• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber data penyelenggaraan Kongres Kebudayaan (KK) sebelum Indonesia merdeka dapat ditemukan antara lain di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Dalam majalah DJAWA yang terbit pertama tahun 1921 berisi rekaman kegiatan kongres kebudayaan dan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang biasa dipakai oleh kaum terpelajar saat itu, bahasa Belanda. Majalah itu terbit 4 kali dalam setahun, dan edisi terakhir terbit tahun 1941. Berdasarkan keterangan yang tercatat dalam majalah itu dan dari sumber lainnya dapat diketahui bahwa pada masa sebelum Indonesia merdeka telah diselenggarakan 7 kali Kongres Kebudayaan dan tiga kali Kongres Bahasa Jawa dan dua kali Kongres Bahasa Sunda.

KK pertama diselenggarakan tahun 1918 dan yang terakhir diselenggarakan tahun 1937. Enam dari 7 kali kongres itu disiapkan dan diselenggarakan oleh sebuah lembaga penelitian kebudayaan yang disebut Java-Instituut yang didirikan atas inisiatif kaum terp�lajar bumiputra. Lembaga itu sendiri berdiri berdasarkan rekomendasi dari KK pertama tahun 1918. Hal itu mencerminkan bahwa perhatian kaum terpelajar terhadap kebudayaan dan kelembagaan kebudayaan pada saat itu sudah cukup tinggi. Dampak dari kegiatan yang mereka lakukan tidak hanya bermanfaat bagi kelestarian kebudayaan tetapi juga memiliki kontribusi pada bidang politik dan menumbuhkan kesadaran berbangsa. Topik bahasan tentang bagaimana arah konsep, kebijakan dan strategi pengembangan kebudayaan, pendidikan, hingga pada dampak, sosial, politik dan ekonomi telah dijadikan bahan diskusi yang cukup seru pada saat itu. Gambaran singkat dari ketujuh KK tersebut adalah sebagai berikut.

A. Kongres Kebudayaan 1918

Meskipun kongres ini berlangsung pada masa penjajahan Belanda, tetapi pemr�karsanya adalah penduduk bumiputra. Dalam hal ini peran Pangeran Prangwadono amat besar. Bersama dengan tokoh-tokoh dari perkumpulan BO dan perkumpulan lainnya, Prangwadono menyampaikan gagasan untuk memba-has

Pangeran Prangwadono (Mangkunegoro VII)

masalah kebudayaan dalam bentuk kongr_es. Gagasan itu muncul dari dua pemikiran. Pemikiran pertama datang dari · seorang teosof terkenal bernama D. Van Hinloopen Labberton yang mengusulkan agar diselenggarakan Kongres Bahasa Jawa. Usul tersebut telah disetujui oleh pihak pemerintah Pusat (Batavia), dan pihak pemerintah Hindia Belanda membentuk panitia penyelenggara. Panitia itu terdiri atas empat orang: Dr. Hoesein Djajadiningrat, Dr. FDK. Bosch, Dr. B. Schrieke dan Dr. Hazeu. Untuk jabatan Ketua Panitia kongres disarankan pula oleh Pusat agar dijabat oleh Pangeran Prangwadono ..

Pemikiran kedua datang dari kalangan kaum terpelajar bumi-putra anggota B.O. di Surakarta. Mereka berpendapat bahwa yang perlu diselenggarakan bukan Kongres Bahasa Jawa seperti yang dikehendaki pihak Batavia, tetapi Kongres Kebudayaan untuk memperbincangkan masalah kebudayaan Jawa. Pemikiran itu datang dari Pangeran Prangwadono, yang kemudian dinobatkan menjadi Mangkunegoro VII.

(Jaap Erkelens, 2001:hal. 2). Menyikapi kehendak kaum terpelajar seperti itu, pihak Batavia memutuskan untuk membiarkan para anggota BO di Surakarta mengambil Jangkah sendiri dalam mengatur penyelenggaraan kongres. Akhirnya mereka menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Jawa, dan bukan Kongres Bahasa Jawa. Perdebatan antarkaum terpelajar bumiputra ketika menentukan pilihan apakah kongres bahasa atau kongres kebudayaan serta penentuan tema, pemarasaran, peserta, sampai perdebatan dalam kongres menjadi peristiwa penting, dan menarik perhatian pakar sejarah dan pemerintahan Asia Timur dari Jepang Prof. Dr. Takashi Siraishi. Menurut uraian Takashi telah terjadi perdebatan antara pemrasaran Soetatmo dan Tjipto Mangoen Koesoemo tentang faham nasionalisme menjadi perbincangan banyak ahli. (Takashi Siraishi, Journal Indonesia Volume 32, 1991, hal. 93).

