• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Kondisi Faktor Fisika Kimia Lingkungan Kolam

Perbedaan karakteristik lingkungan kolam sampel menghasilkan nilai parameter fisika kimia lingkungan yang berbeda, seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil uji parameter fisika kimia lingkungan kolam sampel

No Parameter PP RI

80/2001 Kolam A Kolam B Kolam C

1 Ketinggian air (cm) - 30 - 40 35- 50 50 - 75 2 Kecerahan (%) - 100 70 60 3 Luas (cm) - 150x150 150x70 70 x 120 4 Suhu (0 C) ±3 21-23 28-29 26-27 5 TDS (mg/L) ≤1000 9,5 - 10,6 29,5 - 32 12,5 - 37,4 6 TSS (mg/L) 400 7,5 - 11 60 - 65 11 - 59 7 Konduktivitas (µmhos/cm) - 20,2 88 74 8 pH 6 - 9 6,9 - 7,2 7,5 - 8,1 7,4 - 7,6 9 DO (mg/L) >4 5,94 5,94 4,45 10 Alkalinitas (mg/L CaCO3) 500 8,04 - 12,06 30,06 - 36,18 24,12 - 36,18 11 Kesadahan (mg/L CaCO3) 500 8,08 - 12,01 31,12 - 36,04 32,03 - 40,04 Sumber : Data primer

Di antara ketiga kolam sampel, ketinggian air dan kecerahan pada kolam C di Desa Kalong Liud, yang berada di bagian bawah Kawasan Pongkor Kecamatan Nanggung, lebih optimal bagi proses budidaya ikan jika dibandingkan dengan kedua kolam sampel lainnya. Ketinggian airnya yang sekitar 50-75 cm merupakan kisaran ketinggian air yang ideal bagi proses budidaya ikan mas (FAO 2011).

Ketinggian air di ketiga kolam sampel akan mempengaruhi metabolisme dan pergerakan ikan. Air yang terlalu tinggi akan menghabiskan energi pada sebagian besar jenis ikan untuk naik untuk mengambil oksigen di permukaan, jika terlalu rendah maka akan mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam air dan suhu air akan mudah meningkat (Affandi dan Tang 2002).

penghalang masuknya sinar matahari di sekitar kolam juga ikut mempengaruhi ketinggian air karena dapat mengurangi penguapan secara langsung.

Pada kolam A di Desa Malasari, dengan luas penampang kolam sekitar 150x150 cm dan kecepatan air yang masuk juga rendah, maka debit dan ketinggian airnya pun tergolong rendah. Dengan ketinggian kolam A yang mencapai 200 cm, namun ketinggian air di kolam hanya 30-40 cm saja pada saat penelitian dilakukan. Kondisi ini akan semakin parah pada saat musim kemarau, saat pasokan air semakin sedikit dan tingkat penguapan semakin tinggi.

Tidak adanya pelindung kolam dari sinar matahari, seperti atap dan pepohonan peneduh di pinggir kolam, maka sinar matahari pun masuk sepenuhnya hingga ke dasar kolam sehingga kecerahan di kolam A mencapai 100 %. Kecerahan yang mencapai 100% ini menandakan bahwa plankton tidak tumbuh dengan baik. Lumut-lumut pun tidak banyak yang tumbuh di dinding-dinding kolam. Ditambah lagi oleh dasar kolam dengan tipe sedimen tanah liat sehingga mengakibatkan sulitnya tanaman air tumbuh. Kondisi ini mengakibatkan pakan alami bagi ikan- ikan yang dipelihara tidak banyak tersedia. Tentu saja sebagai kolam yang memelihara ikan nila dan mas dengan sistem tradisional yang lebih mengandalkan pakan alami, kondisi ini akan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangbiakan ikannya. Apalagi bagi ikan mas yang memerlukan tumbuhan air dalam proses pemijahannya (FAO 2011). Hal ini menyebabkan populasi ikan mas di kolam A tidak sebanyak ikan nila yang juga dibudidayakan bersamaan.

