• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Organ Target Toksikan .1 Insang .1 Insang

Perubahan fisika kimia lingkungan yang mendadak menyebabkan ikan stress, antara lain seperti perubahan pH, suhu air, penanganan, penangkapan atau juga oleh polusi air. Stres ini mempengaruhi kinerja insang dan membahayakan kontrol homeostatis dari cairan tubuh (Lock et al. 1994).

Insang merupakan organ yang multifungsional bagi ikan yaitu respirasi, regulasi ion, regulasi asam basa, ekskresi limbah nitrogen dengan luas mencapai lebih dari 50% total permukaan tubuh ikan (Heath 1987; Wood 2001). Insang menjadi titik lemah bagi tubuh ikan dalam menghadapi ancaman lingkungan luar karena tidak memiliki mekanisme perlindungan seperti halnya kulit yang memiliki lendir (mucus). Fungsinya yang menyerap toksikan air menyebabkan insang mudah terkena dampak toksikan dengan konsekuensinya fungsi-fungsi penting insang menjadi terganggu dan dapat membahayakan kondisi ikan (Heath 1987; Wood 2001).

Insang terdiri dari lamela primer dan sekunder dengan jaringan epitel yang menutupi permukaan lamela. Jaringan epitel ini tersusun dari empat atau lima jenis sel, yaitu : pavement cells; chloride cells; accessory cells; mucous cells; dan neuroepithelial cells. Sel klorida yang berfungsi sebagai transportasi ion dan oksigen menjadi target yang diserang oleh toksikan (Heath 1987; Wood 2001).

Sebagai respons terhadap efek toksikan, Mallatt (1985) mengidentifikasi lesi pada insang yaitu antara lain : terangkatnya epitel penutup lamela sekunder (pavement cells); meningkatnya jumlah ruang limfatik; perubahan pola aliran darah; munculnya granulocyte pada epitel; dan hipertrofi dan hiperplasia epitel termasuk sel mukus dan sel klorida. Hilangnya integritas struktur insang berdampak pada turunnya konsentrasi elektrolit darah (sodium, klorida, dan kalsium).

Toksikan juga dapat mempengaruhi permeabilitas insang sehingga berdampak pada serapan dan buangan ion dan air. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah sel klorida sebagai respons ikan untuk mempertahankan

atau meningkatkan kapasitas insang menyerap ion dari air sebagai dampak adanya polutan. Efek toksikan terutama logam terhadap permeabilitas insang dan peningkatan jumlah sel klorida terkait dengan pergeseran ion Ca2+ dari titik stabilitas membran di insang. Semakin lama terkena polutan maka jumlah ion Ca2+ akan berkurang. Pada konsentrasi kronis, ikan merespons gangguan insangnya dengan meningkatkan respons hormonal oleh kelenjar hipofisa dengan melepaskan kortisol. Kortisol berfungsi mengontrol sistem kardiovaskular, keseimbangan ion dan air, mobilitas energi, immunosuppressan, dan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Lock et al. 1994).

Senyawa-senyawa kimia selain masuk melalui saluran pencernaan, juga bisa masuk melalui saluran pernafasan (insang). Senyawa kimia tersebut akan masuk melalui insang yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air. Setelah melewati insang, bahan-bahan kimia termasuk merkuri akan ikut ke dalam sistem pernafasan sampai akhirnya akan menembus sel epitel endotelial kapiler darah untuk masuk ke dalam darah. Selanjutnya akan terikut ke dalam aliran darah dan akhirnya ikut dalam proses metabolisme (Connel dan Miller 1995).

Poleksic dan Tutundzic (1994) mengklasifikasi lesi insang ke dalam dua kriteria (Tabel 2) :

(1) Berdasarkan jenis dan lokasi jaringan insang yang rusak. Terbagi dalam lima kelompok : (a) Hipertrofi dan hiperplasia dari epitel insang dan perubahannya yang terkait; (b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel klorida; (c) Parasit insang; (d) Perubahan aliran darah; (e) Tahap terminal. (2) Berdasarkan jangkauan perbaikan lesi. Terbagi tiga tahap : (I) Perubahan

yang tidak merusak jaringan insang; (II) Perubahan fungsi jaringan yang terkait namun masih bisa diperbaiki jika lingkungan semakin baik; (III) Struktur insang tidak dapat diperbaiki lagi sehingga merusak fungsinya.

