• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tiga setengah tahun lamanya (1942-1945) Jepang menduduki Indonesia setelah dapat mengalahkan penjajah Belanda yang bercokol di bumi Nusantara selama 300 tahun lebih. Dominasi yang singkat itu berakhir setelah Jepang ganti ditaklukkan oleh Amerika, dan Indonesia menjadi bangsa merdeka. Menjadi bangsa merdeka ternyata tidak bejalan mulus. Masa kemerdekaan awal mulai dari tahun 1945 hingga tahun 1965 merupakan masa-masa penuh berbagai gejolak: ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan.

Kekalahan atas Jepang dari Timur membuat Be Ianda in gin masuk lagi ke Indonesia setelah Jepang dikalahkan Sekutu. Kekalahan itu dirasakan sangat menyakitkan, terutama dari sisi ekonomi. Belanda kehilangan "tambang" yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Kehilangan besar itu membuat M.B. van der Jagt, · mantan Gubernur

(?)

Surakarta, Solo dalam bukunya "Memoires" mengatakan:

"Dengan adanya penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia, Be Ianda dipaksa untuk meninggalkan karyanya yang sang at berharga, yang merupakan hasil kerja keras selama tiga setengah abad, kehi/angan kerjaan Hindianya, kekayaan tropisnya ... dst.". (Frances Gouda,2007: hal. 409).

Alasan inilah yang membuat pemerintah Belanda ingin membangun kembali "kerajaan" Hindia Belanda di Nusantara. Masuknya kembali tentara Belanda membuat pemerintah Rl yang baru harus berjuang dengan senjata maupun diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Perang mempertahankan kemerdekaan membuat konsentrasi penyusunan pemerintahan baru menjadi terganggu. Bahkan pusat pemerintahan Rl harus dipindahkan ke Yogyakarta. Setelah perlawanan dan perundingan yang panjang akhirnya Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatannya dari pemerintah Belanda (1949), dan pusat pemerintahan selanjutnya kembali lagi Jakarta.

Rl, muncul gejala disintegrasi bangsa dengan adanya pemberotakan yang datang dari dalam negeri. Pemberotakan PKI/Muso (1948), DI{TII di Jawa Barat (pimpinan S.Kartosuwirjo) Jawa Tengah (Pimpinan Amir Fatah, Aceh (pimpinan T. Daud Beureueh) dan Sulawesi Selatan (pimpinan Kahar Muzakar) yang berlangsung dari 1949-1962 dengan tertangkapnya Kartosuwirjo. Di Maluku timbul pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang pada tahun 1950 memproklamasikan diri menjadi Negara merdeka memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur yang saat itu Indonesia masih berstatus Republik Indonesia Serikat. Ditambah lagi dengan munculnya gejolak politik karena terjadinya pertikaian masalah ideologi politik antara kelompok kanan dan kiri, kesemuanya itu t�lah menyita waktu, tenaga, dan pikiran para pemimpin saat itu. Ujian demi ujian datang silih berganti itu mencapai puncaknya setelah meletus pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.

Meskipun dalam-masa kemerdekaan awal itu penuh dengan gangguan dan masalah, tetapi bukan berarti keinginan membangun negara bangsa itu-mengendur. Khusus untuk membangun kebudayaan bangsa di sela-sela situasi yang sulit itu para budayawan, seniman, cendekiawan, tokoh masyarakat dan agama sepakat untuk menyelenggarakan kongres atau konferensi kebudayaan. Tujuannya tidak lain untuk membahas dan mengambil kesepakatan tentang konsep, kebijakan dan strategi membangun bangsa dan memajukan kebudayaan bangsa, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 32 UUD 1945.

Gambaran tentang dinamika pemikiran para pendahulu di bidang kebudayaan tentang pemajuan kebudayaan bangsa yang dihimpun melalui forum kongres dimulai dengan perdebatan tentang urutan kongres. dilanjutkan dengan uraian sekitar tema, tujuan dan hasil dari masing-masing kongres sebagai berikut.

A. JUMLAH DAN URUTAN KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA

Sebelum menguraikan jalannya kongres demi kongres, ternyata masalah jumlah dan urutan kongres kebudayaan sesudah Indonesia merdeka telah menjadi perdebatan. Sebagaimana diuraikan di dalam Bab II, pada masa sebelum Indonesia merdeka telah diselenggarakan tujuh kali KK, yang secara berurutan dimulai tahun 1918 di Surakarta, 1919 di Surakarta, 1921 di Bandung, 1924 di Yogyakarta, 1926 di Surabaya, 1929 di Surakarta, dan tahun 1937 di Bali. Selain itu juga telah diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 dan Konferensi Sastra Indonesia tahun 1939. lnisiatif menyelenggarakan kongres dan konferensi itu datang dari kaum pribumi yang telah memiliki semangat kebangsaan dan berkebudayaan bangsayang tinggi.