Pada kolam B yang terletak di Desa Cisarua, kondisi kolam yang kurang terawat dengan suhu dan masukan bahan organik yang cukup banyak serta pergantian air yang cukup lambat, mengakibatkan kondisi yang cukup ideal bagi pertumbuhan fitoplankton dan perifiton. Hal ini dapat dilihat dari warna air kolamnya yang kehijauan. Tidak adanya pepohonan penghalang di sekeliling kolam juga membuat sinar matahari dapat secara langsung masuk ke kolam pada siang hari. Namun pada pagi dan sore hari sinar matahari akan terhalangi oleh rumah-rumah penduduk.

Kedalaman kolamnya yang rerata kurang dari 1 meter, dan sumber air yang lebih mengandalkan limpasan serta air hujan, tentu saja akan riskan bagi pertumbuhan ikan ketika pada musim kemarau karena suhu air kolam akan lebih cepat meningkat. Namun di sisi lain, kondisi air kolam yang berwarna hijau dapat menghalangi sinar matahari masuk sepenuhnya ke dalam air dan menyediakan

pakan alami bagi ikan. Selain itu ketinggian airnya yang tidak terlalu tinggi membuat ikan tidak terlalu banyak menghabiskan energi untuk bergerak.

Letak kolam C di Desa Kalong Liud yang lebih rendah dari Sungai Cikaniki membuat pasokan air selalu ada, meskipun pada musim kemarau. Air yang berasal dari Sungai Cikaniki dan dari persawahan ini kaya akan berbagai bahan organik yang menjadi sumber energi bagi plankton di kolam tersebut. Adanya peneduh seperti pepohonan dan atap di sekitar kolam membuat pertumbuhan semakin tinggi. Ditambah dengan suhunya yang juga cukup hangat membuat perairan kolam C ini cukup ideal bagi pertumbuhan ikan dan organisme lainnya. Namun di sisi lain, kondisi ini juga cukup ideal bagi pertumbuhan parasit dan agen patogen lainnya.

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, beberapa bulan terakhir sebelumnya di Kawasan Pongkor ini sangat jarang terjadinya hujan dan suhunya terasa lebih panas. Kelembabannya akan sangat terasa karena kolam berada pada pegunungan dengan ketinggian 400-700 m dpl. Walaupun demikian, suhu air pada ketiga kolam sampel masih berada pada kisaran normal untuk kehidupan ikan mas, yaitu pada kisaran suhu 20-30o C (FAO 2011). Suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan mas di Indonesia berada pada kisaran 21-250 C (Santoso 1999). Walaupun demikian ikan mas dapat hidup pada suhu hampir beku sampai dengan suhu 400 C, karena ikan cyprinid bersifat termofil atau dapat menyesuaikan dengan suhu lingkungan yang tinggi maupun rendah (Hoole et al. 2001).

Faktor suhu air sangat krusial dalam kehidupan ikan mas dan jenis ikan lainnya. Keseluruhan laju aktivitas dan pernafasan ikan cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu air. Hal ini karena ikan adalah hewan berdarah dingin (ectothermic) yang laju metabolismenya sangat dipengaruhi oleh suhu di sekitarnya (Effendie 2003). Pada ikan cyprinid di daerah beriklim sedang (temperate), suhu air dapat mempengaruhi nafsu makannya, bahkan dapat berhenti makan sama sekali pada saat musim dingin (FAO 2011).

Kondisi iklim yang panas dan tidak menentu pada saat penelitian, meningkatkan suhu air yang akan berdampak ganda pada respirasi ikan. Pada satu sisi meningkatkan aktivitas metabolisme ikan, termasuk laju makan, yang

abnormal bagi spesiesnya (Boyd 1982; Heath 1987; Hoole et al. 2001). Peningkatan suhu juga dapat menurunkan secara signifikan serum protein dan biokimia darah pada ikan mas pada suhu 320 C, seperti yang dibuktikan oleh Ahmad et al. (2011).

