• Tidak ada hasil yang ditemukan

Histopathological condition of reared carp fishes in Hg and Se polluted environment at Pongkor Area Bogor and the strategy to manage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Histopathological condition of reared carp fishes in Hg and Se polluted environment at Pongkor Area Bogor and the strategy to manage"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

SELENIUM DI KAWASAN PONGKOR BOGOR DAN

STRATEGI PENGELOLAANNYA

M. DARWIN SYAH PUTRA

C251100041

(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis Kondisi HistopatologiIkan Mas Budidaya pada Lingkungan yang Tercemar Merkuri dan Selenium di Kawasan

Pongkor Bogor dan Strategi Pengelolaannya adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2013

M. Darwin Syah Putra

(3)

Hg and Se polluted environment at Pongkor Area Bogor and the strategy to

manage. Under direction of ETTY RIANI and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.

Mercury emissions from upstream gold mining and processing areas were

found in high levels in waters, sediments, agricultural products, and fishes in Pongkor area led to conduct a study on reared carp fishes in same area from

histopathological view. Selenium effect as antagonist of mercury, has never been studied before in this area. The study presents the total Hg and Se amount in

water, sediments, and fish organs (gill, liver, kidney, intestine, spleen, and muscle), histopathology finding, and enviromental parameters that could

influence the fish condition. Mercury and selenium were analyzed using acid digestion followed by determination of total mercury by atomic absorption

spectrophotometry. Routine histopathological procedure was use after paraffin embedding and hematoxylin-eosin (HE) staining. The mercury concentrations in

waters and organs was undetected, but there hundreds fold above the maximum limited permitted by Canadian Environment Quality Guidelines were detected in sediments. Tens fold selenium concentrations above the threshold level

proposed by Lemly (2002) were also observed in sediments. In tissue, Se concentrations also reached tens fold above the threshold proposed by

DeForrest et al. (1999). However, these higher concentration of fishes tissues could be worthwhile to metabolisms of fishes and people as antagonistic role of

Se to Hg and either heavy metals found in this area. The histopathological changes that found within were degenerations and, necrosis, blood circulation

alterations, and some parasites infections. This conditions could influenced by some environmental factors such as sediment type, hardness and alkalinity,

water resources, leaching and flushing, and interaction with the other metals. Beside the good aquaculture practices, the strategy of management that could

(4)

Lingkungan yang Tercemar Merkuri dan Selenium di Kawasan Pongkor Bogor

dan Strategi Pengelolaannya. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.

Kawasan Pongkor di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor merupakan salah satu area yang tercemar merkuri karena merupakan kawasan

pertambangan dan pengolahan emas, baik secara profesional oleh PT. Aneka Tambang Tbk dan pertambangan rakyat tanpa izin (gurandil). Air dan lahan yang

tercemar ini dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup sehari-hari, seperti MCK, air minum, pertanian, perikanan, dan sebagainya., menyebabkan populasi

ikan di alam nyaris punah. Kebutuhan ikan konsumsi masyarakat, terutama ikan mas (Cyprinus carpio L), sebagian besar dipasok dari luar kecamatan dan sebagian kecil lagi berasal dari kolam budidaya masyarakat setempat.

Konsentrasi merkuri dalam air dan sedimen di lingkungan perairan ditemukan jauh di atas baku mutu kualitas air berdasarkan PP. No 82 Tahun

2001, yang berdampak perubahan histologi hati, ginjal, dan insang ikan liar di sungai, dan ikan yang dibudidayakan di kolam. Hal ini menyebabkan ikan dan

organisme hewan air lainnya pada Sungai Cikaniki dan aliran airnya memiliki toksisitas merkuri yang berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya.

Toksisitas dan bioavailibilitas merkuri (Hg) dapat berkurang ataupun dihambat oleh selenium (Se) yang bersifat antagonistik dengan merkuri dan

beberapa logam lainnya. Selenium dapat berasal dari alam maupun antropogenik seperti penambangan emas dan batubara dan limbah rumah tangga lainnya

sehingga akhirnya masuk ke dalam perairan. Selenium merupakan mikronutrien esensial bagi metabolisme tubuh dan bersifat antioksidan, namun jika dalam

konsentrasi yang tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan gangguan pada metabolisme individu dan populasi ikan. Namun sejauh ini belum ada penelitian tentang selenium di Kawasan Pongkor dan kaitannya dengan

pencemaran lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kadar merkuri dan selenium dalam

air kolam, sedimen, organ tubuh (insang, ginjal, limpa, hati, usus) dan daging ikan mas dari kolam budidaya dan dibandingkan dengan nilai ambang batas

(5)

sungai dan sumber pencemaran terhadap akumulasi merkuri dan selenium pada

air, sedimen, dan ikan dari tiga kolam ikan di tiga desa yang berbeda.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Juni 2012 di tiga kolam ikan

budidaya dengan karakteristik lingkungan yang berbeda, pada tiga desa di Kawasan Pongkor Kecamatan Nanggung Bogor. Pengambilan sampel dan analisis konsentrasi Hg dan Se pada air, sedimen, dan organ dilakukan dengan

sesuai SNI, APHA, dan AOAC dengan menggunakan alat SSA. Analisis histopatologinya menggunakan metode rutin dengan paraffin dan pewarnaan

hematoxylin dan eosin.

Kadar Hg dan Se pada air di ketiga kolam sampel masih berada di bawah

nilai ambang batas berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001 dan US EPA. Pada sedimen, kadar Hg ratusan kali lipat di atas nilai ambang batas dari Canadian Environmental Quality Guidelines (2002), dengan kadar tertinggi ditemukan pada kolam di Malasari. Kadar Se juga puluhan kali lipat di atas nilai ambang

batas dari Lemly (2002), dengan kolam di Cisarua yang tertinggi. Pada organ ikan, kadar Hg tidak terdeteksi pada semua sampel, dan kadar Se secara

keseluruhan ditemukan lebih tinggi pada limpa dan daging ikan. Secara keseluruhan, ikan dari kolam di Kalong Liud memiliki kadar Se paling tinggi pada berbagai organ target. Kandungan Se yang tinggi pada ikan dan lingkungan

dapat bermanfaat bagi biota dan masyarakat Pongkor terkait sifat antagonisnya terhadap logam berat.

Berdasarkan analisis histopatologi terdapat lesi pada semua organ target dalam bentuk nekrosis, degenerasi, gangguan sirkulasi darah, kemunculan

MMC, serta infeksi parasit dengan tingkatan yang bervariasi. Berbagai lesi ini sebagian identik dengan gejala selenosis pada ikan seperti yang ditemukan pada

kasus Danau Belews Amerika Serikat. Bervariasinya tingkatan lesi yang ditemukan pada ikan mas di Kawasan Pongkor ini terkait dengan daya resistensi

ikan mas terhadap pencemaran dan perubahan kualitas air.

(6)

berbeda di Kawasan Pongkor Nanggung masih dapat menunjang pertumbuhan

ikan mas budidaya dan reduksi toksisitas logam.

Strategi pengelolaan lingkungan perairan dan peningkatan usaha perikanan

di Kawasan Pongkor Nanggung dapat dilakukan melalui aplikasi cara budidaya ikan yang baik (perawatan kolam, tepat pakan, benih yang berkualitas), tandonisasi, modifikasi konstruksi kolam, remediasi secara biologi fisika kimiawi

sederhana, pemilihan jenis ikan yang tepat, mina padi dan mina silva, dan peningkatan persepsi masyarakat dan pihak terkait terhadap perikanan dan

pencemaran.

(7)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

SELENIUM DI KAWASAN PONGKOR BOGOR DAN

STRATEGI PENGELOLAANNYA

M. DARWIN SYAH PUTRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Nama : M. Darwin Syah Putra

NIM : C251100041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD.APVet Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Perairan

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 ini adalah pengelolaan

lingkungan perairan terkait dengan patologi ikan akibat logam berat Hg dan Se, dengan judul kondisi histopatologi ikan mas budidaya pada lingkungan yang

tercemar merkuri dan selenium di Kawasan Pongkor Bogor dan strategi pengelolaannya.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Etty Riani, MS dan Ibu drh. Dewi Ratih

Agungpriyono,PhD.APvet selaku pembimbing atas perhatian dan pengertiannya yang luar biasa selama ini. Demikian juga kepada Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, MSc selaku penguji luar komisi sekaligus Ketua Departemen Manajemen

Sumber Daya Perairan (MSP), Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan (SDP) beserta segenap

dosen dan staf keluarga besar Departemen MSP dan prodi SDP atas dukungan ilmu dan administrasinya.

Terima kasih dan penghargaan yang tak terkira penulis haturkan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) dan Kepala

Pusat Pendidikan Aparatur KKP RI atas beasiswa tugas belajarnya. Demikian juga kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengembangan Mutu dan Keamanan

Hasil Perikanan (BKIPM) dan segenap stafnya serta Kepala Stasiun Karantina Ikan dan Pengembangan Mutu (SKIPM) Kls I Aceh dan seluruh staf atas izin dan dukungannya.

