• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat

Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo ini mulanya sangat sederhana, terhitung sejak usaha para penggiat desa untuk mengajak warga lain menanam pohon. Namun, seiring datangnya proyek-proyek pemerintah terutama pada saat proses sertifikasi hutan rakyat, banyak penyuluhan dan pelatihan yang telah diberikan untuk para petani terkait pengelolaan hutan rakyat mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Meski demikian, hingga saat ini pengelolaan hutan rakyat belum juga dilakukan secara intensif. Hal ini dikarenakan anggapan petani yang menyatakan bahwa tanpa harus dipelihara secara intensif pun pohon-pohon tersebut pasti akan menghasilkan di kemudian hari, lain halnya dengan tanaman pangan dan tanaman semusim yang harus dipelihara secara intensif agar hasilnya maksimal.

Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam pengelolaan hutan, diantaranya yaitu pemilihan jenis pohon yang akan ditanam, pengadaan bibit, penanaman pohon, pemeliharaan pohon, dan dilanjutkan dengan pemanenan.

1. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam

Awalnya, petani menanam pohon berdasarkan pohon yang memang sudah ada sebelumnya, yaitu: jenis jati dan mahoni. Hingga saat ini pun jenis tersebut masih tetap ditanam oleh petani. Petani beranggapan bahwa jenis jati dan mahoni memang cocok dengan tanah yang ada di desanya. Namun selain hal tersebut, ada hal-hal lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis ini seperti yang dipaparkan oleh Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) bahwa terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan, antara lain: kesesuaian lahan, riap, ketersediaan tenaga kerja, harga jual kayu yang dihasilkan, dan kemudahan dalam pemeliharaan.

Dimungkinkan hal yang menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu selain kesesuaian lahan adalah riap dan harga jual kayu yang dihasilkan. Meski riap jati tidak sebesar mahoni yang pertumbuhannya cepat, namun

karena harga jualnya tinggi maka jenis ini dipilih untuk ditanam. Walaupun harga jual mahoni tidak setinggi jati, riap yang besar dan daur yang lebih singkat membuat petani memilih untuk menanamnya.

Terkait hal tersebut, Awang et al. (2001), diacu dalam Ma’rufi (2007) melanjutkan bahwa dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) tahun 2001, pada wilayah pegunungan kapur selatan terdapat tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni. Sedangkan Desa Sumberejo yang juga termasuk dalam wilayah Pegunungan Kapur Selatan, mayoritas menanam jati dan mahoni. Sekalipun terdapat jenis akasia di desa tersebut, itu merupakan sisa pohon peninggalan proyek WFP (World Food Program) yang masih dibiarkan hidup.

Hal-hal yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan petani terdahulu yaitu ketersediaan tenaga kerja dan pertimbangan kemudahan dalam pemeliharaan. Bila dikaitkan dengan kondisi petani saat ini, petani tidak mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja karena petani mampu menanam pohon sendiri. Sekalipun memerlukan bantuan, petani dapat meminta tolong kepada sanak saudara agar membantunya tanpa harus membayar orang lain atau semacam buruh. Sedangkan alasan petani tidak mempertimbangkan faktor kemudahan dalam pemeliharaan adalah karena petani lebih mengandalkan alam sehingga tidak perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif.

2. Pengadaan bibit

Pengadaan bibit yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo saat ini hanyalah mengandalkan permudaan alami, anakan tumbuh secara alami baik dari penyebaran biji oleh angin maupun dari trubusan. Petani melakukan hal tersebut karena tanpa harus repot-repot menyediakan bibit atau bahkan membuat persemaian, bibit tersebut sudah tersedia dalam bentuk anakan dari pohon-pohon induk yang juga akan tumbuh dengan sendirinya. Meski menurut Hartmann et al. (1981), diacu dalam Indriyanto (2008), pembibitan dapat dilakukan dengan menyemai atau menanam benih, cangkok, stek, okulasi, atau sambungan. Berikut adalah dokumentasi anakan

yang tumbuh di lahan hutan rakyat Desa Sumberejo akibat persebaran biji oleh angin.

Gambar 1 Anakan hasil persebaran biji oleh angin secara alami.