Selain itu perubahan suhu air akibat cuaca yang tidak menentu ini juga dapat menimbulkan gejala penyakit dan perubahan kebiasaan ikan seperti : perubahan warna tubuh, berkurangnya selera makan, gerak yang terbatas maupun berlebihan, perubahan laju pernafasan, serta kebiasaan renang yang berubah. Perubahan kebiasaan dan laju metabolisme ini selain karena diakibatkan oleh infeksi non patogen dan patogen primer, juga dapat mengundang infeksi oleh patogen sekunder lainnya seiring dengan proses aklimatisasi terhadap suhu yang berbeda (Hoole et al. 2001).

Suhu yang cenderung fluktuatif pada saat penelitian juga dapat berpengaruh terhadap siklus reproduksi ikan mas. Umumnya ikan mas di Asia mulai memijah ketika konsentrasi ion di air menurun tiba-tiba pada awal musim hujan, dengan laju reproduksinya yang lebih tinggi dibandingkan kawasan beriklim sedang dan sub tropis (FAO 2011). Walaupun ditemukan sampel ikan mas yang sedang matang gonad, namun ikan tidak akan langsung memijah, namun akan menunggu sinyal lingkungan yang tepat untuk merangsang pemijahan, yang pada umumnya berupa munculnya air baru dengan konsentrasi ion di air kolam menurun pada awal musim hujan (Riani 2012).

Dengan meningkatnya suhu lingkungan di Kawasan Pongkor ini sebelumnya dapat meningkatkan konsentrasi dan akumulasi logam berat di lingkungan perairan kolam. Kenaikan suhu yang drastis akan meningkatkan akumulasi merkuri dan logam lainnya dalam tubuh ikan. Kenaikan suhu yang mengakibatkan penurunan oksigen terlarut dalam air, akan memicu ikan untuk meningkatkan laju konsumsi oksigen dengan menambah aktivitas penyerapan oksigen dalam air. Maka kemudian logam-logam berat yang ada dalam air juga ikut terserap dan akumulasinya juga meningkat di dalam tubuh (Yu 2005).

Di sisi lain peningkatan suhu ini dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap racun atau bahan asing dari luar (Connell dan Miller 1995). Hal ini terjadi karena suhu yang meningkat akan memicu penggunaan energi yang lebih untuk respirasi akibat berkurangnya oksigen, sehingga toksisitas logam akan semakin meningkat seiring melemahnya kondisi tubuh ikan (Heath 1987).

Pada Tabel 9 di atas, diketahui bahwa suhu ketiga kolam terlihat berbeda signifikan, terutama pada kolam A yang lebih rendah. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan ketinggian dan kondisi lingkungan sekitar kolamnya. Letak kolam A yang berada di ketinggian sekitar 700 m dpl dan dikelilingi oleh hutan dan bukit tanpa ada pemukiman disekitarnya, juga dengan sumber air yang berasal dari Sungai Cisangku yang mengalir langsung dari Gunung Halimun, membuat suhu air kolam A tetap rendah walaupun pengambilan sampel dilakukan pada siang hari. Kolam B terletak di dataran yang lebih rendah dan dikelilingi oleh tembok perumahan masyarakat, selain juga tidak adanya pepohonan di sekitarnya dan air masuk yang terbatas, membuat panas dari matahari diserap oleh air kolam secara optimal pada siang hari. Demikian pula dengan kolam C yang terletak di bagian paling rendah dari Kawasan Pongkor ini. Walaupun dikelilingi oleh sawah dan masukan air yang terus ada, namun lokasinya yang terbuka membuat panas matahari bisa diserap secara optimal oleh air kolam sehingga meningkatkan suhu perairan. Apalagi waktu pengujian suhu air kolam dilakukan pada waktu antara siang dan sore hari.

Dengan nilai TSS dan TDS dari perairan ketiga kolam yang masih jauh di bawah baku mutu perairan untuk perikanan berdasarkan PP RI Nomor 82 tahun 2001, menunjukkan bahwa lokasi tersebut cukup layak untuk budidaya ikan. Walaupun jika berdasarkan standar nilai TSS dari Alabaster dan Lloyd (1982) seperti pada Tabel 10, maka nilai TSS pada kolam B dan kolam C dapat sedikit berpengaruh terhadap metabolisme ikan.

Tabel 10 Pengaruh nilai padatan tersuspensi total (TSS) terhadap kepentingan perikanan

Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan < 25 Tidak berpengaruh

25 – 80 Sedikit berpengaruh

81 – 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan > 400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982.

Lebih tingginya nilai TSS dan TDS di perairan kolam B dan C tidak terlepas dari faktor lingkungan sekitar kolam dan faktor hujan yang terjadi pada

dan surfaktan dari limbah pemukiman di sekitar kolam dan sawah yang tanahnya mengandung partikel humat yang menjadi pembentuk koloid di permukaan perairan alami. Masukan surfaktan, logam, dan grup bahan kimia yang mengandung oksigen akan mengikat partikel humat sehingga membentuk dapat membentuk lumpur bersama sisa-sisa bahan organik lainnya (Notodarmojo 2005).

Menurut Beckett (1990) pada perairan yang berwarna seperti pada kolam B dan C banyak mengandung fraksi partikel humat jenis asam humat, sedangkan pada perairan yang bening seperti kolam A lebih banyak mengandung fraksi partikel jenis asam pulvat. Kemampuan partikel humat untuk mengikat banyak zat akan mempengaruhi spesiasi polutan seperti logam dan bahan organik berbahaya. Pada keadaan tertentu mereka sering meningkatkan pemisahan berbagai polutan menjadi partikel tersuspensi dan tersedimentasi dalam sistem akuatik (Beckett 1990). Dengan demikian maka perairan kolam B dan C akan lebih rawan akan toksisitas logam dan polutan lainnya.

Walaupun nilai TSS pada kolam B dan C tidak terlalu tinggi pada saat penelitian, namun rawan terjadi kekeruhan tinggi pada musim hujan karena kondisi lingkungan sekitarnya yang banyak terdapat limbah tanah gelundungan (tailing) dan urukan, serta sumber airnya yang berasal dari Sungai Cikaniki yang membawa buangan limbah, sehingga laju sedimentasi di kolam pun juga tinggi. Padatan terlarut, partikel-partikel dan lumpur yang masuk dapat berupa bahan organik yang segera dapat didekomposisi oleh mikroba, namun karena kawasan ini tinggi akan limbah logam, bisa saja mengandung senyawa-senyawa toksik dari berbagai logam tersebut.

Kekeruhan yang ditandai dengan TDS dan TSS yang tinggi pada saat musim hujan, mungkin saja dapat meningkatkan akumulasi logam toksikan pada tubuh ikan jika bioavailibilitasnya juga tinggi (Irianto 2005). Walaupun dapat segera tersedimentasi jika berikatan dengan bahan organik, namun karena kedalaman kolam yang hanya rerata 40 cm dan tipe sedimen berlumpur, maka apabila terjadi gelontoran akibat hujan dan arus air, maka senyawa-senyawa toksik ini akan kembali berada di badan air dan ikan pun akan terpajan lagi. Namun sekali lagi, akumulasi ini baru akan terjadi apabila bioavailibilitas logam-logam tersebut juga tinggi, dimana bioavailibilitas logam-logam dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan lainnya seperti: laju mineralisasi logam, pH, potensi redoks, konsentrasi asam organik, laju sedimentasi, kesadahan, suhu, asupan

makanan, masukan antropogenik, dan tingkat pengolahan limbah, disamping juga berbagai faktor biologinya (Weber dan Spieler 1993). Sejumlah spesies ikan dapat bertahan sementara waktu pada kandungan partikel atau lumpur yang tinggi, salah satunya adalah Cyprinus carpio yang dapat bertahan seminggu atau lebih pada perairan dengan kandungan partikel lempung montmorillonite 100.000 mg/L (Alabaster dan Lloyd 1982).

Nilai pH pada ketiga kolam sampel tergolong relatif netral dan berada pada kisaran optimal bagi pertumbuhan ikan mas, yaitu 6,5 – 8 (Santoso 1999). Nilai pH pada kolam B lebih tinggi dan cenderung basa karena selain kecepatan pergantian airnya yang rendah, faktor terlalu dekatnya dengan rumah penduduk dan gelundungan yang hanya berjarak 1 meter saja ikut mempengaruhi. Jika hujan tiba, maka air dari kolam penampungan limbah hasil pengolahan emas di gelundungan dapat saja meluap dan masuk ke dalam kolam. Faktor pembuangan limbah antropogenik ke dalam kolam juga mempengaruhi nilai pH di kolam B tersebut. Banyaknya limbah organik rumah tangga, potongan besi, dan kayu yang dibuang ke dalam kolam juga ikut mempengaruhi nilai pH di kolam. Ditambah lagi dengan adanya renovasi rumah di sekitar kolam dimana limpasan adukan semennya masuk ke dalam kolam ikan.

Pengaruh pH terhadap toksisitas bahan kimia bervariasi tergantung kepada organisme dan agen kimianya. Connell dan Miller (1995) menyatakan bahwa kenaikan pH di perairan akan diikuti dengan penurunan kelarutan logam berat, sehingga logam berat cenderung mengendap. Ini dapat terjadi pada kolam B yang pH nya cenderung meningkat akibat adanya aktivitas antropogenik. Nilai pH di ketiga kolam sampel yang relatif netral mengakibatkan kelarutan merkuri dan selenium pun tidak terlalu besar. Ditambah lagi dengan adanya aerasi melalui aliran air dan hujan, maka kelarutan merkuri dan selenium di lingkungan perairan kolam-kolam tersebut dapat dikurangi.

Para ahli sepakat bahwa oksigen terlarut menjadi salah satu faktor lingkungan yang utama bersama pH, suhu, dan alkalinitas/salinitas yang mempengaruhi berbagai proses biogeofisika kimiawi kehidupan di perairan, termasuk di dalamnya kondisi fisiologis terkait pencemaran. Dengan kata lain, penurunan oksigen terlarut dapat menyebabkan peningkatan toksisitas polutan

Kandungan oksigen terlarut (DO) di ketiga kolam sampel berada pada kisaran 4,45-5,94, sedikit di atas batas minimal parameter oksigen terlarut dari PP RI No. 82/2001 yaitu 4. Meskipun demikian konsentrasi ini tergolong optimal sesuai kriteria Boyd (1982), dan kisaran ini disukai oleh hampir semua organisme akuatik. Kandungan oksigen terlarut di kolam C lebih rendah sedikit dibandingkan dengan kedua kolam lainnya. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh ukuran kolamnya yang kecil dengan jumlah ikan dan plankton yang cukup banyak. Selain itu faktor suhunya yang cenderung lebih hangat, karena letak kolam di dataran yang lebih rendah dibandingkan kedua kolam lainnya, ikut mempercepat kehilangan oksigen terlarut dalam air. Banyaknya bahan organik dalam air kolam karena sumber airnya yang berasal dari persawahan dan buangan rumah tangga serta sisa-sisa pakan membutuhkan oksigen yang cukup untuk proses dekomposisinya oleh bakteri secara oksidasi (Boyd 1982).

Saat musim kemarau dimana pasokan air terbatas dan suhu meningkat, pada kolam A yang memelihara ikan nila dan ikan mas sering terjadi kematian ikan. Jenis ikan yang mati umumnya adalah ikan nila ukuran besar. Hal ini bisa jadi membuktikan bahwa ikan mas lebih mampu beradaptasi dengan perubahan suhu dan konsentrasi oksigen yang berkurang akibat pasokan air yang terbatas di musim kemarau. Spesies ikan mas (cyprinid) mampu bertahan hidup pada konsentrasi oksigen terlarutnya rendah hingga 0,3 – 0,5 mg/L atau dalam kondisi supersaturasi (sangat jenuh) (FAO 2011). Dengan kemampuan beradaptasinya pada kondisi oksigen rendah, suhu yang bervariasi, dan kepadatan tinggi, maka wajar saja jika ikan mas menjadi salah satu jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan di seluruh dunia.

Oksigen dalam air terutama berasal dari udara melalui difusi dan hasil sampingan fotosintesis tumbuhan akuatik terutama fitoplankton. Menurut Boyd (1982), proses fotosintesis menyebabkan peningkatan oksigen terutama siang hari dan mencapai maksimum pada sore hari, selanjutnya konsentrasi oksigen terlarut menurun menjelang malam hingga pagi hari oleh aktivitas respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik. Sehingga oksigen terlarut menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup biota air. Menurut Heath (1987) pemuatan dan pelepasan hemoglobin diatur oleh tegangan oksigen, karena hemoglobin melepaskan oksigen ke dalam jaringan tubuh. Bila konsentrasi oksigen terlarut tetap sebesar 3 atau 4 mg/L untuk jangka waktu lama maka ikan akan menghentikan aktivitas dan pertumbuhannya akan berhenti.

Hasil uji lapangan menggunakan alat pengukur kualitas air, diketahui bahwa nilai konduktivitas di ketiga kolam sampel tidak terlalu besar yaitu pada kisaran 20-88. Ini terkait dengan nilai TDS nya yang tergolong rendah, dan pH nya yang juga relatif netral. Kondisi ini tidak terlepas dari faktor Kawasan Pongkor yang berada di pegunungan dengan aktivitas pembuangan limbah yang dapat menghantarkan listrik tergolong rendah. Dengan demikian, toksisitas logam pencemar juga dapat tergolong rendah pula sehingga tidak terlalu berbahaya bagi kehidupan organisme perairan yang ada disana.

Berbagai faktor fisika kimia lingkungan perairan kolam yang diuji, terdapat satu hal yang perlu menjadi perhatian yaitu rendahnya nilai alkalinitas dan kesadahan. Ketiga perairan kolam sampel dapat dikategorikan sebagai perairan lunak karena nilai alkalinitasnya yang hanya maksimal 36,18 mg/L CaCO3 serta kesadahannya maksimal 40,04 mg/L CaCO3. Bahkan kolam A dapat dikatakan sebagai perairan sangat lunak karena nilai alkalinitas dan kesadahannya yang cukup rendah, yaitu hanya 8 -12 mg/L CaCO3 saja.

Kondisi ini terjadi dapat disebabkan oleh selain karena rendahnya evaporasi dan presipitasi, juga disebabkan oleh lapisan pucuk tanahnya yang sudah banyak hilang akibat pengerukan dan penggalian (Effendi 2003). Selain itu terutama juga disebabkan karena kawasan pegunungan ini bukan merupakan kawasan bebatuan kapur. Dengan kondisi tersebut, maka perairan di kawasan kolam-kolam tersebut rawan sekali terjadi perubahan pH secara drastis apabila terjadi masukan zat asam dalam jumlah besar, sehingga dapat berdampak buruk terhadap organisme perairannya.

Kondisi kesadahan yang sangat lunak ini sangat riskan menyebabkan terjadinya perubahan pH karena faktor penguat pH nya relatif tidak stabil. Selain itu, kondisi perairan lunak ini dapat meningkatkan penyerapan merkuri dan logam berat lainnya (Boening 2000). Walaupun perubahan suatu kondisi lingkungan tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja, karena kestabilan kondisi lingkungan merupakan hasil dari berbagai interaksi dan proses geobiokimiawi berbagai faktor pendukungnya.

Kolam C memiliki nilai kesadahan total yang lebih tinggi dibandingkan nilai alkalinitas totalnya. Hal ini disebabkan oleh perairan kolam tersebut

berasal dari aliran Sungai Cikaniki yang banyak mengandung berbagai anion tersebut seperti yang terlihat pada Lampiran 2.

Dengan demikian secara keseluruhan, kualitas faktor fisika kimia lingkungan perairan pada ketiga kolam ikan sampel di Kawasan Pongkor ini masih cukup layak bagi proses pembudidayaan ikan mas, kecuali di kolam A karena suhu dan oksigen terlarut yang tergolong rendah, serta kecerahan yang tinggi. Selain itu berbagai fisika kimia lingkungannya juga tidak berada pada level yang menunjang peningkatan toksisitas berbagai logam yang ada, walaupun rendahnya alkalinitas dan kesadahan dapat meningkatkan konsentrasi logam dalam jaringan tubuh ikan (Eisler 2006) terutama pada kolam B dan C yang memiliki suhu yang lebih tinggi, dan rawannya terjadi perubahan pH akibat tergolong perairan lunak.