• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jumlah penduduk yang semakin meningkat mendorong semakin banyak perkembangan industri perkayuan, sehingga kebutuhan pasokan bahan baku kayu pun semakin meningkat. Pemenuhan bahan baku tersebut dapat berasal dari izin pemanfaatan kayu baik dari hutan alam, hutan tanaman, maupun hasil pembukaan lahan. Namun, persediaan bahan baku kayu masih belum mencukupi. Disebutkan oleh Subarudi et al. (2000), diacu dalam Suryandari dan Puspitojati (2003) bahwa kebutuhan pasokan bahan baku kayu adalah sebesar 63,48 juta m3/th. Sedangkan pasokan bahan baku kayu yang tersedia menurut Anonim (2001) hanya sebesar 33,5 juta m3/th yang merupakan sumbangan pasokan dari hutan alam sebesar 22,5 juta m3/th, hutan tanaman sebesar 3,5 juta m3/th, dan hasil pembukaan lahan sebesar 7,5 juta m3/th. Hal ini menunjukkan masih terdapat kekurangan pasokan bahan baku kayu sebesar 29,98 juta m3/th. Berdasarkan hal tersebut, maka pembangunan hutan rakyat memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan guna turut serta memberikan sumbangan pasokan bahan baku kayu yang belum terpenuhi selama ini.

Di sisi lain, kebiasaan petani yang menerapkan sistem tebang butuh pada hutan rakyat miliknya membuat kepastian jadwal dan volume produksi tidak dapat ditentukan, sehingga berimplikasi pada ketidakpastian pengadaan bahan baku industri. Hal ini akan mengganggu rencana produksi atau kontrak dalam penjualan industri. Harrison (2000), diacu dalam Daniyati (2009) menyebutkan bahwa pada kenyataannya permintaan kayu oleh industri perkayuan banyak beralih ke hutan tanaman yang diusahakan pada skala besar. Oleh karena itu, perlu suatu perbaikan manajemen agar hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis yang memerlukan pengaturan dan kepastian dalam pengelolaan, salah satunya melalui pengaturan hasil.

(2)

menjamin kelestarian sumberdaya alam baik untuk kepentingan pemilik hutan rakyat maupun kepentingan lingkungan sekitar (Awang 2007). Namun, yang lebih berinteraksi langsung dengan para petani hutan rakyat adalah unit kelestarian hutan rakyat. Tingkat kelestarian dalam unit tersebut harus terjaga, salah satunya dengan cara tidak diperkenankan terjadi penebangan yang berlebih. Gabungan dari beberapa unit kelestarian ini akan membentuk suatu unit manajemen hutan rakyat yang satuannya bisa saja per desa ataupun per kabupaten.

Dalam hal ini, penulis ingin meneliti kesediaan para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo untuk menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat. Desa Sumberejo yang berada di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri telah memperoleh sertifikasi PHBML LEI pertama kali di Pulau Jawa pada tahun 2004. Oleh karena itu, apabila unit kelestarian hutan rakyat dapat dibentuk dan pengaturan hasil dapat diterapkan di desa ini, maka diharapkan dapat menjadi contoh dan modal motivasi bagi hutan rakyat lain untuk juga melakukan sertifikasi. Dengan begitu, diharapkan akan semakin banyak hutan rakyat yang lestari tanpa melakukan penebangan berlebih. Selain itu, diharapkan pula dapat menjadi modal bagi hutan rakyat untuk mengikuti budaya bisnis industri yang selalu berkembang. Untuk itu dilakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri”.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut Mustari (2000), kelestarian pengelolaan hutan rakyat dapat diukur menggunakan parameter struktur tegakan. Hutan rakyat yang tersusun dari tegakan pohon dengan sebaran kelas diameter yang merata adalah hutan rakyat yang dikelola secara lestari, sehingga produksi kayu dapat dilakukan secara berkesinambungan. Namun pada kenyataannya, penebangan daur pendek yang dilakukan petani menyebabkan struktur tegakan tidak merata dan didominasi oleh kelas diameter kecil.

(3)

dua metode pengaturan hasil, yaitu: metode berdasarkan riap dan metode kombinasi luas dan volume.

Berdasarkan macam pengaturan hasil yang dijelaskan oleh Departemen Kehutanan (1992), dengan kondisi struktur tegakan hutan rakyat yang hampir menyerupai hutan tidak seumur, maka pengaturan hasil hutan rakyat yang memungkinkan untuk dilakukan adalah metode berdasarkan jumlah pohon atau yang biasa disebut dengan metode berdasarkan jumlah batang. Disebutkan oleh Osmaston (1968) bahwa metode ini mengusahakan agar besarnya hasil (volume) yang dipanen untuk ukuran diameter di atas batas diameter minimal yang ditetapkan (limit diameter) harus sama untuk setiap tahunnya sepanjang daur.

Terkait hal tersebut, Sopiana (2011) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa diperlukan suatu bentuk unit kelembagaan yang dapat mengatur pengelolaan hutan rakyat secara optimal, sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi petani hutan rakyat. Adapun salah satu yang diatur di dalamnya adalah pengaturan hasil guna mencapai suatu kelestarian. Sopiana (2011) juga menyebutkan bahwa kelembagaan yang akan dibentuk dalam pengelolaan hutan rakyat ini terdiri dari gabungan beberapa pemilik hutan rakyat. Setiap anggota diberi kesempatan untuk memilih dua cara berpartisipasi, yaitu: berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan dan berpartisipasi secara tidak langsung melalui perantara buruh atau penggarap untuk mewakili kehadirannya dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat.

Menurut Awang et al. (2005) unit kelembagaan tersebut merupakan unit kelestarian hutan rakyat yang berfungsi sebagai unit pengelolaan dan berkewajiban untuk mengelola hasil hutan rakyat agar memperoleh keuntungan ekonomis dan ekologis. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan kegiatan yang berkesinambungan untuk mencapai kelestarian hutan rakyat. Unit kelestarian tersebut berhubungan langsung dengan masing-masing pemilik hutan rakyat. Oleh karena itu, perlu diketahui kesediaan petani hutan rakyat selaku pemilik lahan hutan rakyat yang sah untuk menerapkan pengaturan hasil dan kesediaannya membentuk suatu unit kelestarian hutan rakyat.

(4)

Untuk itu, timbul beberapa pertanyaan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Apakah petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit

kelestarian hutan rakyat terhadap hutan rakyatnya?

2. Hal-hal apa saja yang menjadi bahan pertimbangan petani dalam kesediaannya menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian tersebut?

3. Solusi atau alternatif apa yang dapat diberikan agar petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sistem pengelolaan dan potensi hutan rakyat saat kini serta menyajikan alternatif pengaturan hasil menggunakan metode jumlah batang berdasarkan riap diameter di Desa Sumberejo.

2. Mengetahui kesediaan dan pertimbangan petani untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat.

1.4 Manfaat Penelitian

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat

Secara sederhana, ahli kehutanan mengartikan hutan sebagai suatu komunitas biologi yang didominasi oleh pohon-pohon tanaman keras. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Kumpulan pohon tersebut mempunyai tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan alami dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah serta menghasilkan serasah sebagai bahan organik.

Arief (2001) menyebutkan karena hutan diartikan sebagai suatu asosiasi, maka antara jenis pohon satu dengan jenis pohon lain yang terdapat di dalamnya akan saling ketergantungan. Jenis-jenis tanaman yang tidak menyukai sinar matahari penuh tentu memerlukan perlindungan dari tanaman yang lebih tinggi. Tanaman yang suka sinar matahari penuh akan memperoleh keuntungan dari tanaman yang hidup di bawahnya karena mampu menjaga kelembaban dan suhu yang diperlukan oleh tanaman tinggi tersebut.

Selain terjadi ketergantungan, di dalam hutan akan terjadi pula persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya: persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh. Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang. Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi (Arief 2001).

(6)

Keseluruhan tersebut memiliki kaitan dalam hubungan ketergantungan satu sama lain. Uraian tersebut dapat disimpulkan oleh Arief (2001) bahwa hutan dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan semua makhluk hidup di dalamnya, menjadi gudang penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi tanah dan erosi, menghasilkan sumber kayu industri dan penggergajian lokal, sumber hasil hutan ikutan bagi penduduk setempat, tempat wisata alam, dan terutama untuk kepentingan penelitian.

Sedangkan Djajapertjunda (1959), diacu dalam Ernawati (1995) memberikan pengertian hutan rakyat sebagai tanaman pohon-pohonan (kayu tahunan) dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Selanjutnya Lestarini (1991) mengemukakan bahwa dari segi pengelolaannya hutan rakyat sama dengan kebun rakyat atau agrohutani yang merupakan sistem tata guna lahan permanen dengan dicirikan unsur tanaman semusim dan tanaman tahunan.