Dari gambaran ini dapat dibayangkan betapa besarnya pengaruh kaum pergerakan (Dr. Radjiman, Pangeran Prangwadono dkk) dan kaum terpelajar bumiputra lainnya sehingga bagaimanapun kuatnya gagasan itu datang dari pihak Belanda dan telah disetujui oleh pemerintah Pusat (Batavia), akhirnya mereka harus mengalah pada keputusan BO cabang Surakarta. Kenyataan itu juga merupakan suatu hasil dari tahapan perjuangan yang dapat dijadikan pendorong semangat untuk terus maju ke depan dalam memperjuangkan kehadiran bangsa baru. Mengenai posisi Dr. Radjiman diuraikan lebih lanjut oleh Soebaryo sebagai berikut:

" ... maka mau tidak mau kita akan berbicara tentang Radjiman yang tetap merupakan 'think tank' bagi Boedi Oetomo maupun bagi 'elite power' keraton Surakarta Hadiningrat. Bahkan, walaupun Koperberg ·seorang anggota ISDv> ditunjuk menjadi sekretaris panitia pengarah karena hubungannya yang akrab dengan Pangeran Mangkoenegoro VII dan yang lain-lain, nampaknya sudah jelas bahwa pi�pinan kongres berada di tangan kelompok 'Wederopbouw". (Soebaryo Mangoenwidodo, 1994: hal. 62).

Yang dimaksud dengan kelompok Wederopbouw adalah kelompok yang menghendaki pembangunan (kebangkitan) kembali 'bangsa Jawa' yang dalam hal ini 2 ISDV singkatan dari lndische Sociaai-Democratische Vereeniging (Perhimpunan Sosiai-Demokrasi

dimotori oleh kaum terpelajar bumiputra. Hal ini menunjukkan betapa besarnya peran kaum terpelajar penggerak kebangkitan nasional dalam penyelenggaraan KK pada saat itu. Peserta kongres kebanyakan datang dari kaum terpelajar bumiputra, dan tidak hanya dari Jawa, meskipun namanya KK Jawa.

Selain kisah tentang latar belakang lahirnya kesepakatan untuk menye­ lenggarakan KK seperti di atas, masih ada beberapa kejadian lain yang juga tidak kalah menarik. Antara lain pad a sa at terjadi perdebatan tentang pemilihan tema dan peserta kongres pada saat rapat persiapan kongres, telah terjadi perdebatan antara mereka yang cukup seru. Semula kehadiran para intelektual bangsa Eropah dalam kongres dapat diterima untuk memberikan saran-sarannya. Tetapi pada rapat kedua sebagian peserta rapat menolak intelektual asing untuk ikut mencampuri urusan kebudayaan Jawa. Setelah menemui jalan buntu, Pangeran Prangwadono tampil memberikan penjelasan dan akhirnya disetujui. Para intelektual asing dapat ikut terlibat dalam kongres tetapi dibatasi hanya sebagai penasihat.

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata mereka tidak hanya hadir sebagai penasihat tetapi malahan sebagai pemrasaran. Di samping itu, telah terjadi adu argumentasi di antara kaum terpelajar bumiputra mengenai tema kongres yang mana di antara tema tentang kebudayaan dengan pendidikan yang akan dijadikan topik perbincangan dalam kongres. Di satu pihak Dr. Radjiman bersikeras menghendaki materi yang dibahas adalah mengenai pendidikan yang menitik-beratkan pada pendidikan Rebudayaan Jawa asli saja. Sementara itu, R. Sastrowidjono cenderung kepada pendidikan pro Barat, sedangkan Pangeran Prangwadono dan Wurjaningrat memilih jalan tengah, yakni memilih dua-duanya. Perdebatan itu akhirnya dicapai jalan kompromi setelah Pangeran Prangwadono menyimpulkan bahwa mengingat besarnya pengaruh dari luar, kongres sebaiknya membahas masalah bagaimana memajukan kebudayaan Jawa. (Wasino, 1994: hal. 252-253). Tentu saja termasuk peran pendidikan dalam memajukan kebudayaan tetap menjadi topik perbincangan.