Menurut Indriyanto (2008), penyebaran biji oleh angin merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif. Sedangkan trubusan atau tunas merupakan permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara vegetatif. Permudaan hutan secara alamiah itu sendiri merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahap proses perkembangan tegakan hutan.

Permudaan hutan secara alamiah yang terjadi secara generatif dapat berlangsung dengan baik jika dalam suatu kawasan hutan terdapat pohon yang memproduksi biji. Sedangkan permudaan yang terjadi secara vegetatif dapat berlangsung jika dalam kawasan hutan terdapat pepohonan yang mampu bertunas kembali setelah penebangan (Indriyanto 2008). Melihat kondisi tegakan di lokasi penelitian, maka pohon jenis jati dan mahoni memiliki kategori keduanya. Namun, hanya jenis jati yang dapat tumbuh secara vegetatif yaitu dengan trubusan atau tunas. Trubusan dilakukan dengan membiarkan tunas-tunas baru untuk tumbuh pada tunggak sisa tebangan. Biasanya dalam satu tunggak dapat ditumbuhi tiga sampai tujuh tunas baru. Meski demikian, sejumlah tunas tersebut tidak dibiarkan hidup hingga besar, saat tunas berumur dua hingga tiga tahun petani biasanya memilih satu atau dua diantaranya yang terbaik untuk tetap dibiarkan hidup hingga besar dan yang lainnya ditebas. Namun, kualitas yang dihasilkan dari trubusan ini lebih rendah dibanding yang dihasilkan dari biji, beberapa diantaranya terdapat

gerowong pada bagian pangkal. Berikut adalah dokumentasi terkait trubusan pada jenis jati yang dilakukan oleh petani.

(a) (b)

Gambar 2 Trubusan hutan rakyat (a) lima tunas dan (b) pangkal gerowong. 3. Penanaman pohon

Persebaran biji oleh angin dan tingkat keberhasilan hidup yang cukup tinggi sekitar 70% - 90% terutama bagi mahoni, membuat petani lebih mengandalkan kegiatan penanaman yang juga dari alam. Kondisi ini menyebabkan tidak ada keteraturan jarak tanam, sehingga membentuk suatu tegakan yang rapat. Hal ini dikarenakan kondisi lahan hutan rakyat yang didominasi oleh batu bertanah, sehingga anakan tumbuh di sela-sela bebatuan. Namun, penanaman dengan sistem cabutan pun petani lakukan bila terdapat suatu area dipenuhi dengan anakan dan di area lain tidak dipenuhi anakan. Kegiatan ini dilakukan terutama setelah petani melakukan penebangan dan pada musim penghujan. Kriteria yang dipertimbangkan oleh petani dalam melaksanakan penanaman jenis ini, antara lain: (1) Anakan yang dipindahkan berumur ± 1 tahun, tinggi ± 50 cm, (2) Jumlah anakan disesuaikan dengan ketersediaan anakan di area rapat, (3) Luas lahan yang tidak dipenuhi anakan, dan (4) Kemauan dari masing-masing petani. Selain itu, pemindahan anakan ini juga dilakukan setelah penebangan. Berdasarkan aturan yang telah disepakati bersama bahwa setiap menebang satu pohon harus menggantinya dengan penanaman sebanyak sepuluh bibit. Namun aturan ini nampaknya

tidak berlaku untuk semua lahan, sebab ada beberapa lahan yang saat ini memang benar-benar sudah rapat dengan pepohonan mulai dari tingkat semai hingga pohon. Untuk kondisi lahan seperti itu, maka petani tidak perlu lagi menanam pohon.

Berdasarkan prinsip-prinsip silvikultur, penanaman biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan tanaman yang akarnya terbuka atau dalam wadah. Ini merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk penanaman konifer dan banyak jenis daun lebar. Sedangkan Indriyanto (2008) menyebutkan ada beberapa jenis penanaman berdasarkan bentuk bibit yang ditanam dan cara penanaman bibit di area, yaitu: penanaman langsung, penanaman stump, penanaman bibit puteran, penanaman bibit cabutan, dan penanaman bibit pot. Jenis penanaman tersebut merupakan penanaman dengan bibit yang berasal dari persemaian.