Miniarti (2007) menyebutkan bahwa esensi dari hutan rakyat itu sendiri adalah suatu bentuk hutan yang pengelolaannya berbasis rakyat, yakni rakyat memiliki wewenang penuh dalam pengelolannya tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, sehingga masyarakat dapat mandiri dan dapat mengambil manfaatnya dalam upaya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Awang et al. (2001) yang mengatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan oleh organisasi masyarakat, baik pada lahan individu, komunal dan lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara.

Penelitian Hardjanto, diacu dalam Suharjito (2000) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri. Dalam hal ini petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

(7)

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih 10% dari pendapatan total.

Secara fisik, hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Menurut Suharjito (2000), keberagaman pola tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Umumnya, pola tanam yang dikembangkan oleh petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu: murni (monokultur) dan campuran (polyculture).

1. Hutan Rakyat Monokultur

Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur). Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu: lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan, dan pengawasannya. Menurut Hardjanto, diacu dalam Suharjito (2000), upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan jenis ini karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat.

2. Hutan Rakyat Campuran

a. Hutan Rakyat Campuran (polyculture) dengan 2-5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik dibandingkan jenis monokultur, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis, dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.

(8)

dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis.

Sedangkan Rahmawaty (2004), diacu dalam Hudiyani (2010) menyebutkan tiga pola hutan rakyat yang dikenal dalam pengembangan hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Pola swadaya, hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.

2. Pola subsidi, hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya, atau bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.

3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat), hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan dengan insentif permodalan berupa kredit kepada masyarakat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat.

2.2Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas keseharian penduduk atau petani hutan rakyat. Silvikultur tradisional yang berkembang di kawasan Pegunungan Kapur Selatan menurut Awang et al. (2001) diacu dalam Ma’rufi (2007), diklasifikasi menjadi beberapa pekerjaan, sebagai berikut:

(9)

wilayah Pegunungan Kapur Selatan yang tercantum dalam Buku Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan, dapat diketahui tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni.

2. Persiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat teras bangku pada lahan yang miring.

3. Penanaman. Pada awalnya masyarakat menanam di sela-sela batu, sehingga tidak ada jarak tanam. Seiring dengan berkembangnya waktu dan bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang tanaman keras, maka masyarakat melakukan penanaman dengan memperhatikan jarak tanam dan penanaman sesuai kontur.

4. Pemeliharaan tanaman berkayu. Pemeliharaan ini biasanya dilakukan pada tanaman yang masih muda dengan melakukan kegiatan pendangiran tanah dan terkadang disertai juga dengan pemagaran sederhana.

5. Perlindungan terhadap tanaman berkayu. Kegiatan perlindungan tanaman hutan yang biasa dilakukan masyarakat terhadap gangguan ternak dengan cara melarang penggembalaan ternak di areal hutan milik orang lain.

6. Penebangan. Penebangan biasanya dilakukan dengan sistem tebang pilih, sejumlah pohon yang ditebang tersebar dan tidak mengelompok dalam satu tempat, tergantung diameter dan kemudahan dalam pengangkutan. Kegiatan penebangan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dilakukan tidak dengan teresan kecuali untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Dalam masyarakat, kegiatan teknis pengelolaan hutan rakyat biasanya dilakukan sendiri oleh pemilik lahan (tingkat keluarga). Oleh karena itu, pada umumnya hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan, dan keragaman pola usaha tani. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan sendiri oleh pemilik hutan rakyat menyebabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat ditentukan oleh kebijakan masing-masing pemilik hutan rakyat (Ma’rufi 2007).

2.3 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat

(10)

sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan. Pengusahaan hutan memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan. Di lain pihak, pengelolaan hutan selalu didasarkan pada azas kelestarian sumberdaya. Pemungutan hasil hutan dalam azaz tersebut harus dilakukan melalui pengaturan hasil, sehingga tidak mengurangi potensi hutan di lapangan (Departemen Kehutanan 1992). Hal ini mendorong perlunya pengaturan hasil agar kegiatan pemungutan hasil dapat dilakukan secara kontinu, tetapi tidak menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan dan bahkan sedapat mungkin meningkatkan kualitas hutan.

Pengaturan hasil itu sendiri didefinisikan oleh FAO (1998), diacu dalam Rosa (2003) sebagai penentuan kayu dan produk lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk di mana, kapan, dan bagaimana hasil seharusnya diekstraksi. Menurut Osmaston (1968), beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup dalam pengaturan hasil, yaitu: (1) Perhitungan jumlah hasil yang akan diperoleh, (2) Bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan penjarangan, dan (3) Penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan yang akan ditebang.

Menurut Sopiana (2011), pengaturan hasil merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat yang memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Dengan kata lain, usaha pengelolaan hutan rakyat dapat terwujud dengan baik apabila dimensi hasil dapat dicapai melalui serangkaian strategi dan kegiatan manajemen yang tepat. Namun sangat disayangkan, kegiatan pengaturan hasil hutan rakyat yang dilakukan oleh petani selama ini tidak mempertimbangkan kelestarian hasil. Oleh karena itu dalam unit kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, masalah yang berkaitan dengan pengaturan hasil hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang serius.

(11)

itu, metode pengaturan hasil pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu: metode berdasarkan luas, metode berdasarkan volume, metode berdasarkan volume dan riap, dan metode berdasarkan jumlah pohon. Metode pengaturan hasil di hutan rakyat adalah metode berdasarkan jumlah pohon, berupa pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat. Dengan demikian, diharapkan rumusan dasar pengaturan kelestarian hasil ini dapat dimengerti dengan mudah oleh petani hutan rakyat. Pada metode pengaturan hasil ini tidak diperlukan perhitungan volume tegakan serta tidak memerlukan informasi yang teliti dari kualitas tempat tumbuh pohon.

Suhendang (1995) menyebutkan bahwa terdapat beberapa catatan terhadap metode pengaturan hasil yang disarankan ini, sebagai berikut:

1. Penentuan AAC (Jatah Tebang Tahunan) dinyatakan dalam banyaknya pohon (dengan satuan pohon per tahun), sehingga segala bentuk konsekuensi yang berhubungan dengan besarnya AAC dan produksi yang diperoleh harus dinyatakan dalam satuan per pohon. Cara ini selain lebih sederhana dan mudah dilaksanakan, diduga tidak akan memberikan hasil yang merugikan apabila dibandingkan dengan perhitungan berdasarkan volume pohon. Untuk keperluan pengawasan dalam pelaksanaan penebangan, cara ini akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan apabila berdasarkan volume pohon. Dengan cara ini, perhitungan banyaknya pohon dalam tegakan hutan sebelum ditebang sangat memungkinkan. Cara perhitungan demikian akan sangat menguntungkan baik bagi pendapatan pemerintah maupun dampaknya terhadap lingkungan. Dalam jangka panjang, dampak bagi pengusaha pun sangat baik. Oleh karena itu, akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai modal usahanya. 2. Penentuan AAC berdasarkan kombinasi antara kelompok jenis dan kelas

diameter pohon memiliki dua keuntungan pokok, sebagai berikut:

a. Memberikan ketelitian yang sangat tinggi apabila dikehendaki perkiraan besarnya volume kayu yang akan dihasilkan.

(12)

Dalam menerapkan metode pengaturan hasil ini perlu diperhatikan beberapa anggapan (asumsi) dasar sesuai dengan keadaan yang berlaku di lapangan, salah satunya adalah anggapan dasar yang dipakai oleh Lembaga Penelitian IPB (1990), diacu dalam Ernawati (1995), sebagai berikut:

1. Tingkat pemanfaatan lahan pada petani hutan rakyat untuk penanaman kayu rakyat yang ada sekarang dianggap yang terbaik bagi para petani, sehingga tidak diperlukan lagi perubahan tingkat pemanfaatannya. Pengaturan hasil kayu rakyat semata-mata bertujuan untuk mengatur agar hasil dapat diperoleh secara berkesinambungan selama daur.

2. Pengurangan jumlah pohon per hektar dalam tegakan hanya terjadi sampai pada umur tertentu saja, dikarenakan setelah mencapai umur tersebut petani cenderung mempertahankannya hingga dapat dipanen. Adapun besarnya umur tanaman yaitu umur tiga tahun untuk tanaman berdaur pendek (< 10 tahun) dan umur sebelas tahun untuk tanaman berdaur panjang (> 10 tahun).

3. Besarnya daur bagi setiap petani dianggap dapat diatur, sesuai dengan prinsip-prinsip yang dikehendaki. Untuk mencapai kebenaran anggapan ini, dalam pelaksanaannya diperlukan mekanisme tertentu yang perlu diatur dalam kelembagaan. Mekanisme tersebut merupakan pengaturan penyediaan dana yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan petani yang bersifat insidental.

