• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pk. 09.00 -u.oo . Pk .. 14.00 -17 .oo Pk. 20.00-23.00

- Rapat Plena Anggata BMKN

(I)

- Pembukaan Pameran seni Rupa dan Kerajinan Bali - Rapat Seksi-seksi Simpasium ke-1

- Rapat Seksi-seksi Simpasium ke-2

- Rapat Plena Anggata BMKN

(II)

- Rapat Seksi-seksi Simposium ke-3

- Rapat Seksi-seksi Simposium ke-4 - Rapat Plena Anggata BMKN

(I

ll

)

- Rapat Seksi-seksi Simpasium ke-s

-Rapat Plena Anggota BMKN (IV)

- Rapat Plena Simpasium

(II)

-Malam Perpisahan

-Pengumuman kesimpulan-kesimpulan

Bagian yang amat menarik dari dua prasaran itu adalah tinjauan mengenai posisi kebudayaan dan pendidikan dalam UUD 1945. Sesuai dengan Pasal 31 dan 32 UUD 1945, kedua bidang itu dinaungi oleh Bab XIII yang berjudul PENDI-DIKAN. Menurut pemrasaran, baik mengenai pemberian judul Bab maupun penempatan bidang kebudayaan dalam Bab itu tidak tepat. Oleh karena itu disarankan agar kebudayaan dibuatkan bab tersendiri, atau judul Bab XIII diganti menjadi BAB XIII KEBUDAYAAN. Kutipan secara lengkap pendapat itu adalah sebagai berikut:

"Sebaiknya kebudayaan diberi Bab tersendiri yang mendahului Bab tentang Pendidikan. Atau Pendidikan yang dimasukkan ke dalam Bab Kebudayaan, sebab dalam nisbahnya, pendidikan itu bersifat a/at, yakni a/at untuk menuju ke suatu tujuan, yakni kebudayaan yang tinggi" (Dewan Pendidikan PGRI, 1957: hal. 15)

8.4.2 Kesimpulan

Tentang kesimpulan KK 1957 secara lengkap belum ditemukan. Adapun kesimpulan dari prasaran yang berjudul Kebudayaan dan Konstitusi adalah sebagai berikut:

1. Antara kebudayaan dan pendidikan terdapat suatu interaksi yang erat. Artinya, kebudayaan dan pendidikan sating memberi akibat, dalam arti yang bail< maupun yang buruk

2. Pendidikan ialah pewarisan kebudayaan. Tetapi ia bersifat selektip terhadap unsur­

unsur kebudayaan.

3· Usaha pewarisan kebudayaan itu melalui lembaga-lembaga yang sengaja diadakan oleh masyarakat (Kewajiban Be/ajar).

4· Usaha pembentukan Konstitusi harus berdasarkan pengertian dan paham tentang

kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah pokok bangsa kita, juga dalam soal-soal kebudayaan dan pendidikan.

5· Dalam Konstitusi, istilah "kebudayaan" harus digunakan dengan arti yang jelas.

Sebaiknya diadakan pembedaan antara Kebudayaan, Peradaban dan Kesenian.

6. Dewasa ini terdapat desintegrasi dalam kebudayaan. Usaha pembentukan Konstuitusi

dapat dianggap sebagai salah satu usaha yang utama untuk mewujudkan integrasi dalam kebudayaan.

7· Antara kebudayaan dan pendidikan terdapat pula suatu desintegrasi. Kebudayaan dan pendidikan sating hancur-menghancurkan, kebatikannya dari sating membangun.

8. Salah satu daripada sebab-sebabnya ia/ah masih berlakunya konsep "pendidikan

yang harmonis" a Ia Belanda (hollands denken). Pendidikan yang harmonis bagi kita berarti perpaduan dan keselarasan antara watak, keterampilan dan pengetahuan.

9· Dalam Konstitusi hendaknya diterakan dasar-dasar pokok potitik kebudayaan dan potitik pendidikan, yang memperjuangkan dan menjamin keadaan-keadaan, syarat­ syarat dan tingkungan yang sehat bagi suburnya partumbuhan kebudayaan dan pendidikan nasiona/.

10. Kesenian harus dimeratakan ke dalam cara hidup bangsa kita, terutama melalui pendidikan di sekolah.

membanggakan dirinya sebagai demokratis, menuntut dari setiap ang-gotanya agar memiliki suatu kejuruan. 0/eh karena itu setiap sekolah di atas Sekolah Dasar ( =SR) haruslah sekolah kejuruan (val<).