4. Pemeliharaan pohon

Untuk meningkatkan peran positif dan menekan peran negatif dari semua faktor lingkungan biotik dan abiotik, maka pemeliharaan tanaman sangat diperlukan agar keberhasilan hidup dan pertumbuhan tanaman menjadi baik (Indriyanto 2008). Faktor-faktor lingkungan tersebut mempengaruhi keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya. Faktor biotik yang mempengaruhi, yaitu: organisme mikro patogen, organisme parasit, serangga dan binatang besar lainnya bahkan tetumbuhan liar yang umumnya disebut gulma. Sedangkan yang termasuk dalam faktor abiotik yaitu kondisi iklim dan kesuburan tanah (Baker et al. 1979, diacu dalam Indriyanto 2008).

Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, antara lain: penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, penjarangan tanaman, dan pengendalian hama penyakit (Dardjadi & Hardjono 1976, diacu dalam Indriyanto 2008).

a. Penyulaman tanaman

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa penyulaman yang dilakukan petani adalah saat mengganti atau menanam kembali bibit pada beberapa tanaman proyek rehabilitasi yang tidak tumbuh. Kini kegiatan tersebut tidak lagi dilakukan oleh petani sebab

tanaman yang tumbuh sebagian besar mengandalkan persebaran alami. Namun, disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa memang pada tahun- tahun berikutnya setelah penyulaman pertama dan kedua tidak perlu lagi dilakukan penyulaman karena pertumbuhan tanaman susulan akan tertinggal. Penyulaman pertama dilakukan saat satu bulan setelah penanaman, sedangkan penyulaman kedua dilakukan saat satu tahun setelah penanaman. Penyulaman itu sendiri merupakan tindakan pemeliharaan untuk meningkatkan persentase tanaman hidup dengan cara menanami kembali pada lubang tanam yang tanamannya telah mati. Penyulaman dilakukan apabila persentase hidup tanaman kurang dari 80%. b. Penyiangan tanaman

Kegiatan penyiangan yang berupa pembersihan gulma (alang-alang, rumput, semak, dan liana) di sekitar tanaman masih dilakukan secara manual hingga saat ini yaitu dengan menggunakan cangkul, parang, atau sejenisnya. Indriyanto (2008) menyebutkan bahwa pembersihan gulma juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Contoh bahan kimia yang dapat digunakan untuk penyiangan, antara lain: Sodium Chlorate (5-10 g/cm2) serta campuran 2,4-D dengan 2,4,5-T (1 g/cm2). Untuk mendapatkan bahan kimia tersebut tentunya petani harus mengeluarkan uang lebih. Dan jika demikian, maka petani lebih memilih untuk melakukan penyiangan tanaman secara alami karena tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Sekalipun petani memiliki uang, petani lebih memprioritaskan untuk membeli pupuk bagi tanaman semusimnya. c. Pendangiran tanaman

Pendangiran yang merupakan kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah tidak dilakukan oleh para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo. Hal ini dikarenakan kondisi lahannya yang didominasi oleh bebatuan dan tanamannya pun tumbuh di sela-sela batu tersebut. Lagi pula disebutkan oleh Indriyanto (2008) bahwa pendangiran tanaman diutamakan untuk tanah-tanah yang bertekstur berat dan dilakukan pada tanaman yang sudah berumur 1-3 tahun pada akhir musim kemarau.

d. Pemupukan tanaman

Sama seperti kegiatan penyulaman yang dilakukan saat proyek rehabilitasi, kegiatan pemupukan tanaman ini pun hanya dilakukan pada saat itu saja. Kini para petani sudah tidak lagi melakukan pemupukan sebab telah tersedia banyak serasah dari dedaunan yang berguguran untuk mengganti fungsi pupuk tersebut. Selain itu, tidak tersedianya dana untuk membeli pupuk pun menjadi kendala dalam hal ini. Dan sekalipun petani memiliki cukup dana, petani lebih mengutamakan untuk memupuki tanaman semusimnya. Bila pupuk tersebut berlebih maka dapat petani gunakan untuk memupuki tanaman kayu di lahan hutan rakyatnya. Berikut adalah dokumentasi serasah yang digunakan sebagai pengganti pupuk.

