• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat

Secara sederhana, ahli kehutanan mengartikan hutan sebagai suatu komunitas biologi yang didominasi oleh pohon-pohon tanaman keras. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Kumpulan pohon tersebut mempunyai tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan alami dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah serta menghasilkan serasah sebagai bahan organik.

Arief (2001) menyebutkan karena hutan diartikan sebagai suatu asosiasi, maka antara jenis pohon satu dengan jenis pohon lain yang terdapat di dalamnya akan saling ketergantungan. Jenis-jenis tanaman yang tidak menyukai sinar matahari penuh tentu memerlukan perlindungan dari tanaman yang lebih tinggi. Tanaman yang suka sinar matahari penuh akan memperoleh keuntungan dari tanaman yang hidup di bawahnya karena mampu menjaga kelembaban dan suhu yang diperlukan oleh tanaman tinggi tersebut.

Selain terjadi ketergantungan, di dalam hutan akan terjadi pula persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya: persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh. Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang. Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi (Arief 2001).

Hutan bukan semata-mata kumpulan pohon yang hanya dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks dan terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya.

Keseluruhan tersebut memiliki kaitan dalam hubungan ketergantungan satu sama lain. Uraian tersebut dapat disimpulkan oleh Arief (2001) bahwa hutan dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan semua makhluk hidup di dalamnya, menjadi gudang penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi tanah dan erosi, menghasilkan sumber kayu industri dan penggergajian lokal, sumber hasil hutan ikutan bagi penduduk setempat, tempat wisata alam, dan terutama untuk kepentingan penelitian.

Sedangkan Djajapertjunda (1959), diacu dalam Ernawati (1995) memberikan pengertian hutan rakyat sebagai tanaman pohon-pohonan (kayu tahunan) dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Selanjutnya Lestarini (1991) mengemukakan bahwa dari segi pengelolaannya hutan rakyat sama dengan kebun rakyat atau agrohutani yang merupakan sistem tata guna lahan permanen dengan dicirikan unsur tanaman semusim dan tanaman tahunan.

Miniarti (2007) menyebutkan bahwa esensi dari hutan rakyat itu sendiri adalah suatu bentuk hutan yang pengelolaannya berbasis rakyat, yakni rakyat memiliki wewenang penuh dalam pengelolannya tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, sehingga masyarakat dapat mandiri dan dapat mengambil manfaatnya dalam upaya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Awang et al. (2001) yang mengatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan oleh organisasi masyarakat, baik pada lahan individu, komunal dan lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara.

Penelitian Hardjanto, diacu dalam Suharjito (2000) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri. Dalam hal ini petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih 10% dari pendapatan total.

Secara fisik, hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Menurut Suharjito (2000), keberagaman pola tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Umumnya, pola tanam yang dikembangkan oleh petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu: murni (monokultur) dan campuran (polyculture).

1. Hutan Rakyat Monokultur

Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur). Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu: lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan, dan pengawasannya. Menurut Hardjanto, diacu dalam Suharjito (2000), upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan jenis ini karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat.

2. Hutan Rakyat Campuran

a. Hutan Rakyat Campuran (polyculture) dengan 2-5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik dibandingkan jenis monokultur, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis, dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.

b. Hutan Rakyat Campuran dengan Sistem Agroforestry/Wanatani. Pola ini merupakan kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya, yaitu: perkebunan, pertanian, peternakan, dan lainnya secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekonomis maupun ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan

dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis.

Sedangkan Rahmawaty (2004), diacu dalam Hudiyani (2010) menyebutkan tiga pola hutan rakyat yang dikenal dalam pengembangan hutan rakyat, sebagai berikut:

1. Pola swadaya, hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.

2. Pola subsidi, hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya, atau bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.

3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat), hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan dengan insentif permodalan berupa kredit kepada masyarakat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat.

2.2Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas keseharian penduduk atau petani hutan rakyat. Silvikultur tradisional yang berkembang di kawasan Pegunungan Kapur Selatan menurut Awang et al. (2001) diacu dalam Ma’rufi (2007), diklasifikasi menjadi beberapa pekerjaan, sebagai berikut:

1. Pemilihan jenis tanaman kehutanan yang akan ditanam. Pada kegiatan ini, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual kayu yang dihasilkan, dan kemudahan pemeliharaan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) tahun 2001, pada

wilayah Pegunungan Kapur Selatan yang tercantum dalam Buku Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan, dapat diketahui tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni.

2. Persiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat teras bangku pada lahan yang miring.

3. Penanaman. Pada awalnya masyarakat menanam di sela-sela batu, sehingga tidak ada jarak tanam. Seiring dengan berkembangnya waktu dan bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang tanaman keras, maka masyarakat melakukan penanaman dengan memperhatikan jarak tanam dan penanaman sesuai kontur.

4. Pemeliharaan tanaman berkayu. Pemeliharaan ini biasanya dilakukan pada tanaman yang masih muda dengan melakukan kegiatan pendangiran tanah dan terkadang disertai juga dengan pemagaran sederhana.

5. Perlindungan terhadap tanaman berkayu. Kegiatan perlindungan tanaman hutan yang biasa dilakukan masyarakat terhadap gangguan ternak dengan cara melarang penggembalaan ternak di areal hutan milik orang lain.

6. Penebangan. Penebangan biasanya dilakukan dengan sistem tebang pilih, sejumlah pohon yang ditebang tersebar dan tidak mengelompok dalam satu tempat, tergantung diameter dan kemudahan dalam pengangkutan. Kegiatan penebangan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dilakukan tidak dengan teresan kecuali untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Dalam masyarakat, kegiatan teknis pengelolaan hutan rakyat biasanya dilakukan sendiri oleh pemilik lahan (tingkat keluarga). Oleh karena itu, pada umumnya hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan, dan keragaman pola usaha tani. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan sendiri oleh pemilik hutan rakyat menyebabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat ditentukan oleh kebijakan masing-masing pemilik hutan rakyat (Ma’rufi 2007).