Ada tokoh lain yang terlibat di dalam pembahasan persiapan kongres, yaitu Hoesein Djajadiningrat. Keikutsertaan Hoesein sebagai putra Bupati Banten bergelar doktor dari Universitas Leiden di Be Ianda ( dengan judul disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten atau Pandangan Kritis Tentang Sejarah Banten) mempunyai arti penting dalam mengarahkan kongres. Sebagai cendekiawan non Jawa, berada di tengah-tengah cendekiawan Jawa untuk membahas kebudayaan Jawa, Hoesein telah menggiring agar perbincangan kongres tidak hanya terpusat pada budaya Jawa. Keberadaannya membuat peserta kongres tidak hanya terbatas orang Jawa, tetapi juga mengundang peserta dari orang Sunda, Madura dan Bali.

Mengenai pandangan Hoesein tentang Kongres Kebudayaan Jawa 1918 antara lain disebut dalam buku "Madelon Djajadingrat: Vorst tussen twee were/den", dengan kata pengantar Helle S. Hasse. Antara lain ditulis bahwa Hoesein Djajadiningrat mempunyai keinginan yang terdalam, dapat berlangsung sebuah kongres di mana para ilmuwan dapat mengutarakan inisiatif baru, bahwa budaya Jawa dalam bentuk modern bisa dihidupkan kembali. ("Het was dan ook zijn diepste wens een congres te organiseren, waar deze wetenschappers bijeen zouden komen om nieuwe initiatieven te ontplooien, opdat de Javaanse cultuur in moderne vorm zou kunnen gaan her/even"). (Helle S. Hasse (Pengantar) 2006, hal. 193)

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses terselenggarannya KK bagi sebuah bangsa yang masih dalam keadaan terjajah tidaklah mulus, tetapi harus melalui berbagai macam pertimbangan. Kongres diselenggarakan di Surakarta, mulai tanggal 5 sampai dengan 7 Juli tahun 1918, diberi nama CONGRES VOOR JAVAANSCHE CULTUUR ONTWIKKELING atau Kongres Guna Membahas Pengembangan Kebudayaan Jawa. Kongres inilah yang dapat dicatat sebagai KK I yang diselenggarakan sebelum Indonesia merdeka. Kongres berlangsung sukses, dihadiri delegasi lebih dari lima puluh asosiasi di Jawa dan dari Eropa, datang ke kota Solo. Jumlah seluruh peserta yang menghadiri kongres lebih dari seribu dua ratus orang (Hele S. Hallqce, 2006, hal. 188).

R. Sastrowidjono, Ketua Panitia Kongres Kebudayaan Jawa, pertama, 1918 (Sumber: wikipedia, diunduh tanggal 24

Apri/2013)

Yang ditunjuk sebagai Ketua Penitia Penyelenggara KK tahun 1918 adalah R. Sastrowidjono. Sebelum acara dimulai para peserta berkumpul di Kepatihan Keraton Surakarta, lalu berkeliling melihat Keraton dan Taman Sriwedari. Setelah itu menuju Societeit Harmonie untuk beramah­ tamah sambil mendengarkan musik dan menonton pertunjukan tari Wireng. Acara pembukaan diselenggarakan di Kepatihan Mangkunegaran. Dalam sambutannya Sastrowidjono menyatakan bahwa atas nama Komite Pengembangan Kebudayaan Jawa mengucapkan . terimakasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran perwakilan pemerintah, Yang Terhormat Residen Surakarta. Di samping kepada pihak pemerintah (Hindia Belanda), ia juga mengucapkan rasa terima kasih kepada Paduka Soesoehoenan Surakarta yang bersedia menjadi pelindung kongres, dan juga kepada para raja yang hadir. Pada kesempatan itu diumumkan bahwa yang menjadi pemrakarsa terselenggaranya kongres adalah Ketua Kehormatan Panitia Penyelenggara, Pangeran Prang Wadono.