Tabel 2 Klasifikasi lesi insang dan tahap kerusakannya

Lesi Insang Tahap

(a) Hipertrofi dan hiperplasia epitel insang I

- Hipertrofi epitel saluran pernafasan I

- Terangkatnya epitel lamela I

- Infiltrasi leukosit epitel insang I

- Menipisnya epitel insang I

- Pecah dan mengelupasnya epitel lamela II

- Hiperplasia fokal sel epitel I

- Hiperplasia dari pangkal hingga setengah panjang lamela sekunder I - Hiperplasia sel epitel yang tidak teratur I

- Penyatuan ujung lamela sekunder I

- Hiperplasia sel eosinofilik I

- Penyatuan ujung lamela primer I

- Pengentalan yang tidak terkontrol dari jaringan II

- Penyatuan beberapa lamela sekunder I

- Memendeknya lamela sekunder I

- Penyatuan sempurna semua lamela sekunder II (b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel klorida

- Hiperplasia dan hipertrofi sel mukus I

- Sel mukus menghilang I

- Hipertrofi dan hiperplasia sel klorida I

- Sel klorida muncul di lamela sekunder I

(c) Perubahan pembuluh darah

- Teleangiektasis lamela sekunder I

- Membesarnya filamen pembuluh darah I

- Hemoragi dengan pecahnya epitel II

- Stasis II

(d) Parasit insang I

(e) Tahap terminal

- Jaringan tergores (scar-tissue) –fibrosis III

- Nekrosis III

Sumber : Poleksic dan Tutundzic (1994)

Toksikan merkuri dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada insang antara lain : lisis sel, beberapa degenerasi dan nekrosis sel, meningkatnya vakuolisasi intraseluler, perluasan dan terhambatnya aliran di pembuluh darah (Osman et al. 2010); memicu batuk, kerusakan fungsi pernafasan (Nawaz et al. 2010); meningkatnya laju konsumsi oksigen, meningkatnya aktivitas LDH dan level piruvat serta laktat (Radhakrisnaiah et al. 1993); degenerasi vakuolar,

edema, atrofi (Paryono 2005); fusi lamela, hiperplasia, edema, atrofi, dan nekrosis (Nurchayatun 2007); hipertrofi, hiperplasia, hemoragi, teleangiektasis, deskuamasi, dan edema (Yuniar 2009).

Efek patologi selenium terhadap insang antara lain menyebabkan terjadinya pelebaran (dilatasi) sinusoid darah dan pembengkakan lamela (telangiektasia) yang dipenuhi oleh eritrosit (Sorensen 1991). Pendarahan (hemoragi) jaringan insang sering terjadi karena kondisi ini. Penebalan lamela insang menyebabkan gangguan aliran darah dan pertukaran gas yang tidak efektif (mengurangi kapasitas pernafasan), dan respons gangguan metabolisme (meningkatkan permintaan pernafasan dan konsumsi oksigen) yang dapat menyebabkan kematian (Lemly 2002).

2.3.2 Hati

Hati memiliki tiga fungsi utama : (1) Penyerapan, metabolisme, penyimpanan dan redistribusi nutrien dan molekul endogenous lainnya. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan homeostasis organisme dengan sintesis ( hormon) dan sekresi molekul (protein, kolesterol, dan lemak) ke dalam darah. (2) Metabolisme xenobiotik (biotransformasi dan detoksifikasi). (3) Formasi dan ekskresi empedu (eliminasi degradasi produk senyawa endogenous, degradasi xenobiotik dan metabolitnya serta beberapa logam) (Heath 1987; Hinton 1993; Hinton et al. 2001).