Penulis juga berterima kasih kepada segenap staf Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, Departemen MSP FPIK IPB; Laboratorium

Histopatologi, Departemen KRP FKH IPB; dan Pemda Kabupaten Bogor atas dukungan dan kerjasamanya selama penelitian. Demikian juga kepada Bapak

H.Enday di Desa Malasari, Bapak H. Wawa di Desa Cisarua, dan Bapak Slamet di Desa Kalong Liud Nanggung atas bantuan dan kerjasamanya di lapangan.

(12)

kasih dan hormat penulis untuk abang dan kakak tercinta (Bang Anis sekeluarga,

Kak Neta sekeluarga, Kak Neti sekeluarga, serta Bang Maman dan Bang Iyan) untuk dukungan moril maupun materilnya. Segenap cinta dan terima kasih

penulis kepada istri tercinta Dian Kusumawardani dan anak-anak tersayang (Athira Rizki Darwin dan Althaf Raditya Syah Putra) untuk pengorbanan, pengertian, dan dukungannya selama mendampingi di Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat walaupun belum sempurna,

Bogor, Maret 2013

(13)

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada 23 Januari 1978 dari pasangan

Darmi M Mukti dan Nyak Tjut. Penulis merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara. Masa kecil dan sekolah mulai TK sampai SMA penulis dihabiskan di

Kota Banda Aceh.

Setelah menamatkan pendidikan di SMAN 5 Banda Aceh tahun 1996,

pada tahun itu juga penulis masuk kuliah melalui jalur USMI di Institut Pertanian Bogor, pada Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. Selama masa kuliah, penulis aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (HIMASEPA), BEM FPIK, BEM IPB, Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI),

Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), dan Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) Bogor. Penulis juga aktif menjadi asisten pada Mata Kuliah Ekologi

Perairan, Sosiologi Umum, dan Sosiologi Perikanan. Setelah menyelesaikan studi S1 pada Februari 2002, penulis sempat aktif menjadi Pengurus Pusat

Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI).

Setelah lulus sarjana pada tahun 2002 penulis bekerja di perusahaan

swasta di bidang penangkapan tuna dan pabrik es di Aceh Besar. Kemudian mengikuti tes pegawai di Departemen Kelautan dan Perikanan lalu diangkat jadi

CPNS terhitung Desember 2003. Penulis ditempatkan sebagai pelaksana di Stasiun Karantina Ikan Kelas II Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, kini berganti

nama menjadi Stasiun Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (SKIPM) Kelas I Aceh, sampai saat ini.

Pada tahun 2007-2009, penulis bekerja sebagai Konsultan Nasional Perikanan pada UN-FAO di Aceh dalam proyek pemulihan mata pencaharian masyarakat Aceh pasca konflik dan tsunami. Penulis juga mengajar di Fakultas

Perikanan Universitas Abulyatama Aceh Besar dengan mata kuliah Avertebrata Air dan Mikrobiologi Hasil Perikanan.

Bulan Agustus 2010, penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa tugas belajar dari Pusat Pendidikan Aparatur Badan Pengembangan Sumber

(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Kerangka Pemikiran ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pencemaran Perairan dan Bahan Pencemarnya ... 7

2.2 Merkuri dan Selenium ... 9

2.2.1 Sumber dan Transportasi di Lingkungan … ... 9

2.2.2 Sifat Merkuri dan Selenium ... 10

2.2.3 Toksisitas Merkuri dan Selenium terhadap Organisme ... 12

2.3 Organ Target Toksikan ... 15

2.3.1 Insang ... 15

2.3.2 Hati ... 18

2.3.3 Ginjal ... 20

2.3.4 Limpa ... 22

2.3.5 Usus ... 23

2.3.6 Otot Daging ... 24

2.4 Faktor Lingkungan ... 25

2.5 Histopatologi ... 26

2.6 Ikan Mas (Cyprinus carpio L) ... 27

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 28

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3.2 Bahan dan Alat ... 29

3.3 Pengumpulan Data ... 30

(15)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Kondisi Umum Kecamatan Nanggung ... 34

4.2 Pencemaran dan Kualitas Lingkungan Kec. Nanggung ... 38

4.3 Karakteristik Lingkungan Kolam Sampel ... 43

4.4 Kondisi Faktor Fisika Kimia Lingkungan Kolam ... 47

4.5 Konsentrasi Logam Se dan Hg pada Air, Sedimen, dan Organ Ikan ………. ... 56

4.5.1 Konsentrasi Se dan Hg pada Air dan Sedimen ... 57

4.5.2 Konsentrasi Se dan Hg pada Organ Ikan ………...66

4.6 Perubahan Histopatologis Organ Ikan ……… ... 80

4.6.1 Insang ... 80

4.6.2 Hati ... 89

4.6.3 Ginjal ... 94

4.6.4 Usus ... 99

4.6.5 Limpa ………. ... 102

4.6.6 Otot Daging ………..106

4.7 Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perairan di Kawasan Pongkor ... ... 110

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 117

5.1 Simpulan...………... ... 117

5.2 Saran……… ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(16)

1 Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme anggota jala makanan

di ekosistem perairan ……….. 10

2 Klasifikasi lesi insang dan tahap kerusakannya... 17

3 Biomarker histopatologi hati dan alat deteksinya ... 20

4 Lokasi dan karakteristik kolam sampel ... 28

5 Alat dan bahan pengambilan sampel dan uji parameter... 29

6 Produksi perikanan Kecamatan Nanggung tahun 2010-2011 ... 36

7 Beberapa penelitian terkait pencemaran lingkungan di Kec. Nanggung ... 39

8 Karakteristik lingkungan kolam ikan mas sampel ... 44

9 Hasil uji parameter fisika kimia lingkungan kolam sampel ... 47

10 Pengaruh nilai padatan tersuspensi total (TSS) terhadap kepentingan perikanan ... 51

11 Kandungan logam Se dan Hg pada sampel air, sedimen, dan organ ikan .... 57

12 Estimasi aliran Hg di lingkungan ... 58

13 Konsentrasi Se dan Hg di beberapa sampel tanah di Kawasan Pongkor ... 59

14 Nilai FBK Se antara organ dan sedimen di kolam A ... 68

15 Nilai FBK Se antara organ dan sedimen di kolam B ... 68

16 Nilai FBK Se antara organ dan sedimen di kolam C ... 68

17 Rataan kadar Se jaringan tikus yang mendapat sumber Se berbeda ... 73

18 Perubahan histopatologi pada insang ikan sampel ... 81

19 Perubahan histopatologi pada hati ikan mas sampel ... 90

20 Perubahan histopatologi pada ginjal ikan mas sampel ... 96

21 Perubahan histopatologi pada usus ikan mas sampel... .. 100

22 Perubahan histopatologi pada limpa ikan mas sampel………...103

(17)

1 Diagram kerangka pemikiran ... 6

2 Cara kerja spektrofotometer serapan atom (SSA) ... 32

3 Proses pembuatan preparat histologi ... 32

4 Proses pengolahan bijih emas oleh gurandil di Pongkor ... 40

5 Kadar Hg dan Se pada organ tubuh ikan mas sampel ... 66

6 Lesi histopatologi insang (hiperplasia, fusi lamela,dan clubbing) ... 83

7 Lesi histopatologi insang (kongesti, teleangiektasis, dan hemoragi) ... 85

8 Lesi histopatologi insang (edema, deskuamasi epitel, degenerasi hidrofik) ... 86

9 Lesi histopatologi parasit dan eksudat fibrin pada insang ikan mas ... 89

10 Lesi histopatologi hati ikan (piknosis, degenerasi hidrofik, degenerasi lemak, kemunculan MMC) ... 92

11 Lesi histopatologi ginjal ikan ( degenerasi hidrofik, degenerasi hialin, degenerasi lemak, edema, kongesti, hemoragi, atropi glomerulus) ... 97

12 Lesi histopatologi pada usus ikan (proliferasi sel goblet, infiltrasi sel radang, edema mukosa, nekrosa sel epitel vili) ... ..101

13 Ukuran lesi histopatologi MMC limpa ikan mas………..103

14 Lesi histopatologi otot daging ikan mas………...108

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produksi ikan konsumsi per komoditas Kabupaten Bogor tahun 2011 ... 132

2 Hasil analisa kualitas air Sungai Cikaniki tahun 2009-2011 dari Badan Lingkungan Hidup Kab. Bogor ... 127

(18)
(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar

Belakang

Merkuri (Hg) dan selenium (Se) adalah logam berat yang memiliki

toksisitas tinggi terhadap makhluk hidup apabila melebihi ambang batas dengan menyerang bagian vital organisme, terutama jaringan syaraf, hati, dan ginjal

akibat terakumulasi melalui pernafasan, makanan, ataupun terpajan secara langsung. Merkuri dan Selenium terbentuk secara alami dan tersebar di

lingkungan baik secara proses alami (pelapukan batuan, erosi tanah, hujan) maupun aktivitas manusia (antara lain pembakaran hutan, penggalian, penambangan, pembakaran bahan bakar fosil dan sampah padat, fungisida,

serta proses industri menggunakan merkuri atau amalgamasi) (Boening 2000; Lemly 2002; Eisler 2006).

