• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Wanprestasi

Prestasi adalah sesuatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi dari pada perikatan. Apabila debitur tidak

memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan wanprestasi (lalai).133

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu: 1. Samasekali tidak memenuhi prestasi;

2. Tidak tunai memenuhi prestasi;

3. Terlambat memenuhi prestasi;

4. Keliru memenuhi prestasi.134

Wanprestasi mempunyai akibat-akibat hukum tertentu bagi debitur yang bersangkutan. Oleh karena itu persoalan kapan debitur tersebut dikatakan wanprestasi sangat penting untuk dikemukakan.

Dalam praktek hukum di masyarakat untuk menentukan sejak kapan seorang debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, oleh karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual beli sesuatu barang misalnya tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan kapan pembeli harus membayar harga barang yang dibelinya kepada penjual.

Lain halnya dalam menetapkan kapan debitur wanprestasi pada perjanjian yang prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak membangun tembok yang tingginya lebih dari dua meter. Maka begitu debitur membangun tembok yang tingginya lebih dari dua meter, sejak itu ia dalam keadaan wanprestasi.

133

Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal.54.

134

Perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu yang tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi itu, maka untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu diberi teguran (sommatie/ingebrekestelling) agar ia memenuhi kewajibannya.135

Kalau prestasi dalam perjanjian tersebut dapat seketika dipenuhi, misalnya penyerahan barang yang dijual dan barang yang akan diserahkan masih belum berada di tangan kreditur, maka kepada debitur (penjual) diberi waktu yang pantas untuk memenuhi prestasi tersebut.

Tata cara memberikan teguran (sommatie/ingebrekestelling) terhadap debitur agar jika ia tidak memenuhi tegoran itu dapat dikatakan wanprestasi, debitur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menentukan bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis.

2. Akibat Hukum

Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat- akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.

Pertama-tama sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan

135

untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, ataupun untuk tidak melakukan sesuatu.

Selanjutnya Pasal 1267 KUHPerdata mengatakan;

Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi maka debitur dapat memilih di antara beberapa kemungkinan tuntutan sebagai berikut:

(a) Pemenuhan kerugian dengan ganti kerugian.

(b) Pemenuhan perikatan.

(c) Ganti kerugian.

(d) Pembatalan perjanjian timbal balik.

(e) Pembatalan dengan ganti kerugian.

Bilamana kreditur hanya menuntut ganti kerugian maka dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian. Sedangkan kalau kreditur hanya menuntut pemenuhan pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sudah ada dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk melaksanakannya.

Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUHPerdata diatur pada Pasal 1243 sanpai dengan pasal 1252 KUHPerdata. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.

Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau

rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan.136

Karena tuntutan ganti rugi itu diakui, malahan bahkan oleh undang-undang makan pelaksanaan tuntutan itu kreditur dapat minta bantuan penguasa menurut cara- cara yang ditentukan dalam Hukum Acara perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana, atas harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanya telah disebutkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata.137

Karena namanya saja ganti rugi, maka logisnya besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang diderita. Namun Pasal 1249 KUHPerdata memberikan perkecualian, yaitu kecuali antara pihak telah ada suatu kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi yang harus dibayar dalam hal debitur wanprestasi. Dalam hal demikian, maka terlepas dari berapa jumlah kerugian yang sebenarnya kepada kreditur harus diberikan jumlah sebagai yang diperjanjikan atau menurut kata-kata Pasal 1249 KUHPerdata, “tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu”. Janji seperti itu dalam suatu perjanjian disebut sebagai janji ganti rugi atau denda atau schadevergoeding/boete beding.

Ganti rugi sebagaimana yang dikatakan oleh Pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata bisa berupa ganti rugi dalam arti:

136

Ibid, hal.60.

137

1) Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya, untuk mudahnya dapat disebut prestasi pokok perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan.

2) Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya, seperti kalau ada prestasi yang

tidak sebagaimana mestinya tetapi kreditur mau menerimanya dengan disertai penggantian kerugian sudah tentu dengan didahului protes atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi.

3) Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur, oleh karena

keterlambatan prestasi dari kreditur. Jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh kreditur disamping kewajiban perikatannya.

4) Kedua-duanya sekaligus, jadi disini dituntut baik pengganti kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti kerugian keterlambatannya.