12. Pendidikan Nasional tidal< hanya berarti pendidikan di sekolah oleh si Dewasa kepada si tal< Dewasa. Pendidikan Nasional berarti suatu usaha, agar seluruh bangsa dalam waktu yang sesingkat-singkatnya ditrans-formasikan dan menjelma menjadi suatu totalitet manusia-manusia yang bekerja ke arah satu cita-cita. Dalam usaha itu teknik­ teknik sosial memegang peranan yang vital.

13. Dewasa ini pendidikan di Indonesia dikuasai oleh pedagogik Belanda. Kenyataan ini menyebabkan a./. terhambatnya proses pendemokratisan, suatu usaha yang memperkosa watak gotong-royong bangsa kita yang memberi coral< kepada kebudayaan kita.

14. Sebaiknya dalam Konstitusi disediakan Bab tersendiri bagi Kebudayaan dan Pendidikan.

15. Kebudayaan dan Pendidikan dalam Konstitusi tidal< boleh dipisah-pisahkan, melainkan merupakan keseluruhan yang logis dan wajar.

16. Di dalam Konstitusi harus ditegaskan, bahwa kebudayaan hendaknya merata menjadi milik seluruh rakyat.

17. Di dalam Konstitusi, kebudayaan dan pendidikan harus diuraikan berdasarkan fungsinya bagi bangsa. Dasar-dasar dan tujuan-tujuannya harus diterangkan demikian jelasnya dan tegasnya, sehingga menjamin penurunan undang-undang organik yang konsekuen, yang dapat menjamin perubahan sistem pendidikan kolonial dewasa ini menjadi sistem pendidikan nasional dan menjamin suatu pelaksanaan politik kebudayaan yang tegas dan sehat. (Dewan Pendidikan PGRI,

1957:

hal.

19)

Kongres ini mendapatkan perhatian cukup besar dari para budayawan, seniman dan cendekiawan meskipun harus menghadapi permasalahan transportasi menuju ke tempat kongres. Kongres ini dihadiri oleh sekitar

150 orang peserta. Dalam lembaran

'Petunjuk' disampaikan catatan bagi para peserta yang mencerminkan betapa besarnya semangat mereka dalam membangun kebudayaan bangsanya. Meskipun mereka harus menempuh perjalanan jauh dengan alat transportasi yang masih sederhana, membayar sendiri biaya perjalanan, akomodasi, dan konsumsi tetapi mereka tetap bersemangat untuk hadir. Hal seperti itu sangat berbeda dengan penyelenggaraan kongres, konferensi, seminar masa sekarang, yang biasanya segala biaya telah ditanggung oleh penyelenggara, dalam hal ini oleh pemerintah.

Dalam lembaran 'Petunjuk'itu terdapat catatan antara lain sebagai berikut:

1.

Para peserta masing-masing membayar sendiri ongkos perjalanan dan penginapan dalam perjalanan.

2. Untuk para peserta dari Jakarta dan sekitarnya yang ingin berangkat dalam rombongan akan diusahakan wagon tersendiri, ataupun dapat berangkat send_iri.

3· Yang datang dari luar Jawa dapat pergi sendiri-sendiri ke Denpasar ataupun berhubungan dengan Panitia Jakarta (alamat Sekretariat BMKN, Jalan Nusantara

28, Jakarta) a tau dengan Panitia Surabaya (ala mat: Kebudayaan Nasional Pancasila, Jl. Jenderal Sudirman 23, Surabaya)

penyeberangan

( overvaart)

dan uang penginapan di Surabaya kepada Panitia Jakarta yang akan mengurus di tempat yang dituju.

5· Dianjurkan kepada segenap para peserta Pertemuan Kebudayaan membawa surat­ surat keterangan seperti surat penduduk dll., yang diperlukan dalam perjalanan. Para anggota BM KN membawa kartu anggota dan surat mandat dari organisasi.

Untuk melengkapi gambaran tentang penggunaan biaya yang dipungut dari para peserta, dalam lembaran 'Petunjuk' itu juga disampaikan perincian ongkos perjalanan untuk peserta dari Jakarta:

Jakarta-Surabaya (Gubeng) via Jogya kelas Ill

Penginapan di Surabaya (losmen dan makan)

Surabaya-Banyuangi kelas Ill

Banyuwangi-Gilimanuk (penyeberangan)

Gilimanuk-Denpasar (auto-bus) Jumlah

Ongkos pulang-pergi menjadi : Rp.