Volume, ruang dan mikroanatomi hati ikan berbeda dengan hati mamalia (Hinton 1993; Hinton et al. 2001). Untuk mempelajari toksisitas polutan terhadap hati ikan perlu diketahui pola morfologi, gangguan fungsional (fisiologi) dan fungsinya, dan kapasitas hati untuk mengaklimasi tekanan toksikan dengan proses metabolismenya. Hati mensekresi plasma protein utama seperti fibrinogen dan albumin yang berfungsi untuk sebagai penjaga osmolalitas darah, pH darah, sumber asam amino dan transportasi hormon serta bahan kimia eksogen seperti logam dan bahan organik. Fungsi ini yang menjadi target dari toksikan.

Efek toksikan terhadap metabolisme hati, yaitu : (1) Toksik terhadap sel hati seperti menghambat enzim atau mengganggu ekspresi gen sebagai konsekuensi hambatan dalam sekresi lipid; (2) Tidak merusak sel hati namun mengganggu dalam jaringan sekelilingnya, contohnya hambatan terhadap sintesis vitellogenin atau choriogenin oleh antiestrogen, atau meningkatkan

katabolisme hormon hati. Kerusakan sel hati oleh toksikan dapat dideteksi oleh analisis klinis enzim darah (Heath 1987). Toksisitas timbul dari interaksi xenobiotik atau logam dengan saluran metabolisme hati atau dengan reseptor spesifik hati (Hinton 1993).

Merkuri dan selenium merupakan logam yang terlibat dalam proses enzimatik dan terikat dengan protein (ligan binding). Ikatan merkuri dan selenium dengan protein jaringan membentuk senyawa metalotionina. Metalotionina merupakan protein aditif yang berperan dalam proses homeostatis organisme dalam mentolelir logam berat. Senyawa-senyawa kimia yang telah berikatan dengan protein dan membentuk metalotionina tersebut akan dibawa oleh darah (Roesijadi dan Robinson 1993).

Merkuri yang tadinya masuk ke dalam hati akan terbagi dua: sebagian akan terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan dikirim ke empedu. Dalam kantong empedu, akan dirombak menjadi senyawa merkuri anorganik yang kemudian akan dikirim lewat darah ke ginjal, dimana sebagian akan terakumulasi pada ginjal dan sebagian lagi dibuang bersama urin (Palar 1994). Hinton (1993) mengelompokkan biomarker histopatologi hati ikan dan alat untuk mendeteksinya pada Tabel 3.

Hati adalah lokasi utama dari biotransformasi metil merkuri pada hewan. Hati mengubah senyawa berbahaya menjadi metabolit yang diekskresikan langsung ke empedu untuk proses detoksifikasi selanjutnya. Senyawa yang diekskresikan ke dalam empedu dan memasuki usus kecil akan diserap di usus atau dieliminasi dalam feses. Metil merkuri diserap dalam suatu proses yang disebut resirkulasi enterohepatik (Boening 2000).

Merkuri dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada hati, antara lain degenerasi vakuolar, peradangan setempat (fokal hepatitis), kematian jaringan setempat (fokal nekrosis), pembendungan darah (kongesti) sel-sel hatinya membesar (megalositosis), inti sel mengecil (kariopiknosis), inti sel hilang (kariolisis) (Radhakrisnaiah et al. 1993; Paryono 2005; Destiany 2007; Yuniar 2009; Setijaningsih 2009; Masud et al. 2009).