Apabila perbuatan wanprestasi telah dilakukan, maka ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Pertama-tama sekali lagi perlu diperhatikan, bahwa menuntut pemenuhan prestasi perikatan adalah hak kreditur berdasarkan perikatannya. Ini harus dibedakan dari menuntut ganti kerugian, sebab menuntut ganti rugi dasarnya adalah wanprestasi dari debitur. Jadi dasar tuntutannya lain. Yang pertama didasarkan atas perikatan yang ada antara kreditur dan debitur, sedang yang kedua didasarkan wanprestasi debitur dalam memenuhi kewajiban perikatannya. Yang sekarang akan ditinjau adalah tuntutan atas dasar wanprestasi. Pasal-pasal 1246-1249 KUHPerdata hanya berlaku bagi tuntutan ganti rugi sebagai ganti dan disamping prestasi pokok, tetapi ketentuan-ketentuan itu tidak berlaku dalam hal

ganti rugi itu sendiri merupakan prestasi pokok perikatannya, seperti pada perikatan yang lahir karena tindakan melawan hukum, namun untuk berlakunya pasal-pasal tersebut tidak dibedakan apakah perikatan itu lahir karena undang-undang atau perjanjian.138

Prinsipnya dalam hal debitur wanprestasi kreditur berhak atas ganti rugi. Ganti rugi bisa diminta sebagai pengganti prestasi pokok debitur maupun dituntut disamping prestasi pokok. Dengan demikian orang dapat tetapi tidak harus menuntut ganti rugi bersama-sama dengan tuntutan pemenuhan, tetapi ganti rugi disini bukan sebagai pengganti prestasi pokok. Jadi prestasi pokoknya diterima, tetapi disertai dengan protes dan karenanya disamping itu minta sejumlah uang ganti rugi.139

Mengenai kewenangan kreditur untuk menuntut ganti rugi sebagai ganti prestasi pokok memang bisa menimbulkan permasalahan. Tapi dikatakan bahwa tuntutan atas pemenuhan prestasi pokok didasarkan atas perikatan itu sendiri, sedang tuntutan ganti rugi didasarkan atas wanprestasi dari debitur.

Apabila prestasinya sudah tidak berguna lagi bagi kreditur, ia tentunya dapat memilih menuntut pembatalan atau pembatalan disertai ganti rugi. Di sini, sebagai disebutkan di atas dalam jumlah ganti rugi yang dituntut, terdapat sejumlah uang sebagai ganti prestasi pokok dan mungkin sebagian lagi merupakan ganti rugi yang dituntut disamping prestasi pokok, umpama saja karena ia harus menderita kerugian sebagai akibat wanprestasi debitur. Jadi disini yang diterima oleh kreditur berupa

138

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Penerbit Putra Aabardin, Bandung, 1999, hal.87.

139

ganti rugi sejumlah uang, sekalipun didalamnya sebenarnya ada sejumlah uang yang mewakili nilai prestasi debitur yang terhutang, yang asalnya mungkin bukan berupa kewajiban membayar sejumlah uang tertentu. Dalam hal demikian, maka sebagai dikemukakan di depan, kewajiban prestasi debitur terhapus dengan pembayaran ganti rugi seperti itu.140

Dalam hal ada prestasi yang keliru, maka ia dapat menolaknya dengan mengembalikan benda prestasi kepada debitur dan menganggap tidak atau belum ada prestasi, selanjutnya ia dapat menuntut ganti rugi seperti tersebut di atas, menerima dengan disertai proses selanjutnya ia menuntut ganti rugi (disamping prestasi pokok).141

Apabila kreditur menerima penyerahan tanpa protes, tetapi tidak pernah menyetakan secara tegas bahwa penyerahan itu sudah betul, maka tidak dapat dikatakan bahwa dengan itu ia telah melepaskan haknya untuk menuntut adanya kekurangan pada barang yang diserahkan, ia tetap masih berhak untuk menuntut ganti rugi berdasarkan cacat yang tersembunyi kalau cacat itu tidak tampak dari luar.

Masalah lain sehubungan dengan tuntutan ganti rugi yang juga perlu mendapat pembahasan adalah mengenai nasib dari kewajiban prestasi pihak lainnya dalam perjanjian timbal balik kalau salah satu pihak wanprestasi. Memang dengan menuntut penggantian prestasi pokok, ia dapat melepaskan haknya untuk menuntut pemenuhan prestasi pihak lawan, jadi membebaskan debitur dari kewajiban perikatannya. Secara

140

Ibid.