400,-- Rp. 91,­

_

Rp. 25

,

­ _ Rp. 32,­ _ Rp. 25,-- Rp. 20,25,-- 20,-- Rp.

193,-Satu hal yang patut dicatat, dalam KK 1957 masalah perbedaan antara kelompok yang menganut fa ham humanisme rea lis (kiri) dengan kelompok humanisme universal (kanan) baru mulai memanas. Kelompok kiri dimotori oleh Lekra dan LKN sementara kelompok kanan dimotori oleh seniman dan budayawan Lesbumi dan kelompok netral. Menurut Ajip Rosidi yang ikut kongres bersama dengan Ramadhan KH menyatakan ada desas-desus Sitor Situmorang ingin menjadi Menteri Kebudayaan. Ketika itu Wiratmo Soekito menentang keras, menganggap Sitor tak layak padahal itu hanya isu (Majalah Tempo, 27 Oktober 2003).

B.5 Kongres Kebudayaan 1960

Setelah KK tahun 1957, BMKN kembali menyelenggarakan pertemuan kebudayaan yang diberi sebutan Kongres Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional (BMKN), di Bandung pada bulan Juli 1960. Sarna seperti halnya KK 1957, data lengkap tentang penyelenggaraan dan kesimpulan yang dihasilkan oleh KK 1960 belum dapat ditemukan/ Sebagian data yang ditemukan di Pusat Dokumentasi HB Jassin antara lain menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan KK pada saat itu beban biaya kongres ditanggung oleh para peserta kongres. Sebagai bukti betapa besarnya perhatian masyarakat terhadap penyelenggaraan KK di lampirkan kuitansi tanda pembayaran biaya kongres. Dari daftar nama-nama yang mengikuti kongres tercatat nama-nama dari etnis China, Arab maupun dari Barat. Dalam kongres ini diberikan Hadiah Sastra BMKN antara lain puisi Ramadhan KH mendapatkan hadiah sastera nasional Badan

7 Data yang ada di Pusat Dokumentas! Sastra HB Jassin amat terbatas, sementara di Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasiona.l bet urn ditemukan. Menurut salah seorang pengurus Balai Budaya Jakarta tempat BMKN berkantor, berbagai dokumen yang berkaitan dengan kegiatan BMKN hingga meletusnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965 tidak ditemukan lagi (hilang!kebanjiran?).

Musyawarat Kebudayaan Nasional (BMKN) 1956/1957.

Terbatasnya data hasil KK 1957 dan 1960 dibandingkan dengan kongres-kongres sebelumnya patut menjadi pertanyaan. Bahkan kedua kongres itu sempat luput dari daftar urutan dan jumlah KK yang pernah diselenggarakan sesudah Indonesia merdeka. Seperti dikatakan Ajip Rosidi kepada majalah Tempo: "Masih ada dua kongres lagi setelah kemerdekaan yang menurut Ajip sering dilupakan orang yaitu tahun 1957 di Bali dan 1960 di Bandung". Pernyataan Ajip yang diperkuat oleh Ramadhan KH dan Saini KM yang ikut hadir sebagai peserta (Ajip Rosidi dalam daftar peserta No. urut

4) menjadi jawaban perbincangan dalam KK

2003 di Bukittinggi yang mempersoalkan pertemuan kebudayaan di Bali 1957 dan Bandung 1960 apakah sebagai KK atau bukan. Kedua pertemuan kebudayaan itu pada hakikatnya merupakan Kongres Kebudayaan juga, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit sebagai KK.

Dari beberapa sumber inenunjukkan bahwa kedua pertemuan kebudayaan itu memiliki nilai sejarah yang berbeda dengan kongres sebelumnya. Dalam KK 1960

ini pokok masalah yang diangkat adalah "Fungsi Kebudayaan dalam Pembangunan Ekonomi", yang meliputi peranan ilmu dan sarjana, peranan seni dan seniman, dan peranan pendidikan dan pendidik. Yang ditunjuk sebagai pemrasaran adalah Prof. Soediman Kartohadiprodjo, Drs. Sudjoko, dan Sarine Mangunpranoto. Jika dalam KK

1957 masalah perbedaan antara faham huma-nisme realis dan humanisme universal baru mulai memanas di antara dua kelompok peserta, dalam KK di Bandung meledak menjadi peristiwa yang cukup menghebohkan. Ketika itu para utusan Lekra dalam sidang mengajukan sebuah resolusi, yang intinya mendesak agar BMKN dalam kongresnya di Bandung itu menerima Manipol dan Usdek sebagai landasan kegiatan kerjanya di masa depan.

