vii

Daftar Isi xi

Daftar Gamb xv

xvi xvii

Abstrak xviii

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 11

D. 12

E. 12

1. 12

(12)

3. Komunikasi Pendidikan Seksual Melalui Komunikasi

Interpersonal 22

4. Komunikasi Ditinjau Dari Perspektif Teori Johari Window... 25 5. Remaja Autisme Sebagai Sasaran Komunikasi 30

6. 41

7. Hambatan Komunikas 44

F. Definisi Konsep 47

1. 47

2. 48

3. 49

G. 49

1. Jenis Pene 49

2. 50

3. 50

4. 51

5. 52

6. 54

7. Teknik An 54

H. 56

BAB II. 58

(13)

1. Sejarah Berdirinya SLA Fredofios 58

2. 60

3. 61

4. Sasaran Program Pendidikan SLA Fredofios 62

5. 64

6. 64

7. 66

8. 69

B. Pengel 72

BAB III. 75

A. Gambaran Autisme 75

1. Masalah Pemaknaan Pada Penyandang Autisme 77

2. Remaja dan Masalah Seksualitas 84

2.1. Perubahan Pada Masa Remaja 84

88 B. Komunikasi Pendidikan Seksual Untuk Remaja Autisme 94

1. Sifat Komunikasi Pendidikan Seksual Untuk Remaja

Autisme 96

2. Guru Sebagai Sumber Informasi 98

(14)

4. Waktu Penyampaian Materi Seksualitas Kepada Remaja

Autisme 103

C. Komunikasi Pendidikan Seksual Melalui Strategi Visual 104

1. 107

2. Gambar, foto, teks tertulis 108

3. Penggabungan media verbal dan visual 109

D. Hambatan Komunikasi 110

1. 110

2. 111

3. Ham 112

BAB IV. 113

A. 113

B. 115

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Model Komunikasi 14

Gambar 1.2 15

Gambar 1.3 26

Gambar 1.4 36

Gambar 1.5 Kerucut Pengalaman Edgar Dale 44

Gambar 1.6 56

Gambar 1.7 Skema Kerangka Pikir Komunikasi Interpersonal Antara

57 Gambar 2.1 Denah Ruang Sekolah Lanjutan Autis Fredofios 64

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Efek Visualisasi dan Kemampuan Mengingat

43

Tabel 2.1 Daftar Siswa SLA Fredofios 63

Tabel 2.2 Daftar Guru SLA Fredofios 73

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Dengan Guru Lampiran 2 Pedoman Wawancara Dengan Orangtua

Lampiran 3 KBM : Materi Aurat Pada Mata Pelajaran Agama Lampiran 4 Wawancara Guru

Informan Agung Tri Yulianto : Guru Agama Informan Dessi Amalia A : Guru IPA Lampiran 5 Wawancara Orang Tua

Informan CH : Orangtua LS

Informan DS dan PR : Orangtua DT

Informan TJ : Orangtua VR

(18)

ABSTRAK

Tri Setyo Ariyanti. D 0206102. KOMUNIKASI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA AUTISME (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Guru dan Murid Dalam Mengenalkan Pendidkan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta). Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif pada bidang komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Pada saat penyandang autisme menginjak usia remaja, mereka cenderung menunjukkan perilaku seksual negatif karena ketidakmampuan mereka memahami norma dan aturan sosial. Oleh karena itu pendidikan seksual perlu diberikan. Tujuannya tidak untuk menghentikan aktivitas seksual remaja autisme tetapi untuk membantu mereka mengembangkan perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab.

Penelitian ini berupaya mengkaji bagaimana komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual. Mencakup sifat komunikasi, sikap guru selaku komunikator terhadap masalah seksualitas penyandang autisme remaja, waktu terjadinya komunikasi, serta informasi apa saja yang biasanya diberikan oleh guru kepada remaja autisme. Selain itu kegiatan penelitian juga ditujukan untuk mengetahui media apa saja yang digunakan untuk mendukung kegiatan komunikasi, serta apa saja hambatannya. Kegiatan penelitian dilakukan di SLA Fredofios, Yogyakarta karena institusi pendidikan ini memasukkan materi pendidikan seksual dalam kegiatan mengajarnya.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data empiris dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan studi pustaka. Teknik purpossive sampling digunakan untuk memilih para informan yang terdiri dari 3 murid SLA Fredofios yang sudah memasuki usia pubertas, 2 guru, orangtua dari 3 murid yang dijadikan subjek penelitian, serta seorang konsultan pendidikan SLA Fredofios. Validitas data diuji melalui teknik triangulasi sumber (data) dan analisa data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman.

(19)

ABSTRACT

Tri Setyo Ariyanti. D 0206102. COMMUNICATION OF SEXUALITY EDUCATION FOR ADOLESCENT WITH AUTISM (A Descriptive Qualitative Study of Interpersonal Communication Between Teacher and Student to Introduce Sexuality Education In SLA Fredofios Yogyakarta). Paper, Communication Science Majors, Social and Political Science Faculty, Surakarta Sebelas Maret University (FISIP UNS), 2011.

Autism is a pervasive developmental disorder in the areas of communication, social interaction, and behavior. At the age of adolescence, adolescents with autism tend to show negative sexual behaviors because of their inability to understand the social norms. Therefore they need to be given sexulity education. The aim is not to stop the sexual activity of adolescents with autism, but to help them develop a healthy and responsible sexual behavior.

This study tries to examine how Interpersonal Communication Between Teacher and Student to Introduce Sexuality Education In SLA Fredofios Yogyakarta. Including the characteristic of communication, attitudes of teachers as communicators about sexuality issue among adolescent with autism,

is. Moreover, this study tries to examine what media to use, and what the barriers are. Research activities conducted in SLA Fredofios because of this school include sexuality education in teaching materials.

This research is a type of descriptive qualitative study. Empirical data collected by in-depth interviews, observation, and literature study. Purpossive sampling method is used to select the informants, consisting of 3 adolescent students, 2 teachers, the parents of 3 adolescent with autism and an educational consultant of SLA Fredofios. Data validity is tested through triangulation techniques sources and and analysis of data using an interactive model of Miles and Huberman.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

gurunya untuk waktu yang lama. Lalu Ibu Imah ini memberikan Ikhsan pilihan jawaban (antara lain, apakah karena ibu Imah penasaran kembali memberikan beberapa pilihan jawaban untuk apanya yang menurut Ikhsan lagi Ibu Imah memberikan pilihan jawaban dan meminta Ikhsan menjawab

1

Ketertarikan pada lawan jenis merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia. Namun cerita di atas menjadi istimewa karena Ikhsan, remaja yang mulai menunjukkan minat kepada lawan jenis, adalah seorang penyandang autisme.

Hidup dan berkomunikasi merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Terlahir sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia menjadi lebih berarti manakala kita dapat berkomunikasi dengan orang lain, memahami perilaku mereka, menghadapi benda benda, situasi, dan orang orang dengan cara yang

1 Dyah Puspita, Warna Warni Kehidupan : Ketika Anak Autistik Berkembang Remaja (Jakarta :

(21)

kreatif. Dalam ketiga bidang inilah para penyandang autisme menemui kesulitan terbesar dalam hidup mereka.

Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf yang dapat mengganggu perkembangan anak. Istilah tersebut baru diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943 sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad abad yang lampau. Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Ini berarti penyandang autisme seakan akan hidup di dunianya sendiri.2 Mereka cenderung tidak perduli dengan lingkungan sekitar ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial, baik pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan

anak sebayanya, dan sebagainya.

Gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Pada umumnya mereka mengalami gangguan perkembangan dalam bidang bahasa, interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap

yang tidak biasa terhadap benda atau obyek tertentu.

Masalah komunikasi tampak pada sangat sedikitnya penyandang autisme yang mampu berbahasa verbal dengan baik, beberapa diantaranya justru tidak berkemampuan untuk berbahasa atau mempunyai keterbatasan dalam berkomunikasi. Seringkali mereka mengalami kesulitan dalam berbicara ataupun

untuk mengerti pembicaraan orang lain.

2

(22)

Gangguan dalam perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan imajinasi pada penyandang autisme terjadi karena adanya gangguan kognitif.

Kognisi adalah mengenai pemahaman. Jenis kognitif yang berbeda dari penyandang autisme disimpulkan oleh Theo Peeters sebagai berikut.

anak dilahirkan dengan kemampuan biologis yang terprogram untuk menambahkan makna pada persepsi hanya dengan sedikit stimulasi/rangsangan sosial. Berkat kemampuan ini mereka secara intuitif lebih menyukai suara manusia dan dengan cara itu mereka menganalisa dan memahami komunikasi manusia dan pada akhirnya mereka sendiri yang berkomunikasi. Dengan kemampuan yang sama ini mereka juga dapat lebih dahulu memahami perilaku manusia dan kemudian, tetap dengan pemahaman ini, mampu berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Sebenarnya kemampuan biologis bawaan inilah yang terkena

makna makna tertentu yang ditujukan melalui komunikasi, perilaku sosial dan imajinasi. Kesulitan yang mereka miliki dalam penambahan

3

Situasi menjadi semakin sulit ketika penyandang autisme mulai memasuki usia remaja. Pada fase ini berbagai masalah baru biasanya muncul berkaitan dengan perubahan perubahan yang terjadi selama masa pubertas. Masalah yang sering dihadapi penyandang autisme remaja antara lain :

a. Hygiene (kebersihan diri) b. Modesty (sopan santun) c. Publik vs pribadi

3 Theo Peeters, Autisme: Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan Bagi

Penyandang Autis, penerjemah Oscar H. Simbolon dan Yayasan Suryakanti (Jakarta : PT. Dian

(23)

d. Keselamatan diri

e. Batasan dalam berhubungan dengan orang lain (bergaul)

f. Kebutuhan seksual, dll 4

Masa remaja autisme berawal pada usia yang berbeda beda pada setiap individu. Tetapi umumnya, pada individu neurotypical, masa pubertas terjadi pada usia 10 hingga 16 tahun.5

Sama seperti anak normal lainnya, pada fase ini penyandang autisme pun mengalami perubahan. Anak laki-laki mulai berubah sekitar usia 11-12 tahun dan terus berkembang sampai usia 20 tahun. Anak perempuan mulai berubah sekitar usia 8-9 tahun dan terus berkembang sampai usia 16 tahun.6 Perubahan

fisik yang terjadi misalnya, tumbuhnya rambut di beberapa bagian tubuh, perubahan suara pria, wanita mulai menstruasi, mimpi basah pada anak laki laki, dan sebagainya.

Masalahnya, meskipun pertumbuhan fisiknya sama dengan rekan

sebayanya yang nonautisme, tetapi perkembangan emosi dan keterampilan sosial mereka tertinggal. Mereka yang tidak mengalami gangguan perkembangan ini bisa mudah mengobrol, mencari informasi, dan mendiskusikan perubahan

4

http://sekolah.cahyaanakku.org/?page_id=105. 24/08/2010/12.45 5

http://www.lspr.edu/csr/autismawareness/media/seminar/Remaja%20AutistikDra%20Dyah%20Puspita -6%20Feb%2009.pdf. 22/07/2010/12.55

6

(24)

perubahan tubuh mereka. Kondisi ini akan berbeda jika anak tersebut mengalami autisme.

Penyandang autisme, sama halnya mereka yang tidak memiliki gangguan perkembangan ini, merupakan makhluk seksual yang memiliki gejolak seksualitas yang sama dengan orang lain. Beberapa penelitian mengenai seksualitas dan ASD (Autism Spectrum Disorder) menunjukkan bahwa penyandang autisme menunjukkan ketertarikan seksual dan perilaku seksual yang beraneka ragam.

Kebanyakan penyandang autisme, hampir 75% menunjukkan beberapa jenis perilaku seksual dan paling banyak adalah masturbasi. Mereka juga mencoba melakukan kontak fisik dengan orang lain. Dalam suatu studi terhadap 81 penyandang autisme di Denmark yang tinggal dalam sebuah asrama, 74% menunjukkan perilaku seksual, termasuk masturbasi dan orientasi seksual dengan orang lain. Masturbasi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita,

(25)

mencium, menyentuh, bahkan mencoba melakukan hubungan seksual. Perilaku ini biasanya lebih sering muncul pada penyandang autisme nonverbal.7

Munculnya perilaku seksual sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat wajar mengingat sebagai makhluk seksual manusia memiliki hasrat biologis yang setiap waktu bisa muncul. Masalahnya ketika kita hidup dalam suatu lingkungan sosial, maka kita dihadapkan dengan serangkaian aturan yang mengatur pergaulan manusia yang mau tidak mau harus dipatuhi agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat. Dalam hal inilah remaja autisme bermasalah.

Dalam suatu penelitian, sebanyak 10-30% penyandang autisme dilaporkan mengalami masalah perilaku selama masa remaja, khususnya pada penyandang autisme dengan retardasi mental. 8 Hasil penelitian Ruble dan Dalrymple pada tahun 2003 juga menunjukkan hampir 65% penyandang autisme menyentuh tubuh mereka sendiri di area publik, 23% masturbasi di area publik,

dan 28% menanggalkan pakaian di area publik.9

Hal ini sama seperti yang diceritakan oleh Ira :

anak laki-laki saya waktu berumur 10 tahunan tiba-tiba jadi suka buka celana di depan banyak orang. Dia seolah tak peduli dengan perilakunya

7

l

Education and Treatment of Children, Vol 31, No. 3 (2008). Hlm

384

8Ibid. hlm 383

9

(26)

itu. Karuan saja orang-orang kaget, ada yang berteriak, bahkan ada yang menjerit. Mendapat respons seperti itu, dia malah kelihatan senang melakukannya. Dia juga pernah kedapatan sedang asyik

menggesek-10

Perilaku seksual negatif terjadi karena dorongan seksual yang muncul pada masa puber tidak diimbangi dengan sosialisasi dan pemahaman mengenai norma sosial yang mengatur perilaku seksual individu. Penyandang autisme mengalami kesulitan untuk memahami norma sosial karena mereka biasanya tidak tergabung dalam grup teman sebaya sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari nilai nilai yang membentuk perilaku seksual

individu.

