• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem bangunan yang berwujud rumah susun berbeda dengan sistem bangunan

konvensional (sistem bangunan horizontal). Baik struktur, kelengkapan, prasarana,

dan fasilitas maupun komunitas penghuninya. Oleh karenanya dalam rangka pendirian bangunan yang berbentuk rumah susun mutlak diperlukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan pengembang. Adapun tujuan dari persyaratan adalah untuk menjamin keselamatan, keamanan, ketentraman dan ketertiban penghunian serta keserasian dengan lingkungan sekitarnya.102

Secara garis besar persyaratan-persyaratan dapat dibagi menjadi dua, sebagai berikut:

1. Persyaratan teknis selalu tertuang dalam rancang bangun yang meliputi:

a. Ruang,

b. Stuktur, komponen dan bahan bangun,

c. Kelengkapan bangunan,

102

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Dalam Konteks UUPA-UUPR- UUPLH, Rajawali Pers PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 44.

d. Bangunan rumah susun ,

e. Bagian dan benda bersama,

f. Kepadatan dan tata letak bangunan,

g. Prasarana dan fasilitas lingkungan.

2. Persyaratan administrasi yang berupa izin antara lain mencakupi: Ijin lokasi (SIPPT),

Advice planning,

IMB (Izin Mendirikan Bangunan), ILH (Izin Layak Huni),

Sertifikat tanahnya.103

Pada bangunan gedung bertingkat terdapat dua pilihan sistem yaitu pilihan tunggal (single ownership) dan pemilikan bersama (multi ownership). Pada sistem pemilikan tunggal, pemilik tanah sekaligus merupakan pemilik gedung. Sedangkan pada konsep pemilikan bersama, tanah dan gedung tidak berada pada posisi kepemilikan satu orang, melainkan pada orang yang berbeda. Sehingga pada posisi yang demikian ini pemilik gedung bukanlah pemilik tanahnya dan demikian juga

sebaliknya pemilik tanah bukan berarti pemilik gedungnya.104 Sistem pemilikan

bersama pada bangunan gedung bertingkat itu sendiri berpangkal pada teori-teori tentang pemilikan suatu benda. Dalam pemilikan bersama atas suatu benda/bangunan pada pokoknya dikenal 2 (dua) bentuk pemilikan, yaitu pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede eigendom), dan pemilikan bersama yang bebas (vrij mede

eigendom), maka perbedaan yang terdapat antara keduanya pada dasarnya ialah

seperti yang disebutkan dalam tabel berikut ini:

103

Arie Sukanti Hutagalung,(1) Op. Cit, Hal. 23.

104

Boedi Harsono, Berbagai Masalah Hukum Bersangkutan Dengan Rumah Susun dan Pemilikan Satuan Rumah Susun, Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum niversitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal.98.

(Sumber: Dirjen Agraria Departemen Dalam Negeri Tahun 1998) Pemilikan Bersama Yang Terikat

(gebonden mede eogendom)

Pemilikan Bersama Yang Bebas (vrij mede eigendom)

1. ada ikatan hukum terlebih

dahulu diantara para pemilik;

2. tidak dapat bebas melakukan

perbuatan hukum tanpa persetujuan pemilik lainnya;

3. tiap-tiap pemilik berhak atas

seluruh bendanya.

Contoh: harta peninggalan dengan hukum waris

tidak ada ikatan hukum sebelumnya diantara para pemilik;

dapat bebas melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan pemilik lainnya;

tiap-tiap pemilik lainnya mempunyai bagian tertentu atas benda bersama yang berdiri sendiri.