Sitor Situmorang yang ditunjuk sebagai salah seorang penyanggah utama prasaran Sudjoko di samping pelukis Baharudin MS menyatakan bahwa ia tidak melihat persoalan dalam prasarannya. Oleh karena itu ia minta ijin untuk membacakan nasakah yang telah disiapkan, dan juga minta agar diakui sebagai prasaran. Akhirnya, dengan didasari rasa toleran oleh ketua sidang Dr. Mudijono permintaan Sitor Situmorang diizinkan. Pelukis Baharudin MS dalam pan-dangannya selaku penyanggah prasaran Sitor Situmorang menyatakan bahwa "prasaran yang tidak diminta, melainkan ditawarkan" itu ia tidak melihat sebagai persoalan karen a menu rut pendapatnya sangat bersifat teori dan bermuka politik, sehingga sepantasnya di bahas di Jalan Asia-Afrika (gedung Depernas8 tempat Sitor Situmorang sebagai salah seorang anggota mewakili seniman) dan tidak di Jalan Surapati (Gedung Pertemuan llmu Alam Indonesia) tempat kongres berlangsung.

Kuitansi pembayaran bagi peserta Kongres Kebudayaan 1960 di Bandung, disimpan rapi oleh HB Jassin. (Sumber: Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin)

Masalah yang membuat suasana kongres menjadi panas ketika sampai pada pembicaraan masalah Manifesto Politik yang bersumber pada Pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1959 dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Sesuai dengan TAP MPRS No. 1/MPRS/1960, pidato tersebut dikukuhkan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara. Manipol mengandung 5 unsur, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Sosialisme Indonesia;

(3)

Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin; (5) Kepribadian Indonesia. Kelima prinsip itu disingkat menjadi USDEK.

Menurut penilaian Lekra, selama ini belum pernah BMKN secara jelas menyatakan setuju atau tidak setujunya terhadap Manipoi/Usdek. Dalam sidang itu wakil-wakil dari Lekra (antara Jain: Joebaar Ajoeb, Basuki Resobowo, Boejoeng Saleh, dan Rivai Apin) menyampaikan resolusi yang intinya minta agar BMKN dalam kongres ini menyatakan Manipoi/Usdek sebagai landasan kegiatan kerjanya di masa depan. Sebagai buntut dari heboh itu terjadi peristiwa yang mengejutkan banyak peserta tatkala pada sidang plene terakhir beredar "selebaran" stensilan berbentuk puisi. lsi selebaran itu merupakan usul resolusi lain mengenai Manipoi/Usdek yang telah diajukan dalam sidang plene. Puisi itu ditandatangani oleh lima orang penyair. Kelima penyair itu ialah Dodong Djwapradja, Ajip Rosidi, Ramadhan KH., Toto Sudarto Bachtiar, dan Saini KM. Ada satu kejadian yang patut dicatat mengenai sikap Gaos Hardjasoemantri (Ketua BMKN) terhadap kelompok Lekra di KK 1960 di Bandung yang dinilai oleh Ajip, Gaos memiliki sikap toleran. Dalam rapat untu� menentukan Tim Pengaruh (SC) kongres, Gaos bukannya mencegah masuknya orang Lekra, malahan memasukkan dua orang wakilnya, yaitu Rivai Apin dan Gajus Siagian ke dalam tim bersama Oesman Effendi, Asrul Sani, dan lien Soerjanegara.

Kongres ini dipandang sebagai sebuah kongres yang sarat dengan aroma politik sehingga DS Moeljanto dan Taufiq Ismail menyebutnya sebagai "sel<e/umit peristiwa 'po/itil<' yang mulai merembesi sel<tor l<ebudayaan, yang tal<til< dan strategi ofensifnya dilancarl<an di tengah-tengah berlangsungnya Kongres BMKN". (DS. Moeljanto dan Taufiq Ismail, 1995: hal. 34-35). Mungkin karena karena pertemuan itu lebih bernuansa politik maka tidak pernah disebut sebagai Kongres Kebudayaan. Tetapi sebagai sebuah "peristiwa budaya'r kegiatan ini seharusnya patut dicatat sebagai bagian dari serangkaian Kongres Kebudayaan yang pernah terjadi di Republik ini.