Kawasan Pongkor di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor merupakan salah satu area yang tercemar merkuri karena merupakan kawasan

pertambangan dan pengolahan emas, baik secara profesional oleh PT. Aneka Tambang Tbk dan pertambangan rakyat tanpa izin (gurandil). Gurandil mengolah

bijih emasnya (gelundungan) menggunakan metode amalgamasi (menggunakan merkuri) pada aliran Sungai Cikaniki dan anak sungainya maupun di kawasan

sekitar pemukiman penduduk yang tersebar di beberapa desa antara lain Desa Malasari, Cisarua, Curug Bitung dan Bantar Karet.

Aliran sungai dan air tanah yang tercemar merkuri ini lalu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sarana mandi, cuci, dan kakus serta buangan sampah

domestik serta untuk minum. Selain itu juga dipakai untuk sumber pengairan pertanian dan kolam ikan budidaya dan kolam pemancingan milik masyarakat.

Akibat pencemaran tersebut saat ini sangat sulit untuk menemukan ikan

di aliran Sungai Cikaniki. Ikan konsumsi untuk kebutuhan masyarakat sebagian kecil dihasilkan dari kolam budidaya dan kolam pemancingan yang ada di

kawasan Pongkor Nanggung, sebagian besar lainnya didatangkan dari luar Kecamatan Nanggung seperti Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Ikan mas

(Cyprinus carpio) merupakan salah satu jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi oleh masyarakat di kawasan ini.

(20)

oleh Sungai Cikaniki dan banyak terdapat pengolahan emas tradisional, serta Desa Kalong Liud yang merupakan daerah aliran Sungai Cikaniki bagian bawah

dan jauh dari pengolahan emas tradisional yang menjadi sumber pencemaran merkuri.

Konsentrasi merkuri dalam air dan sedimen di Sungai Cikaniki ditemukan jauh di atas baku mutu kualitas air berdasarkan PP. No 82 Tahun 2001, berkisar

antara 0,010-0,300 ppm dari baku mutu merkuri dalam air sebesar 0,002 ppm (Nasution 2004; Syawal 2005; Paryono 2005). Paryono (2005) mengungkapkan bahwa secara mikroskopis terjadi kerusakan pada hati, ginjal, dan insang ikan

baung di Sungai Cikaniki akibat adanya merkuri yang terakumulasi dengan kandungan merkuri antara 0,070-0,160 mg/L pada organ-organ tersebut. Hasil

analisa kadar merkuri pada organ, sedimen, dan air menunjukkan hasil semakin jauh dari sumber pencemar maka kadar Hg rata-rata relatif turun kecuali pada

insang.

Kamaludin (2006) juga mengungkapkan bahwa ikan mas pada kolam

budidaya di Desa Cisarua mengandung merkuri pada kulit, daging, dan jeroannya hingga 0,4648 ppm. Konsentrasi merkuri yang di atas ambang batas

ini menyebabkan ikan dan organisme hewan air lainnya pada Sungai Cikaniki memiliki toksisitas merkuri yang berbahaya bagi manusia yang

mengkonsumsinya.

Toksisitas merkuri (Hg) dapat berkurang ataupun dihambat oleh selenium (Se) melalui detoksifikasi oleh sifatnya yang antagonistik dengan merkuri (Iwata

et al. 1982; Ping et al. 1986; Damhoeri 1986; Palmisano et al. 1995; US EPA 2001). Selenium (Se) adalah mikronutrien esensial bagi manusia dan hewan,

namun juga dapat menjadi zat racun apabila jumlahnya yang masuk ke dalam tubuh melebihi ambang batas. Selenium dapat dihasilkan dari kegiatan

antropogenik seperti penambangan emas dan batubara serta limbah rumah tangga lainnya sehingga akhirnya masuk ke dalam perairan (Sorensen 1991;

May et al. 2008). Selenium berinteraksi secara kompleks dengan merkuri, sehingga sulit menginterpretasikan kehadiran mereka secara bebas satu dan

lainnya (Lochet et al. 2009).

Penelitian ini akan mencoba melihat apakah ikan mas yang berasal dari

(21)

kerusakan jaringan ikan mas akibat kedua logam berat tersebut melalui akumulasi makanan langsung maupun metabolisme lainnya (bioakumulasi) dan

akumulasi sepanjang proses rantai makanan atau level tropiknya (biomagnifikasi). Ikan mas yang dibudidayakan di kolam ini diasumsikan

terkontaminasi oleh merkuri dan selenium, maka masyarakat juga akan mengakumulasi logam merkuri dan selenium akibat mengkonsumsi ikan mas

hasil budidaya tersebut sehingga akan berbahaya bagi kesehatan mereka jika nilainya di atas nilai ambang batas yang dibolehkan.

1.2. Perumusan

Masalah

Siklus merkuri dan selenium di alam sangat kompleks. Eisler (2006)

menyebutkan bahwa ketika merkuri memasuki perairan, proses biologi akan mengubah merkuri menjadi metil merkuri. Metil merkuri ini bersifat sangat toksik

dan bisa terakumulasi dalam tubuh organisme. Ikan dapat terpajan metil merkuri melalui berbagai cara, antara lain melalui rantai makanan dan pajanan langsung

lewat organ tubuh dari perairan.

Boening (2000) menjelaskan bahwa metil merkuri di air dan sedimen

akan terserap hewan dan tumbuhan kecil seperti plankton, plankton dimakan oleh juvenile ikan dalam jumlah yang banyak. Kemudian ikan yang bertubuh besar memangsa ikan yang berukuran lebih kecil. Ikan yang besar ini lalu dikonsumsi oleh manusia atau predator lainnya. Di dalam tubuh ikan akan terjadi

akumulasi merkuri karena proses penyerapannya lebih cepat daripada pembuangan.

Kawasan Pongkor dan sekitarnya diketahui tercemar oleh merkuri akibat

penambangan dan pengolahan bijih emas, termasuk aliran Sungai Cikaniki, anak sungainya, dan air tanah. Aliran sungai ini lalu dimanfaatkan oleh masyarakat

sekitar untuk berbagai keperluan sehari-hari dan sebagai sumber pengairan bagi pertanian (sawah dan kebun) serta untuk kolam ikan budidaya. Beberapa

penelitian sebelumnya mengungkapkan hasil pertanian dan perikanan juga mengandung merkuri akibat memanfaatkan air Sungai Cikaniki dan air tanah

tersebut (Damayanti 2004; Felanisa 2004; Istikasari 2004; Sumartatik 2004; Kamaludin 2006).

Limbah merkuri yang masuk ke perairan mengakibatkan perubahan kualitas perairan dan mengganggu kehidupan organisme perairan (Heath 1987;

(22)

mengakumulasi toksikan tersebut, jika sudah konsentrasinya sudah melebihi ambang maka mengakibatkan kerusakan organ, menghambat pertumbuhan,

bahkan dapat menyebabkan kematian bagi organisme tersebut (Setijaningsih 2009; Saputra 2009; Yuniar 2009; Nawaz et al. 2010).

Selenium yang secara alami muncul akibat penggalian bebatuan dan tanah serta pembakaran bahan bakar fosil, belum pernah dibahas

keberadaannya di Kawasan Pongkor Nanggung ini. Walaupun merupakan mikronutrien esensial bagi organisme, namun jika dalam konsentrasi yang tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan menyebabkan terjadinya

gangguan pada metabolisme individu dan populasi ikan juga (Lemly 2002).

Organ yang pertama kali terkena dampak adalah insang, karena

merupakan organ pernafasan yang berinteraksi langsung dengan air untuk mendapatkan oksigen (Heath 1987). Organ ginjal juga memberikan reaksi

terhadap masuknya bahan pencemar ke dalam tubuh karena berfungsi menetralisir racun (bahan pencemar) yang telah masuk ke dalam tubuh. Hati

yang berfungsi sebagai filter dan motor metabolisme bagi ikan juga sangat terpengaruh oleh kehadiran bahan pencemar seperti merkuri dan selenium

(Roesijadi dan Robinson 1993). Limpa yang berfungsi sebagai organ

haemopoietic utama bersama ginjal dan penangkap antigen (Kurtovic et al. 2008) juga mengalami gangguan akibat merkuri (Carvalho et al. 2009). Makanan yang terkontaminasi oleh merkuri akan terakumulasi di usus yang berfungsi untuk menyerap makanan sebelum ditransfer ke hati (Saiki et al. 2010). Jika organ-organ di atas banyak mengandung merkuri, maka akhirnya akan terakumulasi pada daging ikan sebagai hasil metabolismenya (Short et al. 2008; Arantes et al.

2009).

Tingkat toksisitas merkuri pada ikan yang terpapar akan berkurang

karena adanya unsur selenium (Se) sebagai antagonistik dari merkuri pada perairan yang sama. Namun selenium juga dapat berbahaya bagi hewan dan

manusia jika konsentrasinya tinggi di perairan dan pada organ (Lochet et al.

2009).

Gangguan jaringan organ-organ di atas secara mikroskopis akibat terpapar merkuri dan selenium akan dianalisis melalui teknik histopatologi.

(23)

1.3. Tujuan

Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menguji kadar merkuri dan selenium dalam air kolam, sedimen, organ

tubuh (insang, ginjal, limpa, hati, usus) dan daging ikan mas dari kolam budidaya dan dibandingkan dengan nilai ambang batas yang

diperbolehkan berdasarkan PP RI No 82 Thn 2001 dan yang lainnya. 2. Mengkaji perubahan mikro anatomi organ tubuh (insang, hati, limpa,

usus, ginjal dan daging) ikan mas akibat merkuri dan selenium melalui analisis histopatologi.

