• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Unit Kelestarian Hutan Rakyat

Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktivitas hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya (Suhendang 2004). Disebutkan oleh Awang et al. (2005) bahwa manajemen kelestarian hutan adalah manajemen suatu kelestarian untuk menghasilkan produksi secara kontinu (lestari) dengan tujuan pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan dan pemungutan hasil (hasil produksi) setiap tahun atau periode tertentu. Sedangkan tujuan manajemen hutan rakyat adalah untuk mencapai kelestarian pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan hutan rakyat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Untuk mencapai kelestarian hutan rakyat tersebut, Awang et al. (2005) menyatakan diperlukannya suatu unit kelestarian hutan rakyat yang menentukan unit kelestarian hasil hutan rakyat. Unit tersebut berfungsi sebagai unit pengelolaan yang mempunyai kewajiban mengelola hasil hutan rakyat untuk memperoleh keuntungan ekonomis dan ekologis dengan melaksanakan kegiatan yang berkesinambungan untuk mencapai kelestarian hutan rakyat. Unit kelestarian hutan rakyat dipengaruhi secara langsung oleh kondisi hutan rakyat itu sendiri dan juga oleh faktor dari luar hutan rakyat.

Departemen Kehutanan (2001), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) menyatakan bahwa unit manajemen dalam konsep hutan kemasyarakatan adalah wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan ketergantungan masyarakat setempat terhadap kawasan hutan di sekitarnya dan potensi hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat. Wilayah pengelolaan ini terdiri atas sejumlah unit-unit lokasi sebagai unit usaha yang dikelola oleh kelompok masyarakat.

Davis (1966), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) mendefinisikan unit manajemen hutan atau unit kelestarian hasil adalah suatu unit pengelolaan untuk menghasilkan produksi hasil hutan secara lestari dengan tujuan pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan dan pemungutan hasil setiap tahun atau setiap periode tertentu. Unit manajemen dalam pengertian ini berfokus pada pengelolaan unit-unit tegakan untuk menghasilkan kayu secara lestari. Sedangkan Mosher (1986), diacu dalam Supratman dan Alam (2009) memandang unit manajemen dari sisi wilayah pelayanan adalah keterkaitan unit-unit usahatani dari suatu wilayah dengan wilayah lain dalam hal penyediaan pelayanan pasar hasil usahatani dan pasar faktor-faktor produksi serta pelayanan lainnya yang terkait dengan usahatani. Konsep lokalitas usahatani dan distrik usahatani yang dikemukaan oleh Mosher adalah konsep unit manajemen dengan fokus pada wilayah pelayanan. Dalam hal ini, suatu unit manajemen dibangun berdasarkan hubungan-hubungan fungsional antara satu wilayah desa dengan pusat-pusat pelayanan di wilayah lainnya yang menyediakan fasilitas-fasilitas usahatani dan pasar produksi usahatani.

Berdasarkan pengalaman pengelolaan hutan rakyat di Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Awang et al. (2005) menguraikan dan menjelaskan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk membangun unit manajemen hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Pemetaan partisipatif kawasan hutan rakyat

Pemetaan partisipatif merupakan kegiatan pemetaan yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat pemilik lahan hutan rakyat dan pihak pendamping. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui luas dan batas kepemilikan hutan rakyat untuk mewujudkan kelestarian hasil hutan rakyat.

Sasaran dari kegiatan pemetaan ini adalah lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat. Pengertian lahan hutan rakyat adalah jenis penggunaan lahan yang biasa ditanami dengan jenis tanaman berkayu, yaitu berupa pekarangan, tegalan, dan alas.

2. Inventarisasi tegakan hutan rakyat

Tujuan inventarisasi ini adalah untuk mengetahui potensi kayu hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat. Potensi hutan rakyat ini berupa jenis pohon, jumlah pohon, dan volume kayu. Dengan mengetahui potensi hutan rakyat tersebut, maka dapat menjadi pedoman untuk melakukan pengaturan hasil kayu hutan rakyat, agar dapat mewujudkan hutan rakyat lestari. Dan untuk selanjutnya, inventarisasi juga akan dikembangkan untuk inventarisasi hasil hutan rakyat non kayu.

