• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1Letak dan Luas Wilayah

Desa Sumberejo terletak di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis, terletak pada 7°32’ − 8°15’ LS dan 110°41’ − 111°18’ BT. Jarak desa ke arah ibu kota kecamatan sejauh 6 km, sedangkan ke arah ibu kota kabupaten sejauh 40 km. Adapun batas wilayah desa sebelah Utara dengan Desa Ronggojati, sebelah Timur dengan Desa Batuwarno, sebelah Selatan dengan Kelurahan Selopuro, dan sebelah Barat dengan Desa Temon, Kecamatan Baturetno.

Desa Sumberejo memiliki wilayah seluas 546 ha yang terdiri dari delapan dusun, yaitu: Dusun Puthuk, Dusun Rowo, Dusun Rembun, Dusun Gembuk, Dusun Kalinekuk, Dusun Semawur, Dusun Ngandong, dan Dusun Wates. Wilayah ini terbagi menjadi beberapa penggunaan lahan, antara lain: tanah sawah seluas 24 ha, rawa seluas 3 ha, tanah fasilitas umum seluas 29 ha, hutan rakyat/tegalan seluas 382 ha, pekarangan dan pemukiman seluas 109 ha.

4.2Keadaan Fisik

4.2.1 Topografi dan jenis tanah

Berdasarkan profil Kecamatan Batuwarno (2011), Desa Sumberejo berada pada ketinggian 274 mdpl yang sebagian besar terdiri dari pegunungan dengan 55% daerah berombak hingga berbukit dan 15% daerah datar hingga berombak. Jenis tanah Desa Sumberejo adalah litosol mediteran coklat basa dengan struktur tanah yang didominasi oleh batuan gamping sebagai ciri khasnya. Kondisi geografis dan struktur geologis dengan batuan kapur yang berlapis memberi kesan bahwa daerah ini tampak sebagai kawasan batu bertanah.

4.2.2 Iklim

Berdasarkan data statistik Wonogiri dalam angka 2010, Kecamatan Batuwarno memiliki iklim tropis dengan dua musim dalam satu tahun, yaitu: musim kemarau dan musim penghujan. Curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2009 mencapai 149 mm/th dengan curah hujan tertinggi pada bulan Februari.

4.3Keadaan Sosial Ekonomi 4.3.1 Keadaan penduduk

Berdasarkan hasil laporan data potensi Desa Sumberejo pada bulan Februari 2011, diketahui jumlah penduduk Desa Sumberejo sebanyak 2.139 jiwa dari 668 kepala keluarga yang terdiri atas 1.055 laki-laki dan 1.084 perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan sebaran umur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan sebaran umur

No. Sebaran umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0-1 72 3 2. 2-4 96 4 3. 5-6 52 2 4. 7-15 147 7 5. 16-21 185 9 6. 22-59 1.134 53 7. ≥ 60 373 17

Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)

Data di atas menginformasikan bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada sebaran umur 22-59 tahun. Umur tersebut merupakan usia produktif untuk bekerja sehingga banyak penduduk yang merantau untuk mencari kerja ke kota- kota besar. Hal inilah yang menyebabkan jarang ditemui penduduk dengan sebaran umur 22-59 tahun yang masih tinggal di desa. Bahkan keadaan ini sudah menjadi suatu tradisi bagi Desa Sumberejo.

4.3.2 Mata pencaharian

Penduduk Desa Sumberejo sebagian besar bekerja di sektor pertanian sebagai petani dan buruh tani. Buruh tani adalah orang yang menanam tanaman pertanian pada lahan milik orang lain, kemudian hasil pertanian tersebut dibagi antara pemilik lahan dengan penggarap sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Pada umumnya, pembagian hasil pertanian 40% pemilik lahan dan 60% penggarap, namun ada pula yang bersepakat untuk imbang, dimana baik pemilik maupun penggarap memperoleh 50% dari hasil panen. Usaha pertanian ini umumnya dilakukan pada lahan kering seperti tegalan dan kebun, serta sedikit dilakukan pada lahan basah seperti sawah. Adapun jenis mata pencaharian lain dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan mata pencaharian No. Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Petani 1.152 54,0 2. Buruh tani 636 28,0 3. Buruh Bangunan 86 4,0 4. Buruh Industri 28 1,0 5. Usaha Industri 23 1,0 6. Usaha Dagang 25 1,0 7. Pegawai Swasta 4 0,2 8. Pegawai Negeri 17 1,0 9. Pensiunan 19 1,0 10. Pengrajin 10 0,5 11. Pengangguran 56 3,0 12. Lain-lain 48 2,0

Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)

4.3.3 Pendidikan, agama, budaya

Tingkat pendidikan penduduk Desa Sumberejo didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD), oleh karena itu banyak diantaranya yang berprofesi sebagai petani maupun buruh tani perihal keterbatasan pengetahuan. Namun, terdapat pula beberapa tingkat pendidikan lain seperti yang tertera pada tabel berikut.

Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan tingkat pendidikan No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Belum sekolah 145 7

2. Tidak pernah sekolah 0 0

3. Tidak tamat SD 473 22 4. Tamat SD 914 43 5. Tamat SLTP 299 14 6. Tamat SLTA 254 12 7. Tamat Diploma/Sarmud 31 1 8. Tamat Sarjana 32 1

Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)

Sebagian besar penduduk Desa Sumberejo beragama Islam, sedangkan yang lainnya beragama Kristen dan Katolik. Sarana peribadatan umat Islam tersedia di setiap dusun seperti masjid atau minimal mushola. Sedangkan untuk kegiatan peribadatan umat Kristiani dilakukan di luar desa. Kegiatan beribadah di Desa Sumberejo khususnya untuk umat Islam sangatlah kental. Hal ini dicerminkan oleh kegiatan rutin yang dilakukan tiap pekan seperti pengajian, mulai pengajian bagi orang tua, remaja, hingga anak-anak. Dalam hal kerukunan

pun setiap individu di Desa Sumberejo memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Budaya gotong-royong dan saling membantu masih terasa kental.