Mendapatkan tuduhan semacam itu maka kelompok yang tidak sefaham dengan Lekra dan kawan-kawan memberikan perlawanan. Berkenaan dengan tuduhan miring itu, Badan Pekerja BMKN mengeluarkan "PERNYATAAN TENTANG BMKN DAN KONGRES KEBUDAYAAN 1960 Dl BAN DUNG," tanggal 13 Oktober 1960, No. 977/111/'60. Pernyataan itu dikirim itu kemudian dikirim kepada PYM. Presiden Rl, dan kopinya dikirim kepada Y.M. Menteri PP dan K (Arsip BMKN). Pernyataan sebanyak 4 halaman spasi rangkap itu pada hakikatnya merupakan banta han atas tuduhan yang disampaikan oleh wakil Lekra dkk. Dalam bantahan ditekankan pada pada masalah fungsi BMKN, yaitu: (1) soal usaha-usaha yang dilakukan; dan

(2)

soal fungsi dalam kaitan dengan kepentingan ideologi pemerintah. Inti dari pernyataan itu adalah sebagai berikut: 1. bahwa BMKN sepanjang usianya telah menjalankan fungsinya sesuai dengan

AD-ART, yaitu fungsi menggalang potensi nasional serta menyelesaikan revolusi; fungsi "samenbundeling van l<rachten" secara musyawarah atas dasar kemerdekaan bangsa yang diisi dengan nilai-nilai serta usaha-usaha kulturil; mencapai dukungan spontan yang bersemangat dan berdaya dari semua tenaga yang bergerak yang dilatarbelakangi oleh aliran-lairan tertentu atau tidak; dapat mempertahankan hidupnya sejak tahun 1948 hingga sekarang, dengan masih saja mendapat dukungan dari berbagai golongan dan perseorangan, yang jumlahnya makin meningkat.

2.

bahwa LKI/BMKN tidak pernah menyimpang dari kepentingan nasional, dari soal

memberi isi kemerdekaan, soal menyelesaikan revolusi dan soal menuruti Haluan Negara. Singkatnya, BMKN tidak menyimpang dari Pancasila, dan mendukung Usdek dan Manipol.

3· bahwa sesuai Pasal

2

AD BMKN, kegiatan-kegiatan BMKN berdasarkan pada

azas kebebasan dan kerakyatan. Artinya, kebudayaan sewajarnya tumbuh dan berkembang dari bawah. Kegiatan kebudayaan terpimpin seperti yang dirumuskan oleh Presiden Sukarno pada hakikatnya tidak bertentangan dengan azas BM�N itu. Oleh karena jika ada anggapan seakan-akan kegiatan kebudayaan terpimpin akan mengandung implikasi bahwa kegiatan kebudayaan nasional harus didikte dari atas, maka salah anggapan itu sengaja dipergunakan untuk menunggangi BMKN, guna melaksanakan ideologi segolongan dan melenyapkan eksistensi golongan-golongan lain.

4. bahwa BMKN adalah organisasi dari Badan-badan dan perseorangan yang mempunyai kedaulatan. Dan meskipun dapat dimengerti bahwa tiap-tiap aliran ingin menyeret BMKN ke dalam orbit masing-masing, namun BMKN dalam sejarahnya telah menunjukkan bahwa satu-satunya jalan yang ditempuh ialah jalan permufakatan yang terdapat dalam sifat dan nama BMKN, yakni musyawarat.

Buntut dari tuduhan bahwa BMKN ttdak secara jelas menyatakan setuju atau tidak setujunya terhadap Manipoi/Usdek pada KK 1960 di Bandung, membuat kelompok ini berusaha meyakinkan bahwa tuduhan tidak benar. Tetapi penjelasan itu selalu mendapat penolakan dari pihak lawan. Tidak cukup dengan menge-luarkan "Pernyataan" pada bulan Mei 1961 kelompok ini menerbitkan Majalah Sastra, diketuai oleh HB. Jassin dan sebagai Redaktur penyelenggara DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga sajak, kritik dan esai. Melalui majalah ini dimuat tulisan tangkisan batik terhadap penolakan mereka.

Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Juga dimuat be­ berapa esai yang ditulis lwan Simatupang dan Wiratmo Soekito, Trisno Sumardjo, dll. Juga banyak menu lis Boen 5. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Bel an, Salim Said menu lis kritik-kritiknya dalam majalah tersebut. Selain itu juga dimuat berbagai cerpen antara lain karya B. Soelarto, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip Soepraba, Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: lsma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan lain·lain.