2.4Pertumbuhan dan Riap

(13)

Menurut Tomey dan Korstian (1974), diacu dalam Rosa (2003), pertumbuhan pohon pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan. Pada suatu jenis pohon dijumpai adanya keragaman baik secara geografis keragaman lokal, keragaman antar pohon, maupun keragaman di dalam pohon itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara langsung menurut Soekotjo (1984), diacu dalam Rosa (2003), antara lain: radiasi matahari (cahaya dan temperatur), air (atmosfer dan tanah), karbon dioksida (CO2), dan unsur hara.

Dalam buku-buku teks kehutanan, biasanya dibedakan antara pengertian pertumbuhan dengan riap. Namun dalam percakapan sehari-hari, seringkali keduanya dianggap sama. Pertumbuhan ditetapkan sebagai terminologi bersifat umum, sedangkan riap lebih spesifik. Biasanya, riap dipakai untuk menyatakan (1) Pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu; (2) Pertambahan nilai tegakan; dan (3) Pertambahan diameter atau tinggi pohon setiap tahun (Departemen Kehutanan 1992). Pertumbuhan dan riap mempunyai hubungan erat dengan faktor umur dan memegang peranan penting dalam menentukan kebijakan operasional di bidang kehutanan terutama dalam pemeliharaan dan pemungutan hasil hutan tanaman (Sudiono & Suharlan 1977).

Riap didefinisikan oleh Prodan (1968) sebagai pertambahan ukuran pohon atau tegakan dalam jangka waktu tertentu yang dapat diketahui dengan mengukur penambahan ukuran dimensi pohon, yaitu: diameter, tinggi, dan volume. Riap tegakan dibentuk oleh pohon yang masih hidup dalam tegakan, tetapi jumlah dari riap ini tidak sama dengan riap tegakannya karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan dapat saja mati, busuk atau beberapa lainnya ditebang. Osmaston (1968) menambahkan bahwa suatu tegakan merupakan karakter yang paling vital. Hubungannya tidak hanya dengan kesehatan pohon, jenis, dan bonita saja, tetapi juga dengan volume dan umur tegakan. Sedangkan Chapman (1950) menyatakan bahwa riap adalah rasio bersih tahunan dari suatu tegakan yang merupakan penjumlahan aljabar dari penambaan volume setiap tahun tersebut. Oleh karena itu, riap dibedakan menjadi dua klasifikasi, sebagai berikut:

(14)

2. Berdasarkan jangka waktu penebangan, dibagi menjadi tiga yaitu riap tahunan berjalan (Current Annual Increment, CAI), riap rata-rata periodik (Periodic Annual Increment, PAI), dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, MAI).

Davis dan Johnson (1987) menjelaskan bahwa riap merupakan suatu pertambahan dimensi pohon atau tegakan yang berlangsung hingga waktu tertentu. Setelah waktu tersebut riap akan berkurang dan suatu saat akan berhenti. Informasi riap volume per satuan luas pada jenis-jenis pohon komersial penting untuk diketahui dalam pengaturan hasil hutan produksi karena pada jenis-jenis pohon tersebut akan diproduksi hasil hutan berupa kayu melalui kegiatan penebangan pohon-pohon yang layak tebang.

Departemen Kehutanan (1992) membedakan riap menjadi dua klasifikasi, yaitu: riap individu pohon dan riap tegakan, sebagai berikut:

1. Riap individu pohon

Riap individu pohon adalah riap diameter, riap luas bidang dasar, riap tinggi, dan riap volume. Riap diameter biasanya diwakili oleh riap diameter setinggi dada. Riap diameter merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentukan riap volume. Riap diameter tiap tahun dapat diukur dari lebar antara lingkaran tahun tertentu. Sebagaimana diketahui, lingkaran tahun juga dapat dipakai untuk menghitung umur pohon. Riap bidang dasar juga mempunyai pengaruh besar terhadap riap volume pohon. Riap ini diperoleh dari riap radial atau riap diameter. Riap tinggi juga mempunyai peranan dalam perhitungan riap volume, terutama untuk tegakan yang masih muda. Riap volume pohon adalah pertambahan volume selama jangka waktu tertentu. Dalam teori, riap volume dapat ditentukan secara tepat dengan mengurangi volume pada akhir periode dengan volume pohon tersebut pada awal periode. 2. Riap tegakan

(15)

semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti. Hutan tanaman biasanya pertumbuhan diameter mengikuti grafik berbentuk huruf ”S” (sigmoid) karena pada mulanya tumbuh agak lambat kemudian cepat lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu muda disebabkan tanaman hutan ditanam rapat untuk menghindari percabangan yang berlebihan dan penjarangan yang belum memberi hasil (tending thinning).

Prodan (1968) membedakan riap menjadi tiga, sebagai berikut:

1. Riap Tahunan Berjalan (Current Annual Increment, CAI), riap dalam satu tahun berjalan.

2. Riap Periodik (Periodic Increment, PAI), riap dalam satu waktu periode tertentu.

3. Riap Rata-Rata Tahunan (Mean Annual Increment, MAI), riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu.

2.5Unit Kelestarian Hutan Rakyat

Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktivitas hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya (Suhendang 2004). Disebutkan oleh Awang et al. (2005) bahwa manajemen kelestarian hutan adalah manajemen suatu kelestarian untuk menghasilkan produksi secara kontinu (lestari) dengan tujuan pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan dan pemungutan hasil (hasil produksi) setiap tahun atau periode tertentu. Sedangkan tujuan manajemen hutan rakyat adalah untuk mencapai kelestarian pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan hutan rakyat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

(16)

Departemen Kehutanan (2001), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) menyatakan bahwa unit manajemen dalam konsep hutan kemasyarakatan adalah wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan ketergantungan masyarakat setempat terhadap kawasan hutan di sekitarnya dan potensi hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat. Wilayah pengelolaan ini terdiri atas sejumlah unit-unit lokasi sebagai unit usaha yang dikelola oleh kelompok masyarakat.

Davis (1966), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) mendefinisikan unit manajemen hutan atau unit kelestarian hasil adalah suatu unit pengelolaan untuk menghasilkan produksi hasil hutan secara lestari dengan tujuan pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan dan pemungutan hasil setiap tahun atau setiap periode tertentu. Unit manajemen dalam pengertian ini berfokus pada pengelolaan unit-unit tegakan untuk menghasilkan kayu secara lestari. Sedangkan Mosher (1986), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) memandang unit manajemen dari sisi wilayah pelayanan adalah keterkaitan unit-unit usahatani dari suatu wilayah dengan wilayah lain dalam hal penyediaan pelayanan pasar hasil usahatani dan pasar faktor-faktor produksi serta pelayanan lainnya yang terkait dengan usahatani. Konsep lokalitas usahatani dan distrik usahatani yang dikemukaan oleh Mosher adalah konsep unit manajemen dengan fokus pada wilayah pelayanan. Dalam hal ini, suatu unit manajemen dibangun berdasarkan hubungan-hubungan fungsional antara satu wilayah desa dengan pusat-pusat pelayanan di wilayah lainnya yang menyediakan fasilitas-fasilitas usahatani dan pasar produksi usahatani.

Berdasarkan pengalaman pengelolaan hutan rakyat di Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Awang et al. (2005) menguraikan dan menjelaskan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk membangun unit manajemen hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Pemetaan partisipatif kawasan hutan rakyat

(17)

Sasaran dari kegiatan pemetaan ini adalah lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat. Pengertian lahan hutan rakyat adalah jenis penggunaan lahan yang biasa ditanami dengan jenis tanaman berkayu, yaitu berupa pekarangan, tegalan, dan alas.

2. Inventarisasi tegakan hutan rakyat

Tujuan inventarisasi ini adalah untuk mengetahui potensi kayu hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat. Potensi hutan rakyat ini berupa jenis pohon, jumlah pohon, dan volume kayu. Dengan mengetahui potensi hutan rakyat tersebut, maka dapat menjadi pedoman untuk melakukan pengaturan hasil kayu hutan rakyat, agar dapat mewujudkan hutan rakyat lestari. Dan untuk selanjutnya, inventarisasi juga akan dikembangkan untuk inventarisasi hasil hutan rakyat non kayu.

3. Perencanaan pengaturan hasil hutan rakyat (kayu)

Tujuan pengaturan hasil hutan rakyat adalah untuk menghitung hasil tebangan kayu per tahun, agar hutan rakyat menjadi lestari. Hasil tebangan dapat dinyatakan dalam volume kayu (m3/tahun) dan jumlah pohon (pohon/tahun). Perhitungan hasil tebangan tahunan didasarkan pada potensi hutan rakyat yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi. Perencanaan pemanenan hasil hutan rakyat berdasarkan waktu dan tempat, selanjutnya dikembangkan berdasarkan pada tebang pilih (dengan kriteria pohon yang siap tebang).