Tabel 3 Biomarker histopatologi hati dan alat deteksinya

No Biomarker Alat Deteksi

1 Nekrosa sel hati Mikroskop cahaya/histopatologi 2 Hiperplasia dari regenerasi Mikroskop cahaya

3 Hiperplasia saluran/kelenjar empedu Mikroskop cahaya/histopatologi

4 Hepatocytomegaly Mikroskop cahaya & electron

5 Megalositosis yang bervariasi Mikroskop cahaya & electron 6 Vakuolisasi hidropis dari sel hati Histopatologi & mikroskop electron 7 Perubahan warna pada focus seluler tertentu Mikroskop cahaya

8 Adenoma Histopatologi

9 Carcinoma Mikroskop cahaya

10 Cholangioma Mikroskop cahaya

11 Cholangiocarcinoma Mikroskop cahaya

12 Campuran hepatocholangiocellular carcinoma Mikroskop cahaya Sumber : Hinton (1993)

Pada ikan yang terkontaminasi selenium, infiltrasi limfosit terlihat dengan vakuolisasi ekstensif dari hepatosit parenkima di sekitar vena pusat. Sel Kuppfer juga meningkat dan vena pusat meluas akibat berkurangnya sel parenkima di sekitarnya. Inti sel sering berubah bentuk dan pleomorfik, serta munculnya residu yang tidak termetabolik (droplet). Secara bersamaan, perubahan ultrastruktural ini menunjukkan suatu degenerasi struktur jaringan yang cukup mengganggu fungsi hati secara signifikan. Gejala patologi ini adalah karakteristik dari selenosis kronis pada ikan dan vertebrata lainnya (Sorensen 1991).

2.3.3 Ginjal

Ginjal adalah organ utama untuk membuang air atau memproduksi urin serta memproduksi darah terutama pada ikan air tawar agar meminimalkan kehilangan ion. Pada ikan laut pembuangan urin ini lebih lambat untuk mencegah kehilangan ion air dalam proses osmoregulasi. Laju penyaringan glomerular (glomerular filtration rate) pada ikan lebih rendah dibandingkan dengan hewan endotermal dengan tingkat laju metabolismenya yang tinggi. Produksi urin ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, salah satunya yang terpenting adalah salinitas (Larsen dan Perkins 2001).

Ginjal teleost terdiri dari dua bagian, yaitu kepala anterior dan badan posterior. Bagian kepala terdiri dari chromaffin, jaringan inter-renal (limfoid), dan jaringan penghasil darah (hematopoietic). Bagian badan ginjal terdiri tubular ginjal dan nefron. Nefron ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul Bowman, tubular proksimal, tubular distal, dan vesika urinari. Glomerulus ini dilindungi oleh dua lapisan, yaitu lapisan luar (parietal) yang tersambung dengan epitel tubular proksimal dan lapisan dalam (visceral) yang segaris dengan tubular glomerular (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001; Affandi dan Tang 2002).

Peranan ginjal ikan dalam osmoregulasi, sintesis kortisol, dan eliminasi limbah dapat dipengaruhi oleh toksikan yang dapat merusak sel. Kebanyakan deskripsi tentang toksisitas ginjal berfokus pada histopatologi dan gangguan enzim. Kerusakan pada sel ginjal dapat dimulai dari berbagai mekanisme, termasuk gangguan sinyal sel, regulasi gen, sintesis protein, transportasi membran, regulasi ion, fungsi enzim, dan integritas cytoskeletal. Sel normal memiliki kemampuan untuk merawat dan memperbaiki kerusakan. Jika kerusakan yang terjadi melebihi kemampuan sel tersebut, maka terjadi nekrosis atau bisa juga apoptosis yaitu kemampuan menghancurkan sendiri. Selain itu terjadi juga hipertrofi dan regenerasi sel (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001). Gangguan ginjal cenderung terjadi pada tubular proksimal dengan nekrosis tabung akibat xenobiotik, selain juga terjadinya gangguan pada glomerular dan inter renal. Kecenderungan ini terkait dengan kapasitasnya yang besar sebagai transportasi membran pada sel epitel tabung dan konsentrasi senyawa toksik pada lumen tabung. Selain itu juga terjadi vakuolisasi hidropis, munculnya droplet protein, dilatasi ruang Bowman, hypercellularity dan fibrosis glomerular dan penebalan membran dasar. Peningkatan jumlah melano macrophages center (MMC) juga dapat digunakan sebagai indikator non spesifik dari stress (Larsen dan Perkins 2001).