Tidak cukup dengan dikeluarkannya "Pernyataan" sebagai banta han dan menu lis

esai dan kritik melalui majalah, kelompok ini pad a tanggal17 Agustus 196 3 mengeluarkan

"Manifesto Kebudayaan" sebagai pernyataan sikap seniman dan budayawan Indonesia tentang cita-cita kebudayaan dan politik nasional. Para penandatangan Manifes Kebudayaan (MK) menyuarakan bahwa kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia, tanpa mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain; dan bahwa Pancasila merupakan falsafah budaya mereka. M K disusun dan ditan-datangani sejumlah budayawan, pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain. Bunyi lengkap MK itu adalah sebagai berikut.

Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pend irian, cita-cita dan politik kebuda-yaan nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hid up manusia. Kami tidal< mengutamal<an sa/ah satu sel<toral l<ebudayaan di atas sel<tor l<ebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untul< mempertahankan dan mengembangl<an martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa­ bangsa.

PANCASILA adalah falsafah l<ebudayaan kaml. Jakarta, 17 Agustus 1963

Usaha kelompok humanis sosialis untuk mengalahkan lawannya tidak berhenti, dan bahkan dengan lahirnya M K itu tuduhan dan serangan semakin gencar. Polemik pun semakin melebar. Tanggal 8 Mei 1964, Bung Karno melarang Manifesto Kebudayaan dengan alasan:

"Karena manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi garis besar haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu ·

terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya".

Dengan adanya keputusan itu akhirnya pada tanggal 10 Mei'1964, atas nama para pendukung Manifes Kebudayaan (disingkat MK) Wiratmo Sukito, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo, mengirim surat kawat ke Presiden Soekarno yang menyatakan "mematuhi larangan tersebut".

Selain akan mamatuhi larangan tersebut, atas nama para pendukung MK di seluruh Indonesia, tanggal 19 mei 1964 Wiratmo Soekito, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo mengirim surat ke Presiden Soekarno yang isinya "memohon maaf PYM". Berkenaan dengan 11permohonan maaf" itu, Wiratmo Soekito memberi penjelasan

demikian,

-" ... kami minta maaf, karena telah terlambat memenuhi keinginan Pemimpin Besar Revolusi untuk mengubah Manifes, untuk membuat manifesto yang baru. Jadi, jelaslah, bahwa tujuan permintaan maaf itu bukannya untuk mengakhiri larangan Manifes". (Sumber: http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/ detail/1792 )

Setelah keluar keputusan larangan terhadap Manifes Kebudayaan majalah Sastra mengalami kemunduran. Demikian pula dengan keberadaan BM KN yang telah berhasil menyelenggarakan 3 kali KK, setelah KK 1960 aktivitasnya semakin berkurang. Menurut Ajip Rosidi pada tahun 1963, BMKN merencanakar akan menyelenggarakan KK lagi, tapi batal karena "ketegangan yang memuncak gara-gara Lekra ingin memaksakan Manipol". Kemelut yang dibalut kepentingan politik ltu mungkin yang menyebabkan data hasil KK 1957 dan 1960 tidak maksimal dan sulit dilacak.

Keberadaan BMKN semakin surut meskipun setelah peristiwa pemberontakan G30S/PKI bulan September 1965 Lekra dan LKN ganti yang dilarang dan bubar. Peluang yang terbuka itu tidak membuat kelompok humanisme universal dan kelompok kanan serta BMKN bangkit. Sebaliknya BMKN semakin tenggelam; apalagi setelah ditambah lagi dengan meninggalnya Gaos Hardjasoemantri selaku ketua BMKN mengalami kecelakaan mobil pada awal 1965. BMKN sebagai lembaga sosial masyarakat dengan mendapat subsidi pemerintah telah menjadi sebuah model dalam pengurusan kebudayaan bangsa itu kini tinggal nama. Tampilnya Lembaga Kebudayaan Indonesia yang kemudian berganti menjadi BMKN tetap dicatat dan diingat dalam sejarah kebudayaan Indonesia karena hasil KK yang diselenggarakan telah menjadi landasan bagi penyusunan konsep, kebijakan dan strategi dalam memajukan kebudayaan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh pasal 32 UUD 1945.

BABIV

KONGRES KEBUDAYAAN