Gambar 3 Serasah sebagai pengganti pupuk. e. Pemangkasan cabang

Kegiatan pemangkasan cabang tidak dilakukan oleh para petani karena selain waktunya yang tidak sempat perihal mengurus tanaman semusim, faktor usia pun menjadi kendala. Sebagian besar pemilik lahan hutan rakyat berumur sekitar 45 s/d 70 tahun. Oleh sebab itu, petani agak kesulitan bila harus memanjat pohon untuk memangkas cabang. Di sisi lain, kegiatan pemangkasan cabang ini menurut (Indriyanto 2008) hanya dilakukan pada hutan tanaman yang diperuntukkan sebagai penghasil kayu pertukangan, sebab pemangkasan cabang dilakukan dengan membuang cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang dan bebas dari mata kayu, sehingga dapat memperbaiki kualitas bentuk kayu. Sedangkan kayu hasil tebangan hutan rakyat ini sendiri tidak

dikhususkan untuk penghasil kayu pertukangan dan juga tidak sengaja ditanam seperti layaknya hutan tanaman yang disertai dengan jarak tanam. Oleh sebab itu, kegiatan pemangkasan cabang ini juga tidak terlalu penting diterapkan pada tegakan hutan rakyat di Desa Sumberejo.

f. Penjarangan tanaman

Kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat pohon yang rusak atau mati, lalu hasil penjarangan tersebut dijadikan kayu bakar untuk keperluan memasak. Selain itu, kegiatan penebangan untuk keperluan dijual pun dianggap sekaligus sebagai kegiatan penjarangan. Padahal menurut Indriyanto (2008), pada umumnya untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 3-4 tahun, dan untuk jenis pohon yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 5-10 tahun. Hal ini dilakukan agar tercipta fase-fase pertumbuhan secara baik, mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon, dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan.

Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan (pembebasan dan penjarangan) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tegakan (riap diameter). Riap diameter tegakan berbeda pada tegakan yang dipelihara dan yang tidak dipelihara. Melalui penjarangan, riap diameter pohon rata-rata tegakan dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi (Indriyanto 2008). Namun, petani tidak mengikuti penjarangan tersebut karena petani justru lebih suka kalau tegakan di hutan rakyatnya banyak dan rapat. Semakin rapat menurut petani maka akan semakin baik dan akan semakin lestari.

g. Pemberantasan hama dan penyakit

Petani hingga saat ini tidak melakukan kegiatan pemberantasan hama dikarenakan memang tidak pernah ada hama yang menyerang tegakan di hutan rakyatnya. Begitu pula dengan penyakit, petani tidak pernah melakukan pemberantasan terhadap penyakit sebab tegakannya tidak pernah terserang penyakit. Pemberantasan hama dan penyakit itu sendiri didefinisikan oleh (Suratmo 1979, Suratmo 1982, diacu dalam

Indriyanto 2008) sebagai tindakan mengatur populasi hama atau penyakit agar tidak menimbulkan kerusakan yang dinilai secara ekonomi merugikan.

5. Penebangan

Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat kebutuhan mendesak dan memerlukan biaya besar, seperti keperluan untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Sistem tebang ini juga biasa disebut dengan sistem tebang butuh. Umur pohon saat tebang biasanya berkisar antara 10-15 tahun untuk jenis jati dan berkisar antara umur 10-14 tahun untuk jenis mahoni dengan diameter rata-rata minimal 20 cm. Untuk keperluan dijual, proses penebangan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli menggunakan peralatan tebang, antara lain: chainsaw, kapak, dan tali tambang. Sedangkan untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah, maka kegiatan penebangan dilakukan sendiri oleh masing-masing petani. Penebangan tersebut juga menggunakan alat seperti chainsaw yang dipinjam dari tetangga apabila ia memiliki atau meminjamnya ke bakul. Bila penebangan dalam jumlah banyak, terkadang petani menyewa peralatan dari bakul. Bakul adalah orang yang biasa membeli kayu hasil tebangan dari petani.