4. Model kelembagaan pendukung untuk pengelolaan hutan rakyat lestari

Kegiatan yang dilakukan adalah fasilitas untuk mendukung penguatan kelembagaan, pelatihan pendukung pengelolaan hutan rakyat, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan seperti pengolahan hasil pertanian, pengawetan pakan ternak, pembuatan pupuk organik, kerajinan kayu, dan lain-lain.

Sedangkan menurut Mashudi (2010) selaku Humas Unit III Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat lestari dan penyusunan rencana pengelolaannya dilakukan melalui tahapan kegiatan, sebagai berikut:

(18)

yang terkait dalam proses pengembangan hutan rakyat lestari. Sosialisasi dilakukan kepada Dinas Kehutanan Propinsi/Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, masyarakat, dan pihak-pihak yang diharapkan akan mendukung kegiatan ini, dengan tujuan terbentuknya pemahaman para pihak terhadap kegiatan pengembangan hutan rakyat lestari.

2. Koordinasi kegiatan dengan stakeholder. Koordinasi dengan stakeholder Pemerintah Daerah (Kabupaten, Kecamatan, Desa) dilakukan dalam rangka membangun kesepahaman dan kesepakatan dengan stakeholder dalam rangka pengembangan hutan rakyat. Kesepahaman dan kesepakatan tersebut dapat dituangkan dalam Nota Kepahaman (Memorandum of Understanding − MoU). 3. Pembentukan kelompok tani hutan rakyat sebagai lembaga pengelola hutan

rakyat. Petani hutan rakyat yang bersedia dan sanggup untuk bergabung dan terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat lestari dikelompokkan berdasarkan wilayah pangkuan dusun atau desa ke dalam suatu Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) yang merupakan suatu unit kelestarian dan akan membentuk suatu unit pengelolaan hutan rakyat lestari.

4. Pendataan persil dan pemetaan serta pembagian wilayah pengelolaan dengan memanfaatkan batas persil tanah masyarakat. Pendataan persil adalah kegiatan inventarisasi lahan milik masyarakat yang telah terdaftar sebagai anggota KTHR. Pendataan dilakukan secara bersama antara pemilik lahan dengan Petugas Perum Perhutani atau fasilitator. Dalam terminologi perencanaan hutan dalam kawasan persil setara dengan petak/anak petak. Data yang dihimpun dalam kegiatan ini, meliputi: nama pemilik persil, alamat, luas, status kepemilikan tanah, dan No SPPT.

(19)

a. Penandaan batas persil

Kegiatan ini dilakukan untuk mempermudah proses inventarisasi maupun monitoring dan evaluasi, diperlukan penandaan batas berupa patok bambu. Kegiatan ini tidak bersifat mengikat, namun dilakukan secara kesepakatan dengan semua anggota KTHR.

b. Pengukuran dan perpetaan

Tahapan berikutnya setelah pendataan dan penandaan persil adalah pengukuran dan perpetaan. Pengukuran dan perpetaan menggunakan alat Global Position System (GPS). Proses ini dilakukan secara bersama antara pemilik lahan dengan Perum Perhutani. Untuk memperoleh tingkat keterampilan yang memadai, maka fasilitator dan masyarakat sebelumnya diberikan pelatihan secara khusus.

c. Inventarisasi potensi hutan rakyat

Setelah diperoleh kepastian areal pengembangan hutan rakyat lestari, maka selanjutnya dilakukan inventarisasi potensi hutan rakyat. Obyek inventarisasi adalah tegakan yang terdapat pada setiap persil lahan milik anggota KTHR. Data yang dicatat dalam kegiatan ini, yaitu: luas, jenis tegakan, jumlah pohon, keliling pohon, dan potensi bukan kayu lainnya sebagai catatan. Inventarisasi ini dilakukan secara partisipatif antara anggota KTHR dengan Perum Perhutani.

d. Pembentukan unit kelestarian dan unit pengelolaan hutan rakyat lestari Sebagai sarana terbangunnya kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang selaras dan terintegrasi, serta demi terjaminnya kelestarian pengusahaan maupun kelestarian sumberdaya hutan rakyat, diperlukan sebuah Forest Management Unit (Satuan Pengelolaan Hutan). Pembagian unit kelestarian dan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut :

1) Persil

(20)

2) Unit kelestarian

Unit kelestarian hutan rakyat adalah gabungan dari beberapa persil yang berada dalam satuan desa. Namun, dalam hal-hal khusus apabila sebuah dusun memadai untuk dijadikan unit kelestarian (perihal pertimbangan luas ataupun potensi) maka satuan dusun dapat ditetapkan sebagai satuan unit kelestarian. Satuan ini merupakan unit kelestarian yang harus terjaga tingkat kelestariannya dan tidak diperkenankan terjadi over cutting. Oleh sebab itu, perlu dihitung nilai etat yang didasarkan pada hasil inventarisasi tegakan atau potensi hutan rakyat.

3) Unit pengelolaan

Unit pengelolaan hutan rakyat merupakan gabungan dari beberapa kelompok tani hutan rakyat. Satuan wilayah administratif dari unit pengelolaan hutan rakyat adalah kabupaten/kota. Namun, dimungkinkan dalam sebuah kabupaten/kota terdapat lebih dari satu unit pengelolaan hutan rakyat. Sebuah unit pengelolaan hutan rakyat dalam menjalankan operasional pengelolaannya didasarkan pada sebuah bussines plan atau disebut dengan Rencana Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (RPHRL).

(21)

internal lembaga pengelola (KTHR, BUMP, Koperasi) atas dasar kesepakatan anggota menyangkut kegiatan pengelolaan hutan rakyat seperti penanaman, pemeliharaan, penjarangan, penebangan, dan pemasaran.

(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan pada hutan rakyat yang berada di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Adapun pelaksanaannya dari bulan Juli 2011 sampai bulan Agustus 2011.

3.2Alat dan Objek Penelitian

Penelitian ini memerlukan beberapa alat yang digunakan, yaitu: alat pengukur keliling pohon (pita ukur), galah (bambu) untuk mengukur tinggi pohon, tally sheet, alat pengukur jarak (meteran), alat tulis, kamera digital, kalkulator, perangkat keras, dan perangkat lunak. Sedangkan objek penelitiannya adalah tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo yang dimiliki oleh petani hutan rakyat.

3.3Jenis dan Sumber Data

Terdapat dua jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari inventarisasi, pengamatan, dan interview. Sedangkan data sekunder adalah data yang bersumber dari instansi terkait. Rinciannya seperti pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan

Jenis Data Variabel Data yang dikumpulkan Metode

Data Primer

Sejarah hutan rakyat

Sejarah hutan rakyat Wawancara

Sistem pengelolaan hutan rakyat

Jenis tanaman Pola tanam

Sistem pengelolaan hutan rakyat

Inventarisasi Wawancara Pengamatan, Wawancara

Potensi hutan

rakyat

Potensi tegakan (jenis tanaman, keliling pohon setinggi dada (Kbh), tinggi total (Tt), dan jumlah pohon)

Inventarisasi

Kesediaan Kesediaan petani hutan rakyat untuk menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat

Wawancara

Solusi Perumusan solusi atas kendala yang dihadapi petani hutan rakyat agar bersedia

menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat

Wawancara Data Sekunder Kondisi umum lokasi penelitian Literatur

Letak dan luas wilayah, keadaan fisik (topografi, jenis tanah, dan iklim), keadaan sosial ekonomi (keadaan penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan budaya)

Tinjauan pustaka terkait penelitian

Studi pustaka

(23)

3.4Metode Pengambilan Contoh

Penentuan lokasi dilakukan menggunakan metode sampel terpilih (purpossive sampling) adalah pada lahan hutan rakyat yang mendapat sertifikasi pertama kali. Berdasarkan kondisi tegakan di Desa Sumberejo yang tidak terlalu heterogen (baik dari kerapatan pohon, jarak tanam, maupun sebaran diameter pohon) dan dengan mempertimbangkan aspek biaya, waktu, serta tenaga, maka pengambilan sampel lahan hutan rakyat menggunakan intensitas sampling (IS) sebesar 5%. Pengambilan sampel diawali dengan pengambilan IS 5% dari luas total lahan hutan rakyat Desa Sumberejo, kemudian pengambilan IS 5% dari luas total lahan hutan rakyat di masing-masing dusun, dan pengambilan IS 5% dari luas total tegalan dan pekarangan milik petani hutan rakyat di masing-masing dusun.