Contoh: pemilikan rumah susun/ kondominium/ apartemen

Pemilikan bangunan bertingkat dengan sistem yang terikat telah mendapat pengaturan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 Tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan Yang Ada Di Atasnya Serta Penerbitan Sertipikatnya. Dalam sistem ini dapat dibuat sertifikat sebanyak pemilikan bersama, disertai dengan gambar bagian gedung yang dimilikinya, walaupun masih tetap milik bersama. Jadi tiap kamar atau satuan rumah yang dapat digunakan secara terpisah antar individu masih merupakan milik bersama. Sistem pemilikan bersama yang terikat tidak memyelesaikan permasalahan bagi mereka yang menginginkan adanya pemilikan perseorangan yang bebas di samping adanya pemilikan bersama.

Suatu sistem bangunan gedung bertingkat yang bagian atau ruangnya dapat digunakan secara individual, yang kepemilikan gedungnya sama dengan pemegang hak atas tanahnya sudah lama dikenal, khususnya di Indonesia. Sistem yang dimaksud adalah sistem hubungan hukum sewa menyewa yang tidak memberikan hak kebendaan atas objek perjanjian. Dengan demikian, pemakaian atau pemanfaatannya bagi si penyewa atau pemakai sangat terbatas. Kemudian, terjadi perkembangan akan kebutuhan bagi pihak pemakai atau pengguna gedung untuk dapat sekaligus menjadikannya sebagai suatu bagian dari kekayaan, khususnya sebagai jaminan untuk memperoleh kredit pendanaan usahanya. Pada saat belum diberlakukannya Undang-Undang Rumah Susun, belum dapat menampung kecenderungan kebutuhan sistem pemilikan satuan gedung bertingkat yang dimanfaatkan secara individual.

Secara teknologi sistem bangunan gedung bertingkat yang ruangannya dapat dipakai secara individual sudah lama dikenal dan dilaksanakan di beberapa kota besar di Indonesia. Namun sistem pemilikan gedung tersebut berada dalam sistem pemilikan tunggal yang dengan pemegang hak atas tanah sebagai pemilik gedung. Pemakai-pemakai pada sistem pemilikan hanya terikat dalam bentuk hubungan hukum dalam sewa menyewa, yang tidak memberikan hak kebendaan atas obyek perjanjian sehingga pemanfaatannya bagi yang bersangkutan sangat terbatas.105

Satuan rumah susun mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan

105

penggunaannya serta harus disusun, diatur dan dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari untuk hubungan ke dalam maupun ke luar. Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, di atas atau di bawah permukaan tanah, atau dapat juga sebagian di bawah dan di permukaan tanah. Misalnya dengan dibangun ruangan bawah tanah sebagai tempat parkir atau sebagai tempat dengan fungsi yang lainnya. Perkembangan selanjutnya juga memperlihatkan adanya kebutuhan bagi yang memakai bagian-bagian gedung tersebut untuk sekaligus menjadikannya sebagai aset terutama untuk jaminan dalam perolehan kredit usahanya.

Bagian-bagian rumah susun yang dapat dimiliki secara terpisah disebut dengan satuan rumah susun. Menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Rumah Susun, yang dimaksud dengan satuan rumah susun (sarusun) adalah: “Rumah susun yang tujuan peruntukkan utamanya dibuat secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum”. Sebelum tahun 1985 kecenderungan di atas dapat ditampung. Dari segi hukum belum ada lembaga pemilikan yang menampung sistem pemilikan satuan-satuan pada bangunan gedung bertingkat yang dapat dimanfaatkan dan dimiliki secara individual. Baru setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 sistem kepemilikan tersebut dapat dipakai atas bangunan-bangunan bertingkat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menerapkan lembaga pemilikan kondominium. Undang-undang ini menyajikan lembaga pemilikan baru yang mengakui adanya hak atas ruang untuk dihuni yang

dinamakan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang juga meliputi hak atas tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama.

