• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengusulkan kepada Pemerintah segera berdirinya suatu Akademi Kesenian (Prae­ advies Sdr. Sindoe Soewarno)

5· Kesenian ialah penjelmaan getaran jiwa yang asli

VI. Mengusulkan kepada Pemerintah segera berdirinya suatu Akademi Kesenian (Prae­ advies Sdr. Sindoe Soewarno)

VI. Memajukan kepada Pemerintah untuk mengadakan Kementerian sendiri untuk

Kebudayaan. (Maja/ah Indonesia Nio. 1-11, 1950: hal. 14).

Tentang lahirnya rekomendasi

No.

VIII ini, yakni tentang pembentukan Kementerian Kebudayaan tersendiri di KK tahun 1948, sesungguhnya merupakan

bentuk pengesahan dari hasil perdebatan dari para budayawan, seniman dan cendekiawan, 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka. Dalam suatu Permusyawaratan Kebudayaan4 yang diselenggarakan di Sukabumi pada tanggal 31 Desember 1945, bentuk Kementerian Kebudayaan telah menjadi salah satu resolusi. Berita tentang hasil permusyawaratan itu dimuat dalam Majalah Pantja Raja, tanggal15 Januari 1946. Keputusan permusyawaratan itu antara lain menyampaikan usul sebagai berikut: a. Mendesak kepada Pe.merintah Pusat supaya selekas mungkin menyelenggarakan

pertemuan besar antara wakil-wakil Pemerintah, terutama yang bersangkutan, dengan wakil-wakil perkumpulan kebudayaan, serta ahli-ahli dan peminat lapangan tersebut untuk meletakkan dasar-dasar yang kokoh untuk pemeliharaan dan pembangunan Kebudayaan Nasional;

b. Mengambil tindakan-tindakan yang tepat supaya selekas mungkin cita-cita Nasional dalam lapangan Kebudayaan berwujud, misalnya dengan:

1) Mengadakan Kementerian Kebudayaan lepas dari Pendidikan dan Pengajaran;

2)

Menyokong dan · menganjurkan pendidikan kebudayaan dengan dasar

kemerdekaan (Pax Benedento/Penyunting, 1999: hal. 283).

Usulan tentang pembentukan Kementerian Kebudayaan, lepas dari Pendidikan dan Pengajaran mencerminkan konsep pemikiran para pendiri bangsa tentang pentingnya kebudayaan di dalam sistem pemerintahan. Kebudayaan sebagai salah satu un�ur perekat persatuan kebangsaan dapat menjalankan misinya apabila diwadahi da!�m iembaga yang mandiri. Oleh karena itu sebelum perdebatan tentang Organisasi Kebudayaan dimulai, kepada Dr. Abu Hanifah diminta untuk membentangkan isi resolusi Sukabumi yang telah disepakati itu.

Agak berbeda dengan yang dimuat dalam majalah Pantja Raja, menurut Abu Hanifah, Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi menelorkan 2 resolusi. Resolusi

pertama, mengusulkan agar Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Kementerian Kebudayaan dan 1/mu Pengetahuan; dan

(2)

- Kementerian Pendidikan dan Pengajaran. Resolusi kedua, apabila usul pertama tidak dikabulkan maka diusulkan agar 11Kementerian PP dan K diubah nama dan susunannya, mengenai tugas masing-masing bagian, dengan diberi nama: Kementerian Kebudayaan, Pendidikan dan Pengajaran, dengan mengadakan satu Bagian sendiri untuk Bagian Kebudayaan".

Sehubungan dengan penjelasan itu pimpinan sidang lalu mempersilakan para peserta untuk memberikan tanggapan. Mr. Soenarjo menguatkan, agar jangan hanya namanya saja yang diubah, tetapi juga dalam bagian-bagian kementerian tersebut. Setelah diadakan perdebatan, kemudian diputuskan oleh rapat untuk mengambil alternatif kedua yakni seperti yang telah diputuskan dalam musya-warah di Sukabumi, dan kepada Dr. Abu Hanifah diminta untuk menyusun resolusi kepada Presiden mengenai perubahan sifat Kementerian PP dan K. Setelah hasil sidang Organisasi dibahas dalam sidang Perumusan hasil kongres disepakati seperti yang tercantum dalam kesimpulan No. VIII. Resolusi ini rumusannya mirip dengan yang tercantum dalam buku Krenik Revolusi I, yakni: 11Memajukan kepada Pemerintah untuk mengadakan Kementerian sendiri untuk Kebudayaan".