3. Perencanaan pengaturan hasil hutan rakyat (kayu)

Tujuan pengaturan hasil hutan rakyat adalah untuk menghitung hasil tebangan kayu per tahun, agar hutan rakyat menjadi lestari. Hasil tebangan dapat dinyatakan dalam volume kayu (m3/tahun) dan jumlah pohon (pohon/tahun). Perhitungan hasil tebangan tahunan didasarkan pada potensi hutan rakyat yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi. Perencanaan pemanenan hasil hutan rakyat berdasarkan waktu dan tempat, selanjutnya dikembangkan berdasarkan pada tebang pilih (dengan kriteria pohon yang siap tebang).

4. Model kelembagaan pendukung untuk pengelolaan hutan rakyat lestari

Kegiatan yang dilakukan adalah fasilitas untuk mendukung penguatan kelembagaan, pelatihan pendukung pengelolaan hutan rakyat, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan seperti pengolahan hasil pertanian, pengawetan pakan ternak, pembuatan pupuk organik, kerajinan kayu, dan lain-lain.

Sedangkan menurut Mashudi (2010) selaku Humas Unit III Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat lestari dan penyusunan rencana pengelolaannya dilakukan melalui tahapan kegiatan, sebagai berikut:

1. Sosialisasi program pengembangan hutan rakyat lestari kepada petani atau kelompok petani hutan rakyat. Sosialisasi merupakan tahapan penjelasan program kepada para pihak yang akan melakukan kerjasama, atau pihak-pihak

yang terkait dalam proses pengembangan hutan rakyat lestari. Sosialisasi dilakukan kepada Dinas Kehutanan Propinsi/Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, masyarakat, dan pihak-pihak yang diharapkan akan mendukung kegiatan ini, dengan tujuan terbentuknya pemahaman para pihak terhadap kegiatan pengembangan hutan rakyat lestari.

2. Koordinasi kegiatan dengan stakeholder. Koordinasi dengan stakeholder Pemerintah Daerah (Kabupaten, Kecamatan, Desa) dilakukan dalam rangka membangun kesepahaman dan kesepakatan dengan stakeholder dalam rangka pengembangan hutan rakyat. Kesepahaman dan kesepakatan tersebut dapat dituangkan dalam Nota Kepahaman (Memorandum of Understanding − MoU). 3. Pembentukan kelompok tani hutan rakyat sebagai lembaga pengelola hutan

rakyat. Petani hutan rakyat yang bersedia dan sanggup untuk bergabung dan terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat lestari dikelompokkan berdasarkan wilayah pangkuan dusun atau desa ke dalam suatu Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) yang merupakan suatu unit kelestarian dan akan membentuk suatu unit pengelolaan hutan rakyat lestari.

4. Pendataan persil dan pemetaan serta pembagian wilayah pengelolaan dengan memanfaatkan batas persil tanah masyarakat. Pendataan persil adalah kegiatan inventarisasi lahan milik masyarakat yang telah terdaftar sebagai anggota KTHR. Pendataan dilakukan secara bersama antara pemilik lahan dengan Petugas Perum Perhutani atau fasilitator. Dalam terminologi perencanaan hutan dalam kawasan persil setara dengan petak/anak petak. Data yang dihimpun dalam kegiatan ini, meliputi: nama pemilik persil, alamat, luas, status kepemilikan tanah, dan No SPPT.

5. Penataan unit pengelolaan hutan rakyat lestari. Prasyarat yang diperlukan untuk pembentukan unit manajemen hutan rakyat lestari selain pembentukan kelompok tani hutan rakyat (KTHR) adalah kegiatan penataan kawasan unit pengelolaan untuk mendapatkan data yang definitif. Penataan unit pengelolaan hutan rakyat lestari merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk database penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat lestari, sebagai berikut:

a. Penandaan batas persil

Kegiatan ini dilakukan untuk mempermudah proses inventarisasi maupun monitoring dan evaluasi, diperlukan penandaan batas berupa patok bambu. Kegiatan ini tidak bersifat mengikat, namun dilakukan secara kesepakatan dengan semua anggota KTHR.

b. Pengukuran dan perpetaan

Tahapan berikutnya setelah pendataan dan penandaan persil adalah pengukuran dan perpetaan. Pengukuran dan perpetaan menggunakan alat Global Position System (GPS). Proses ini dilakukan secara bersama antara pemilik lahan dengan Perum Perhutani. Untuk memperoleh tingkat keterampilan yang memadai, maka fasilitator dan masyarakat sebelumnya diberikan pelatihan secara khusus.