3. Menganalisis pengaruh karakteristik lingkungan kolam dan jauhnya jarak dari sungai dan sumber pencemaran terhadap akumulasi merkuri dan selenium pada air, sedimen, dan ikan dari tiga kolam ikan di tiga desa

yang berbeda.

4. Menganalisis strategi pengelolaan sumberdaya perairan di Kawasan

Pongkor yang terkena dampak pencemaran lingkungan.

1.4. Hipotesis

Pada penelitian ini hipotesis yang akan diuji adalah :

1. Masih terdapat kadar merkuri yang cukup tinggi di lingkungan perairan

kolam ikan budidaya (air dan sedimen) dan organ ikan akibat menggunakan air Sungai Cikaniki dan atau anak sungainya serta air

tanah yang tercemar, dan terdapat unsur selenium sebagai antagonis dari merkuri di lingkungan tersebut.

2. Keberadaan merkuri dan selenium mengakibatkan perubahan mikro anatomi pada organ (insang, ginjal, usus, hati, limpa, daging) ikan mas. 3. Faktor biogeofisika kimia lingkungan seperti jarak dengan sumber

pencemaran, kondisi lingkungan sekitar, letak kolam, dan lain-lain mempengaruhi konsentrasi dan toksisitas merkuri dan selenium di kolam

ikan.

4. Pencemaran ini dapat berdampak pada kehidupan sumberdaya perairan

(24)

1.5. Kerangka

Pemikiran

Dengan mengetahui sumber pencemar dan alirannya serta dampak yang ditimbulkan oleh bahan pencemar dari berbagai aktivitas manusia yang terkait

terhadap organisme perairan dan kualitas perairan akan memberikan suatu gambaran pengelolaan ekosistem perairan secara baik demi keberlanjutannya di

masa depan. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

 

Kondisi Histopatologis Organ Ikan (Insang, Usus, Ginjal, Limpa, Hati, Daging)

Ikan

Bioakumulasi & Biomagnifikasi PadaOrgan Ikan

Sedimen Limbah Merkuri & Selenium

Pengolahan Emas

Pengaruh Terhadap Fisiologis Ikan

Dampak Terhadap Konsumen Manusia  Pencemaran Lingkungan

(air,tanah,udara)

Kolam Budidaya Ikan

Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Perairan dan Bahan Pencemarnya

Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah faktor biofisika-kimia yang

mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut

Moore (1991) perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan

organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Sedangkan menurut Boyd

(1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan

untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya

dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu.

Definisi pencemaran air menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990

adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau

komponen lainnya ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan

manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi

sesuai peruntukkannya.

Effendi (2003) menjelaskan bahwa sumber pencemar berdasarkan

lokasinya dapat berupa suatu lokasi tertentu (point source) seperti knalpot mobil,

cerobong asap pabrik, dan saluran limbah industri; dan tak tentu/tersebar (non

point /diffuse source) seperti limpasan (run-off) daerah pertanian, daerah pemukiman dan daerah perkotaan.

Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan

menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah

adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara

alami, seperti akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, abrasi pantai,

erosi dan fenomena alam lainnya. Polutan yang memasuki suatu ekosistem

secara alamiah sukar dikendalikan. Polutan antropogenik adalah polutan yang

masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah

tangga), kegiatan urban (perkotaan), kegiatan industri maupun kegiatan

pertambangan dan pertanian termasuk perikanan. Intensitas polutan

antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang

menyebabkan timbulnya polutan tersebut (Effendi 2003).

Berdasarkan sifat toksiknya, polutan/pencemar dibedakan menjadi dua,

(26)

1987). Polutan tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami.

Sifat destruktif pencemar ini muncul apabila berada dalam jumlah yang

berlebihan sehingga mengganggu kesetimbangan ekosistem melalui perubahan

proses fisika kimia perairan. Polutan tak toksik ini terdiri dari bahan-bahan

tersuspensi dan nutrien. Nutrien yang berlebih ini menyebabkan pengkayaan

unsur hara yang tinggi sehingga terjadi komunitas biotik yang berlebih

(blooming).

Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan

kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku,

fisiologi maupun karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan

toksik ini biasanya berupa bahan-bahan yang bukan bahan alami, misalnya

pestisida, detergen, dan bahan buatan lainnya. Polutan berupa bahan yang

bukan alami ini dikenal dengan istilah xenobiotik (pollutan artificial), yaitu polutan

yang diproduksi oleh manusia (man-made substances).

Mason (1993) mengelompokkan pencemar toksik menjadi lima, yaitu :1)

logam berat meliputi timbal, nikel, kadmium, zink, tembaga, dan merkuri; 2)

senyawa organik yang berasal dari kegiatan industri, pertanian dan domestik

meliputi pestisida, herbisida, surfaktan, hidrokarbon dan lain-lain; 3) gas,

misalnya klorin dan ammonia; 4) anion, misalnya sianida, fluorida, sulfida, dan

sulfat; 5) asam dan alkali.

Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam

dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya

dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam

jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini

adalah Zn, Cu, Se, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua

adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam

tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun,

seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Logam berat ini dapat menimbulkan efek

kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana logam berat tersebut

terikat dalam tubuh. Daya racun yang dimilikinya akan bekerja sebagai

penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Lebih

jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen,

teratogen atau karsinogen bagi manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit,

(27)

2.2. Merkuri dan Selenium

2.2.1 Sumber dan Transportasi di Lingkungan

Lebih dari dua dekade ini, merkuri (Hg) dan selenium (Se) telah

diidentifikasi sebagai salah satu kontaminan utama dalam sistem perairan.

Merkuri dan selenium terbentuk secara alami dan tersebar di lingkungan baik

secara proses alami maupun aktivitas manusia. Sumber alami dari merkuri dan

selenium berasal dari batuan, gunung berapi maupun hutan. Sumber utama

antropogeniknya yang mencemari perairan adalah : (1) tambang batu bara dan

hasil bakarannya, (2) tambang emas, perak, nikel, dan fosfat, (3) peleburan

logam dan industri, (4) pemukiman, (5) penyulingan, transportasi, dan

penggunaan minyak, (6) irigasi pertanian, (7) dan limbah pertanian dan

peternakan. Sumber tidak langsung merkuri dan selenium ke dalam air adalah

merkuri di udara, yang terdeposit melalui hujan atau proses langsung lainnya ke

tanah dan air permukaan. Merkuri dan selenium juga bisa berasal dari sedimen

jika terganggu (seperti banjir dan penggalian). Pembakaran sampah padat dan

penggunaan bahan bakar fosil merupakan sekitar 87 % dari emisi merkuri di

Amerika Serikat (Paasivirta 1991; Boening 2000; US EPA 2001; Lemly 2002;

Eisler 2006).

Selenium merupakan elemen esensial atau dibutuhkan oleh manusia dan

hewan dalam proses metabolismenya. Namun jika terdapat dalam konsentrasi

lebih dari yang dibutuhkan maka selenium dapat berdampak negatif bahkan bisa

mematikan. Kadar selenium pada kerak bumi sekitar 0,1 mg/kg. Sumber

alaminya di perairan adalah ferroslite (FeSe2) dan chalcopyrite. Kadar selenium

pada perairan tawar alami bervariasi antara <0,1 - 5,0 μg/L (Lemly 2002). Kadar

merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10-100 µg/L, sedangkan pada

perairan laut berkisar antara <10-30 µg/L (Moore 1991).

Merkuri dan selenium dapat terakumulasi sepanjang rantai makanan. Hal

ini dapat terjadi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi. Bioakumulasi

adalah peningkatan konsentrasi suatu zat sepanjang masa hidupnya, baik

melalui jalur makanan atau proses metabolisme lainnya. Biomagnifikasi adalah

akumulasi suatu zat sepanjang proses rantai makanan atau tingkat trofiknya

(trophic level). Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme angggota jala

(28)

Tabel 1 Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme anggota jala makanan di ekosistem perairan

Jenis Organisme Kadar Merkuri (µg/kg berat basah)

1. Sedimen 87 – 114

2. Fitoplankton 15

3. Tumbuhan tingkat tinggi 9

4. Zooplankton 13

5. Zoobenthos herbivora 77

6. Zoobenthos karnivora 83

7. Jenis ikan herbivora 332 – 500

8. Jenis ikan karnivora 604 – 1.510

9. Bebek/itik 240

10. Burung pemakan ikan 2.512 - 13.685

Sumber : Mason 1993.

Konsentrasi merkuri dan selenium dalam tubuh ikan predator lebih tinggi

dibandingkan dengan ikan pemakan dasar (US EPA 2001). Berdasarkan

kebiasaan makan fungsional biota air yang diamati di Sungai Cikaniki,

bioakumulasi merkuri pada perifiton adalah yang tertinggi yang diikuti selanjutnya

oleh kelompok scraper, collector filterer, collector gatherer, shredder dan terakhir

predator. Bioakumulasi merkuri pada biota perairan Sungai Cikaniki berkorelasi

dengan konsentrasi merkuri pada media lingkungannya (Yoga et al. 2009).