Penyelengaraan KK pertama_(1948) sesudah lahir bangsa dan negara Indonesia tidak hanya dinilai sebagai upaya menemukan konsep, kebijakan dan strategi membangun kebudayaannya tetapi juga kebangsaannya. Kongres itu mencerminkan keperdulian para pemimpin bangsa dalam memajukan kebudayaan bangsa tetapi sekaligus juga menunjukkan pandangan mereka tentang bagimana membangun bangsa berdasarkan kebudayaan. Seperti ditulis oleh Jennifer Lindsay, sebagai bangsa baru, para pemimpin turun tangan memikirkan, berpartisipasi dan bereksperimen serta berdebat mengenai apa yang meng-hubungkan dan memisahkan mereka serta apa yang membuat mereka "orang Indonesia". KK 1948 menunjukkan

"Republik menempatkan kebudayaan di dalam membangun bangsa. Pada masa kacau 1948, ketika Republik dalam keadaan kisruh - di mana wilayah kekuasaannya dikebiri hanya sebatas Aceh, sebagian Sumatra dan Jawa Tengah, dengan ketegangan-ketegangan internal memanas dan tal< lama kemudian meletus pemberontakan komunis bulan September di Madiun - pemerintah menggelar Kongres Kebudayaan". (Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, Ahli Waris Budaya Indonesia: Menjadi Indonesia 1950-1960, Jakarta, 2011, hal. 7)

Tentang besarnya perhatian para pemimpin, seperti disebut di bagian depan, pad a KK 1948 telah dihadiri para pucuk pimpinan negara: Presiden Soekarno (menyampaikan amanat) dan Ny. Fatmawati, Wakil Presiden Mohamad Hatta (menyampaikan pendapat) dan Ny. Rahmi Hatta, Konsul India, Moh. Junus, Panglima Besar Sudirman dan lain-lain Pembesar Tentara, Menteri PP dan K Mr. Ali Sastroamidjojo, Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprodjo, Menteri Penerangan Moh. Natsir, Sekretaris Negara Mr. lksan. Sebagai pemakalah tampil para tokoh bangsa seperti: Ki Hadjar Dewantara, Ki Mangoensarkoro, Prof. Mr. S. Kolopaking, Mr. K. Purboparanoto, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ki Mangoensoedarso, Ki Hageng Soerjomentaram, Mr. Wongsonegoro, dll.

Empat bulan setelah kongres berlangsung, pada 19 Desember 1948, pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Jogjakarta dan malam menjelang tanggal 20 Desember 1948 para gerilyawan melaksanakan siasat "bumi hangus" membakar semua gedung Kantor Pemerintah, markas-markas, tangsi Militer, sekolah-sekolah, dan gedung-gedung yang penting lainnya kecuali tempat-tempat ibadah. Ketika tentara Belanda benar-benar masuk ke Magelang, keadaan kota sepi sementara pasukan pejuang mundur ke luar kota.

Meskipun peristiwa kongres kebudayaan termasuk KK 1948 jarang disebut di dalam buku sejarah, tetapi tidak demikian dengan sikap yang diambil oleh para pendiri Museum Perjuangan diYogyakarta. Museum yang didirikan di sebagian halaman Ndalem Brontokusuman milik Kraton Yogyakarta itu atas izin Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu menjadi Ketua Panitia. Museum ini diresmikan pada 17 November 1961 memamerkan patung para pahlawan nasi-onal, berbagai artefak bersejarah milik para tokoh, miniatur, perlengkapan perang, dll.

Selain disajikan berbagai koleksi tersebut, pada dinding Museum yang berbentuk silinder itu dipahat relief yang menceritakan peristiwa sejarah sejak dari masa lahirnya Budi Oetomo sampai dengan masa bersatunya lagi pemerintahan Rl yaitu dengan

terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat tahun 1950. Seluruhnya ada

37 peristiwa yang dinilai memiliki nilai sejarah yang penting. Salah satu dari 37 peristiwa itu adalah peristiwa budaya, yaitu acara KK 1948 (No. urut 29). Peristiwa bersejarah itu diabadikan dalam bentuk satu panel yang terdiri atas dua adegan (bingkai) relief. Bingkai pertama menggambarkan acara pameran seni lukis dan patung serta pergelaran tari (tari Bali) sebagai bagian dari KK 1948. Bingkai kedua menggambarkan pre-adviser (pemakalah) sedang menyajikan makalah.