c. Inventarisasi potensi hutan rakyat

Setelah diperoleh kepastian areal pengembangan hutan rakyat lestari, maka selanjutnya dilakukan inventarisasi potensi hutan rakyat. Obyek inventarisasi adalah tegakan yang terdapat pada setiap persil lahan milik anggota KTHR. Data yang dicatat dalam kegiatan ini, yaitu: luas, jenis tegakan, jumlah pohon, keliling pohon, dan potensi bukan kayu lainnya sebagai catatan. Inventarisasi ini dilakukan secara partisipatif antara anggota KTHR dengan Perum Perhutani.

d. Pembentukan unit kelestarian dan unit pengelolaan hutan rakyat lestari Sebagai sarana terbangunnya kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang selaras dan terintegrasi, serta demi terjaminnya kelestarian pengusahaan maupun kelestarian sumberdaya hutan rakyat, diperlukan sebuah Forest Management Unit (Satuan Pengelolaan Hutan). Pembagian unit kelestarian dan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut :

1) Persil

Persil merupakan satuan kelestarian terkecil dalam pengelolaan hutan rakyat (setara petak/anak petak). Persil adalah satuan area hutan rakyat yang dimiliki secara sah oleh seorang anggota KTHR. Dimungkinkan seorang anggota memiliki lebih dari satu persil.

2) Unit kelestarian

Unit kelestarian hutan rakyat adalah gabungan dari beberapa persil yang berada dalam satuan desa. Namun, dalam hal-hal khusus apabila sebuah dusun memadai untuk dijadikan unit kelestarian (perihal pertimbangan luas ataupun potensi) maka satuan dusun dapat ditetapkan sebagai satuan unit kelestarian. Satuan ini merupakan unit kelestarian yang harus terjaga tingkat kelestariannya dan tidak diperkenankan terjadi over cutting. Oleh sebab itu, perlu dihitung nilai etat yang didasarkan pada hasil inventarisasi tegakan atau potensi hutan rakyat.

3) Unit pengelolaan

Unit pengelolaan hutan rakyat merupakan gabungan dari beberapa kelompok tani hutan rakyat. Satuan wilayah administratif dari unit pengelolaan hutan rakyat adalah kabupaten/kota. Namun, dimungkinkan dalam sebuah kabupaten/kota terdapat lebih dari satu unit pengelolaan hutan rakyat. Sebuah unit pengelolaan hutan rakyat dalam menjalankan operasional pengelolaannya didasarkan pada sebuah bussines plan atau disebut dengan Rencana Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (RPHRL).

6. Penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat lestari secara partisipatif antara kelompok tani hutan rakyat, perhutani, dan pemda (dinas/instansi terkait). Rencana pengelolaan hutan rakyat lestari disusun berdasarkan unit pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan segenap stakeholder. Untuk mengantisipasi perubahan area pengelolaan hutan rakyat yang sangat dinamis dan untuk menjamin kelestarian sumberdaya maupun pengusahaannya, maka diperlukan revisi secara berkala setiap tahun. Penyusunan RPHRL didasarkan pada hasil penetapan, penataan area pengembangan, serta hasil inventarisasi potensi hutan rakyat. Dengan terbentuknya unit pengelolaan hutan rakyat lestari maka dapat melakukan pengaturan jumlah tebangan tahunan atau bulanan atas dasar hasil inventarisasi dan daur yang ditetapkan secara bersama, sehingga jumlah tebangannya tidak melampaui potensi kelestarian serta mempunyai aturan

internal lembaga pengelola (KTHR, BUMP, Koperasi) atas dasar kesepakatan anggota menyangkut kegiatan pengelolaan hutan rakyat seperti penanaman, pemeliharaan, penjarangan, penebangan, dan pemasaran.