2.2.2 Sifat Merkuri dan Selenium

Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada dalam bentuk cairan

pada suhu dan tekanan normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan partikulat

dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik, merkuri berikatan

dengan sulfur. Merkuri dalam bentuk garam-garam ini, jika larut dalam air, akan

tersedia secara biologis dan dianggap beracun. Merkuri juga membentuk

senyawa logam organik, yang banyak digunakan dalam industri dan pertanian.

Merkuri elemental menimbulkan uap yang hanya sedikit larut dalam air, tetapi

bermasalah karena mudah bertransportasi di atmosfer (Boening 2000).

Para ahli tentang bahaya merkuri terhadap makhluk hidup sependapat

tentang enam hal. Pertama, merkuri dan senyawanya tidak diketahui fungsi

(29)

potensial berbahaya. Kedua, bentuk merkuri dengan daya racun yang relatif

rendah dapat diubah menjadi berdaya racun sangat tinggi melalui proses biologi

dan proses lainnya. Ketiga, metil merkuri dapat mengalami biokonsentrasi dan

biomagnifikasi pada organisme melalui rantai makanan, terkena merkuri secara

langsung bagi manusia dan tingkatan konsumsi trophic level yang lebih tinggi

lainnya. Keempat, merkuri adalah mutagen, teratogen, dan carcinogen, dan

menyebabkan embryocidal, cytochemical, dan efek histopatologi. Kelima, Kandungan merkuri tinggi biasanya ditemukan pada ikan dan satwa liar dari

lokasi yang memiliki siklus merkuri alami yang kompleks dan berdampak

terhadap manusia. Terakhir, penggunaan merkuri secara antropogenik harus

dibatasi karena perbedaan antara batas toleransi alami merkuri dengan dampak

berbahayanya di lingkungan sangat tipis (Eisler 2006).

Terjadinya proses akumulasi merkuri di dalam tubuh hewan air, karena

kecepatan penyerapan merkuri (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat

dibandingkan dengan proses ekresi, yaitu karena metil-merkuri memiliki paruh

waktu sampai beberapa ratus hari di tubuh hewan air, sehingga zat ini menjadi

terakumulasi dan konsentrasinya beribu kali lipat lebih besar dibanding air di

sekitarnya (Eisler 2006).

Senyawa-senyawa alkil merkuri lebih tahan urai daripada senyawa non

alkil atau merkuri anorganik, sehingga senyawa alkil merkuri lebih berbahaya

sebagai bahan pencemar. Metil merkuri, bentuk paling umum dari merkuri,

masuk dengan cepat ke dalam rantai makanan. Dalam sebagian besar ikan

dewasa, 90%-100% merkuri yang ada di dalam tubuhnya adalah metil merkuri

(Paasivirta 1991). Metil merkuri terutama terdapat di jaringan daging ikan karena

terikat dengan protein. Oleh karena merkuri terikat dengan protein di seluruh

jaringan ikan, termasuk otot, maka tidak ada metoda pemasakan atau

pengolahan ikan untuk mengurangi kadar merkuri di dalamnya (Boening 2000).

Karena air yang hilang akibat proses pemasakan, maka kadar merkuri dalam

ikan yang dimasak sebenarnya lebih tinggi daripada ikan segar yang belum

dimasak (US EPA 2001).

Senyawa merkuri bersifat sangat toksik bagi manusia dan hewan.

Garam-garam merkuri terserap dalam usus dan terakumulasi dalam ginjal dan hati. Metil

merkuri diangkut oleh sel darah merah dan dapat mengakibatkan kerusakan

pada otak. Ion metil merkuri lima puluh kali lebih toksik daripada garam-garam

(30)

yang cukup lama dalam tubuh manusia (Boening 2000; Eisler 2006).

Dibandingkan dengan merkuri anorganik, merkuri organik dapat diserap secara

sempurna, larut dalam bahan pelarut organik dan lemak, dapat melewati

membran biologi, dan lebih lambat diekskresikan (Sorensen 1991).

Selenium yang merupakan elemen mikro esensial bagi nutrisi hewan

diperlukan umumnya dalam kisaran 5 µg/kg (Ohlendorf 1996; Lemly 2002).

Seperti elemen esensial lainnya, tingkatan selenium dalam tubuh biasanya diatur

secara homeostatis. Jika masukan selenium melebihi kemampuan tubuh untuk

mengaturnya, maka kadar selenium akan meningkat tinggi. Interaksi antara

selenium dan elemen nutrisi lainnya dapat mempengaruhi metabolisme selenium

dan kesehatan tubuh hewan, seperti dengan sulfur, vitamin E, protein, dan

hidrokarbon dalam makanan (Dilaga 1992; Ohlendorf 1996).

Salah satu fungsi utama selenium adalah sebagai komponen dari enzim

glutationa peroksidase. Glutationa peroksidase membantu mencegah oksidasi

membran sel (Ohlendorf 1996). Kekurangan selenium mengakibatkan oksidasi

membran sel menghasilkan garis putih dan degenerasi pada otot yang sering

disebut penyakit otot putih (white muscle disease) atau myopathy (Ohlendorf

1996).

Selenium dan sulfur memiliki kesamaan pada kimia dan fisika dasarnya.

Selenium dapat menggantikan komposisi sulfur pada proses sintesa protein dan

struktur sel. Jika jumlah selenium berlimpah di perairan, maka selenium akan

menggantikan sulfur dalam sintesa protein. Hal ini menyebabkan terganggunya

proses sintesa protein sehingga menghasilkan molekul protein dan enzim yang

disfungsional, yang berdampak pada kerusakan biokimia selular normal (Lemly

2002).

2.2.3 Toksisitas Merkuri dan Selenium terhadap Organisme

Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh organisme melalui beberapa

jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit serta

sel mukus (Boening 2000; Eisler 2006). Di dalam tubuh hewan logam berat

diserap oleh darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian

didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi

biasanya dalam organ detoksifikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Akumulasi logam

(31)

air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktivitas fisiologis (Connel dan Miller

1995).

Kasus keracunan merkuri yang cukup terkenal adalah kasus yang terjadi

di Teluk Minamata, Jepang, pada tahun 1950-an. Industri kimia yang beroperasi

di sekitar Teluk Minamata membuang limbah yang mengandung merkuri ke

perairan teluk dan menyebabkan ibu-ibu yang mengkonsumsi makanan laut (sea

food) yang diperoleh dari Teluk Minamata melahirkan anak-anak dengan cacat bawaan. Korban yang meninggal sebanyak empat puluh tiga orang dari 111

kasus keracunan yang terjadi (Eisler 2006). Ikan-ikan yang mati di sekitar Teluk

Minamata mempunyai kadar metil merkuri sebesar 9 sampai 24 ppm. Di

Indonesia, kontaminasi serius juga pernah diukur di Sungai Surabaya pada

tahun 1996. Kejadian yang hampir serupa juga terjadi di Teluk Buyat Sulawesi

Utara.

Pengaruh dari toksisitas merkuri terhadap tubuh manusia antara lain :

kerusakan syaraf, termasuk menjadi pemarah, paralysis, kebutaan atau

gangguan jiwa, kerusakan kromosom dan cacat bayi dalam kandungan.

Gejala-gejala ringan akibat keracunan merkuri adalah depresi dan suka marah-marah

yang merupakan sifat dari penyakit kejiwaan, sakit kepala, sukar menelan,

penglihatan menjadi kabur, daya dengan menurun, merasa tebal di bagian kaki

dan tangannya, mulut terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak dan

disertai diare, lemah badan, dan cacat pada janin manusia (US EPA 2001).

Kadar merkuri yang tinggi akibat pencemaran antropogenik juga pernah

terjadi di Amerika Serikat dan Kanada, yaitu pada ikan yang menghuni danau

Saint Clair (Eisler 2006). Lebih dari 10.000 danau di Swedia telah ditutup untuk

penangkapan ikan akibat muatan merkuri yang berlebihan (Mitra 1986). Polusi

merkuri akibat pertambangan emas terjadi di Kanada, Amerika Serikat, Afrika,

Cina, Filipina, Siberia, Brasil dan negara Amerika Selatan lainnya (Sorensen

1991; Boening 2000; Yu 2005; Eisler 2006).

Kadar merkuri yang diperbolehkan di perairan tawar Kanada dan Uni

Eropa berturut-turut adalah 0,1 µg/L dan 0,2 µg/L, sedangkan kadar merkuri yang

diperbolehkan di perairan laut Uni Eropa tidak lebih dari 0,3 µg/L (Moore 1991).

Kadar merkuri pada air minum tidak boleh melebihi 0,002 µg/L (US EPA 2001).

Di Indonesia berdasarkan PP no 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian

(32)

dan untuk air minum adalah 0,001 mg/L, sedangkan untuk selenium adalah 0,05

mg/L.

Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan air akan merusak atau

memicu sistem enzimatik, yang berakibat dapat menimbulkan penurunan

kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang

tercemar tersebut. Organ ikan yang paling banyak mengakumulasi merkuri

adalah insang, ginjal, hati, saluran pencernaan dan otot (Eisler 2006).