Dari ketujuh kongres itu, yang disebut dengan jelas sebagai KK adalah yang diselenggarakan tahun 1918 dengan nama Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling atau Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa. Setelah itu kongres diberi nama Congres van het Java lnstituut (Kongres dari Java lnstituut), diambil dari nama penyelenggaranya yaitu Java-lnstituut. Meskipun disebut demikian, tetapi pada hakikatnya acara itu juga merupakan KK juga, sama dengan kongres yang diselenggarakan tahun 1918. Dengan demikian mengenai jumlah dan urutan kongres sebelum Indonesia merdeka dapat dikatakan tidak ada masalah.

merdeka. Mengenai jumlah dan urutan KK yang pernah diselenggarakan sempat 2 kali menjadi perdebatan. Pertama, apakah yang dapat disebut sebagai KK pertama itu acara Musyaw�rah Kebudayaan yang diselenggarakan tahun 1945 di Sukabumi, atau Kongres Pendidikan tahun 1947 di Solo, ataukah kongres yang diselenggarakan tahun 1948 di Magelang? Kedua, apakah kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan tahun 195]di Bali dan tahun 1960 di Bandung yang lebih dikenal sebagai Rapat Umum BMKN atau Kongres BMKN juga merupakan kegiatan KK atau bukan? Permasalahan masih dapat bertambah lagi karena muncul pendapat kegiatan Konferensi Kebudayaan yang diselenggarakan tahun 1950 di Jakarta juga telah disebut-sebut juga sebagai Kongres Kebudayaan.

Perbincangan masalah jumlah dan urutan penyelenggaraan KK sesudah Indonesia merdeka diawali pada saat berlangsung KK di Magelang tahun 1948. Ketika itu dipersoalkan, mana yang benar KK di Magelang 1948 itu sebagai KK pertama, atau kedua atau malahan ketiga, seperti pertanyaan pertama di atas? Sebagian peserta menyatakan bahwa KK di Magelang adalah Kongres Kebudayaan kedua, sebagian lagi dari peserta menyebutnya sebagai KK ketiga. Kerancuan tentang awal kongres terjadi karena sebuah pertemuan kebudayaan yang diselenggarakan di Sukabumi pada akhir Desember tahun 1945_yang disebut sebagai "Musyawarah Kebudayaan" (Pax Benedento/ penyunting, 1999: hal. 283) telah dianggap sebagai KK, sehingga kongres di Magelang merupakan lanjutannya. Yang menarik, acara Musyawarah Kebudayaan tahun 1945 di Sukabumi yang dijadikan titik tolak penetuan kapan KK pertama diselenggarakan masih mengandung silang pendapat.

Menurut Pax Benedento dkk. dalam bukunya Kronik Revolusi I, pertemuan itu diselenggarakan tanggal 31 Desember 1945 dan beritanya dimuat dalam majalah Pantja Raja tanggal15 Januari 1946. Tetapi kalau menurut Mr. Wongsonegoro pertemuan itu diselenggarakan pada bulan November 1946 dan kegiatan itu disebutnya sebagai KK._ Mana yang benar, pertemuan itu berlang-sung pada akhir Desember 1945 atau bulan November tahun 1946? Pertemuan itu sendiri merupakan sebuah musyawarah atau kongres?

Pada bagian lain Mr. Wongsonegoro menjelaskan bahwa KK di Magelang itu sebenarnya merupakan KK ketiga. Menurut Mr. Wongsonegoro pertemuan di Sukabumi itu disebutnya sebagai KK pertama dan Kongres Pendidikan di Solo tahun 1947 disebutnya sebagai KK kedua, KK di Magelang ketiga. Kutipan pendapat yang

disampaikan pada hari kedua KK di Magelang adalah sebagai berikut:

"Pertama kali disebut kongres di Sukabumi dalam tahun 1946 (bulan November) yang diliputi suasana pertempuran. Pada saat itu diterima sebuah resolusi mengenai perubahan (hervorming) Kementerian Pengajaran menuju ke Kementerian Kebudayaan. Kedua ka/inya adalah di Solo bulan April 19471 yaitu dengan dilangsungkannya Kongres Pendidikan yang dapat pula disebut Kongres Kebudayaan". (Majalah Indonesia 1-11,1950: hal. 20).

Tetapi majalah ini ikut menambah kerancauan tentang urutan KK itu karena di dalam Pengantar majalah ditulis laporan (verslag) yang secara jelas menyatakan KK di Magelang sebagai Kongres Kebudayaan ke-2, diadakan akhir Agustus tahun 1948.

(Majalah Indonesia

1-11,

1950: hal. 1).

Sementara itu ada yang berpendapat bahwa kongres di Magelang adalah