Sopiana (2011) menyebutkan bahwa dalam membentuk lembaga pengaturan hasil secara berkelompok perlu diperhatikan pula modal sosial yang selama ini telah ada dalam kehidupan masyarakat, sehingga lembaga pengaturan hasil yang terbentuk dapat sesuai dengan modal sosial yang telah ada dalam kehidupan masyarakat setempat. Salah satu modal sosial yang terpenting dalam membentuk lembaga pengaturan hasil secara berkelompok ini adalah kegiatan simpan-meminjam. Kegiatan simpan-meminjam selama ini sangat erat kaitannya dengan suatu kelembagaan. Dengan adanya lembaga pengaturan hasil, akan diberlakukan kesempatan mengenai waktu panen pohon sesuai dengan daur optimal yang paling menguntungkan untuk seluruh anggotanya, sehingga anggota tidak boleh memanen pohon seperti kebiasaan pada umumnya memanen sesuai dengan daur butuh. Kendala yang mungkin dihadapi oleh para anggotanya nanti, misalnya ketika lahan hutan rakyat mereka belum mendapat giliran untuk memanen sedangkan mereka membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Hal tersebut dapat diatasi dengan modal sosial yang selama ini telah ada di masyarakat yakni dengan memberikan pinjam kepada pihak yang membutuhkan tersebut.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan pada hutan rakyat yang berada di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Adapun pelaksanaannya dari bulan Juli 2011 sampai bulan Agustus 2011.

3.2Alat dan Objek Penelitian

Penelitian ini memerlukan beberapa alat yang digunakan, yaitu: alat pengukur keliling pohon (pita ukur), galah (bambu) untuk mengukur tinggi pohon, tally sheet, alat pengukur jarak (meteran), alat tulis, kamera digital, kalkulator, perangkat keras, dan perangkat lunak. Sedangkan objek penelitiannya adalah tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo yang dimiliki oleh petani hutan rakyat.

3.3Jenis dan Sumber Data

Terdapat dua jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari inventarisasi, pengamatan, dan interview. Sedangkan data sekunder adalah data yang bersumber dari instansi terkait. Rinciannya seperti pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan

Jenis Data Variabel Data yang dikumpulkan Metode

Data Primer

Sejarah hutan rakyat

Sejarah hutan rakyat Wawancara

Sistem pengelolaan hutan rakyat

Jenis tanaman Pola tanam

Sistem pengelolaan hutan rakyat

Inventarisasi Wawancara Pengamatan, Wawancara Potensi hutan rakyat

Potensi tegakan (jenis tanaman, keliling pohon setinggi dada (Kbh), tinggi total (Tt), dan jumlah pohon)

Inventarisasi

Kesediaan Kesediaan petani hutan rakyat untuk menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat

Wawancara

Solusi Perumusan solusi atas kendala yang dihadapi petani hutan rakyat agar bersedia

menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat

Wawancara Data Sekunder Kondisi umum lokasi penelitian Literatur

Letak dan luas wilayah, keadaan fisik (topografi, jenis tanah, dan iklim), keadaan sosial ekonomi (keadaan penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan budaya)

Tinjauan pustaka terkait penelitian

Studi pustaka

3.4Metode Pengambilan Contoh

Penentuan lokasi dilakukan menggunakan metode sampel terpilih (purpossive sampling) adalah pada lahan hutan rakyat yang mendapat sertifikasi pertama kali. Berdasarkan kondisi tegakan di Desa Sumberejo yang tidak terlalu heterogen (baik dari kerapatan pohon, jarak tanam, maupun sebaran diameter pohon) dan dengan mempertimbangkan aspek biaya, waktu, serta tenaga, maka pengambilan sampel lahan hutan rakyat menggunakan intensitas sampling (IS) sebesar 5%. Pengambilan sampel diawali dengan pengambilan IS 5% dari luas total lahan hutan rakyat Desa Sumberejo, kemudian pengambilan IS 5% dari luas total lahan hutan rakyat di masing-masing dusun, dan pengambilan IS 5% dari luas total tegalan dan pekarangan milik petani hutan rakyat di masing-masing dusun.

Dalam desain penarikan sampel teknik non probabilitas menurut Narimawati dan Munandar (2008), metode ini disebut juga dengan teknik ad hoc quotas adalah teknik yang menekankan pada kuota, misalnya responden yang diteliti 65% terdiri dari wanita, dan peneliti bebas memilih responden siapa saja asal kuota terpenuhi. Berdasarkan teknik tersebut, maka digunakanlah pemikiran bahwa luas lahan hutan rakyat yang akan diteliti adalah IS 5% terdiri dari tegalan dan pekarangan, dan peneliti bebas memilih lahan hutan rakyat mana saja yang akan diteliti asal kuota terpenuhi. Sedangkan responden yang dipilih untuk keperluan wawancara adalah responden (petani hutan rakyat) yang pada lahannya telah dilakukan pengukuran potensi baik di tegalan maupun di pekarangan. Oleh karena itu, banyaknya jumlah responden tergantung pada lahan hutan rakyat yang dilakukan pengukuran potensi sebesar IS 5% adalah sejumlah 25 orang.