Gangguan selenium pada biosintesa protein dapat memiliki beberapa

dampak. Paling banyak tercatat adalah teratogenesis reproduksi (Lemly 2002).

Selenium yang dikonsumsi tersimpan pada telur untuk kemudian dimanfaatkan

oleh larva setelah menetas. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya deformitas

(perubahan bentuk) pada organisme seperti ikan (Sorensen 1991; Lemly 2002)

dan burung pemangsa ikan (Ohlendorf 1996), baik pada jaringan keras maupun

lunak. Substitusi selenium terhadap sulfur juga dapat merusak formasi protein

pada juvenil dan ikan dewasa, sehingga menyebabkan berbagai gangguan

patologi pada organ dalam dan jaringan sebagai gejala selenosis kronis ( Lemly

2002).

Pada manusia, kekurangan selenium dapat menyebabkan gangguan

pada kesuburan akibat rendahnya kualitas sperma. Pada orang dewasa,

kekurangan selenium dapat menyebabkan terjadinya cardiomyopathy dan

hypothyroidisme akibat kurangnya produksi iodine. Kekurangan selenium juga menjadi penyebab utama timbulnya penyakit Keshan (Keshan disease) yang

mengakibatkan gangguan kardiovaskular terutama pada anak-anak dan

perempuan muda. Selain itu juga menyebabkan penyakit Kashin-Beck

(Kashin-Beck disease) yang mengakibatkan gangguan osteoarthropathy, terutama pada anak-anak, sehingga tumbuh kerdil. Hal yang lebih penting adalah mudahnya

terkena penyakit kanker akibat kurang antioksidan (Barceloux 1999).

Toksisitas akut selenium pada manusia ditandai dengan produksi liur

yang berlebihan (hypersalivation), emesis, dan nafas beraroma bawang putih akibat ekskresi uap metabolit selenium. Biasanya diikuti dengan gangguan

pencernaan (muntah dan diare), rambut rontok, gangguan syaraf (tidak bisa tidur,

kejang urat /spasms, tachycardia) dan mudah lelah. Keracunan selenium kronis

atau selenosis, diasosiasikan dengan perubahan pada rambut, gigi, dan kuku

yang mudah patah, ketombe yang meningkat, lesi kulit (erythema, vesiculation,

(33)

hypoaesthesia, acroparasthaesiae, kesakitan /pain, hyperreflexia, mudah marah, mati rasa/numbness, depresi, tremor, mudah lelah, paralysis, convulsion), dan

nafas beraroma bawang putih (Barceloux 1999).

2.3 Organ Target Toksikan 2.3.1 Insang

Perubahan fisika kimia lingkungan yang mendadak menyebabkan ikan

stress, antara lain seperti perubahan pH, suhu air, penanganan, penangkapan

atau juga oleh polusi air. Stres ini mempengaruhi kinerja insang dan

membahayakan kontrol homeostatis dari cairan tubuh (Lock et al. 1994).

Insang merupakan organ yang multifungsional bagi ikan yaitu respirasi,

regulasi ion, regulasi asam basa, ekskresi limbah nitrogen dengan luas mencapai

lebih dari 50% total permukaan tubuh ikan (Heath 1987; Wood 2001). Insang

menjadi titik lemah bagi tubuh ikan dalam menghadapi ancaman lingkungan luar

karena tidak memiliki mekanisme perlindungan seperti halnya kulit yang memiliki

lendir (mucus). Fungsinya yang menyerap toksikan air menyebabkan insang

mudah terkena dampak toksikan dengan konsekuensinya fungsi-fungsi penting

insang menjadi terganggu dan dapat membahayakan kondisi ikan (Heath 1987;

Wood 2001).

Insang terdiri dari lamela primer dan sekunder dengan jaringan epitel

yang menutupi permukaan lamela. Jaringan epitel ini tersusun dari empat atau

lima jenis sel, yaitu : pavement cells; chloride cells; accessory cells; mucous

cells; dan neuroepithelial cells. Sel klorida yang berfungsi sebagai transportasi ion dan oksigen menjadi target yang diserang oleh toksikan (Heath 1987; Wood

2001).

Sebagai respons terhadap efek toksikan, Mallatt (1985) mengidentifikasi

lesi pada insang yaitu antara lain : terangkatnya epitel penutup lamela sekunder

(pavement cells); meningkatnya jumlah ruang limfatik; perubahan pola aliran

darah; munculnya granulocyte pada epitel; dan hipertrofi dan hiperplasia epitel

termasuk sel mukus dan sel klorida. Hilangnya integritas struktur insang

berdampak pada turunnya konsentrasi elektrolit darah (sodium, klorida, dan

kalsium).

Toksikan juga dapat mempengaruhi permeabilitas insang sehingga

berdampak pada serapan dan buangan ion dan air. Selain itu, terjadi

(34)

atau meningkatkan kapasitas insang menyerap ion dari air sebagai dampak

adanya polutan. Efek toksikan terutama logam terhadap permeabilitas insang

dan peningkatan jumlah sel klorida terkait dengan pergeseran ion Ca2+ dari titik

stabilitas membran di insang. Semakin lama terkena polutan maka jumlah ion

Ca2+ akan berkurang. Pada konsentrasi kronis, ikan merespons gangguan

insangnya dengan meningkatkan respons hormonal oleh kelenjar hipofisa

dengan melepaskan kortisol. Kortisol berfungsi mengontrol sistem

kardiovaskular, keseimbangan ion dan air, mobilitas energi, immunosuppressan,

dan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Lock et al. 1994).

Senyawa-senyawa kimia selain masuk melalui saluran pencernaan, juga

bisa masuk melalui saluran pernafasan (insang). Senyawa kimia tersebut akan

masuk melalui insang yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air.

Setelah melewati insang, bahan-bahan kimia termasuk merkuri akan ikut ke

dalam sistem pernafasan sampai akhirnya akan menembus sel epitel endotelial

kapiler darah untuk masuk ke dalam darah. Selanjutnya akan terikut ke dalam

aliran darah dan akhirnya ikut dalam proses metabolisme (Connel dan Miller

1995).

Poleksic dan Tutundzic (1994) mengklasifikasi lesi insang ke dalam dua

kriteria (Tabel 2) :

(1) Berdasarkan jenis dan lokasi jaringan insang yang rusak. Terbagi dalam lima

kelompok : (a) Hipertrofi dan hiperplasia dari epitel insang dan

perubahannya yang terkait; (b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel

klorida; (c) Parasit insang; (d) Perubahan aliran darah; (e) Tahap terminal.

(2) Berdasarkan jangkauan perbaikan lesi. Terbagi tiga tahap : (I) Perubahan

yang tidak merusak jaringan insang; (II) Perubahan fungsi jaringan yang

terkait namun masih bisa diperbaiki jika lingkungan semakin baik; (III)

(35)

Tabel 2 Klasifikasi lesi insang dan tahap kerusakannya

Lesi Insang Tahap

(a) Hipertrofi dan hiperplasia epitel insang I

- Hipertrofi epitel saluran pernafasan I

- Terangkatnya epitel lamela I

- Infiltrasi leukosit epitel insang I

- Menipisnya epitel insang I

- Pecah dan mengelupasnya epitel lamela II

- Hiperplasia fokal sel epitel I

- Hiperplasia dari pangkal hingga setengah panjang lamela sekunder I

- Hiperplasia sel epitel yang tidak teratur I

- Penyatuan ujung lamela sekunder I

- Hiperplasia sel eosinofilik I

- Penyatuan ujung lamela primer I

- Pengentalan yang tidak terkontrol dari jaringan II

- Penyatuan beberapa lamela sekunder I

- Memendeknya lamela sekunder I

- Penyatuan sempurna semua lamela sekunder II

(b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel klorida

- Hiperplasia dan hipertrofi sel mukus I

- Sel mukus menghilang I

- Hipertrofi dan hiperplasia sel klorida I

- Sel klorida muncul di lamela sekunder I

(c) Perubahan pembuluh darah

- Teleangiektasis lamela sekunder I

- Membesarnya filamen pembuluh darah I

- Hemoragi dengan pecahnya epitel II

- Stasis II

(d) Parasit insang I

(e) Tahap terminal

- Jaringan tergores (scar-tissue) –fibrosis III

- Nekrosis III

Sumber : Poleksic dan Tutundzic (1994)

Toksikan merkuri dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada insang

antara lain : lisis sel, beberapa degenerasi dan nekrosis sel, meningkatnya

vakuolisasi intraseluler, perluasan dan terhambatnya aliran di pembuluh darah

(Osman et al. 2010); memicu batuk, kerusakan fungsi pernafasan (Nawaz et al. 2010); meningkatnya laju konsumsi oksigen, meningkatnya aktivitas LDH dan

(36)

edema, atrofi (Paryono 2005); fusi lamela, hiperplasia, edema, atrofi, dan

nekrosis (Nurchayatun 2007); hipertrofi, hiperplasia, hemoragi, teleangiektasis,

deskuamasi, dan edema (Yuniar 2009).