Efek histopatologi merkuri terhadap ginjal ikan antara lain adalah granulasi epitel tubular dan hiperplasia, atrofi glomerular, melebarnya ruang Bowman, inti piknotik, dan degenerasi nekrosis dari sel epitel tubular (Larsen dan Perkins 2001). Ikatan Hg dengan kelompok sulfidril pada protein membran, menyebabkan gangguan pada permeabilitas sel dan terjadi pembengkakan dan lisis. Target utama ion merkuri adalah Na+, K+-ATPase (Larsen dan Perkins 2001).

Akumulasi selenium tingkat tinggi pada ginjal menunjukkan terjadinya focal proliferative glomerulonephritis intra kapilar. Pada kondisi ini, jumlah berlebihan dari sel mesangial terlihat bersamaan dengan matriks abnormal yang berlimpah dan fibrosis periglomerular yang dapat mengeraskan jaringan. Selubung tubular muncul dan epitel tubular menjadi tervakuolasi dan mudah hancur sehingga menyebabkan sistem tubular tidak berfungsi dengan baik (Sorensen 1991).

2.3.4 Limpa

Limpa berperan penting dalam haematopoiesis (pembentukan darah) dan penjebakan antigen. Pada ikan berahang, terdapat limpa yang terbagi atas bagian luar (korteks) yang berwarna merah dan bagian dalam (medulla) yang berwarna putih. Korteks membentuk eritrosit dan trombosit, sedangkan medulla membentuk limfosit dan granulosit (Affandi dan Tang 2002). Pada struktur limpa dan hati terdapat makrofag yang diketahui berfungsi untuk membuang material tertentu dari ellipsoid ke MMC.

MMC bervariasi dalam jumlah dan ukuran di antara spesies ikan dan individu dalam suatu spesies. Fungsi MMC adalah sebagai unit penyimpanan untuk material yang tak diinginkan yang tidak diekskresikan oleh organ lain, sehingga dapat dijadikan sebagai penanda (biomarker) terhadap kontaminasi logam berat karena terperangkap di bagian ini (Hylland et al. 2003).

Letak MMC di dalam limpa biasanya terdapat berdekatan dengan saluran darah dan pada beberapa spesies dikelilingi oleh lapisan sel limfoid. Lapar dan stres pada ikan yang dibudidayakan dapat meningkatkan jumlah MMC pada ginjal dan limpa ikan (Kurtovic et al. 2008). Sebaliknya, pengurangan jumlah dan ukuran MMC pada limpa ini juga dilaporkan terjadi pada ikan yang hidup di perairan tercemar, terutama polutan yang mempengaruhi immunosuppresan (De Vico et al. 2008).

Gangguan terhadap limpa antara lain termasuk berkurangnya struktur dinding sel seperti kerusakan pseudopodia dan organel, termasuk pembengkakan mitokondria dan meningkatnya jumlah lisosom sekunder yang berisikan bahan membran, sebagai bentuk degradasi organel (Hylland et al. 2003).

2.3.5 Usus

Usus merupakan bagian terpanjang dari saluran pencernaan. Pada ikan pembagian segmen usus lebih sederhana dibandingkan dengan hewan tingkat tinggi lainnya, karena bentuk dan diameter ususnya relatif homogen. Panjang usus ikan sangat bervariasi dan berhubungan erat dengan kebiasaan makan ikan. Panjang usus ikan herbivora beberapa kali lipat dari panjang tubuhnya (Effendie 2003).

Lapisan terdalam dari usus adalah lapisan mukosa yang memiliki tonjolan-tonjolan (vili). Lapisan mukosa tersusun oleh selapis sel epitelium dengan bentuk prismaltik. Bentuk sel yang umum ditemukan pada epitel usus adalah enterosit yang dominan, dan mukosit terdapat diantaranya serta semakin meningkat jumlahnya pada bagian belakang usus. Enterosit memiliki mikrovili yang berfungsi untuk menyerap zat makanan sebelum dibawa ke hati (Affandi dan Tang 2002).