3.5Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Metode pengumpulan data primer

Data primer dikumpulkan melalui kegiatan inventarisasi, pengamatan, dan wawancara. Kegiatan inventarisasi digunakan untuk pengukuran potensi hutan rakyat. Sedangkan kegiatan pengamatan dan wawancara dilakukan untuk pengumpulan data karakteristik sistem pengelolaan hutan rakyat terhadap pemilik lahan maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Melihat kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian dengan tingkat kerapatan pohon yang cukup tinggi dan jarak tanam yang tidak beraturan serta mengingat keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya, maka digunakan metode inventarisasi menurut Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati, Perum Perhutani. Dalam metode tersebut pengukuran dibedakan berdasarkan umur tegakan, yaitu: umur muda, umur sedang, dan umur tua. Plot ukur yang digunakan adalah circular plot atau plot lingkaran dengan luas 0,02 ha (diameter lingkaran 7,94 m) untuk tegakan dominan umur muda, luas 0,04 ha (diameter lingkaran 11,28 m) untuk tegakan dominan umur sedang, dan luas 0,1 ha (diameter lingkaran 17,8 m) untuk tegakan dominan umur tua. Dalam pelaksanaannya di lapangan, penentuan jumlah dan penempatan plot disesuaikan dengan kondisi tegakan hutan rakyat milik responden. Adapun pengukuran dan pencatatan mencakup luas lahan, jenis pohon, keliling pohon dan tinggi total pohon.

3.5.2 Metode pengumpulan data sekunder

Data sekunder yang berupa informasi diambil melalui studi pustaka sebagai data penunjang yang dapat melengkapi dan mendukung hasil penelitian. Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan LSI, Perpustakaan Fakultas Kehutanan, Perpustakaan Departemen Manajemen Hutan, serta Perpustakaan Pusdiklat Kehutanan Bogor. Selain itu data sekunder ini juga diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya, seperti instansi-instansi terkait baik dari lembaga pemerintah tingkat desa maupun kecamatan. Data sekunder yang diperlukan meliputi kondisi umum lokasi penelitian berupa letak dan luas wilayah, keadaan fisik (topografi, jenis tanah, dan iklim), dan keadaan sosial ekonomi (keadaan penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, dan budaya).

3.6Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua teknik analisis, yaitu: analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

3.6.1 Analisis kuantitatif

Teknik analisis kuantitatif lebih menekankan pada pendeskripsian nominal atau data berupa angka yaitu dari hasil pengukuran potensi di lapang yang

nantinya akan dimasukkan ke dalam tabel dan selanjutnya dianalisis menjadi teks naratif berdasarkan literatur yang ada.

3.6.1.1Penentuan klasifikasi umur berdasarkan umur rata-rata menurut modus

Pengambilan data umur mengacu pada narasumber bukan mengacu pada catatan dari pemilik hutan rakyat, sehingga penghitungan umur yang dilakukan yaitu menggunakan rataan modus menurut kelas diameter. Rataan modus itu sendiri adalah rataan untuk ungrouped data. Dalam hal ini, rataan tersebut digunakan untuk menentukan umur yang masuk ke dalam kelas diameter tertentu. Pada prinsipnya, rataan modus diperoleh dari nilai yang paling sering muncul atau nilai yang frekuensinya paling tinggi. Nilai yang dimaksud di sini adalah umur, sehingga umur yang paling sering muncul di kelas diameter tertentu akan dijadikan umur pada kelas diameter tersebut. Hal ini akan lebih diperjelas melalui contoh perhitungan klasifikasi umur untuk jenis jati di tegalan berikut. Untuk jenis lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2 Klasifikasi umur jenis jati di tegalan berdasarkan umur rata-rata menurut modus