Efek patologi selenium terhadap insang antara lain menyebabkan

terjadinya pelebaran (dilatasi) sinusoid darah dan pembengkakan lamela

(telangiektasia) yang dipenuhi oleh eritrosit (Sorensen 1991). Pendarahan

(hemoragi) jaringan insang sering terjadi karena kondisi ini. Penebalan lamela

insang menyebabkan gangguan aliran darah dan pertukaran gas yang tidak

efektif (mengurangi kapasitas pernafasan), dan respons gangguan metabolisme

(meningkatkan permintaan pernafasan dan konsumsi oksigen) yang dapat

menyebabkan kematian (Lemly 2002).

2.3.2 Hati

Hati memiliki tiga fungsi utama : (1) Penyerapan, metabolisme,

penyimpanan dan redistribusi nutrien dan molekul endogenous lainnya. Fungsi

utamanya adalah untuk mempertahankan homeostasis organisme dengan

sintesis ( hormon) dan sekresi molekul (protein, kolesterol, dan lemak) ke dalam

darah. (2) Metabolisme xenobiotik (biotransformasi dan detoksifikasi). (3)

Formasi dan ekskresi empedu (eliminasi degradasi produk senyawa

endogenous, degradasi xenobiotik dan metabolitnya serta beberapa logam) (Heath 1987; Hinton 1993; Hinton et al. 2001).

Volume, ruang dan mikroanatomi hati ikan berbeda dengan hati mamalia

(Hinton 1993; Hinton et al. 2001). Untuk mempelajari toksisitas polutan terhadap

hati ikan perlu diketahui pola morfologi, gangguan fungsional (fisiologi) dan

fungsinya, dan kapasitas hati untuk mengaklimasi tekanan toksikan dengan

proses metabolismenya. Hati mensekresi plasma protein utama seperti

fibrinogen dan albumin yang berfungsi untuk sebagai penjaga osmolalitas darah,

pH darah, sumber asam amino dan transportasi hormon serta bahan kimia

eksogen seperti logam dan bahan organik. Fungsi ini yang menjadi target dari

toksikan.

Efek toksikan terhadap metabolisme hati, yaitu : (1) Toksik terhadap sel

hati seperti menghambat enzim atau mengganggu ekspresi gen sebagai

konsekuensi hambatan dalam sekresi lipid; (2) Tidak merusak sel hati namun

mengganggu dalam jaringan sekelilingnya, contohnya hambatan terhadap

(37)

katabolisme hormon hati. Kerusakan sel hati oleh toksikan dapat dideteksi oleh

analisis klinis enzim darah (Heath 1987). Toksisitas timbul dari interaksi

xenobiotik atau logam dengan saluran metabolisme hati atau dengan reseptor

spesifik hati (Hinton 1993).

Merkuri dan selenium merupakan logam yang terlibat dalam proses

enzimatik dan terikat dengan protein (ligan binding). Ikatan merkuri dan selenium

dengan protein jaringan membentuk senyawa metalotionina. Metalotionina

merupakan protein aditif yang berperan dalam proses homeostatis organisme

dalam mentolelir logam berat. Senyawa-senyawa kimia yang telah berikatan

dengan protein dan membentuk metalotionina tersebut akan dibawa oleh darah

(Roesijadi dan Robinson 1993).

Merkuri yang tadinya masuk ke dalam hati akan terbagi dua: sebagian

akan terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan dikirim ke

empedu. Dalam kantong empedu, akan dirombak menjadi senyawa merkuri

anorganik yang kemudian akan dikirim lewat darah ke ginjal, dimana sebagian

akan terakumulasi pada ginjal dan sebagian lagi dibuang bersama urin (Palar

1994). Hinton (1993) mengelompokkan biomarker histopatologi hati ikan dan alat

untuk mendeteksinya pada Tabel 3.

Hati adalah lokasi utama dari biotransformasi metil merkuri pada hewan.

Hati mengubah senyawa berbahaya menjadi metabolit yang diekskresikan

langsung ke empedu untuk proses detoksifikasi selanjutnya. Senyawa yang

diekskresikan ke dalam empedu dan memasuki usus kecil akan diserap di usus

atau dieliminasi dalam feses. Metil merkuri diserap dalam suatu proses yang

disebut resirkulasi enterohepatik (Boening 2000).

Merkuri dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada hati, antara lain

degenerasi vakuolar, peradangan setempat (fokal hepatitis), kematian jaringan

setempat (fokal nekrosis), pembendungan darah (kongesti) sel-sel hatinya

membesar (megalositosis), inti sel mengecil (kariopiknosis), inti sel hilang

(kariolisis) (Radhakrisnaiah et al. 1993; Paryono 2005; Destiany 2007; Yuniar

(38)

Tabel 3 Biomarker histopatologi hati dan alat deteksinya

No Biomarker Alat Deteksi

1 Nekrosa sel hati Mikroskop cahaya/histopatologi 2 Hiperplasia dari regenerasi Mikroskop cahaya

3 Hiperplasia saluran/kelenjar empedu Mikroskop cahaya/histopatologi

4 Hepatocytomegaly Mikroskop cahaya & electron

5 Megalositosis yang bervariasi Mikroskop cahaya & electron 6 Vakuolisasi hidropis dari sel hati Histopatologi & mikroskop electron 7 Perubahan warna pada focus seluler tertentu Mikroskop cahaya

8 Adenoma Histopatologi

9 Carcinoma Mikroskop cahaya

10 Cholangioma Mikroskop cahaya

11 Cholangiocarcinoma Mikroskop cahaya

12 Campuran hepatocholangiocellular carcinoma Mikroskop cahaya Sumber : Hinton (1993)

Pada ikan yang terkontaminasi selenium, infiltrasi limfosit terlihat dengan

vakuolisasi ekstensif dari hepatosit parenkima di sekitar vena pusat. Sel Kuppfer

juga meningkat dan vena pusat meluas akibat berkurangnya sel parenkima di

sekitarnya. Inti sel sering berubah bentuk dan pleomorfik, serta munculnya residu

yang tidak termetabolik (droplet). Secara bersamaan, perubahan ultrastruktural

ini menunjukkan suatu degenerasi struktur jaringan yang cukup mengganggu

fungsi hati secara signifikan. Gejala patologi ini adalah karakteristik dari selenosis

kronis pada ikan dan vertebrata lainnya (Sorensen 1991).

2.3.3 Ginjal

Ginjal adalah organ utama untuk membuang air atau memproduksi urin

serta memproduksi darah terutama pada ikan air tawar agar meminimalkan

kehilangan ion. Pada ikan laut pembuangan urin ini lebih lambat untuk mencegah

kehilangan ion air dalam proses osmoregulasi. Laju penyaringan glomerular

(glomerular filtration rate) pada ikan lebih rendah dibandingkan dengan hewan

endotermal dengan tingkat laju metabolismenya yang tinggi. Produksi urin ikan

sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, salah satunya yang terpenting

(39)

Ginjal teleost terdiri dari dua bagian, yaitu kepala anterior dan badan

posterior. Bagian kepala terdiri dari chromaffin, jaringan inter-renal (limfoid), dan

jaringan penghasil darah (hematopoietic). Bagian badan ginjal terdiri tubular

ginjal dan nefron. Nefron ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul

Bowman, tubular proksimal, tubular distal, dan vesika urinari. Glomerulus ini dilindungi oleh dua lapisan, yaitu lapisan luar (parietal) yang tersambung dengan

epitel tubular proksimal dan lapisan dalam (visceral) yang segaris dengan tubular

glomerular (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001; Affandi dan Tang 2002).

Peranan ginjal ikan dalam osmoregulasi, sintesis kortisol, dan eliminasi

limbah dapat dipengaruhi oleh toksikan yang dapat merusak sel. Kebanyakan

deskripsi tentang toksisitas ginjal berfokus pada histopatologi dan gangguan

enzim. Kerusakan pada sel ginjal dapat dimulai dari berbagai mekanisme,

termasuk gangguan sinyal sel, regulasi gen, sintesis protein, transportasi

membran, regulasi ion, fungsi enzim, dan integritas cytoskeletal. Sel normal

memiliki kemampuan untuk merawat dan memperbaiki kerusakan. Jika

kerusakan yang terjadi melebihi kemampuan sel tersebut, maka terjadi nekrosis

atau bisa juga apoptosis yaitu kemampuan menghancurkan sendiri. Selain itu

terjadi juga hipertrofi dan regenerasi sel (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001).

Gangguan ginjal cenderung terjadi pada tubular proksimal dengan

nekrosis tabung akibat xenobiotik, selain juga terjadinya gangguan pada

glomerular dan inter renal. Kecenderungan ini terkait dengan kapasitasnya yang

besar sebagai transportasi membran pada sel epitel tabung dan konsentrasi

senyawa toksik pada lumen tabung. Selain itu juga terjadi vakuolisasi hidropis,

munculnya droplet protein, dilatasi ruang Bowman, hypercellularity dan fibrosis

glomerular dan penebalan membran dasar. Peningkatan jumlah melano

macrophages center (MMC) juga dapat digunakan sebagai indikator non spesifik dari stress (Larsen dan Perkins 2001).

