• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7. Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Kawasan Pongkor

Pengertian kualitas lingkungan perairan adalah faktor biofisika-kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut Moore (1991) perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Sedangkan menurut Boyd (1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu.

Kawasan Pongkor yang sebagian besar lingkungan perairannya sudah tercemar akibat aktivitas antropogenik, membutuhkan strategi pengelolaan lingkungan dan sumberdaya perairan agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Namun akibat pencemarannya sudah berlangsung lama seiring dengan operasional penambangan dan pengolahan emas, maka proses pengelolaan lingkungan agar menjadi kembali sehat menjadi sulit akibat luas dan masifnya pencemaran yang terjadi. Walaupun demikian,

diyakini tidak semua lingkungan perairannya telah tercemar berat sehingga penanganan dan pemanfaatannya pun dapat dilakukan oleh masyarakat sekalipun.

Salah satu pemanfaatannya adalah untuk budidaya ikan yang menjadi salah satu alternatif bagi peningkatan produktivitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di Kawasan Pongkor. Sebagai salah satu sumber protein hewani murah bagi masyarakat, ketersediaan ikan di kawasan ini belum mampu terpenuhi secara optimal dari lingkungan perairannya sendiri. Usaha perikanan juga belum menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat Pongkor. Dari analisis di lapangan diketahui terdapat sejumlah kendala yang dihadapi untuk pengembangan usaha perikanan di Kawasan Pongkor ini, antara lain pencemaran lahan, ketersediaan lahan, kondisi lahan, kemampuan teknis dan finansial masyarakat, serta persepsi masyarakat.

Permasalahan pencemaran lingkungan di Kawasan Pongkor sudah sejak lama menjadi perhatian berbagai pihak, namun proses pencemarannya tetap berlangsung masif karena menyangkut perekonomian masyarakat dan daerah. Banyaknya masyarakat yang terlibat dalam aktivitas penambangan dan pengolahan emas ini, tanpa banyak alternatif mata pencaharian lain, membuat aktivitas ini sulit untuk dihentikan. Namun kini seiring mulai menipisnya cadangan emas di kawasan ini, membuat biaya operasional tambang dan pengolahan meningkat, sehingga jumlah gelundungan yang beroperasi rutin semakin menurun. Dengan demikian kegiatan pencemaran juga cenderung menurun. Sektor perikanan budidaya dapat diterapkan sebagai alternatif sumber perekonomian bagi masyarakat Pongkor.

Walaupun demikian, karena pencemaran logam berat sudah berlangsung sekitar 20 tahun, maka logam berat dapat terdeposit dalam jumlah besar di lingkungan Kawasan Pongkor ini sehingga sulit untuk dihilangkan secara maksimal. Butuh ratusan tahun untuk menghilangkan merkuri dan bahayanya dari lingkungan, karena sifatnya yang memiliki retensi yang tinggi pada tanah dan organisme (Boening 2000; Eisler 2006). Namun ketersediaan merkuri dan logam berat lainnya di lingkungan Kawasan Pongkor ini belum tentu berbahaya bagi biota dan masyarakat, jika bioavailibilitas dan toksisitas berbagai logam berat ini

menunjukkan nilai yang dapat mengurangi bioavaibilitas dan toksisitas merkuri. Demikian pula dengan jenis tanahnya yang mengandung partikel lempung yang tinggi, terutama di bagian hulu, yang dapat menjerap logam dan mengurangi mobilitasnya. Yang perlu menjadi perhatian adalah rendahnya nilai alkalinitas dan kesadahan di lingkungannya, sehingga rawan terjadi penurunan kualitas lingkungan apabila adanya masukan zat asam yang tinggi, salah satunya dapat melalui hujan. Meskipun demikian, diperlukan suatu penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh kualitas faktor fisika kimia lingkungan pada wilayah yang lebih luas terhadap pencemaran di Kawasan Pongkor ini.

Tingginya kandungan selenium pada tanah dan tubuh ikan dapat menjadi suatu hal yang positif bagi pengelolaan pencemaran di kawasan ini. Dengan sifat Se yang antagonis terhadap Hg dan logam berat lainnya, akan membuat bioavailibilitas dan toksisitas Hg dan logam berat lainnya terhadap makhluk hidup menjadi rendah. Interaksi antagonistik Se melawan toksisitas Hg pada organisme akuatik merupakan solusi yang potensial untuk meremediasi Hg pada badan air yang terkontaminasi (Chen et al. 2001; Belzile et al. 2006)

Strategi pengelolaan lingkungan perairan kolam terkait pencemaran logam berat terutama Hg dapat melalui aplikasi cara budidaya yang baik (good aquaculture practices) antara lain perawatan kolam dan kualitas air, dengan menerapkan tandonisasi dan remediasi secara biologi, fisika, dan kimia sederhana untuk kolam-kolam ikan di Kawasan Pongkor Nanggung. Penampungan air di suatu wadah atau kolam (tandon) sebelum masuk ke kolam budidaya adalah untuk mencegah masuknya air yang tercemar secara langsung ke dalam kolam budidaya, sehingga ikan tidak terpajan secara langsung pula. Dengan adanya tandon ini, maka kualitas air dapat ditingkatkan dengan diberikan perlakuan sebelumnya melalui proses remediasi. Modifikasi konstruksi kolam dengan tidak menerima secara langsung limpasan juga dapat diterapkan.