Disebutkan oleh Sastrowidjono bahwa rakyat Jawa yang prihatin karena tingkat intelektualitasnya begitu menurun, sekarang melihat kemunculan sekelompok kecil yang sudah mulai terpanggil untuk bekerjasama meningkatkan ekonomi dan politik negara. Kendati harus diakui bahwa kesadaran itu masih dalam tingkat yang teramat awal, tetapi saat ini rakyat Jawa sedang didorong oleh perkembangan zaman untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan Barat agar dapat berdiri sederajat dengan bangsa­ bangsa maju lain. Sementara itu, mengenai masalah kebudayaan sebagian besar rakyat cenderung masih kurang memahami dan meminati kebudayaannya sendiri (Jawa). Oleh sebab itu, kongres ini perlu sekali mengusahakan terwujudnya keseimbangan antara kebudayaan Timur dengan pengaruh dari kebudayaan Barat di kalangan masyarakat. Antara lain Sastrowidjono menyatakan:

"Kami berkeyakinan bahwa kini sudah tiba saatnya untuk terlepas dari tujuan­ tujuan politik, menyadarkan rakyat bahwa di samping peningkatan ekonomi dan politik, sebuah bangsa baru akan mampu memiliki jati dirinya (nasionalismenya) apabila bangsa itu bertumpu pada sejarah sendiri serta warisan budayanya sendiri. Memiliki kebudayaan sendiri merupakan sa/ah satu unsur penting agar dapat mengungkapkan kesadaran nasional serta jati diri rakyat: Apabila sebuah bangsa mengesampingkan kebudayaanya sendiri serta tidak menghargai apa yang diwariskan nenek moyangnya, maka bangsa itu tidak /ayak untuk maju.

0/eh karena itulah maka Komite dengan mantap mengambil langkah pertama, yaitu mengimbau se/uruh rakyat Jawa, baik mereka dari Sunda, Madura atau Jawa Tengah, agar bersama-sama membahas ke arah mana bangsa kita akan ditumbuh-kembangkan dalam kurun waktu ini.

Dengan tetap menghormati kebudayaan Barat, yang sudah bermanfaat bagi kemajuan kita semua, komite berpendapat bahwa sudah tiba wktunya untuk meletakkan garis-garis besar bagi perkembangan kebudayaan kami sendiri. Kami berbesar hati bahwa dalam hal ini masyarakat Eropa juga menghargai dan berperan-serta aktif dengan memberikan prasaran mereka masing-masing". Selain itu R. Sastrowidjono menyinggung tentang pentingnya meletakkan landasan sejarah dan tradisi dalam kehidupan masyarakat.la mengatakan: " ... telah tiba saatnya untuk menyadarkan masyarakat bahwa suatu bangsa yang utuh membutuhkan suatu landasan sejarah dan tradisi, selain pembangunan di bidang politik dan ekonomi". (Jaap Erkelens, 2001: hal. 2

)

. Menurut Sastrowidjono kebudayaan milik suatu bangsa merupakan cerminan paling sempurna dari kesadaran nasional dan jati diri bangsa yang bersangkutan.

Untuk itu ia menyerukan kepada seluruh bangsa di Jawa, tanpa membedakan antara orang Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali untuk 11membahas bersama jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut". Acara dilanjutkan dengan pembacaan sambutan tertulis Gubernur Jenderal.

Kongres diselenggarakan di bangsal Kepatihan Keraton Surakarta. Dalam kongres tersebut yang ditunjuk sebagai Pemrasaran

9

orang, lima dari bumiputra dan 4 dari asing. Kesembilan pemakalah itu adalah:

(

1

)

Dr. Satiman Wirijosandjojo;

(

2

)

R.M. Soetatmo Soerjokoesoemo;

(3)

Tjipto Mangoenkoesoemo; (4) R. Ng. Wediodipoero (Dr. Radjiman); (S}R.A. Notosoedirdjo geb. Karlinah;

(6)

D. van Hinloopen Labberton;

(7)

A. Muhlenfeld;

(8) J.

Rattier; dan

(9) Z.

Stokvis. Setelah melalui beberapa kali rapat, permasalahan yang dinilai penting untuk diangkat dalam kongres antara lain:

1. Ke arah mana perkembangan bangsa Jawa dibawa dan bagaimana bangsa Jawa dapat membangun kembali peradabannya yang tinggi di masa lampau?

2. Dalam usaha pembangunan kembali bangsa Jawa itu, apakah peranan peradaban Barat dan kebudayaan Jawa?

3· Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari luar ke dalam masyarakat Jawa masa kini, kemana perkembangan kebudayaan Jawa harus diarahkan?