Efek histopatologi merkuri terhadap ginjal ikan antara lain adalah

granulasi epitel tubular dan hiperplasia, atrofi glomerular, melebarnya ruang

Bowman, inti piknotik, dan degenerasi nekrosis dari sel epitel tubular (Larsen dan

Perkins 2001). Ikatan Hg dengan kelompok sulfidril pada protein membran,

menyebabkan gangguan pada permeabilitas sel dan terjadi pembengkakan dan

lisis. Target utama ion merkuri adalah Na+, K+-ATPase (Larsen dan Perkins

(40)

Akumulasi selenium tingkat tinggi pada ginjal menunjukkan terjadinya

focal proliferative glomerulonephritis intra kapilar. Pada kondisi ini, jumlah berlebihan dari sel mesangial terlihat bersamaan dengan matriks abnormal yang

berlimpah dan fibrosis periglomerular yang dapat mengeraskan jaringan.

Selubung tubular muncul dan epitel tubular menjadi tervakuolasi dan mudah

hancur sehingga menyebabkan sistem tubular tidak berfungsi dengan baik

(Sorensen 1991).

2.3.4 Limpa

Limpa berperan penting dalam haematopoiesis (pembentukan darah)

dan penjebakan antigen. Pada ikan berahang, terdapat limpa yang terbagi atas

bagian luar (korteks) yang berwarna merah dan bagian dalam (medulla) yang

berwarna putih. Korteks membentuk eritrosit dan trombosit, sedangkan medulla

membentuk limfosit dan granulosit (Affandi dan Tang 2002). Pada struktur limpa

dan hati terdapat makrofag yang diketahui berfungsi untuk membuang material

tertentu dari ellipsoid ke MMC.

MMC bervariasi dalam jumlah dan ukuran di antara spesies ikan dan

individu dalam suatu spesies. Fungsi MMC adalah sebagai unit penyimpanan

untuk material yang tak diinginkan yang tidak diekskresikan oleh organ lain,

sehingga dapat dijadikan sebagai penanda (biomarker) terhadap kontaminasi

logam berat karena terperangkap di bagian ini (Hylland et al. 2003).

Letak MMC di dalam limpa biasanya terdapat berdekatan dengan saluran

darah dan pada beberapa spesies dikelilingi oleh lapisan sel limfoid. Lapar dan

stres pada ikan yang dibudidayakan dapat meningkatkan jumlah MMC pada

ginjal dan limpa ikan (Kurtovic et al. 2008). Sebaliknya, pengurangan jumlah dan

ukuran MMC pada limpa ini juga dilaporkan terjadi pada ikan yang hidup di

perairan tercemar, terutama polutan yang mempengaruhi immunosuppresan (De

Vico et al. 2008).

Gangguan terhadap limpa antara lain termasuk berkurangnya struktur

dinding sel seperti kerusakan pseudopodia dan organel, termasuk

pembengkakan mitokondria dan meningkatnya jumlah lisosom sekunder yang

berisikan bahan membran, sebagai bentuk degradasi organel (Hylland et al.

(41)

2.3.5 Usus

Usus merupakan bagian terpanjang dari saluran pencernaan. Pada ikan

pembagian segmen usus lebih sederhana dibandingkan dengan hewan tingkat

tinggi lainnya, karena bentuk dan diameter ususnya relatif homogen. Panjang

usus ikan sangat bervariasi dan berhubungan erat dengan kebiasaan makan

ikan. Panjang usus ikan herbivora beberapa kali lipat dari panjang tubuhnya

(Effendie 2003).

Lapisan terdalam dari usus adalah lapisan mukosa yang memiliki

tonjolan-tonjolan (vili). Lapisan mukosa tersusun oleh selapis sel epitelium

dengan bentuk prismaltik. Bentuk sel yang umum ditemukan pada epitel usus

adalah enterosit yang dominan, dan mukosit terdapat diantaranya serta semakin

meningkat jumlahnya pada bagian belakang usus. Enterosit memiliki mikrovili

yang berfungsi untuk menyerap zat makanan sebelum dibawa ke hati (Affandi

dan Tang 2002).

Usus ikan yang berperan untuk menghancurkan makanan dan menyerap

makanan menjadi tempat dengan konsentrasi xenobiotik yang tinggi yang masuk

bersama makanan. Usus memiliki enzim aktivitas tinggi untuk metabolisme

xenobiotik, terutama aktivitas dua fase, dan ini sangat penting bagi

biotransformasi xenobiotik tingkat rendah. Biotransformasi dalam usus ini dapat

meningkatkan toksisitas pada sel usus (Kleinow dan James 2001).

Efek xenobiotik pada usus terkait dengan masa tinggal (retention time)

dari toksikan dalam tempat tertentu (peristaltik kantung makanan, kecepatan

penyerapan, aliran darah), aksesibilitas (terlepas dari matriks makanan),

avaibilitas (kemampuan perlindungan lapisan mukus, permeabilitas), dan

perpanjangan perubahan regenerasi (re-epitelisasi). Perubahan patologi yang

umum terjadi pada usus adalah vakuolasi, nekrosis sampai putus, terlipatnya vili.

Formasi sel sinsitia, sekresi mukus yang berlebihan, dan pembentukan

gelembung pada subselular (Kleinow dan James 2001).

Kerusakan sel epitel kolumnar juga terjadi dari perubahan degeneratif

akibat terpapar toksikan. Perubahan inti juga dapat terjadi, dengan reduksi

volume inti sebagai ciri umumnya. Dalam kondisi yang lebih parah, maka dapat

terbentuk neoplasia pada saluran makanan akibat toksikan seperti papiloma,

(42)

2.3.6 Otot Daging

Material yang masuk ke bagian otot merupakan hasil dari metabolisme

tubuh yang masuk melalui aliran darah, termasuk deposit logam. Kondisi otot

daging ikan adalah yang menjadi perhatian utama bagi para ahli, karena terkait

dengan kesehatan manusia. Daging merupakan bagian ikan yang paling banyak

dimakan oleh manusia, sehingga apabila terdapat kandungan toksikan dalam

otot ikan akan terakumulasi dan termagnifikasi dalam tubuh manusia pula.

Sehingga sangat penting memperhatikan kadar toksikan seperti merkuri dan

selenium dalam otot ikan.

Selain dapat membahayakan, kandungan kontaminan pada otot dapat

menyebabkan terjadinya perubahan patologis. Perubahan patologis yang terjadi

pada otot antara lain perubahan serabut otot, perubahan nukleus sel otot,

pembengkakan (cloudy swelling), degenerasi hialin, degenerasi granular,

degenerasi lemak sampai nekrosa serabut otot. Infiltrasi sel-sel radang

menunjukan adanya reaksi patologis yang terjadi pada otot. Sel-sel radang yang

tampak dapat menunjukkan derajat keparahannya dan membantu menentukan

kausanya.

Jenis-jenis sel radang yang bisa ditemui antara lain limfosit, neutrofil,

histiosit, dan fibroblast dari endomysium. Hemoragi pada jaringan dan kongesti

pembuluh darah dapat diidentifikasi dari adanya eritrosit pada preparat

histopatologinya. Edema merupakan bentuk patologi karena adanya

penumpukan cairan pada rongga-rongga antar serabut otot. Edema akan

menyebabkan lokasi antar serabut menjauh dan meregang (Takashima dan

Hibiya 1995).

Perubahan-perubahan patologi yang terjadi pada otot dapat berupa

nekrosis (miopati), inflamasi, degenerasi hialin dan tumor otot rangka, misalnya

rhabdomyoma (Hoole et al. 2001). Miopati dapat merupakan suatu wujud dari defisiensi vitamin, namun dapat juga diakibatkan oleh dampak toksisitas logam

seperti merkuri dan selenium (Ohlendorf 1996). Perubahan patologi pada otot

ikan ini selain dapat mempengaruhi kondisi ikan, juga sangat berpengaruh

Gambar

gambaran pengelolaan ekosistem perairan secara baik demi keberlanjutannya di
Tabel 1 Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme anggota jala makanan
Tabel 3  Biomarker histopatologi hati dan alat deteksinya
Tabel 4  Lokasi dan karakteristik kolam sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

selaku Dosen Pembimbing Kedua penulis terimakasih atas waktu, kesabaran serta saran-sarannya yang telah mendorong penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir dan banyak

public const string ConnString = &#34;Data Source=.;Integrated Security=True; Async=True &#34;; Here฀you฀are฀including฀

[r]

Hasil : hasil yang diperoleh dalam penelitian adalah pengetahuan remaja tentang seks pranikah sebelum diberikan pendidikan seks di SMA Negeri Rongkop Gunung Kidul Tahun 2012

Berdaskan analisis data hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut; bentuk konstruksi ideologi yang dibangun melalui buletindakwah

teknologi dapat mempengaruhi nilai-nilai yang telah tumbuh di masyarakat dalam suatu bangsa itu sangat tergantung dari sikap masyarakat tersebut. Seyogyanya, masyarakat harus

Meskipun norma Establishment Clause dalam Konstitusi Amerika Serikat melarang pemerintah federal dan negara bagian, termasuk peradilan mengutamakan agama tertentu, peluang

Sedangkan air, tempurung, dan sabut sebagai hasil samping ( by product ) dari buah kelapa juga dapat diolah menjadi berbagai produk yang nilai ekonominya tidak kalah dengan