4.4Sejarah Hutan Rakyat Desa Sumberejo

Kondisi hutan rakyat Desa Sumberejo yang saat ini sudah banyak dipenuhi oleh pepohonan sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Dahulu, lahan di desa ini termasuk lahan kritis yang gersang, gundul, tandus, dan terdiri dari batuan bertanah dengan kelerengan yang cukup curam. Menurut Mulyadi dan Soepraptohardjo (1975), diacu dalam Rosa (2003), lahan kritis sering diartikan sebagai lahan-lahan yang secara potensial tidak mampu berperan dalam salah satu atau beberapa fungsi, yaitu: (1) Unsur produksi pertanian (fungsi pertanian), (2) Media pengatur tata air (fungsi hidrologi), dan (3) Media pelindung alam lingkungan (fungsi orologi). Dengan kondisi demikian, petani menjadi tidak mau memanfaatkan lahan, sehingga banyak ditumbuhi alang-alang dan lambat laun kelangkaan lahan pertanian produktif mulai dirasakan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka mulai menanami lahan dengan tanaman pangan, antara lain: padi, jagung, dan kedelai pada musim penghujan. Namun dengan keadaan lahan yang kurang mendukung tanpa diiringi tindakan silvikultur dan konservasi tanah, membuat usaha tersebut menjadi sia-sia dan hanya menghasilkan erosi serta penurunan produktivitas tanah. Oleh karena itu, usaha untuk menanami lahan dengan tanaman pangan dihentikan sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, kondisi pun semakin parah karena tidak hanya kelangkaan pangan yang terjadi tetapi juga kesulitan mendapatkan air terutama saat musim kemarau tiba.

Pada tahun 1972, ada proyek WFP (World Food Program) sebagai upaya bantuan pangan dalam rangka memperbaiki lingkungan melalui rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi tersebut berupa penanaman pohon dengan jenis eukaliptus (Eucalyptus alba), akasia (Acacia auriculiformis), dan kaliandra (Caliandra calothyrsus) pada lahan kritis seluas ± 50 ha. Namun, karena belum terbentuk suatu kesadaran terhadap arti penting hutan dan karena konsentrasi utama petani hanya pada tanaman pangan, maka program ini dapat dikatakan tidak berhasil. Pohon-pohon yang telah ditanam tidak dipelihara bahkan ada juga beberapa yang dicabut. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka yang rendah sehingga tidak

sedikit dari mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang bisa dimakan bila lahannya ditanami kayu.

Respon yang kurang baik ini tidak menyurutkan semangat para penggiat desa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pohon bagi kelangsungan hidup mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit para penggiat desa yang dipelopori oleh Pak Sularjo selaku Kepala Dusun Wates Wetan saat itu, mendekati warga dengan memberi pandangan pentingnya menanam pohon sekaligus melakukan penyulaman dengan jenis jati, mahoni, dan akasia pada pohon hasil proyek yang tidak tumbuh. Usaha itu pun berbuah manis dengan seiring berkembangnya kesadaran warga. Mereka menyadari bahwa dengan tidak mencabut pohon dan membiarkannya hidup hingga besar, ternyata dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, diantaranya yaitu sebagai bahan bangunan rumah atau untuk dijual.

Pada tahun 1976-1977 pemerintah mengadakan program penghijauan di Kabupaten Wonogiri melalui proyek Reboisasi dan Penghijauan (INPRES) dengan memberikan bantuan bibit tanaman akasia (Acacia auriculiformis) sebanyak 400 batang/ha, pupuk, dan upah penanaman, serta biaya pemeliharaan selama satu tahun. Desa Sumberejo yang juga termasuk penerima program tersebut, sejak saat itu mulai menanam dengan lebih terarah dan terprogram. Kegiatan ini meliputi seluruh wilayah desa pada lahan-lahan yang tidak lagi produktif, ditinggalkan, dan liar. Melalui kegiatan ini, petani juga dibekali dengan penyuluhan tentang pengetahuan konservasi tanah, sehingga lahan yang mulanya berbatu diubah menjadi petak-petak berteras guna mencegah erosi.

Untuk mempermudah pengaturan dalam mengelola hutan rakyat yang sudah mulai berkembang tersebut, dibentuklah suatu kelompok tani pada tahun 1985 bernama Gondangrejo yang menaungi Dusun Wates Wetan dan Wates Kulon. Melalui kelompok tani ini, tegakan hutan rakyat menjadi semakin rapat, hijau, dan asri. Pembentukan kelompok tani pun diikuti oleh dusun-dusun lain di Desa Sumberejo, sehingga terbentuklah kelompok tani hutan rakyat di setiap dusun. Hingga pada akhirnya, atas fasilitas LSM PERSEPSI dan dukungan WWF (World Wide Fund for Nature), kelompok tani di Desa Sumberejo bersama dengan Kelurahan Selopuro berhasil memperoleh dan meraih sertifikasi PHBML LEI yang pertama di Pulau Jawa pada tahun 2004.

BAB V