Dalam desain penarikan sampel teknik non probabilitas menurut Narimawati dan Munandar (2008), metode ini disebut juga dengan teknik ad hoc quotas adalah teknik yang menekankan pada kuota, misalnya responden yang diteliti 65% terdiri dari wanita, dan peneliti bebas memilih responden siapa saja asal kuota terpenuhi. Berdasarkan teknik tersebut, maka digunakanlah pemikiran bahwa luas lahan hutan rakyat yang akan diteliti adalah IS 5% terdiri dari tegalan dan pekarangan, dan peneliti bebas memilih lahan hutan rakyat mana saja yang akan diteliti asal kuota terpenuhi. Sedangkan responden yang dipilih untuk keperluan wawancara adalah responden (petani hutan rakyat) yang pada lahannya telah dilakukan pengukuran potensi baik di tegalan maupun di pekarangan. Oleh karena itu, banyaknya jumlah responden tergantung pada lahan hutan rakyat yang dilakukan pengukuran potensi sebesar IS 5% adalah sejumlah 25 orang.

3.5Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Metode pengumpulan data primer

(24)

Melihat kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian dengan tingkat kerapatan pohon yang cukup tinggi dan jarak tanam yang tidak beraturan serta mengingat keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya, maka digunakan metode inventarisasi menurut Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati, Perum Perhutani. Dalam metode tersebut pengukuran dibedakan berdasarkan umur tegakan, yaitu: umur muda, umur sedang, dan umur tua. Plot ukur yang digunakan adalah circular plot atau plot lingkaran dengan luas 0,02 ha (diameter lingkaran 7,94 m) untuk tegakan dominan umur muda, luas 0,04 ha (diameter lingkaran 11,28 m) untuk tegakan dominan umur sedang, dan luas 0,1 ha (diameter lingkaran 17,8 m) untuk tegakan dominan umur tua. Dalam pelaksanaannya di lapangan, penentuan jumlah dan penempatan plot disesuaikan dengan kondisi tegakan hutan rakyat milik responden. Adapun pengukuran dan pencatatan mencakup luas lahan, jenis pohon, keliling pohon dan tinggi total pohon.

3.5.2 Metode pengumpulan data sekunder

Data sekunder yang berupa informasi diambil melalui studi pustaka sebagai data penunjang yang dapat melengkapi dan mendukung hasil penelitian. Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan LSI, Perpustakaan Fakultas Kehutanan, Perpustakaan Departemen Manajemen Hutan, serta Perpustakaan Pusdiklat Kehutanan Bogor. Selain itu data sekunder ini juga diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya, seperti instansi-instansi terkait baik dari lembaga pemerintah tingkat desa maupun kecamatan. Data sekunder yang diperlukan meliputi kondisi umum lokasi penelitian berupa letak dan luas wilayah, keadaan fisik (topografi, jenis tanah, dan iklim), dan keadaan sosial ekonomi (keadaan penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan budaya).

3.6Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua teknik analisis, yaitu: analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

3.6.1 Analisis kuantitatif

(25)

nantinya akan dimasukkan ke dalam tabel dan selanjutnya dianalisis menjadi teks naratif berdasarkan literatur yang ada.

3.6.1.1Penentuan klasifikasi umur berdasarkan umur rata-rata menurut modus

Pengambilan data umur mengacu pada narasumber bukan mengacu pada catatan dari pemilik hutan rakyat, sehingga penghitungan umur yang dilakukan yaitu menggunakan rataan modus menurut kelas diameter. Rataan modus itu sendiri adalah rataan untuk ungrouped data. Dalam hal ini, rataan tersebut digunakan untuk menentukan umur yang masuk ke dalam kelas diameter tertentu. Pada prinsipnya, rataan modus diperoleh dari nilai yang paling sering muncul atau nilai yang frekuensinya paling tinggi. Nilai yang dimaksud di sini adalah umur, sehingga umur yang paling sering muncul di kelas diameter tertentu akan dijadikan umur pada kelas diameter tersebut. Hal ini akan lebih diperjelas melalui contoh perhitungan klasifikasi umur untuk jenis jati di tegalan berikut. Untuk jenis lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2 Klasifikasi umur jenis jati di tegalan berdasarkan umur rata-rata menurut modus

Kelas Diameter (cm) Umur lapangan Umur yang digunakan menurut modus

1-10 1 1

5

11-20 5 5

10 21-30

10 10 15 15 20 20

31-40 25 25

41-50 45 45

3.6.1.2Perhitungan pendugaan potensi tegakan hutan rakyat

1. Potensi kerapatan pohon per hektar (Widayati & Riyanto 2005)

NP Ni NH NPLP

Keterangan:

NP = Jumlah individu pohon per plot ukur (pohon/plot) Ni = Pohon ke-i

NH = Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

(26)

a. Rata-rata potensi kerapatan pohon per hektar

NH = ∑ NH Keterangan:

NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

NH

= Kerapatan pohon per hektar ke-i (pohon/ha) n = Jumlah petani responden

b. Total potensi kerapatan pohon per hektar

NH = NH + NH Keterangan:

NH = Total kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis pohon x (pohon/ha)

NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis pohon y (pohon/ha) x = Jati

y = Mahoni

c. Persentase potensi kerapatan pohon per hektar

NH / =

NH /

NH

x 100

Keterangan:

NH / = Persentase kerapatan pohon per hektar jenis x atau y (%) NH / = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis x atau y (pohon/ha)

NH = Total kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

x = Jati

y = Mahoni

2. Potensi kerapatan pohon per petani

NP = NH x LP Keterangan:

NP = Kerapatan pohon per petani (pohon/petani) NH = Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

LP = Luas lahan hutan rakyat milik petani (ha/petani) a. Rata-rata potensi kerapatan pohon per petani

NP = ∑ NP Keterangan:

(27)

b. Total potensi kerapatan pohon per petani

NP = NP + NP Keterangan:

NP = Total kerapatan pohon per petani (pohon/petani)

NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis pohon x (pohon/petani)

NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis pohon y (pohon/petani) x = Jati

y = Mahoni

c. Persentase potensi kerapatan pohon per petani

NP / =

NP /

NP

x 100

Keterangan:

NP /

= Persentase kerapatan pohon per petani jenis x atau y (%) NP / = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis x atau y

(pohon/petani)

NP = Total kerapatan pohon per petani (pohon/petani)

x = Jati

y = Mahoni

3. Potensi volume pohon per hektar per petani (Widayati & Riyanto 2005) Dbh =

π

V = 0,25 x π x Dbhi2 x Tti x fi

VP V

VH VPLP

Keterangan:

Dbhi = Diameter setinggi dada (tinggi pengukuran 1,3 m dari atas

permukaan tanah) pohon ke-i (m)

Kbhi = Keliling setinggi dada (tinggi pengukuran 1,3 m dari atas permukaan

tanah) pohon ke-i (m) π = Konstanta (3,14)

Vi = Volume pohon ke-i (m3)

Tti = Tinggi total pohon ke-i (m)

fi = faktor bentuk pohon ke-i (jati: 0,6 dan mahoni: 0,7) VP = Volume pohon per plot ukur (m3/plot)

VH = Volume pohon per hektar (m3/ha)

(28)

a. Rata- rata potensi volume pohon per hektar

VH = ∑ VH Keterangan:

VH = Rata-rata volume pohon per hektar (m3/ha)

VH

= Volume pohon per hektar ke-i (m3/ha) n = Jumlah petani responden

b. Total potensi volume pohon per hektar

VH = VH + VH Keterangan:

VH = Total volume pohon per hektar (m3/ha)

VH = Rata-rata volume pohon per hektar di lahan x (m3/ha)

VH = Rata-rata volume pohon per hektar di lahan y (m3/ha) x = Lahan hutan rakyat di tegalan

y = Lahan hutan rakyat di pekarangan c. Persentase potensi volume pohon per hektar

VH = VH

VH

x 100

Keterangan:

VH

= Persentase volume pohon per hektar (%) VH = Rata-rata volume pohon per hektar (m3/ha)

VH = Total volume pohon per hektar (m3/ha) 4. Potensi volume pohon per petani

VP = VH x LP Keterangan:

VP = Volume pohon per petani (m3/petani) VH = Volume pohon per hektar (m3/ha)

LP = Luas lahan hutan rakyat milik petani (ha/petani) a. Rata-rata potensi volume pohon per petani

VP = ∑ VP Keterangan:

VP = Rata-rata volume pohon per petani (m3/petani)

NP

= Volume pohon per petani ke-i (m3/petani) n = Jumlah petani

b. Total potensi kerapatan pohon per petani

VP = VP + VP Keterangan:

VP = Total volume pohon per petani (m3/petani)

(29)

VP = Rata-rata volume pohon per petani di lahan y (m3/petani) x = Lahan hutan rakyat di tegalan

y = Lahan hutan rakyat di pekarangan c. Persentase potensi kerapatan pohon per petani

VP = VP

VP

x 100

Keterangan:

VP

= Persentase volume pohon per petani (%) VP = Rata-rata volume pohon per petani (m3/petani)

VP = Total volume pohon per petani (m3/petani)

3.6.1.3Selang kelas

Dalam penelitian ini digunakan selang kelas terhadap kelas diameter dan kelas umur. Selang kelas digunakan agar dapat menginformasikan suatu data dengan lebih praktis. Pada kelas diameter dibuat selang kelas per sepuluh sentimeter. Sedangkan pada kelas umur dibuat selang kelas per lima tahun untuk jenis jati dan selang kelas per dua tahun untuk jenis mahoni. Selang kelas tersebut dibuat dengan mempertimbangkan data yang tersedia di lapang.