141

teoritis, tanpa adanya pembatalan perjanjian debitur dapat membebaskan diri dari kewajiban perikatannya. Namun dalam prakteknya baik karena keteledoran maupun karena pembatalan membawa konsekuensi lain yang memberatkan, seringkali muncul tuntuta ganti rugi tanpa disertai dengan tuntutan pembatalan, dan dalam peristiwa seperti itu penyelesaiannya adalah dengan menerima bahwa perjanjian teresebut secara diam-diam telah dibatalkan.142

Seandainya para pihak menerimanya tidak ada masalah, tetapi apabila debitur mengemukakan bahwa kreditur yang secara diam-diam menganggap bahwa perikatan telah hapus telah bertindak bertentangan dengan Pasal 1266 KUHPerdata, karena dalam hal perikatan tidak batal demi hukum dan para pihak telah mengaturnya secara lain dalam perjanjian maka pembatalannya harus dituntut dan diputuskan oleh Hakim. Mengenai hal ini pendapat Pengadilan berubah-ubah, ada yang membenarkan keberatan seperti itu tetapi ada pula yang menolaknya.

Tuntutan ganti rugi pada pokoknya ada kalanya dianggap sebagai suatu rangsangan agar debitur mau melaksanakan perjanjian tersebut dengan baik. Kalau debitur tidak memenuhi atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya kewajiban perikatannya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepada debitur, maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi dari debitur. Kalau debitur tidak dapat membuktikan adanya keadaan overmacht, maka tidak berpestasinya debitur dalam melaksanakan perjanjian yang telah disepakati para pihak atau tidak berprestasi debitur sebagaimana yang dituntut oleh kreditur, dapat dipersalahkan kepadanya atau

142

dikatakan debitur wanprestasi dan Hakim akan mengabulkan tuntutan ganti rugi kreditur. Jadi kreditur mendasarkan tuntutannya pada dan karenanya harus membuktikan adanya perikatan yang mengandung suatu kewajiban bagi debitur, adanya unsur salah pada debitur (karena tidak atau tidak sebagaimana mestinya dipenuhinya kewajiban debitur) dan adanya kerugian pada kreditur. Jadi prinsip dasarnya adalah kreditur wajib membuktikan adanya kerugian.

Untuk mengatasi kesulitan pembuktian, maka kepada para pihak dalam perjanjian diberikan kesempatan untuk menetapkan lebih dahulu, berapa besarnya ganti kerugian yang akan dipikul oleh debitur dalam hal ini wanprestasi, tanpa perlu pembuktian berapa kerugian yang sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1249 KUHPerdata.

Mengenai pembuktian sebab dari timbulnya kerugian, Pasal 1244 KUHPerdata memberikan suatu ketentuan umum yang menyimpang dari apa yang disebutkan di atas, yang pada intinya mengatakan bahwa jika ada alasan untuk itu, debitur dapat dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu overmacht. Di sini dengan tegas disebutkan bahwa kewajiban pembuktian ada pada debitur. Namun hendaknya diingat bahwa pembagian kewajiban pembuktian seperti itu hanya berlaku untuk perikatan dengan isi yang memberikan hasil sesuatu yang bersifat positif.

Ketentuan mengenai keadaan memaksa (force majure) yang diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan:

Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Menurut Undang-Undang ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu:

a. Tidak memenuhi prestasi;

b. Ada sebab yang terletak di luar kesalah debitur;

c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Buku III (tiga) KUHperdata tidak memuat suatu ketentuan umum mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan memaksa atau force majure itu. Pasal 1244 KUHPerdata menamakan keadaan memaksa itu sebab yang halal. Pasal 1245 KUHPerdata menamakannya keadaan memaksa atau hal kebetulan (overmacht atau

toeval) dan Pasal 1444 KUHPerdata menamakannya hal kebetulan yang tidak dapat

diperkirakan (onvoorziene toeval).

Perjanjian Pengelolaan Sewa ini terdapat ketentuan mengenai force majure, yaitu bahwa para pihak menyetujui bahwa kedua-duanya tidak bertanggungjawab atas keterlambatan, biaya, kerugian atau pengeluaran yang disebabkan oleh keadaan force

majure temasuk kebakaran, pemogokan, banjir, kerusuhan, perang, pemberlakuan

atau perubahan undang-undang dan peraturan-peraturan yang melarang setiap pihak manapun untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya di dalam perjanjian ini, atau setiap bencana alam lain maupun atau setiap kejadian lain apapun yang diluat

penguasaan wajar dari masing-masing pihak. Dalam hal force majure Perjanjian Pengelolaan Sewa ini dapat diakhiri untuk jangka waktu yang ditetapkan atau tidak ditetapkan yang dapat diterima dan wajar bagi kedua belah pihak sesuai dengan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN