• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pencemaran dan Kualitas Lingkungan Kecamatan Nanggung

Pencemaran lingkungan di Kecamatan Nanggung ini telah menjadi objek penelitian dari berbagai pihak baik dari perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), maupun dari berbagai instansi antara lain Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, dan LIPI. Objek penelitiannya pun beragam, mulai dari kualitas parameter fisika kimia perairan dan tanah hingga dampak pertambangan dan pengolahan emas di Kawasan Pongkor Nanggung ini.

Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lingkungan Kawasan Pongkor dan Sungai Cikaniki di Kecamatan Nanggung pada beberapa titik sudah dapat dikategorikan tercemar berat, karena nilai kandungan logam berat (Pb, Fe, Hg, CN) sudah jauh di atas nilai ambang batas yang diperbolehkan sesuai PP RI No 82/2001 maupun US EPA 2001. Selain lingkungannya berupa tanah dan air yang sudah tercemar, produk pertanian dan perikanan yang menjadi sumber pangan masyarakat pun diketahui sudah tercemar pula di beberapa titik produksi. Dengan demikian, secara faktual masyarakat Kawasan Pongkor telah hidup dalam bahaya keracunan logam berat bertahun-tahun, karena kontaminan logam dapat masuk melalui jalur makanan, minuman, pernafasan, dan interaksi kulit.

Limbah antropogenik lainnya seperti limbah organik dan surfaktan juga dapat memperburuk kondisi lingkungan terutama lingkungan perairan, karena sebagian besar masyarakat di sekitar pemukiman masih memanfaatkan sungai-sungai sebagai tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK). Belum lagi efek dari penggunaan boraks (pijer), soda api (kostik), dan air keras (HNO3) sebagai limbah dari pengolahan emas oleh masyarakat di Kawasan Pongkor tersebut. Beberapa penelitian terkait dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Beberapa penelitian terkait pencemaran lingkungan di Kec. Nanggung

Sumber : Hasil studi literatur

Selama ini umumnya yang menjadi objek perhatian para peneliti di Kawasan Pongkor adalah limbah merkuri dari pengolahan emas ilegal. Namun dari Tabel 7 terlihat bahwa berbagai logam berat lainnya, seperti Pb, Cd, Cu, dan Fe, juga sudah mencapai taraf yang dapat membahayakan makhluk hidup. Berbagai logam berat ini umumnya merupakan unsur-unsur ikutan yang terkandung dari bongkahan bijih emas yang ditambang lalu terlepas ketika adanya proses pengolahan emas, selain juga dari masukan antropogenik lainnya.

Sianida jika dilihat dari hasil penelitian Siallagan (2010), juga dipakai dalam jumlah cukup besar dalam proses pengolahan emas tradisional.

No Nama Tahun Objek Hasil Keterangan

1 Syawal 2003 Merkuri di Sungai Cikaniki Kadar Hg 0,0023 – 0.1743 ppm

Ambang batas Hg 0,0002 ppm (PP RI No.82/2001) 2 Nasution 2004 Merkuri di Sungai Cikaniki Kadar Hg di air 0,265 ppm, sedimen 196 ppm

Toksik akut dan kronik terhadap

Daphnia sp 3 Damayanti 2004

Logam berat (Pb, Cd, Cu, Fe, Hg) pada daun singkong di Nanggung

Hg sampai 1,09 ppm; yang lain masih dibawah ambang batas 4 Felanesa 2004

Logam berat (Pb, Cd, Cu, Fe, Hg) pada air konsumsi di Nanggung

Pb, Fe, Hg di atas ambang batas

5 Istikasari 2004

Logam berat (Pb, Cd, Cu, Fe, Hg) pada beras di Nanggung

Hg 0,013 – 0,251 ppm; Pb 0,44 – 3,69 ppm

6 Halimah 2005 Merkuri di Sungai Cikaniki Hg sisa proses 4,86 ton/bulan

Dibuang ke S.Cikaniki dan tanah sekitar.

7 Mulyadi et al. 2005 Merkuri di air sawah dan tanah sawah di Pongkor

Hg di air 0,005 ppm; Hg di tanah 0,0010 – 0,116 ppm 65% titik sampling air dan 100% tanah di atas ambang batas 8 Paryono 2005 Merkuri di Sungai Cikaniki Hg di air 0,100 – 0,300

ppm; sedimen 0,010 – 0,040 ppm; organ 0,007 – 0,160 ppm

9 Kamaludin 2006 Merkuri pada ikan mas di Desa Cisarua

Hg pada organ sampai 0,4648 ppm

Hasil budidaya

10 Siallagan 2010 Limbah berbahaya di Nanggung

Hg 5,5 ton/tahun; sianida 530,520 ton/thn; borax 756 kg/thn; soda api 284,7 ton/thn; air keras 2.520 ton/thn

sianida untuk proses pengolahan emasnya sejak awal. Walaupun limbahnya telah mengalami proses pengolahan secara modern sebelumnya, namun apabila berkelanjutan tetap saja dapat terakumulasi di perairan maupun sedimennya. Toksisitasnya juga dapat meningkat seiring interaksi sianida dengan berbagai logam dan berbagai bahan lainnya, baik sebagai bahan ikutan dari proses penambangan maupun bahan tambahan dalam proses pengolahan emasnya. Pada Gambar 4 dapat dilihat proses pengolahan emas tradisional di Kawasan Pongkor yang menggunakan berbagai bahan berbahaya.

Sumber : Siallagan 2010 dengan modifikasi

Gambar 4 Proses pengolahan bijih emas oleh gurandil di Pongkor.

Bijih emas

Penggilingan + bijih besi + kuik (merkuri) (amalgamasi) Penggebosan (pembakaran + boraks) Penyaringan Pemurnian (HNO3 + tembaga) Pembakaran

Emas siap jual Butiran emas + merkuri

(bullion)

Lumpur

(tanah + sisa emas + merkuri) Dibuang

(bak penampung, selokan, sungai, tanah) Pengadukan (1 hari) Penyaringan

Diolah lagi

Pengadukan dalam tong berputar dan ditambahkan apu (4-12 jam) Penambahan soda api dan diaduk dalam tong

berputar (8-12 jam)

Pencampuran dengan sianida dan diaduk dalam tong berputar (4-8 jam)

Pencampuran dengan karbon lalu didiamkan selama 36-40 jam (8-12 jam)

Data pemantauan rutin kualitas Sungai Cikaniki oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor per semester (Lampiran 2) juga menunjukkan kadar logam berat maupun bahan organik sudah pada taraf membahayakan bagi organisme dan lingkungan di beberapa titik. Kandungan per elemen logamnya saja sudah cukup berbahaya. Toksisitasnya pun dapat diperburuk melalui interaksi antar elemen logam berat tersebut berupa aditif atau sinergis seperti Cu dengan Zn, serta Cu dan Hg (Sorensen 1991). Namun demikian dapat pula bersifat saling mengurangi (antagonis) seperti Se dan Hg (Damhoeri 1986; Carvalho et al. 2009).

Berdasarkan data pada Lampiran 2 juga dapat diketahui bahwa konsentrasi merkuri di Sungai Cikaniki sudah mulai menurun. Ini terjadi diduga karena mulai berkurangnya jumlah gelundungan yang beroperasi akibat semakin mahalnya biaya operasional, serta mulai aktifnya penyuluhan dan penertiban oleh pihak yang berwajib. Selain itu, kini sejumlah pengolahan emas tradisional di Kawasan Pongkor sudah mulai beralih menggunakan sianida sebagai pengganti merkuri.

Berdasarkan berbagai literatur yang ada terkait dengan Kawasan Pongkor dan Kecamatan Nanggung, belum ada satu pun yang membahas tentang elemen selenium di kawasan tersebut. Bahkan pemantauan rutin tahunan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bogor yang membahas cukup banyak elemen faktor fisika kimia biologi lingkungan pun (Lampiran 2), tidak memasukkan unsur selenium sebagai salah satu elemen penting untuk diteliti. Padahal selenium bersama dengan kalsium merupakan bahan kimia yang bersifat antagonis terhadap logam-logam berat seperti kadmium (Abdel-Tawwab dan Wafeek 2010), tembaga (Abdel-Tawwab et al. 2007), arsen (Mance 1987), dan merkuri (Ralston et al. 2008) yang diduga banyak terdapat di kawasan tersebut sebagai bawaan dari penambangan dan pengolahan emas (Palar 1994).

Selama ini banyak pihak yang menuding bahwa limbah dari aktivitas penambangan dan pengolahan emas menjadi penyebab utama pencemaran di Pongkor. Namun faktor kondisi geografis dan geologis Kawasan Pongkor dapat pula berperan. Kawasan Pongkor secara geografis dan geologis merupakan

sebagai hasil geologis dan biologis alam merupakan sumber alami dari berbagai logam termasuk logam berat seperti merkuri, kadmium, timbal, zink, tembaga, perak, arsen, dan selenium (Eisler 2006; Paasivirta 1991; Sorensen 1991; Mance 1987).

Pada skala waktu geologi, sumber alami seperti kerusakan atau pelapukan secara kimiawi dan kegiatan gunung berapi merupakan mekanisme pelepasan yang terbesar dan bertanggung jawab terhadap susunan kimiawi pada ekosistem laut dan air tawar. Proses pembukaan dan penggalian lahan tambang, erosi dan pelapukan tebing dan tanah, penebangan dan pembakaran hutan juga ikut berperan besar dalam penyebaran logam-logam secara alami (Connel dan Miller 1995). Apalagi kini semakin marak kegiatan pengikisan dan perataan bukit-bukit di kawasan ini untuk dijadikan bahan baku batu bata, batu paras, batu alam dan berbagai material bangunan lainnya. Tentu saja hal ini akan mempercepat proses pelepasan berbagai logam berat yang tersedia di alam, baik melalui penguapan maupun langsung masuk ke dalam tanah dan perairan di Kecamatan Nanggung.

Walaupun lingkungan alam Kawasan Pongkor dapat mengandung berbagai logam berat alami dan pelepasannya secara alami juga dapat terjadi, namun pencemaran akibat proses alami umumnya berjalan lambat dan tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Kegiatan antropogenik sebagai sumber utama pencemaran tak bisa dipungkiri lagi, tidak hanya di Nanggung namun juga di seluruh dunia pada umumnya. Antropogenik tidak hanya berarti bahwa bahan pencemarnya merupakan buatan manusia seperti merkuri klorida dan sianida anorganik, tapi aktivitas manusia melalui penambangan, pengolahan, industri, penggunaan bahan bakar fosil, pembuangan limbah, pemukiman, dan berbagai kegiatan merubah bentuk dan fungsi alam menjadi penyumbang terbesar pencemaran dunia.

Tingginya kandungan logam berat di lingkungan pada Kawasan Pongkor ini berdampak langsung dan tidak langsung pada ekosistem di sekitarnya. Dahulu berbagai jenis ikan besar maupun kecil seperti patin, baung, hampal, tawes, lele, gabus, jelawat, udang galah, dan sebagainya dengan mudah dapat ditemukan sebelum maraknya penambangan dan pengolahan emas di kawasan ini. Burung-burung pemakan ikan pun masih marak ditemui di sekitar sungai. Namun akibat pencemaran dan eksploitasi lingkungan yang

berlebihan, mengakibatkan berbagai sumberdaya ikan dan lainnya menurun drastis, bahkan cenderung punah di sekitar kawasan yang tercemar.

Di kawasan hulu Sungai Cikaniki yang relatif aman dari pencemaran logam berat antropogenik pada tahun 2000 masih ditemukan tujuh spesies ikan antara lain : Rasbora aprotaenia (paray), Gliptothorax platipogon (kehkel), Puntius binotatus (beunteur), Channa gachua (gabus), Poecillia reticulata (ikan seribu), Monopterus albus (belut), dan Clarias batrachus (lele) (Nurcahyadi 2000). Pada tahun 2004, di wilayah Sungai Cikaniki yang termasuk kawasan eksploitasi dan pengolahan emas sampai ke bagian hilirnya di Kecamatan Ciampea, juga masih ditemukan ikan baung dan senggal walaupun jumlahnya sudah terbatas (Paryono 2005). Namun pada tahun 2012, dari hasil pengamatan di lapangan sangat sulit menemukan berbagai jenis ikan di sepanjang Daerah Aliran Sungai Cikaniki di Kecamatan Nanggung, mulai dari Desa Bantar Karet hingga Desa Kalong Liud.