Selain perilaku seksual negatif, isu lainnya yang juga muncul pada saat penyandang autisme memasuki masa remaja adalah kemungkinan terjadinya pelecehan seksual. Sebanyak 16 hingga 25% penyandang autisme dilaporkan telah mengalami pelecehan seksual.11

Guru bekerjasama dengan orangtua perlu memberikan pengetahuan mengenai seksualitas untuk membantu mengarahkan remaja autisme memasuki dunia dewasa. Ketidaknyamanan pada tubuh yang mereka rasakan dan ketidakpahaman penyandang autisme dalam menghadapi perubahan tersebut

10

Hilman Hilmansyah

http://www.tabloid-nakita.com/Panduan/panduan09473-01.htm. 22/07/ 2010/13.00 11

Education and Treatment of Children, Vol 31, No. 3 (2008). Hlm

(27)

akan menimbulkan perilaku negatif seperti menjadi mudah marah, emosi yang tidak terkontrol, melawan, bingung, berperilaku yang beresiko, maupun

melakukan aktivitas seksual.

Pendidikan seksual perlu diberikan kepada penyandang autisme untuk mencegah terjadinya perilaku seksual negatif. Pendidikan seksual tidak selalu mengenai hubungan pasangan suami istri, tetapi juga mencakup hal-hal lain seperti pemahaman tentang perkembangan fisik dan hormonal seorang anak serta memahami berbagai batasan sosial yang ada di masyarakat. Pendidikan seksual tidak berarti menghentikan aktivitas seksual remaja autisme. Proses edukasi lebih ditujukan untuk membantu mereka mengembangkan perilaku seksual yang

sehat dan bertanggung jawab.

Guru terkadang kurang menyadari pentingnya pendidikan seksual karena menganggap penyandang autisme tidak akan mampu memperlihatkan perilaku seksual untuk membina suatu hubungan dengan lawan jenis. Selain itu, mereka

enggan membicarakan masalah seksualitas karena merasa sungkan dan takut pendidikan seksual justru akan memicu tingkah laku seksual negatif. Padahal dalam beberapa kasus, pendidikan seksual justru merupakan solusi untuk meredam perilaku negatif remaja autisme. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Dyah Puspita :

(28)

beberapa kali pembahasan materi pendidikan seksualitas ini, perilakunya

12

Pada kasus lain, salah satu orangtua remaja autisme menjelaskan bahwa

mereda setelah orangtua menunjukkan gambar anatomi alat reproduksi dan gambar sketsa organ seksual perempuan.13

Upaya guru dalam mengawasi, mendidik dan mengantisipasi kegelisahan anak menghadapi pubertas perlu dipersiapkan sejak dini. Dalam hal ini, kreativitas guru dalam berkomunikasi akan sangat membantu anak memahami informasi tersebut. Penggunaan berbagai media komunikasi sebagai alat bantu dapat dipertimbangkan untuk membuat berbagai hal menjadi semakin jelas.

Dyah Puspita mencontohkan, sejak dini dia sudah mengajarkan pendidikan seks kepada putranya yang menyandang autisme. Melalui gambar manusia sejak bayi, anak-anak hingga dewasa, sang anak diajari beberapa bagian tubuhnya akan mengalami perubahan, seperti tumbuh rambut di bagian alat vital, tumbuh kumis, atau jenggot. Pemahaman itu tidak langsung bisa diterima sehingga harus dilakukan berulang-ulang.14

12

Dyah Puspita. Op.Cit. hlm. 48-50

13 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 77

14

(29)

Dokter Tjin mengungkapkan cara cara penyampaian ini juga harus disesuaikan dengan tingkat intelektualitas setiap anak. Pendekatan yang

dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi si remaja.15 Jika anak memiliki keterampilan bahasa yang cukup, sebuah social story akan sangat membantu.

Social story merupakan cerita pendek dengan beberapa karakter khusus untuk mendeskripsikan situasi sosial, konsep, atau social skill untuk penyandang autisme. Wolfe dan Tarnai juga menyarankan penggunaan social story untuk mengajar penyandang autisme mengenai isu-isu seksualitas.16 Jika anak kurang kemampuan bahasanya, isyarat visual dan gambar gambar yang disertai

kata-kata, bahkan boneka dapat digunakan untuk menjelaskan.17

Mengingat pentingnya pendidikan seksual untuk penyandang autisme, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual. Peneliti ingin mengetahui bagaimana guru memberikan pemahaman seputar pubertas kepada remaja autisme yang notabene mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial.

Kegiatan penelitian akan dilakukan di Sekolah Lanjutan Autis (SLA) Fredofios, Yogyakarta. Peneliti memilih SLA Fredofios sebagai lokasi penelitian

15

http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/2009/04/20/KSH/mbm.20090420.KSH130077.id.html. 22/07/2010/13.01wib

16

Sexuality and Disability, Vol. 26, No. 1 (2008)

17

(30)

karena institusi pendidikan ini memang diperuntukkan untuk remaja autisme dan memasukkan materi pendidikan seksual dalam kegiatan mengajarnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual.

2. Media komunikasi apa yang digunakan oleh guru dalam memberikan pemahaman mengenai seksualitas pada remaja autisme.

4. Hambatan apa saja yang ditemui selama proses komunikasi pendidikan seksual berlangsung.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1. Menggambarkan proses komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual.

2. Mengetahui media komunikasi yang digunakan oleh guru dalam memberikan pemahaman mengenai seksualitas.

(31)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Sebagai wacana tambahan dan bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian lain yang serupa. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi bagi pihak pihak yang tertarik dan perduli dengan autisme.

2. Manfaat praktis

Memberikan gambaran kepada masyarakat, khususnya bagi orang tua yang juga memiliki anak dengan kelainan autisme, mengenai kehidupan dan penanganan remaja autisme. Kebanyakan referensi selama ini hanya membahas autisme pada masa kanak kanak. Peneliti juga berharap dengan semakin banyaknya kajian tentang autisme, masyarakat bisa semakin menerima keberadaan penyandang autisme dengan segala keunikan mereka.

E. Kajian Pustaka

1. Proses Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari

kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis

(32)

komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna dari bahan yang dipercakapkan.18

Little John dalam bukunya Theories of Human Communication

menyebutkan beberapa komponen konseptual komunikasi. Salah satu komponen konseptual komunikasi tersebut adalah understanding, konseptual ini mendefinisikan komunikasi sebagai :

communication is the process by which we understand others and in turn

19

Menurut Karlfried Knapp sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri, komunikasi merupakan interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem simbol linguistik, seperti sistem simbol verbal (kata-kata) dan nonverbal. Sistem ini dapat disosialisasikan secara langsung/tatap muka atau melalui media lain (tulisan, oral, dan visual).20

Penjelasan yang hampir sama diungkapkan oleh Berelson dan Steiner (1949). Seperti yang dikutip oleh B. Aubrey Fisher, mereka memberikan definisi komunikasi sebagai penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan

18

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,

1999) hlm. 9

19 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication 3th ed (Belmont : Wadsworth Publishing

Company, 1989) hlm. 5. 20

(33)

seterusnya, melalui penggunaan simbol kata, gambar, angka, grafik, dan lain lain.21

Proses perpindahan arus informasi dari sumber kepada sasaran komunikasi digambarkan oleh Shanon dan Weaver22 sebagai berikut :

Gambar 1.1

Model Komunikasi Shanon dan Weaver

Pada gambar tersebut, proses komunikasi dimulai dari sumber yang menciptakan pesan, kemudian ditransmit melalui saluran kawat atau gelombang udara. Pesan ditangkap oleh pesawat penerima yang merekonstruksi kembali sinyal itu sampai kepada tujuannya (destination). Tujuan di sini adalah penerima yang menjadi sasaran pesan. Pada model ini, komunikasi bersifat satu arah dan terlalu menekankan peranan media.23

21

B. Aubrey Fisher, Teori Teori Komunikasi, penterjemah Soejono Trimo (Bandung : PT Remaja

Rosdakarya, 1986) hlm. 10

22 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 41

23

Ibid. hlm 43

Source Transmitter Destination

Message Message

Signal Received

Signal

Receiver

(34)

Hal terpenting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator mampu menimbulkan dampak atau efek

tertentu pada komunikan. Komunikasi dikatakan efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.24 Ini berarti antara komunikator dan komunikan terdapat persamaan dalam pengertian, sikap, dan bahasa. Komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss paling tidak menimbulkan lima hal : pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan.25

Osgood dan Schramm menggambarkan proses komunikasi tersebut

dalam sebuah model komunikasi sirkular :26

Gambar 1.2

Model Sirkular Osgood dan Schramm

24

Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication : Prinsip Prinsip Dasar, penerjemah

Deddy Mulyana dan Gembirasari (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005) hlm. 22

25 Penyataan Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi

Komunikasi (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1994) hlm. 13

(35)

2. Pendidikan Sebagai Proses Komunikasi

Pendidikan adalah komunikasi ditinjau dari prosesnya. Ini berarti bahwa dalam proses tersebut terlibat dua komponen yang terdiri atas manusia, yakni pengajar sebagai komunikator dan pelajar sebagai komunikan.27 Mata pelajaran di dalam kurikulum disebut pesan. Pesan adalah informasi yang ditransmisikan atau diteruskan oleh komponen lain dalam bentuk ide, ajaran, fakta, makna, nilai, ataupun data.28

Komunikasi dalam pendidikan merupakan unsur yang sangat penting kedudukannya dan berperan dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang bersangkutan. Di sini komunikasi tidak lagi bersifat bebas. Kegiatan komunikasi merupakan suatu upaya yang direncanakan, setidaknya oleh satu pihak (pendidik) ke pihak lain (sasaran didik) supaya berperilaku sesuai dengan syarat

syarat tertentu guna mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.29

Di dalam dunia pendidikan, dikenal istilah komunikasi instruksional. Bidang instruksional merupakan kegiatan proses belajar mengajar dan merupakan bagian utama dari proses pendidikan secara keseluruhan. Bagian ini didominasi oleh unsur komunikasi, terutama komunikasi pendidikan dan lebih khusus lagi komunikasi instruksional.

27

Onong Uchjana Effendy. Op.Cit. hlm. 101

28 Pawit M. Yusup, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional (Bandung : PT Remaja

Rosdakarya, 1990) hlm. 20

29

(36)

Istilah instruksional berasal dari kata instruction yang berarti pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah atau instruksi. Menurut

International Dictionary of English Language, instructional berarti memberikan pengetahuan atau informasi khusus dengan maksud melatih dalam berbagai bidang khusus, memberikan keahlian atau pengetahuan dalam berbagai bidang seni atau spesialisasi tertentu.30

Bidang kajian komunikasi instruksional bersifat lebih langsung menyentuh sasaran-sasaran yang lebih praktis dan lebih ditujukan kepada aspek aspek operasionalisasi pendidikan, terutama aspek membelajarkan sasaran.

komunikator sengaja dipersiapkan secara khusus untuk mencapai efek perubahan perilaku pada diri sasaran.31 Perubahan yang diharapkankan meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan (kognitif, afektif, psikomotorik).32

Kaitannya dengan objek penelitian, maka komunikasi pendidikan yang

dimaksud oleh peneliti adalah komunikasi pendidikan seksual untuk remaja autisme.

Pada saat penyandang autisme memasuki masa remaja, orang tua dan guru perlu mempersiapkan diri untuk memberikan pengetahuan keterampilan

30Ibid. hlm. 17-18

31Ibid. hlm. 3

32

(37)

khususnya mengenai seksualitas untuk membantu mengarahkan mereka memasuki dunia dewasa.

Seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan, dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita. Seks, sebaliknya, didefinisikan sebagai jenis kelamin atau kegiatan/aktifitas dari hubungan fisik seks itu sendiri.33

Haracopos dan Pedersen (1992) sebagaimana dikutip oleh Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati, menekankan bahwa setelah disadari seksualitas mempengaruhi emosi dan perilaku manusia, maka permasalahan ini harus diberi perhatian yang lebih khusus.34

Pada survey yang dilakukan oleh Ousley dan Mezibov, 21 anak high functioning autism ditanya mengenai pengetahuan mereka, pengalaman dan keinginan mereka sehubungan dengan seksualitas. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak frustasi pada pria autis dewasa karena perbedaan antara minat terhadap aktivitas seksual dan pengalaman seksual mereka.35 Rasa frustasi tersebut tentu tidak sehat, apalagi bila anak bingung dengan berbagai perubahan fisik dan hormon dalam dirinya. Karena itu penting

33

http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43

34 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 58

35 http://puterakembara.org

(38)

sekali memberikan informasi positif mengenai seksualitas sejak usia dini. Pendidikan seksual yang terus menerus juga akan membantu mengurangi stres

dan perasaan terisolir yang biasanya muncul pada remaja autisme.

Menurut Sarlito, pendidikan seksual sebagaimana pendidikan lain pada umumnya mengandung pengalihan nilai nilai dari pendidik ke subjek didik. Informasi tentang seks tidak diberikan secara gamblang melainkan diberikan secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan norma norma yang berlaku dalam masyarakat.36

Menurut Adams, seperti dikutip Dyah Puspita tujuan pendidikan seksual bagi remaja autisme adalah : 37

1. Sadar dan menghargai ciri seksualitas diri sendiri

2. Memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria dan wanita, serta peran masing masing gender dalam reproduksi manusia

3. Mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya, termasuk masalah menstruasi, mimpi basah, perasaan yang berubah ubah, tumbuhnya bulu di sekitar tubuh, perubahan bau badan, dsb.

4. Memahami bahwa tidak ada seorangpun berhak melakukan tidakan seksual atas dirinya tanpa izin.

5. Memahami tanggung jawab yang terlibat bila kita memiliki keturunan.

36

Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004) hlm. 188

37 http://puterakembara.org

(39)

6. Memahami bahwa cara cara kontrol kelahiran (metode keluarga berencana) harus dilakukan, kecuali anak memang dikehendaki dan dapat

dirawat dengan baik serta bertanggung jawab.

7. Memahami peran dan tanggung jawabnya dalam menjaga kesehatan diri dan orang lain

8. Tahu dan dapat mencari bantuan untuk masalah tertentu bilamana diperlukan.

9. Memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual yang pantas di lingkungannya.

Pendidikan kesehatan seksual meliputi penggunaan bahasa untuk memulai dan mempertahankan suatu percakapan, pemahaman terhadap arti kata kata tersamar/tersembunyi, terutama ungkapan tertentu saat berkenaan dengan anatomi lelaki dan perempuan. Juga mengajarkan tentang perilaku yang benar secara sosial etika, seperti menahan diri dari menyesuaikan pakaian dalam atau

meraba sendiri dengan cara yang tidak layak.38

Gaya dalam mengajarkan konsep konsep keterampilan sosial, kesehatan, pendidikan seksual dan pendidikan mengenai hubungan antar

38

(40)

individu yang rumit harus melalui strategi dan instruksi yang sudah terbukti berhasil bagi individu tersebut. Antara lain :39

1. Penjelasan singkat dan harafiah 2. Contoh contoh konkrit 3. Saat

4. Cerita sosial (social stories)

5. Pengulangan 6. Bermain peran

7. Tugas perlangkah yang dipasangkan dengan alat bantu visual 8. Errorless teaching

9. Latihan memasangkan gambar dengan tulisan, dsb

Schwier dan Hingsburger, sebagaimana dikutip oleh Dyah Puspita, mengusulkan untuk mengajarkan beberapa hal sesuai usia mental anak : 40

1. Antara 3-9 tahun

a. Beda laki laki dan perempuan (anatomi, kebiasaan, emosi, tuntutan lingkungan, dsb)

b. Beda tempat publik dan pribadi, nama anggota badan c. Proses kelahiran bayi

39

http://puterakembara.org /seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43

40 Dya http://puterakembara.org

(41)

2. Antara 9-15 tahun

a. Menstruasi

b. Mimpi basah

c. Perubahan fisik lainnya

d. h orang

lain

e. Proses pembuahan yang menghasilkan bayi f. Perasaan dan dorongan seksual

g. Masturbasi

3. Usia 16 tahun dan lebih

a. Proses terjadinya hubungan antar pribadi

b. Proses berkembangnya dorongan seksual dan bagaimana mengatasinya

c. Homoseksualitas (perasaan senang pada teman sejenis) d. Beda antara cinta kasih dan hubungan seks

e. Hukum dan konsekuensi dari menyentuh orang lain secara seksual f. Pencegahan kehamilan

g. Penularan penyakit seksual

h. Tanggung jawab perkawinan dan memiliki anak.

3. Komunikasi Pendidikan Seksual Melalui Komunikasi Interpersonal

(42)

ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka. Seperti yang dinyatakan R. Wayne Pace (1979) bahwa

.41

Joseph A. Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.42

Berdasarkan pengertian di atas, komunikasi interpersonal dapat dibedakan atas dua macam, yakni komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil.

Komunikasi diadik ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi diadik menurut Pace dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yakni percakapan, dialog, dan wawancara. Sementara komunikasi kelompok kecil ialah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, dimana anggotanya

saling berinteraksi satu sama lain.43

41 Hafied Cangara. Op.Cit. hlm. 31

42 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi : Teori & Praktek (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009) hlm. 78

43

(43)

Komunikasi interpersonal memiliki efektivitas paling tinggi karena komunikasinya timbal balik dan terkonsentrasi. Umpan balik bersifat langsung

karena situsinya tatap muka. Komunikator mengetahui pasti apakah komunikannya itu menanggapi dengan positif atau negatif, berhasil atau tidak. Komunikator yang baik adalah orang yang selalu memperhatikan umpan balik sehingga ia dapat segera mengubah gaya komunikasinya ketika ia mengetahui bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif.44 Komunikasi tatap muka dipergunakan apabila kita mengharapkan efek perubahan tingkah laku (behavior change) dari komunikan.45

Pentingnya situasi komunikasi interpersonal adalah karena prosesnya

memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi dialogis adalah bentuk komunikasi interpersonal yang menunjukkan adanya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis nampak adanya upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. 46

44

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi:Teori dan Praktek, cetakan ke-14 (Bandung : PT

Remaja Rosdakarya, 2001) hlm. 15

45 Ibid. hal 39

46

(44)

4. Proses Komunikasi Ditinjau Dari Perspektif Teori Johari Window

Komunikator merupakan pihak yang mengirim pesan kepada khalayak. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting dalam mengendalikan jalannya komunikasi. Dalam komunikasi pendidikan seksual, yang berperan sebagai komunikator adalah guru.

Untuk mencapai komunikasi efektif, seorang komunikator harus terampil berkomunikasi dan juga kaya ide serta penuh daya kreativitas. Selain itu salah satu hal penting yang juga harus diketahui oleh komunikator adalah informasi mengenai dirinya sendiri. Dia harus mengetahui lebih awal tentang kesiapan dirinya, pesan yang ingin disampaikan, media yang akan digunakan, hambatan yang mungkin ditemui, serta khalayak yang akan menerima pesannya.47

Untuk memahami diri sendiri, Joseph Luft dan Harrington Ingham memperkenalkan sebuah konsep yang dikenal dengan nama Jendela Johari

(Johari Window), sebuah kaca jendela yang terdiri atas empat bagian, yakni : wilayah terbuka (open area), wilayah buta (blind area), wilayah tersembunyi

(hidden area), dan wilayah tak dikenal (unknown area).48

47 Hafied Cangara. Op.Cit. hlm 81-82

48

(45)

Gambar 1.3

Empat Kuadran dalam Jendela Johari

Pada pokoknya model ini menawarkan suatu cara melihat suatu kesalingbergantungan hubungan intrapersonal dan hubungan interpersonal. Siapa anda dan bagaimana anda mempersepsikan diri sendiri dan orang lain akan

mempengaruhi komunikasi dan tanggapan anda terhadap komunikasi orang lain. Ukuran setiap kuadran atau kaca ditentukan oleh semua aspek diri, meliputi informasi, perilaku, perasaan, dan motivasi yang diketahui diri sendiri dan orang lain.49

Wilayah terbuka (open area), mencerminkan keterbukaan anda pada dunia secara umum. Ini berarti semua informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan sebagainya diketahui oleh diri sendiri dan orang lain. Wilayah terbuka ini makin melebar jika kita dapat memahami orang

49

Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Op.Cit. hlm. 13

Open area

Blind area

Hidden area

(46)

lain, begitu pun sebaliknya. Jika wilayah terbuka ini makin mengecil berarti komunikasi kita cenderung tertutup.

Wilayah buta (blind area), berisikan informasi tentang diri kita yang diketahui orang lain tetapi kita sendiri tidak mengetahuinya. Sebagian orang mempunyai daerah buta yang luas dan tampaknya tidak menyadari berbagai kekeliruan yang dibuatnya. Menurut Joseph Luft dan Harrington, wilayah ini dapat dikurangi dengan bercermin pada nilai, norma, dan hukum yang diikuti oleh orang lain.

Wilayah tersembunyi (hidden area), mengandung semua hal yang anda ketahui tentang diri sendiri dan tentang orang lain tetapi anda simpan hanya untuk anda sendiri. Ini adalah daerah tempat anda merahasiakan segala sesuatu tentang diri sendiri dan orang lain. Ada dua konsep yang erat hubungannya dengan wilayah tersembunyi, yakni over disclose dan under disclose. Over disclose ialah sikap terlalu banyak mengungkapkan sesuatu, sehingga hal hal

yang seharusnya disembunyikan juga diutarakan. Sedangkan under disclose ialah sikap terlalu menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dikemukakan.

Wilayah tak dikenal (unknown area), mewakili segala sesuatu tentang diri anda yang belum pernah ditelusuri, oleh anda atau orang lain. Ini adalah informasi yang tenggelam di alam bawah sadar atau sesuatu yang luput dari

(47)

Keempat kuadran Jendela Johari ini saling bergantung : suatu perubahan dalam sebuah kuadran akan mempengaruhi kuadran lainnya. Makin luas wilayah

terbuka, makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain. Pengertian yang sama tentang lambang-lambang, persepsi yang cermat tentang petunjuk petunjuk verbal dan nonverbal. Pendeknya, komunikasi interpersonal yang efektif terjadi pada wilayah terbuka (open area).

komunikasi terbuka lebih cocok untuk 50

Hampir sama, menurut Joseph A. Devito, komunikasi interpersonal yang efektif dimulai dengan lima kualitas umum yang perlu dipertimbangkan, yaitu:51

a. Keterbukaan

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator harus terbuka pada orang yang diajak berinteraksi. Sebaliknya harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan. Kedua, mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga, menyangkut kepemilikan perasaan hati dan

pikiran. Terbuka dalam arti ini adalah mengakui bahwa perasaan dan

50 Pawit M. Yusup. Op.Cit. hlm. 16

51 Joseph A. Devito, Human Communication : The Basic Course 9th Edition (USA : Pearson

(48)

pikiran yang kita lontarkan adalah milik kita dan kita bertanggung jawab atasnya.

b. Empati

Henry Backrack, dalam Devito mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Pengertian empati akan membuat seseorang lebih menyesuaikan komunikasinya. Guru sebagai pendidik bisa memposisikan dirinya sebagai teman yang memahami keterbatasan anak dan menghargai keterbatasan tersebut.

c. Sikap mendukung

Adalah pandangan yang mendukung, membantu bersama-sama. Sebuah

bentuk hubungan interpersonal yang efektif adalah sebuah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. d. Sikap positif

Mengacu pada dua aspek komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Orang yang merasa positif mengisyaratkan perasaan ini ke orang

(49)

berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi interaksi.

e. Kesetaraan

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang lebih pandai, lebih kaya, atau lebih cantik. Tidak pernah ada dua orang yang benar benar setara dalam segala hal. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya harus ada pengakuan diam diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

5. Remaja Autisme Sebagai Sasaran Komunikasi

Autisme merupakan gangguan perkembangan yang ditunjukkan oleh beberapa gejala berupa masalah perkembangan seperti kurangnya kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, fungsi kognitif, perilaku, serta kemampuan sensorik. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Menurut

kriteria diagnostik dalam DSM IV52 karakteristik penyandang autisme meliputi :

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.

52 Handojo, Op.Cit. hlm. 16-17.

(50)

a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai. Kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang

tertuju.

b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

c. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

d. Kurangnya hubungan emosional dan sosial yang timbal balik.

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi.

a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang.

b. Bila bisa bicara, bicara tidak dipakai untuk komunikasi.

c. Sering menggunakan bahasa aneh yang diulang-ulang

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru

3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat, dan kegiatan.

a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.

(51)

c. Ada gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.

d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.

Penyandang autisme mengalami gangguan pada fungsi kognisinya. Ini berarti otak mereka memproses informasi dengan cara berbeda. Mereka

mendengar, melihat, dan merasa tetapi otak mereka memperlakukan informasi ini dengan cara yang berbeda. Siegel sebagaimana dikutip oleh Dyah Puspita melaporkan ada beberapa ciri penyandang autisme dalam memproses informasi:53

a. Visual thinking

Mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Biasanya ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam

daripada proses berpikir verbal. Individu dengan gaya berpikir seperti juga lebih menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika.

b. Processing problems

Sebagian penyandang autisme mengalami kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami common sense atau menggunakan akal sehat. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang

53

(52)

panjang (rangkaian instruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa lisan.

c. Sensory sensivities

Perkembangan yang kurang optimal pada sistem neurobiologis berpengaruh pada perkembangan indra mereka sehingga penyandang autisme sangat sensitif dengan suara, sentuhan, sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, berbicara, jeda, dan saat untuk masuk dalam percakapan.

d. Communication frustation

Gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada penyandang autisme sering membuat mereka frustasi karena masalah komunikasi. Mereka tidak mampu mengungkapkan diri secara efektif sehingga sering berteriak dan berperilaku negatif untuk mendapatkan apa yang mereka

inginkan.

e. Social and emotional issue

Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat penyandang autisme cenderung berpikir kaku. Keterpakuan akan sesuatu membuat mereka sulit memahami berbagai situasi sosial seperti tata cara pergaulan dan hukum sosialisasi yang sangat bervariasi tergantung kondisi dan situasi sesaat.

(53)

a. Gangguan susunan saraf pusat

Ditemukan kelainan anatomi susunan saraf pusat pada beberapa tempat di dalam otak penyandang autisme. Banyak anak autisme yang mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI-VII. Kurangnya jumlah sel purkinje sebagai penghasil serotonin di lobus ini menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak.

b. Gangguan sistem pencernaan

Adanya gangguan metabolisme pencernaan yang menyebabkan anak kekurangan enzim sekretin. Dalam sebuah kasus, setelah mendapat suntikan

sekretin, seorang penyandang autisme mengalami kemajuan luar biasa.

c. Peradangan dinding usus

Terjadinya peradangan usus yang disebabkan oleh virus yang kemungkinan adalah virus campak. Oleh karena itu, banyak orang tua yang kemudian menolak imunisasi MMR.

d. Faktor genetika

(54)

e. Keracunan logam berat

Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat dan beracun pada penyandang autisme. Arsenik, antimoni, kadmium, air raksa, dan timbul adalah racun otak yang sangat kuat. 54

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman/pervasif dan bukan suatu bentuk penyakit mental. Dalam kasus gangguan pervasif, pendidikan khusus merupakan prioritas pertama dalam perawatan. Seseorang yang sakit mental, dulunya pernah normal sehingga diusahakan untuk membuatnya normal kembali. Dalam kasus autisme, kita harus menerima kenyataan bahwa gangguan perkembangan bersifat permanen (tetap).55

Autisme sesungguhnya adalah sekumpulan gejala klinis yang dilatarbelakangi berbagai faktor yang bervariasi, berkaitan satu sama lain, dan unik karena tidak sama untuk masing-masing kasus. Jadi setiap anak dalam spektrum autisme berbeda. Dari sinilah muncul nama Autism Spectrum Disorder

(ASD). Berikut beberapa spektrum autisme :56

54

Bonny Danuatmaja, Terapi Anak Autis di Rumah (Jakara : Puspa Swara, 2003) hlm. 5

55 Theo Peeters. Op.Cit. hlm. 5-6

56 Kompilasi Hasil Seminar, Lokakarya, dan Pelatihan

(55)

Gambar 1.4

Spektrum Autisme

Sindrom Asperger sering disebut sebagai High Functioning Autism. Tidak seperti kebanyakan penyandang autisme, penyandang Asperger biasanya tidak mengalami masalah bahasa seperti halnya penyandang autisme infantil.

Mereka tidak menunjukkan keterlambatan bicara dan mempunyai kosa kata yang sangat baik walaupun agak sulit untuk mengerti bahasa humor dan ironi.57

Penyandang asperger kebanyakan mempunyai intelegensi yang cukup baik bahkan di atas rata-rata. Oleh karena itu secara akademik, biasanya mereka tidak bermasalah dan mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum dengan baik.

Hal ini berbeda dengan autisme infantil. Sebagian besar penyandang autisme

57 Leny Marijani, Bunga Rampai II : Seputar Autisme dan Permasalahannya (Jakarta : Puterakembara

Foundation, 2010) hlm. 76

Autisme Infantil/Kanner/Klasik

Sindrom Asperger

PDD - NOS

Sindrom Rett

(56)

spektrum ini terdiagnosa mempunyai IQ dibawah normal bahkan masuk kategori

moderate mental retardasi. Meskipun demikian, kedua spektrum ini memiliki

kesamaan dalam hal ketidakmampuan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka juga sama-sama menunjukkan beberapa perilaku unik/rutinitas, walaupun dalam tingkatan yang berbeda (varying degree), bisa dari mild,

moderate, sampai severe.58

Tidak seperti anak autis yang bisa didiagnosa di bawah umur 2-3 tahun, penyandang asperger biasanya baru bisa terdekteksi pada saat berumur 6-11 tahun. Tantangan terbesar bagi penyandang asperger adalah dalam hal berinteraksi sosial. Pada umumnya, mereka suka berteman walaupun dengan

gaya bahasa dan mimik yang formal dan terlihat aneh. Mereka sulit memulai percakapan dan sulit mengerti makna dari interaksi sosial.59

Gangguan autisme tidak bisa disembuhkan tetapi dapat ditanggulangi dengan terapi dini, terpadu, dan intensif. Gejala gejala autisme dapat dikurangi

bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya, bahkan berkeluarga. Beberapa terapi yang tersedia antara lain, terapi medikamentosa (obat), biomedis, wicara, perilaku, dan okupasi.60

58Ibid.

59Ibid

60

(57)

Kekhawatiran yang selalu dialami oleh para orang tua adalah pada saat anak mereka yang menderita autisme memasuki masa remaja atau dewasa.

Ketakutan apakah anak dapat melewati masa remaja mereka dengan baik dan hidup secara mandiri selalu menjadi masalah yang tidak terbantahkan.

Masa remaja disebut juga masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak kanak dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual.61

Masa remaja atau masa pubertas dibagi dalam 4 fase, yaitu :

a. Masa awal pubertas, disebut juga masa pueral atau pra-pubertas (12-14) b. Masa Menentang (fase negatif)

c. Masa Pubertas Sebenarnya (14-17 tahun) d. Masa Adolensi 62

Pada masa transisi ini, anak seringkali dibuat bingung dengan perubahan

perubahan yang terjadi pada diri mereka. Perubahan yang terjadi meliputi :

61 Kartini Kartono, Psikologi Anak : Psikologi Perkembangan (Bandung : Mandar Maju, 1990) hlm.

148 62

(58)

a. Pertumbuhan Fisik

Pertumbuhan adalah suatu proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan kontinu serta berlangsung dalam periode tertentu. Pertumbuhan internal meliputi perubahan ukuran alat pencernaan makanan, bertambahnya besar dan berat jantung dan paru paru, serta bertambah sempurnanya sistem kelenjar endoktrin/kelamin dan berbagai jaringan tubuh. Pertumbuhan eksternal meliputi bertambahnya tinggi badan, bertambahnya lingkar tubuh, perbandingan ukuran panjang dan lebar tubuh, ukuran besarnya organ seks, dan munculnya tanda tanda kelamin sekunder. 63

b. Perkembangan Emosi

Daniel Goleman sebagaimana dikutip oleh M. Ali dan M. Asrori memaknai emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap luap.64 Perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya, misalnya agresif, rasa takut yang berlebihan, sikap apatis, dan tingkah laku menyakiti diri, seperti melukai diri sendiri.65

Perubahan emosional bagi anak dengan kebutuhan khusus (termasuk

autisme) prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan

63

M. Ali dan M. Asrori, Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik (Jakarta : PT Bumi Aksara,

2004) hlm. 20

64Ibid. hlm. 62

65

(59)

jenis sering ditentang oleh lingkungan sehingga tidak ada informasi yang jelas. Biasanya mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak

mampu menterjemahkan begitu banyak pesan tersirat dan aturan sosial yang membingungkan.66

c. Perkembangan Hubungan Sosial

Hubungan sosial individu berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di dunia sekitarnya. Individu dengan autisme biasanya menjadi lebih mudah bersosialisasi pada saat mereka bertambah dewasa. Pada umumnya mereka lebih bisa berkomunikasi meskipun kemajuannya pelan dan terbatas. 67

Seksualitas merupakan topik yang sering dibicarakan pada saat anak menginjak usia remaja. Gillberg seperti dikutip Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati, menyebutkan tiga masalah utama yang secara kebetulan dibicarakan dalam diskusi diskusi tentang seksualitas pada remaja autisme, yaitu :

a. Mereka cenderung masturbasi di depan umum.

b. Mereka menunjukkan perilaku seksual yang tidak pantas terhadap orang lain.

66

Pernyataan Schwier & Hingsburger seperti dikutip oleh Dyah Puspita

/seksualitas.shtml. 22/07/2010/12.43

67 Simon Baron-Cohen & Patrick Bolton, Autism : The Fact (New York : Oxford University Press,

(60)

c. Kebanyakan dari mereka melakukan masturbasi dengan cara menyakiti diri. Selain itu banyak anak autis memperlihatkan perilaku seksual yang tidak

lazim, hal ini dapat memicu terjadinya reaksi atau tanggapan yang salah dari masyarakat sehingga masalah itu sendiri menjadi terlalaikan. Dalam kenyataannya, problem seksual yang tidak terpecahkan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup.68

6. Media Komunikasi

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Menurut Riswandi, karakteristik media komunikasi juga turut mempengaruhi keefektifan komunikasi.69 Untuk mencapai sasaran komunikasi kita dapat memilih salah satu atau gabungan dari beberapa media, bergantung pada tujuan yang ingin dicapai, pesan yang disampaikan, dan teknik yang akan dipergunakan. Media komunikasi diklasifikasikan ke dalam media tulisan atau cetakan, visual, aural, dan audio

visual.

Ada beragam cara yang digunakan seseorang untuk menyampaikan ide atau gagasan-gagasannya kepada orang lain. Teknik-teknik komunikasi dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu teknik verbal -seperti yang banyak dilakukan oleh sebagian besar orang- dan teknik visual.

68 Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati. Op.Cit. hlm. 59

69

(61)

Komunikasi interpersonal pada dasarnya merupakan jalinan hubungan interaktif antara seorang individu dan individu lain dimana lambang-lambang

pesan secara efektif digunakan, terutama lambang bahasa.70 Jarang sekali orang menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal ini menurut Onong71

disebabkan oleh bahasa sebagai lambang (symbol) beserta isi (content)-yakni pikiran atau perasaan- yang dibawanya menjadi totalitas pesan yang tidak dapat dipisahkan.

Sebagai media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi, bahasa memerankan banyak fungsi komunikatif. Dalam komunikasi, bahasa merupakan alat untuk menerangkan dan mengungkapkan isi

pesan yang dikomunikasikan. Tanpa penguasaan bahasa, komunikasi tidak akan lancar sehingga tujuan tidak akan tercapai. Dalam bahasa yang perlu diperhatikan antara lain pemilihan kata, makna denotatif atau konotatif, serta intonasi. Intonasi ialah gaya dan irama pengucapan sebuah perkataan atau kalimat dengan tekanan pada suatu suku kata ata suatu kata.

Pada komunikasi visual, penyampaian ide dan gagasan dilakukan dengan menggunakan lambang lambang visual, seperti gambar, lukisan, foto, dan lain sebagainya.

70 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif ( Yogyakarta : PT LKiS Aksara, 2007) hlm. 2

71 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek (Bandung : Remaja Rosdakarya,

(62)

Beberapa penggambaran hasil penelitian di Amerika menunjukkan betapa lebih efektifnya bentuk komunikasi visual apabila dibandingkan dengan

komunikasi verbal. Dawyer telah membuktikan bahwa metode instruksional dengan cara visual dan verbal mempunyai hasil yang berbeda. Dan efektivitas komunikasi yang paling tinggi dicapai dengan menggabungkan kedua lambang tersebut.

Tabel 1.1

Efek Visualisasi dan Kemampuan Mengingat Setelah Lewat Waktu

Metode Instruksional Kemampuan mengingat setelah 3 jam

Kemampuan mengingat setelah 3 hari

Verbal saja 70% 10%

Visual saja 72% 20%

Paduan verbal dan visual 85% 65%

Contoh lain dari komunikasi visual adalah pengalaman langsung. Dalam komunikasi pendidikan, pengalaman langsung biasanya digunakan untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis pada sasaran didik. Pengalaman langsung akan lebih membantu daripada sekedar penjelasan-penjelasan teoritis yang bersifat abstrak. Edgar Dale72 menggambarkan model pengalaman ini sebagai berikut :

72

(63)

Gambar 1.5

Kerucut Pengalaman Edgar Dale

7. Hambatan Komunikasi

Tujuan komunikasi terkadang tidak tercapai karena ada hambatan yang menghalanginya. Hambatan tersebut bisa berasal dari komponen komunikasi seperti, komunikator (sumber), komunikan (sasaran didik), dan penggunaan

media yang tidak tepat.

a. Hambatan pada sumber

Seorang komunikator adalah pemimpin dalam pengelolaan informasi yang

sedang disampaikannya kepada orang lain. Beberapa kemungkinan kesalahan yang bisa terjadi pada pihak sumber sehingga keefektifan

(64)

komunikasi terganggu meliputi penggunaan bahasa, perbedaan pengalaman, keahlian, kondisi mental, sikap, dan penampilan fisik.73

b. Hambatan pada saluran

Hambatan pada saluran terjadi karena adanya ketidakberesan pada saluran

komunikasi atau pada suasana di sekitar berlangsungnya proses komunikasi. Media yang digunakan harus memperhatikan kesesuaian dengan kegiatan instruksional yang sedang dijalankan.74

c. Hambatan pada komunikan

Sasaran adalah manusia dengan segala keunikannya, baik secara fisiologi maupun secara psikologi. Aspek fisiologi berkaitan dengan masalah masalah fisik dengan segala kebutuhan biologisnya seperti kondisi indera, lapar, istirahat, dan haus. Sedangkan aspek psikologi berkaitan dengan :75

a. Kemampuan dan kapasitas kecerdasan sasaran

Kemampuan berarti kesanggupan untuk melakukan suatu pekerjaan. Sementara kecerdasan berarti kecepatan berpikir dan memahami sesuatu.

73 Pawit M. Yusuf. Op.Cit. hlm. 51

74 Pawit M. Yusuf. Op.Cit. hlm. 53

75

Gambar

Gambar 1.1 Model Komunikasi
Tabel 1.1 Efek Visualisasi dan Kemampuan Mengingat
gambar sketsa organ seksual perempuan.13
Gambar 1.1 Model Komunikasi Shanon dan Weaver
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan negatif antara komunikasi seksual orangtua-remaja dan perilaku seksual berisiko pada

Tabel 4.14 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Hubungan antara pendidikan dan pola komunikasi orang tua dengan pengetahuan seksual remaja .... commit

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dan komunikasi interpersonal dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja pada siswa SMA Negeri

Peran Facebook dalam Komunikasi Interpersonal Studi Deskriptif Kualitatif tentang Peran Facebook sebagai Media dalam Komunikasi Interpersonal antara Guru dan Murid di

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal orang tua terhadap remaja perempuan dalam hal sikap positif, meskipun memiliki selisih yang

Komunikasi interpersonal antara guru dengan murid yang kurang baik..

Faktor – faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan pelecehan seksual pada remaja di negara maju dan berkembang meliputi adanya pengetahuan dan sikap,

Diharapkan pelayanan kesehatan dapat membuat intervensi promosi kesehatan dengan metode focus group discussion (FGD) khusus membahas topik komunikasi seksual antara