3.6.1.4Perhitungan riap diameter rata-rata tahunan

Perhitungan riap diameter rata-rata tahunan (MAId) berdasarkan rumus

Prodan (1968) yang disesuaikan dengan data di lapang, sebagai berikut: 1. Riap Rata-Rata Tahunan Diameter (MAId)

MAI

D D ∆D

Keterangan:

MAI = Riap diameter tahunan berjalan pada kelas diameter i (cm/th)

D = Diameter pohon umur t+k tahun pada kelas diameter i (cm) (t+k)i = Umur pohon setelah penambahan selang kelas umur pada kelas

diameter i (tahun)

D = Diameter pohon umur t tahun pada kelas diameter i (cm) ti = Umur pohon pada kelas diameter i (tahun)

T = Umur pohon t+k tahun pada kelas diameter i (tahun)

T = Umur pohon t tahun pada kelas diameter i (tahun)

∆D = Selisih diameter pohon umur t+k tahun dengan diameter pohon umur t tahun pada kelas diameter i (cm)

∆T = Selisih umur pohon t+k tahun dengan umur pohon t tahun pada kelas diameter i (tahun)

(30)

3.6.1.5Perhitungan pengaturan hasil menurut jumlah batang

Pengaturan hasil dibuat untuk menentukan sejumlah pohon yang boleh ditebang dengan satuan per hektar per tahun. Dalam pengaturan hasil ini digunakan dasar perhitungan riap diameter rata-rata tahunan. Melalui riap tersebut, dapat diketahui sejumlah pohon yang pindah dari suatu kelas diameter tertentu ke kelas diameter berikutnya sehingga dapat ditentukan banyaknya pohon yang boleh ditebang dengan rumus:

N = N - N Keterangan:

N = Jumlah pohon yang boleh ditebang pada kelas diameter x (batang)

N = Jumlah pohon yang pindah dari kelas diameter x-1 (batang)

N = Jumlah pohon yang pindah ke kelas diameter x+1 (batang)

3.6.2 Analisis kualitatif

Teknik analisis kualitatif lebih menekankan pada hasil penelitian yang berupa wawancara langsung kepada responden yang bersifat pendeskripsian secara utuh terhadap gambaran informasi dari responden. Dalam prakteknya, setiap responden diwawancara dengan diberi beberapa pertanyaan mengenai kesediaannya terhadap penerapan pengaturan hasil, pembentukan unit kelestarian hutan rakyat dan solusi atas kendala yang dihadapi. Lalu, data hasil wawancara tersebut diolah dengan mempersentasekan jumlah responden yang bersedia dan keberatan terhadap jumlah responden total. Hasil persentase tersebut dianalisis berdasarkan pertimbangan atas kesediaan dari masing-masing responden dengan perhitungan sebagai berikut:

1. Persentase pertimbangan responden terhadap kesediaannya dalam menerapkan pengaturan hasil, membentuk unit kelestarian hutan rakyat, dan menanggapi solusi atas kendala yang dihadapi.

PR

P

x

Keterangan:

PR

= Persentase responden dengan pertimbangan x (%)

JRP = Jumlah responden yang memiliki pertimbangan x (orang) JSR = Jumlah seluruh responden (orang)

2. Persentase responden yang bersedia

(31)

Keterangan:

RB = Persentase responden yang bersedia (%)

PR

= Persentase responden dengan pertimbangan x (%) n = Jumlah pertimbangan

3. Persentase responden yang keberatan

RTB = 100%

RB

Keterangan:

(32)

BAB IV

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1Letak dan Luas Wilayah

Desa Sumberejo terletak di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis, terletak pada 7°32’ − 8°15’ LS dan 110°41’ − 111°18’ BT. Jarak desa ke arah ibu kota kecamatan sejauh 6 km, sedangkan ke arah ibu kota kabupaten sejauh 40 km. Adapun batas wilayah desa sebelah Utara dengan Desa Ronggojati, sebelah Timur dengan Desa Batuwarno, sebelah Selatan dengan Kelurahan Selopuro, dan sebelah Barat dengan Desa Temon, Kecamatan Baturetno.

Desa Sumberejo memiliki wilayah seluas 546 ha yang terdiri dari delapan dusun, yaitu: Dusun Puthuk, Dusun Rowo, Dusun Rembun, Dusun Gembuk, Dusun Kalinekuk, Dusun Semawur, Dusun Ngandong, dan Dusun Wates. Wilayah ini terbagi menjadi beberapa penggunaan lahan, antara lain: tanah sawah seluas 24 ha, rawa seluas 3 ha, tanah fasilitas umum seluas 29 ha, hutan rakyat/tegalan seluas 382 ha, pekarangan dan pemukiman seluas 109 ha.

4.2Keadaan Fisik

4.2.1 Topografi dan jenis tanah

Berdasarkan profil Kecamatan Batuwarno (2011), Desa Sumberejo berada pada ketinggian 274 mdpl yang sebagian besar terdiri dari pegunungan dengan 55% daerah berombak hingga berbukit dan 15% daerah datar hingga berombak. Jenis tanah Desa Sumberejo adalah litosol mediteran coklat basa dengan struktur tanah yang didominasi oleh batuan gamping sebagai ciri khasnya. Kondisi geografis dan struktur geologis dengan batuan kapur yang berlapis memberi kesan bahwa daerah ini tampak sebagai kawasan batu bertanah.

4.2.2 Iklim

(33)

4.3Keadaan Sosial Ekonomi 4.3.1 Keadaan penduduk

Berdasarkan hasil laporan data potensi Desa Sumberejo pada bulan Februari 2011, diketahui jumlah penduduk Desa Sumberejo sebanyak 2.139 jiwa dari 668 kepala keluarga yang terdiri atas 1.055 laki-laki dan 1.084 perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan sebaran umur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan sebaran umur

No. Sebaran umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 0-1 72 3

2. 2-4 96 4

3. 5-6 52 2

4. 7-15 147 7

5. 16-21 185 9

6. 22-59 1.134 53

7. ≥ 60 373 17

Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)

Data di atas menginformasikan bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada sebaran umur 22-59 tahun. Umur tersebut merupakan usia produktif untuk bekerja sehingga banyak penduduk yang merantau untuk mencari kerja ke kota-kota besar. Hal inilah yang menyebabkan jarang ditemui penduduk dengan sebaran umur 22-59 tahun yang masih tinggal di desa. Bahkan keadaan ini sudah menjadi suatu tradisi bagi Desa Sumberejo.

4.3.2 Mata pencaharian

(34)
[image:34.595.115.512.101.290.2]

Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan mata pencaharian No. Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Petani 1.152 54,0

2. Buruh tani 636 28,0

3. Buruh Bangunan 86 4,0

4. Buruh Industri 28 1,0

5. Usaha Industri 23 1,0

6. Usaha Dagang 25 1,0

7. Pegawai Swasta 4 0,2

8. Pegawai Negeri 17 1,0

9. Pensiunan 19 1,0

10. Pengrajin 10 0,5

11. Pengangguran 56 3,0

12. Lain-lain 48 2,0

Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)

4.3.3 Pendidikan, agama, budaya

Tingkat pendidikan penduduk Desa Sumberejo didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD), oleh karena itu banyak diantaranya yang berprofesi sebagai petani maupun buruh tani perihal keterbatasan pengetahuan. Namun, terdapat pula beberapa tingkat pendidikan lain seperti yang tertera pada tabel berikut.

Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan tingkat pendidikan No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Belum sekolah 145 7

2. Tidak pernah sekolah 0 0

3. Tidak tamat SD 473 22

4. Tamat SD 914 43

5. Tamat SLTP 299 14

6. Tamat SLTA 254 12

7. Tamat Diploma/Sarmud 31 1

8. Tamat Sarjana 32 1

Sumber: Potensi Desa Sumberejo (2011)

(35)

pun setiap individu di Desa Sumberejo memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Budaya gotong-royong dan saling membantu masih terasa kental.