Secara fisika kimia, remediasi sederhana yang dapat diaplikasikan oleh masyarakat adalah melalui penambahan kapur untuk meningkatkan pH dan kesadahan sehingga meningkatkan demetilasi dan volatisasi logam; penambahan bahan anorganik yang sulit terurai pada sedimen untuk mencegah mobilisasi logam (Mitra 1986); pemberian bahan penjerap seperti tanah lempung dan kuarsa (Notodarmojo 2005; Bhattacharyya dan Gupta 2006; Van der Perk 2007) ataupun zeolit (Yarsi 1998); pemberian tawas atau belerang untuk mengurangi toksisitas dan menjerap Hg serta membentuk koloid bahan organik

sehingga mudah dibersihkan; dan pemberian kompos untuk menurunkan kandungan Hg di sedimen (Boyd dan Sommers 1990; Kharisma 2008; Kurbaniana 2012), walaupun kandungan bahan organik yang tinggi pada perairan juga dapat meningkatkan toksisitas logam. Pemberian arang aktif juga efektif mereduksi Hg dari air (Rondonuwu 2012).

Perawatan kolam dengan pengerukan sedimen lumpur secara rutin, seperti yang dilakukan pemilik kolam C, juga menurunkan kadar merkuri di air dan sedimen di kolam ikan walaupun sumber airnya berasal dari Sungai Cikaniki yang tercemar. Namun harus diperhatikan agar buangan sedimen ataupun limpasannya yang mengandung bahan polutan tadi, tidak lagi masuk ke dalam kolam. Untuk kolam yang sedimennya bertipe lempung, sebaiknya tidak perlu dikeruk agar logam yang terjerap tidak lagi termobilisasi ke badan air.

Remediasi secara biologi (bioremediasi) dapat dilakukan melalui mikrobiologi. Bakteri dapat digunakan untuk mereduksi logam merkuri dengan cara mentransformasikan logam berat tersebut melalui proses oksidasi, reduksi, metilasi, dan demetilasi. Bacillus sp., Pseudomonas sp., Micrococcus sp., dan Vibrio sp. dapat mereduksi Hg dengan mekanisme detoksifikasi (Nakamura et al. 1990). Demikian juga dengan Klebsiella, Salmonella, Streptococcus, Staphylococcus, Shigella, Escherichia coli, Aeromonas cavidae, Hafnia, Enterobacter agglomerans dapat mereduksi Hg pada kawasan yang tercemar (Sulastri 2002; Rondonuwu 2012). Handayani (2001) menemukan bakteri pereduksi Hg yang efektif di Kawasan Pongkor yaitu Pseudomonas sp. dan Flavobacterium sp. Namun aplikasi mikrobiologi pada kolam budidaya ikan di Kawasan Pongkor agak sulit diterapkan karena membutuhkan pengetahuan dan biaya yang lebih mahal.

Bioremediasi yang lebih aplikatif bagi masyarakat pembudidaya ikan di Kawasan Pongkor adalah remediasi menggunakan tanaman (fitoremediasi). Tanaman yang dapat digunakan untuk pengendalian limbah cair dan penyerapan logam antara lain wlingen (Scirpus grossus), melati air (Echinodorus paleafolius), genjer (Limnocharis flava), kiapu atau apu-apu (Pistia stratiotes) (Syafrani 2007); mending (Iris sibirica), teratai (Nymphea fiercest), kiambang (Spirodella polyrrhiza), dan hidrilla (Hydrilla verticillata) (Guntur 2008); Typha sp, Polygonum

selain kemampuan reduksi logamnya yang tinggi, juga bermanfaat buat penyimpanan telur ikan mas ketika memijah. Sedangkan untuk jenis tanaman yang mengambang seperti teratai, kiapu, kiambang serta eceng gondok, perlu diperhatikan luasan tutupannya di permukaan kolam agar tidak menghambat sinar matahari masuk ke dalam perairan kolam sehingga mengganggu produktivitas primer oleh plankton di perairan tersebut. Tanaman-tanaman tersebut selain sebagai bioremediasi, juga dapat bermanfaat ganda sebagai sumber makanan alami dan perlindungan ikan. Bagi masyarakat pun beberapa tanaman seperti teratai dan eceng gondok dapat bernilai ekonomis sebagai bahan baku kerajinan tangan.