Tampak dinding Museum Perjuangan Yogyakarta yang berbentuk silinder dan di bagian luar dipahat relief sebanyak 37 peristiwa bersejarah. (Foto: Siswanto, 2013)

Salah satu relief yang menggambar-kan peristiwa Kongres Kebudayaan 1948. Terdiri atas 2 adegan, sebelah kiri menggambar-kan acara kesenian dan pengunjung sedang menikmati acara pementasan tari Bali, pameran lukisan dan patung. Sebelah kanan menggambarkan

8.1.3 Pembentukan Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI)

Untuk memberikan gambaran secara lengkap tentang KK pertama di Magelang ada baiknya juga disampaikan uraian langkah-langkah yang, dilakukan oleh para budayawan dan seniman setelah kongres itu selesai. Langkah itu merupakan bagian dari kesepa-katan kongres dalam arti sebagai bentuk tindak lanjut yang nyata dari keputusan kongres. Langkah-langkah tersebut antara lain adalah pembentukan kelembagaan kebudayaan yang menjadi wadah kegiatan kebudayaan dan penyelenggaraan Konferensi Kebudayaan.

Sebagaimana telah disinggung di bagian depan, dalam kongres dibahas tentang perlunya sebuah lembaga kebudayaan, yang secara independen mengelola upaya memajukan kebudayaan bangsa. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya peserta menyepakati untuk dibentuk Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Sebagai Ketua sementara ditunjuk Mr. Wongsonegoro dan sebagai Wakil Ketua dari angkatan muda ditunjuk Dr. Abu Hanifah. Tugas ketua sementara adalah menyelenggarakan rapat khusus untuk menyelesaikan naskah Anggaran Dasar yang belum tuntas dibahas di dalam kongres dan menjaring tanggapan dan masukan dari peserta serta melengkapi nama-nama pengurus LKI.

Dari hasil pertemuan itu dicapailah hasil susunan pengurus definitif LEMBAGA KEBUDAYAAN INDONESIA yaitu sebagai Ketua: Dr. Bahder Djohan, dan Penulis Umum:

Suratno Sastroamidjojo. Dalam penjelasannya Bahder Djohan selaku ketua LKI definitif menyatakan bahwa peresmian berdirinya organisasi LKI itu pada tanggal 1 Januari

1949 di Yogyakarta. Tetapi karena situasi keamanan kota Yogyakarta sebagai lbukota Republik pada saat itu sedang dalam pendudukan Belanda, maka rencana itu gagal. Akhirnya LKI baru dapat berdiri secara resmi setahun kemudian, yakni pada tanggal 9

Maret 1950 di Jakarta.

Ada pun mengenai hasil penyempurnaan Anggaran Dasar Lembaga Kebu-dayaan Indonesia adalah sebagai berikut.

ANGGARAN DASAR LEMBAGA KEBUDAYAAN INDONESIA Bab I. NAMA DAN KEDUDUKAN

Pasal1.

Badan ini bernama "LEMBAGA KEBUDAYAAN INDONESIA" dan berkedu-dukan di Jakarta.

Tujuan Lembaga ialah:

Bab II. SIFAT Pasal3.

a. Mewujudkan nilai-nilai kebudayaan yang sudah meresap dalam Pancasila, sehingga terbentuk jiwa budaya Indonesia.

berkembang kebudayaan Indonesia, sebagai pancaran jiwa bangsa Indonesia yang hid up dan tumbuh antara segenap golongan di seluruh kepulauan Indonesia.

Bab IV. USAHA Pasal 4·

Lembaga berusaha mencapai tujuan itu di antaranya dengan jalan:

Menyelenggarakan museum-museum yang menyimpan hasil-hasil kebtidayaan daerah-daerah Indonesia, dan kebudayaan-kebudayaan luar negeri, sehingga menjadi bahan menghidupkan jiwa budaya Indonesia.

Menyelenggarakan steling-steling (maksudnya pameran) dan pertunjukan­ pertunjukan baik yang tetap maupun untuk seketika- ten tang buah hasil kebudayaan Indonesia.

Memelihara perpustakaan untuk mengembangkan kebudayaan Indonesia, dengan orientasi seluas-luasnya.

Mengadakan penyelidikan dan menggiatkan (membantu) usaha penyelidikan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan kesenian.