Dalam UURS secara tegas dimungkinkan pemilikan bagian-bagian gedung yang dimaksudkan secara individual dalam bentuk Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Sedang bagian-bagian lainnya yang dimiliki bersama, demikian juga tanahnya, menjadi milik bersama yang tidak terpisah dari semua pemilik satuan rumah susun, yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemilikan satuan rumah susun yang bersangkutan.106

Pada dasarnya yang dapat mempunyai Hak Milik Satuan Rumah Susun menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Rumah Susun adalah perorangan atau badan hukum. Dalam hal ini perlakuan yuridis atas subyek Hak Milik Satuan Rumah Susun ini tergantung dari jenis hak atas tanah bersamanya, yaitu:

1. Bila tanah bersamanya berstatus Hak Milik, maka yang dapat memiliki satuan

rumah susun tersebut adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah:

a) Bank-bank yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berada di

Indonesia.

b) Badan-badan sosial dan keagamaan.

c) Koperasi pertanian yang memenuhi syarat.

2. Bila tanah bersamanya berstatus Hak Guna Bangunan maka yang dapat

memiliki satuan rumah susun adalah: Warga Negara Indonesia.

Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

3. Bila tanah bersamanya berstatus Hak Pakai, maka yang dapat memiliki satuan

rumah susun adalah:

106

Warga Negara Indonesia.

Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.

Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.107

Penyelenggaraan pembangunan menurut ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang- Undang Rumah Susun wajib memisahkan rumah susun, yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal dengan Akta Pemisahan.

Akta Pemisahan dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan disahkan oleh Pejabat yang berwenang yaitu oleh Pemerintah Daerah Tingkat II (Bupati/Walikota). Akta Pemisahan tersebut merupakan tanda bukti pemisahan rumah susun, menjadi bagian satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Penyelenggara bangunan diwajibkan pula untuk mendaftarkan Akta Pemisahan tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

Akta pemisahan dilengkapi dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batas pemilikan satuan rumah susun yang mengandung nilai perbandingan proporsional.108

Penyelenggara pembangunan wajib meminta pengesahan isi akta pemisahan yang bersangkutan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kotamadya

107

Pasal 8 ayat (1) UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

108

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Bentuk dan Tatacara Pengisian Serta Pendaftaran Akta Pemisahan Satuan Rumah Susun, Pasal 2..

setempat atau kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, apabila pembangunan rumah susun terletak di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.109

Akta pemisahan setelah disahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 harus didaftarkan oleh penyelenggara pembangunan pada Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan :

a. sertipikat hak atas tanah, b. ijin layak huni,

c. warkah-warkah lainnya yang diperlukan.110

Muhammad Yamin Lubis mengatakan: “Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah atas tanah tersebut tentu ketika itu juga diberikan status hukum, berupa hak pada tanah tersebut sesuai dengan hak yang dimohon”.111

Bila seseorang memohon hak milik, hak guna bangunan atau hak guna usaha, maka dengan pendaftaran tanah tersebut muncullah status hukum di atas tanah itu menjadi hak milik, HGB, atau HGU atas nama pemohon yang disetujui. Artinya dengan didaftarkannya tanah seseorang baru ada Hak Milik atas Tanah, HGU atas tanah, HGB atas tanah dan hak-hak lainnya. Kalau tidak didaftarkan maka tidak ada Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan lainnya. Begitu juga atas tanah yang semula

109

Ibid, Pasal 4 Ayat (1).

110

Ibid, Pasal 4 Ayat (2).

111

Mhd. Yamin Lubis, Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit CV. Mandar Maju, Medan, 2008, hal.120.

sudah ada hak atasnya, bila terjadi pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status

kepemilikan baru bagi yang memohon untuk balik namanya.112

Berdasarkan kepada hal-hal tersebut maka Cambridge Condominium & Shopping Mall ini digolongkan sebagai rumah susun. Memang istilah yang digunakan adalah kondominium namun hal itu digunakan untuk kepraktisan guna membedakannya dengan rumah susun yang pada umumnya memiliki konsep sebagai hunian sederhana. Namun pada prinsipnya hukum yang digunakan mengacu kepada UURS No. 16 Tahun 1985.

C. Bangunan Hotel Sebagai Objek Investasi Pada Cambridge Condominium