Kendala alam seperti kandungan oksigen dan masukan air yang rendah, terutama di bagian hulu pada saat kemarau, dapat disiasati dengan membudidayakan jenis ikan yang tahan hidup di lokasi minim air dan oksigen, yaitu ikan lele dan ikan mas. Ikan mas juga telah terbukti merupakan jenis ikan yang resisten terhadap pencemaran dan kualitas air yang kurang baik. Selain itu ikan mas bagi masyarakat Pongkor dan Sunda pada umumnya, merupakan ikan ekonomis penting dan bagian dari adat budaya setempat. Ikan lele juga dapat dibudidayakan di kolam terpal dan semen, sehingga dapat menjadi solusi bagi masalah lahan dan air yang terbatas. Bagi masyarakat yang memiliki modal besar juga dapat menggunakan kincir untuk menambah kandungan oksigen di kolam.

Pemberian pakan yang tepat waktu, tepat ukuran, tepat takaran, tepat sasaran, dan tepat nutrisi juga penting diaplikasikan sebagai bagian dari cara budidaya ikan yang baik. Peningkatan ketersediaan pakan alami yang dikombinasikan dengan pakan buatan perlu dilakukan untuk efisiensi biaya produksi, selain juga bermanfaat bagi ikan itu sendiri. Masukan bahan organik dan surfaktan berlebihan yang berasal dari limbah rumah tangga juga harus dihindari untuk mereduksi terjadinya proses metilasi dan avaibilitas logam. Yang tak kalah penting juga adalah pemilihan benih dan indukan yang berkualitas dan cocok dengan kondisi lingkungan di Kawasan Pongkor, untuk menghindari terjadinya serangan wabah penyakit dan pemborosan biaya produksi.

Kendala lahan yang terbatas karena sebagian besar wilayah Kawasan Pongkor adalah lahan milik negara melalui Taman Nasional Gunung Salak- Halimun, dapat disiasati melalui tumpang sari budidaya ikan di lahan sawah (mina padi) atau pada kawasan hutan (mina silva). Permasalahan kemampuan

teknis dan finansial untuk budidaya ikan ini dapat diminimalisir bagi masyarakat Kawasan Pongkor, dengan adanya penyuluh perikanan Pemda serta dukungan dari PT. ANTAM. Dengan ditetapkannya Kabupaten Bogor sebagai kawasan minapolitan budidaya ikan, maka pengembangan produksi perikanan budidaya di Kecamatan Nanggung dapat menjadi bagian integral dari program minapolitan tersebut.

Namun yang menjadi kendala terbesar adalah persepsi dan motivasi masyarakat. Jika masyarakat masih menganggap sungai dan lingkungan perairan lainnya sebagai tong sampah besar dan tidak peduli akan dampaknya terhadap masyarakat, maka aktivitas pencemaran akan terus berlangsung di Kawasan Pongkor ini. Masyarakat akan tetap dihantui oleh resiko pencemaran logam berat. Pemanfaatan tailing sebagai urukan dan timbunan tanpa perlakuan sebelumnya, penggalian dan pengerukan maupun perubahan peruntukan lahan, akan berpotensi melepaskan residu logam berat di dalam tanah tersebut sehingga tersedia sebagai kontaminan. Aktivitas gelundungan dengan kolam penampungan limbah dan perlakuan sederhana akan sangat membantu dalam proses reduksi resiko pencemaran terhadap lingkungan perairan dan biota di dalamnya, seperti yang ditemukan di lokasi kolam B di Desa Cisarua.

Demikian pula persepsi terhadap usaha perikanan sebagai mata pencaharian alternatif, belum menyebar di kalangan masyarakat Pongkor. Pada beberapa tempat terdapat kolam ikan dengan konstruksi yang bagus dan luas, namun budidayanya masih bersifat hobi atau hanya kolam penampungan saja. Hanya terdapat beberapa orang saja yang serius menjalankan usaha perikanan sebagai mata pencaharian alternatif dengan hasil yang bagus. Namun sayangnya kisah sukses mereka, antara lain Pak Slamet di Desa Kalong Liud dan Pak Haji Marta di Cisarua, tidak mampu menarik minat warga sekitarnya untuk ikut berkecimpung di usaha ini. Ini tidak terlepas dari persepsi masyarakat yang masih menganggap usaha perikanan adalah usaha yang sulit dan butuh keahlian dan modal yang besar.

Untuk itu dibutuhkan terobosan baru untuk mengubah persepsi tersebut, dengan cara meningkatkan sosialisasi tentang usaha perikanan budidaya ini. Salah satunya adalah dengan mendirikan sekolah lapang atau demonstration

Kabupaten Bogor, antara lain Kampus IPB, sentra usaha lele di Parung, ataupun di Kecamatan tetangganya yaitu Leuwiliang, Pamijahan, dan Ciampea. Kegiatan ini semestinya dapat disponsori oleh PT. ANTAM UPBE Pongkor yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap pengembangan masyarakat dan wilayah Kecamatan Nanggung, mulai dari proses pra produksi hingga pasca produksi. Untuk itu diperlukan peningkatan dan persamaan persepsi antara masyarakat, PT. ANTAM, pejabat Pemda Kecamatan Nanggung dan Kabupaten Bogor.