4.4Sejarah Hutan Rakyat Desa Sumberejo

Kondisi hutan rakyat Desa Sumberejo yang saat ini sudah banyak dipenuhi oleh pepohonan sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Dahulu, lahan di desa ini termasuk lahan kritis yang gersang, gundul, tandus, dan terdiri dari batuan bertanah dengan kelerengan yang cukup curam. Menurut Mulyadi dan Soepraptohardjo (1975), diacu dalam Rosa (2003), lahan kritis sering diartikan sebagai lahan-lahan yang secara potensial tidak mampu berperan dalam salah satu atau beberapa fungsi, yaitu: (1) Unsur produksi pertanian (fungsi pertanian), (2) Media pengatur tata air (fungsi hidrologi), dan (3) Media pelindung alam lingkungan (fungsi orologi). Dengan kondisi demikian, petani menjadi tidak mau memanfaatkan lahan, sehingga banyak ditumbuhi alang-alang dan lambat laun kelangkaan lahan pertanian produktif mulai dirasakan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka mulai menanami lahan dengan tanaman pangan, antara lain: padi, jagung, dan kedelai pada musim penghujan. Namun dengan keadaan lahan yang kurang mendukung tanpa diiringi tindakan silvikultur dan konservasi tanah, membuat usaha tersebut menjadi sia-sia dan hanya menghasilkan erosi serta penurunan produktivitas tanah. Oleh karena itu, usaha untuk menanami lahan dengan tanaman pangan dihentikan sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, kondisi pun semakin parah karena tidak hanya kelangkaan pangan yang terjadi tetapi juga kesulitan mendapatkan air terutama saat musim kemarau tiba.

(36)

sedikit dari mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang bisa dimakan bila lahannya ditanami kayu.

Respon yang kurang baik ini tidak menyurutkan semangat para penggiat desa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pohon bagi kelangsungan hidup mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit para penggiat desa yang dipelopori oleh Pak Sularjo selaku Kepala Dusun Wates Wetan saat itu, mendekati warga dengan memberi pandangan pentingnya menanam pohon sekaligus melakukan penyulaman dengan jenis jati, mahoni, dan akasia pada pohon hasil proyek yang tidak tumbuh. Usaha itu pun berbuah manis dengan seiring berkembangnya kesadaran warga. Mereka menyadari bahwa dengan tidak mencabut pohon dan membiarkannya hidup hingga besar, ternyata dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, diantaranya yaitu sebagai bahan bangunan rumah atau untuk dijual.

Pada tahun 1976-1977 pemerintah mengadakan program penghijauan di Kabupaten Wonogiri melalui proyek Reboisasi dan Penghijauan (INPRES) dengan memberikan bantuan bibit tanaman akasia (Acacia auriculiformis) sebanyak 400 batang/ha, pupuk, dan upah penanaman, serta biaya pemeliharaan selama satu tahun. Desa Sumberejo yang juga termasuk penerima program tersebut, sejak saat itu mulai menanam dengan lebih terarah dan terprogram. Kegiatan ini meliputi seluruh wilayah desa pada lahan-lahan yang tidak lagi produktif, ditinggalkan, dan liar. Melalui kegiatan ini, petani juga dibekali dengan penyuluhan tentang pengetahuan konservasi tanah, sehingga lahan yang mulanya berbatu diubah menjadi petak-petak berteras guna mencegah erosi.

(37)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat

Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo ini mulanya sangat sederhana, terhitung sejak usaha para penggiat desa untuk mengajak warga lain menanam pohon. Namun, seiring datangnya proyek-proyek pemerintah terutama pada saat proses sertifikasi hutan rakyat, banyak penyuluhan dan pelatihan yang telah diberikan untuk para petani terkait pengelolaan hutan rakyat mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Meski demikian, hingga saat ini pengelolaan hutan rakyat belum juga dilakukan secara intensif. Hal ini dikarenakan anggapan petani yang menyatakan bahwa tanpa harus dipelihara secara intensif pun pohon-pohon tersebut pasti akan menghasilkan di kemudian hari, lain halnya dengan tanaman pangan dan tanaman semusim yang harus dipelihara secara intensif agar hasilnya maksimal.

Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam pengelolaan hutan, diantaranya yaitu pemilihan jenis pohon yang akan ditanam, pengadaan bibit, penanaman pohon, pemeliharaan pohon, dan dilanjutkan dengan pemanenan.

1. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam

Awalnya, petani menanam pohon berdasarkan pohon yang memang sudah ada sebelumnya, yaitu: jenis jati dan mahoni. Hingga saat ini pun jenis tersebut masih tetap ditanam oleh petani. Petani beranggapan bahwa jenis jati dan mahoni memang cocok dengan tanah yang ada di desanya. Namun selain hal tersebut, ada hal-hal lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis ini seperti yang dipaparkan oleh Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) bahwa terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan, antara lain: kesesuaian lahan, riap, ketersediaan tenaga kerja, harga jual kayu yang dihasilkan, dan kemudahan dalam pemeliharaan.

(38)

karena harga jualnya tinggi maka jenis ini dipilih untuk ditanam. Walaupun harga jual mahoni tidak setinggi jati, riap yang besar dan daur yang lebih singkat membuat petani memilih untuk menanamnya.

Terkait hal tersebut, Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) melanjutkan bahwa dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) tahun 2001, pada wilayah pegunungan kapur selatan terdapat tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni. Sedangkan Desa Sumberejo yang juga termasuk dalam wilayah Pegunungan Kapur Selatan, mayoritas menanam jati dan mahoni. Sekalipun terdapat jenis akasia di desa tersebut, itu merupakan sisa pohon peninggalan proyek WFP (World Food Program) yang masih dibiarkan hidup.

Hal-hal yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu yaitu ketersediaan tenaga kerja dan pertimbangan kemudahan dalam pemeliharaan. Bila dikaitkan dengan kondisi petani saat ini, petani tidak mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja karena petani mampu menanam pohon sendiri. Sekalipun memerlukan bantuan, petani dapat meminta tolong kepada sanak saudara agar membantunya tanpa harus membayar orang lain atau semacam buruh. Sedangkan alasan petani tidak mempertimbangkan faktor kemudahan dalam pemeliharaan adalah karena petani lebih mengandalkan alam sehingga tidak perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif.

2. Pengadaan bibit

(39)
[image:39.595.173.434.125.282.2]

yang tumbuh di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo akibat persebaran biji oleh angin.

Gambar 1 Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami.

Menurut Indriyanto (2008), penyebaran biji oleh angin merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif. Sedangkan trubusan atau tunas merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara vegetatif. Permudaan hutan secara alamiah itu sendiri merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahap proses perkembangan tegakan hutan.

(40)

gerowong pada bagian pangkal. Berikut adalah dokumentasi terkait trubusan pada jenis jati yang dilakukan oleh petani.

[image:40.595.130.498.118.342.2]

(a) (b)

Gambar 2 Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong. 3. Penanaman pohon

(41)

tidak berlaku untuk semua lahan, sebab ada beberapa lahan yang saat ini memang benar-benar sudah rapat dengan pepohonan mulai dari tingkat semai hingga pohon. Untuk kondisi lahan seperti itu, maka petani tidak perlu lagi menanam pohon.

Berdasarkan prinsip-prinsip silvikultur, penanaman biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan tanaman yang akarnya terbuka atau dalam wadah. Ini merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk penanaman konifer dan banyak jenis daun lebar. Sedangkan Indriyanto (2008) menyebutkan ada beberapa jenis penanaman berdasarkan bentuk bibit yang ditanam dan cara penanaman bibit di area, yaitu: penanaman langsung, penanaman stump, penanaman bibit puteran, penanaman bibit cabutan, dan penanaman bibit pot. Jenis penanaman tersebut merupakan penanaman dengan bibit yang berasal dari persemaian.

4. Pemeliharaan pohon

Untuk meningkatkan peran positif dan menekan peran negatif dari semua faktor lingkungan biotik dan abiotik, maka pemeliharaan tanaman sangat diperlukan agar keberhasilan hidup dan pertumbuhan tanaman menjadi baik (Indriyanto 2008). Faktor-faktor lingkungan tersebut mempengaruhi keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya. Faktor biotik yang mempengaruhi, yaitu: organisme mikro patogen, organisme parasit, serangga dan binatang besar lainnya bahkan tetumbuhan liar yang umumnya disebut gulma. Sedangkan yang termasuk dalam faktor abiotik yaitu kondisi iklim dan kesuburan tanah (Baker et al. 1979, diacu dalam Indriyanto 2008).

Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, antara lain: penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, penjarangan tanaman, dan pengendalian hama penyakit (Dardjadi & Hardjono 1976, diacu dalam Indriyanto 2008).

a. Penyulaman tanaman

(42)

tanaman yang tumbuh sebagian besar mengandalkan persebaran alami. Namun, disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa memang pada tahun-tahun berikutnya setelah penyulaman pertama dan kedua tidak perlu lagi dilakukan penyulaman karena pertumbuhan tanaman susulan akan tertinggal. Penyulaman pertama dilakukan saat satu bulan setelah penanaman, sedangkan penyulaman kedua dilakukan saat satu tahun setelah penanaman. Penyulaman itu sendiri merupakan tindakan pemeliharaan untuk meningkatkan persentase tanaman hidup dengan cara menanami kembali pada lubang tanam yang tanamannya telah mati. Penyulaman dilakukan apabila persentase hidup tanaman kurang dari 80%. b. Penyiangan tanaman

Kegiatan penyiangan yang berupa pembersihan gulma (alang-alang, rumput, semak, dan liana) di sekitar tanaman masih dilakukan secara manual hingga saat ini yaitu dengan menggunakan cangkul, parang, atau sejenisnya. Indriyanto (2008) menyebutkan bahwa pembersihan gulma juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Contoh bahan kimia yang dapat digunakan untuk penyiangan, antara lain: Sodium Chlorate (5-10 g/cm2) serta campuran 2,4-D dengan 2,4,5-T (1 g/cm2). Untuk mendapatkan bahan kimia tersebut tentunya petani harus mengeluarkan uang lebih. Dan jika demikian, maka petani lebih memilih untuk melakukan penyiangan tanaman secara alami karena tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Sekalipun petani memiliki uang, petani lebih memprioritaskan untuk membeli pupuk bagi tanaman semusimnya. c. Pendangiran tanaman

(43)

d. Pemupukan tanaman

[image:43.595.226.430.307.470.2]

Sama seperti kegiatan penyulaman yang dilakukan saat proyek rehabilitasi, kegiatan pemupukan tanaman ini pun hanya dilakukan pada saat itu saja. Kini para petani sudah tidak lagi melakukan pemupukan sebab telah tersedia banyak serasah dari dedaunan yang berguguran untuk mengganti fungsi pupuk tersebut. Selain itu, tidak tersedianya dana untuk membeli pupuk pun menjadi kendala dalam hal ini. Dan sekalipun petani memiliki cukup dana, petani lebih mengutamakan untuk memupuki tanaman semusimnya. Bila pupuk tersebut berlebih maka dapat petani gunakan untuk memupuki tanaman kayu di lahan hutan rakyatnya. Berikut adalah dokumentasi serasah yang digunakan sebagai pengganti pupuk.

Gambar 3 Serasah sebagai pengganti pupuk. e. Pemangkasan cabang

(44)

dikhususkan untuk penghasil kayu pertukangan dan juga tidak sengaja ditanam seperti layaknya hutan tanaman yang disertai dengan jarak tanam. Oleh sebab itu, kegiatan pemangkasan cabang ini juga tidak terlalu penting diterapkan pada tegakan hutan rakyat di Desa Sumberejo.

f. Penjarangan tanaman

Kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat pohon yang rusak atau mati, lalu hasil penjarangan tersebut dijadikan kayu bakar untuk keperluan memasak. Selain itu, kegiatan penebangan untuk keperluan dijual pun dianggap sekaligus sebagai kegiatan penjarangan. Padahal menurut Indriyanto (2008), pada umumnya untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 3-4 tahun, dan untuk jenis pohon yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 5-10 tahun. Hal ini dilakukan agar tercipta fase-fase pertumbuhan secara baik, mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon, dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan.

Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan (pembebasan dan penjarangan) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tegakan (riap diameter). Riap diameter tegakan berbeda pada tegakan yang dipelihara dan yang tidak dipelihara. Melalui penjarangan, riap diameter pohon rata-rata tegakan dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi (Indriyanto 2008). Namun, petani tidak mengikuti penjarangan tersebut karena petani justru lebih suka kalau tegakan di hutan rakyatnya banyak dan rapat. Semakin rapat menurut petani maka akan semakin baik dan akan semakin lestari.

g. Pemberantasan hama dan penyakit

(45)

Indriyanto 2008) sebagai tindakan mengatur populasi hama atau penyakit agar tidak menimbulkan kerusakan yang dinilai secara ekonomi merugikan.

5. Penebangan

Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat kebutuhan mendesak dan memerlukan biaya besar, seperti keperluan untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Sistem tebang ini juga biasa disebut dengan sistem tebang butuh. Umur pohon saat tebang biasanya berkisar antara 10-15 tahun untuk jenis jati dan berkisar antara umur 10-14 tahun untuk jenis mahoni dengan diameter rata-rata minimal 20 cm. Untuk keperluan dijual, proses penebangan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli menggunakan peralatan tebang, antara lain: chainsaw, kapak, dan tali tambang. Sedangkan untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah, maka kegiatan penebangan dilakukan sendiri oleh masing-masing petani. Penebangan tersebut juga menggunakan alat seperti chainsaw yang dipinjam dari tetangga apabila ia memiliki atau meminjamnya ke bakul. Bila penebangan dalam jumlah banyak, terkadang petani menyewa peralatan dari bakul. Bakul adalah orang yang biasa membeli kayu hasil tebangan dari petani.

5.2Potensi Hutan Rakyat

(46)

Pertanian (1976) merupakan massa tegakan hutan yang dinyatakan dengan rata-rata volume dan jumlah batang per hektar areal berhutan seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo

Jenis

Potensi Riap diameter (cm/th)

Satuan Volume

(m3)

Kerapatan pohon (batang)

I II III IV V

Rata-rata

Jati

Per

hektar 206,56 1.029

2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 1,12 Per

petani 140,61 811

Mahoni

Per

hektar 1.206,68 2.058

1,52 2,05 2,44 2,28 - 2,07

Per

petani 708,61 2.943

Jumlah

Per

hektar 1.413,24 3.087 -

Per

petani 849,22 3.754 -

Keterangan: Data pengukuran (diolah)

I = 1-10 cm, II = 11-20 cm, III = 21-30 cm, IV = 31-40 cm, V = 41-50 cm.

Pada Tabel 6 diinformasikan bahwa potensi berdasarkan jenis baik volume maupun kerapatan pohon per hektar dan per petani didominasi oleh jenis mahoni. Jenis ini banyak terdapat di lokasi sebab jenis lainnya yaitu jati telah banyak ditebang pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan mahoni yang relatif lebih cepat dibanding jati membuat jumlahnya lebih mendominasi. Hal ini juga dapat dilihat pada riap yang mengalami peningkatan hingga kelas diameter 21-30 cm dan mengalami penurunan setelah kelas diameter tersebut. Sedangkan jati terus mengalami penurunan seiring bertambahnya kelas diameter. Informasi lain terkait data potensi berdasarkan lokasi untuk potensi volume didapatkan hasil perhitungan sebesar 482,72 m3/ha dan 1.780,36 m3/petani. Untuk potensi kerapatan pohon yaitu sebanyak 5.443 pohon/ha dan 1.388 pohon/petani. Kelengkapan dari informasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

(47)

nilai sebesar 0,7 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1 cm/th, di wilayah Wonogiri sebesar 0,5 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,9 cm/th. Sedangkan untuk jenis mahoni, telah dilakukan penelitian di wilayah Ciamis dengan nilai sebesar 1,7 cm/th, di wilayah Tasik sebesar 3,4 cm/th, di wilayah Kediri sebesar 1,2 cm/th, dan di wilayah Papua sebesar 1,7 cm/th.

Dari beberapa hasil penelitian tersebut termasuk hasil yang diperoleh peneliti dapat diketahui bahwa nilai riap berbeda untuk masing-masing wilayah. Hal ini menandakan bahwa riap dipengaruhi oleh lokasi pohon itu tumbuh. Lokasi berkaitan pula dengan kondisi fisik lingkungannya, mulai dari tanah hingga iklim seperti yang disebutkan oleh Tomey dan Korstian (1974), diacu dalam Rosa (2003), pertumbuhan pohon pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan. Pada suatu jenis pohon dijumpai adanya keragaman baik secara geografis keragaman lokal, keragaman antar pohon, maupun keragaman di dalam pohon itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara langsung menurut Soekotjo (1984), diacu dalam Rosa (2003), antara lain: radiasi matahari (cahaya dan temperatur), air (

Gambar

Tabel 1  Jenis data yang dikumpulkan
Tabel 4  Jumlah penduduk Desa Sumberejo berdasarkan mata pencaharian
Gambar 1  Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami.
Gambar 2  Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong.
+7

Referensi

Dokumen terkait