Membantu usaha Pemerintah (badan-badan resmi) dan usaha partikelir dalam mewujudkan, menumbuhkan dan mengembangkan kebudayaan Indo-nesia.

Mengadakan sayembara dan menyediakan hadiah-hadiah tahunan atau pun hadiah kehormatan untuk menggiatkan dan menghargai usaha yang terbaik dalam salah satu lapangan kebudayaan.

Mencari kerja sama dengan usaha semacam itu di luar negeri, teristimewa di negeri­ negeri yang bersamaan dasar kebudayaannya.

Menyelenggarakan fonds kebudayaan dan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi tumbuhnya kebudayaan Indonesia�

Mengadakan kongres kebudayaan (Majalah Indonesia No. 1-11,

1950:

hal.

124).

Dengan lahirnya Lembaga Kebudayaan Indonesia, maka tugas Pengurus yang segera dilakukan adalah menyelenggarakan Konferensi Kebudayaan Indonesia dan melakukan persiapan penyelenggaraan kongres kebudayaan berikutnya. Kegiatan Konferensi Kebudayaan Indonesia yang merupakan lanjutan Kongres Magelang diselenggarakan pada tanggals-7 Agustus 1950, di Gedung Pertemuan Umum Kotapraja Jakarta Raya. Konferensi ini memilih tema: Kebudayaan Nasional dan Hubungannya dengan Kebudayaan Bangsa-bangsa lain. Bagi sebuah bangsa yang baru merdeka tema itu dipandang penting untuk mencari kesepakatan tentang konsep, kebijakan dan strategi dalam rangka menghadapi hubungan Pemerintah Rl dengan Negara-negara sahabat yang pada hakikatnya merupakan hubungan antarbudaya bangsa. Adapun kesimpulan yang didapatkan dari penyelenggaraan konferensi terse but adalah sebagai berikut.

Kesimpulan-kesimpulan

KONFERENSI KEBUDAYAAN INDONESIA

Atas usaha dan pimpinan LEMBAGA KEBUDAYAAN iNDONESIA Dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 5, 6 dan 7 Agustus 1950;

Merundingkan acara Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Juar negeri bersifat simposium;

Mendengarkan preadvis sdr.-sdr.: Ki Hadjar Dewantara, Mr. St. Takdir Alisjahbana, Trisno Sumardjo dan Prof. Soenaria Sanyatavijaya;

Memperhatikan kesimpulan-kesimpulan pada Kongres Kebudayaan Nasional yang dilangsungkan pada tanggal 20-25 Agustlis 1948 di Magelang;

Mendengar pembicaraan-pembicaraan 19 orang pendebat, di antaranya 5 orang ditunjuk lebih dahulu.

MELAHIRKAN PENDAPAT:

bahwa pada umumnya tiap-tiap kebudayaan sesuatu bangsa itu merupakan suatu kesatuan yang organ is;

bahwa teristimewa semenjak bangsa Indonesia telah bernegara yang merdeka dan berdaulat, maka masyarakat Indonesia mencari isi dan bentuk kebudayaan yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan zaman baru;

bahwa terhadap perhubungan dengan kebudayaan luar negeri dalam hal menyempurnakan perkembangan kebudayaan Indonesia, bangsa Indonesia membuka diri secara aktif dan kritis terhadap pengaruh kebudayaan asing itu; bahwa persetujuan KMB mengenai kebudayaan masih dapat dipergunakan a sal dalam pelaksanaannya pihak Indonesia bersikap kuat dan sesuai dengan kedaulatannya.

MENGANJURKAN: Kepada Masyarakat dan Pemerintah

Ke luar:

1. mengadakan persetujuan-persetujuan kebudayaan dengan Negara- negara lain; 2. menempatkan atase-atase kebudayaan di Negara-negara lain;

3· mengirimkan ke luar negeri dan melakukan dengan luar negeri pertukaran mahaguru, mahasiswa, seniman, sarjana dan calon ahli;

Ke dalam:

1. mengadakan perubahan susunan komisi-bersama kebudayaan; 2. membantu dengan nyata tenaga-tenaga kreatif untuk berkembang;

menyempurnakan perlengkapan-perlengkapan kebudayaan berupa konservatoria, laboratoria, musea, akademi-akademi kesenian, perpustakaan-perpusta-kaan dan lembaga-lembaga ilmu;

Kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia, supaya mengusahakan terlaksananya apa yang