Usus ikan yang berperan untuk menghancurkan makanan dan menyerap makanan menjadi tempat dengan konsentrasi xenobiotik yang tinggi yang masuk bersama makanan. Usus memiliki enzim aktivitas tinggi untuk metabolisme xenobiotik, terutama aktivitas dua fase, dan ini sangat penting bagi biotransformasi xenobiotik tingkat rendah. Biotransformasi dalam usus ini dapat meningkatkan toksisitas pada sel usus (Kleinow dan James 2001).

Efek xenobiotik pada usus terkait dengan masa tinggal (retention time) dari toksikan dalam tempat tertentu (peristaltik kantung makanan, kecepatan penyerapan, aliran darah), aksesibilitas (terlepas dari matriks makanan), avaibilitas (kemampuan perlindungan lapisan mukus, permeabilitas), dan perpanjangan perubahan regenerasi (re-epitelisasi). Perubahan patologi yang umum terjadi pada usus adalah vakuolasi, nekrosis sampai putus, terlipatnya vili. Formasi sel sinsitia, sekresi mukus yang berlebihan, dan pembentukan gelembung pada subselular (Kleinow dan James 2001).

Kerusakan sel epitel kolumnar juga terjadi dari perubahan degeneratif akibat terpapar toksikan. Perubahan inti juga dapat terjadi, dengan reduksi volume inti sebagai ciri umumnya. Dalam kondisi yang lebih parah, maka dapat terbentuk neoplasia pada saluran makanan akibat toksikan seperti papiloma, fibroma, fibrosarcoma, adenocarcinoma, dan polip (Kleinow dan James 2001).

2.3.6 Otot Daging

Material yang masuk ke bagian otot merupakan hasil dari metabolisme tubuh yang masuk melalui aliran darah, termasuk deposit logam. Kondisi otot daging ikan adalah yang menjadi perhatian utama bagi para ahli, karena terkait dengan kesehatan manusia. Daging merupakan bagian ikan yang paling banyak dimakan oleh manusia, sehingga apabila terdapat kandungan toksikan dalam otot ikan akan terakumulasi dan termagnifikasi dalam tubuh manusia pula. Sehingga sangat penting memperhatikan kadar toksikan seperti merkuri dan selenium dalam otot ikan.

Selain dapat membahayakan, kandungan kontaminan pada otot dapat menyebabkan terjadinya perubahan patologis. Perubahan patologis yang terjadi pada otot antara lain perubahan serabut otot, perubahan nukleus sel otot, pembengkakan (cloudy swelling), degenerasi hialin, degenerasi granular, degenerasi lemak sampai nekrosa serabut otot. Infiltrasi sel-sel radang menunjukan adanya reaksi patologis yang terjadi pada otot. Sel-sel radang yang tampak dapat menunjukkan derajat keparahannya dan membantu menentukan kausanya.

Jenis-jenis sel radang yang bisa ditemui antara lain limfosit, neutrofil, histiosit, dan fibroblast dari endomysium. Hemoragi pada jaringan dan kongesti pembuluh darah dapat diidentifikasi dari adanya eritrosit pada preparat histopatologinya. Edema merupakan bentuk patologi karena adanya penumpukan cairan pada rongga-rongga antar serabut otot. Edema akan menyebabkan lokasi antar serabut menjauh dan meregang (Takashima dan Hibiya 1995).

Perubahan-perubahan patologi yang terjadi pada otot dapat berupa nekrosis (miopati), inflamasi, degenerasi hialin dan tumor otot rangka, misalnya rhabdomyoma (Hoole et al. 2001). Miopati dapat merupakan suatu wujud dari defisiensi vitamin, namun dapat juga diakibatkan oleh dampak toksisitas logam seperti merkuri dan selenium (Ohlendorf 1996). Perubahan patologi pada otot ikan ini selain dapat mempengaruhi kondisi ikan, juga sangat berpengaruh terhadap nilai ekonomis ikan tersebut.