Kelas Diameter (cm) Umur lapangan Umur yang digunakan menurut modus

1-10 1 1 5 11-20 5 5 10 21-30 10 10 15 15 20 20 31-40 25 25 41-50 45 45

3.6.1.2Perhitungan pendugaan potensi tegakan hutan rakyat

1. Potensi kerapatan pohon per hektar (Widayati & Riyanto 2005)

NP Ni NH NPLP

Keterangan:

NP = Jumlah individu pohon per plot ukur (pohon/plot) Ni = Pohon ke-i

NH = Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

a. Rata-rata potensi kerapatan pohon per hektar

NH = ∑ NH Keterangan:

NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

NH

= Kerapatan pohon per hektar ke-i (pohon/ha) n = Jumlah petani responden

b. Total potensi kerapatan pohon per hektar

NH = NH + NH Keterangan:

NH = Total kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis pohon x (pohon/ha)

NH = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis pohon y (pohon/ha) x = Jati

y = Mahoni

c. Persentase potensi kerapatan pohon per hektar

NH / =

NH /

NH

x 100

Keterangan:

NH / = Persentase kerapatan pohon per hektar jenis x atau y (%) NH / = Rata-rata kerapatan pohon per hektar jenis x atau y (pohon/ha)

NH = Total kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

x = Jati

y = Mahoni

2. Potensi kerapatan pohon per petani

NP = NH x LP Keterangan:

NP = Kerapatan pohon per petani (pohon/petani) NH = Kerapatan pohon per hektar (pohon/ha)

LP = Luas lahan hutan rakyat milik petani (ha/petani) a. Rata-rata potensi kerapatan pohon per petani

NP = ∑ NP Keterangan:

NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani (pohon/petani)

NP

= Kerapatan pohon per petani ke-i (pohon/petani) n = Jumlah petani

b. Total potensi kerapatan pohon per petani

NP = NP + NP Keterangan:

NP = Total kerapatan pohon per petani (pohon/petani)

NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis pohon x (pohon/petani)

NP = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis pohon y (pohon/petani) x = Jati

y = Mahoni

c. Persentase potensi kerapatan pohon per petani

NP / =

NP /

NP

x 100

Keterangan:

NP /

= Persentase kerapatan pohon per petani jenis x atau y (%) NP / = Rata-rata kerapatan pohon per petani jenis x atau y

(pohon/petani)

NP = Total kerapatan pohon per petani (pohon/petani)

x = Jati

y = Mahoni

3. Potensi volume pohon per hektar per petani (Widayati & Riyanto 2005) Dbh = π V = 0,25 x π x Dbhi2 x Tti x fi VP V VH VPLP Keterangan:

Dbhi = Diameter setinggi dada (tinggi pengukuran 1,3 m dari atas

permukaan tanah) pohon ke-i (m)

Kbhi = Keliling setinggi dada (tinggi pengukuran 1,3 m dari atas permukaan

tanah) pohon ke-i (m) π = Konstanta (3,14)

Vi = Volume pohon ke-i (m3)

Tti = Tinggi total pohon ke-i (m)

fi = faktor bentuk pohon ke-i (jati: 0,6 dan mahoni: 0,7) VP = Volume pohon per plot ukur (m3/plot)

VH = Volume pohon per hektar (m3/ha)

a. Rata- rata potensi volume pohon per hektar

VH = ∑ VH Keterangan:

VH = Rata-rata volume pohon per hektar (m3/ha)

VH

= Volume pohon per hektar ke-i (m3/ha) n = Jumlah petani responden

b. Total potensi volume pohon per hektar

VH = VH + VH Keterangan:

VH = Total volume pohon per hektar (m3/ha)

VH = Rata-rata volume pohon per hektar di lahan x (m3/ha)

VH = Rata-rata volume pohon per hektar di lahan y (m3/ha) x = Lahan hutan rakyat di tegalan

y = Lahan hutan rakyat di pekarangan c. Persentase potensi volume pohon per hektar

VH = VH

VH

x 100

Keterangan:

VH

= Persentase volume pohon per hektar (%) VH = Rata-rata volume pohon per hektar (m3/ha)

VH = Total volume pohon per hektar (m3/ha) 4. Potensi volume pohon per petani

VP = VH x LP Keterangan:

VP = Volume pohon per petani (m3/petani) VH = Volume pohon per hektar (m3/ha)

LP = Luas lahan hutan rakyat milik petani (ha/petani)