• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik di Madrasah

Dalam dokumen DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK (Halaman 64-0)

BAB IV ATRIBUTE INOVASI PEMBELAJARAN

B. Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik di Madrasah

Pembelajaran tematik dapat sebagai suatu inovasi karena merupakan suatu ide atau gagasan, praktek atau objek yang baru bagi suatu system social tertentu (E. M. Rogers, 2003). Kebaruan dari pembelajaran tematik bagi suatu sistem social tertentu akan berbeda tergantung pada persepsi yang dimilikinya terhadap suatu inovasi itu, termasuk di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang pasti memiliki persepsi tersendiri terhadap tingkat inovasi pembelajaran tematik. Mengukur tingkat inovasi pembelajaran tematik merujuk pada penjelasan Rogers (2003) yang terdiri dari atribut inovasi relative advantage, compatibility, complexity, triability, dan observability. Hasil penelitian di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan ditunjukkan sebagaimana tergambar dalam table 4.2 sebagai berikut:

Tabel 4. 2 Variabel Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik

Satuan Pendidikan

Atribute Inovasi Pembelajaran Tematik

Realative

Advantage Compatibility Complexity Triability Observability Madrasah

Ibtidaiyah 4.00 4.00 3.48 3.52 3.78

Total rata-rata 3.76

Berdasarkan data pada table 4.2 di atas diketahui bahwa rata-rata di Madrasah Ibtidaiyah mempersepsikan setuju terhadap inovasi pembelajaran tematik sebagai inovasi yang memiliki tingkat relative advantage dengan skor 4.00, compatibility dengan skor 4.00, mempersepsikan netral terhadap tingkat complexity dengan skor 3.48, tingkat triability dengan skor 3.52, dan observability dengan 3.78.

Dengan demikia, rata-rata guru Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan memiliki persepsi netral terhadap tingkat atribut inovasi pembelajaran tematik dengan skor total rata-rata 3.76, Hal ini berarti terdapat sebagian atribut inovasi pembelajaran tematik yang dipandang positif tinggi dan terdapat sebagian lagi dinyatakan memiliki tingkat atribut yang positif rendah.

Atribut inovasi pembelajaran tematik yang dipadang positif tinggi adalah tingkat relative advantage inovasi pembelajaran tematik.

Tingkat relative advantage inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dinyatakan dengan persepsi rata-rata menyatakan netral untuk aspek penerapan inovasi pembelajaran tematik dengan keperluan penggunaan biaya yang dikeluarkan, setuju penerapan inovasi pembelajaran tematik membuat pembelajaran lebih berkualitas, setuju penerapan inovasi pembelajaran tematik membuat pembelajaran lebih menyenangkan, setuju penerapan inovasi pembelajaran tematik membuat pembelajaran lebih menantang, setuju penerapan inovasi pembelajaran tematik membuat pembelajaran lebih efektif, dan setuju penerapan inovasi pembelajaran tematik mendorong pencapaian kemampuan tingkat tinggi peserta didik. Hal ini berarti sebagian dalam penerapan pembelajaran tematik diperlukan biaya namun sebagian lain tidak diperlukan banyak biaya dalam penerapan pembelajaran tematik, pengunaan biaya dalam penerapan

pembelajaran tematik biasanya untuk pengadaan media pendukung untuk penerapannya termasuk juga pengadaan buku tematik sebagai sumber belajar bagi peserta didik, namun fakta ini tetap menempatkan pembelajaran tematik sebagai inovasi yang seperti digambarkan oleh Sasaki (2018), demikian pula yang disimpulkan oleh Rusdiana (2014) sebagai inovasi yang dianggap lebih baik daripada pendahulunya dalam hal ekonomi, prestise sosial, kenyamanan, dan kepuasan psikologis. yaitu suatu tingkat keuntungan atau manfaat suatu inovasi dapat diukur berdasarkan nilai ekonomi atau faktor status sosial, kesenangan, kepuasan, atau karena mempunyai komponen yang sangat penting. Semakin menguntungkan bagi penerima, semakin cepat tersebarnya inovasi. Hal ini juga ditegaskan dalam hasil wawancara bahwa pembelajaran tematik sebagai pembelajaran yang menyenangkan karena pelaksanaannya banyak melibatkan peserta didik serta penggunaan lembar kerja yang terdapat pada buku siswa .

Oleh karena itu pembelajaran tematik sebagai inovasi yang dapat diterima di Madrasah Ibtidaiyah dengan manfaat yang telah dirasakan dalam implementasinya, hal ini seperti ditegaskan oleh Rogers (2003) the relative advantage of an innovation, as perceived by members of a social system, is positively related to its rate of adoption (Generalization 6-1) artinya bahwa jika suatu inovasi memiliki banyak keuntungan dan bermanfaat, maka dengan mudah dapat diterima oleh anggota dari suatu sistem sosial dalam hal ini adalah sistem sosial.

Secara compatibility, inovasi pembelajaran tematik dipandang positif dengan rata-rata menyatakan bahwa inovasi pembelajaran tematik compatible diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan, hal ini sebagaiman hasil penelitian yang rata-rata menyatakan bahwa pembelajaran tematik cocok dengan karakter pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah, mendukung pencapaian nilai karakter positif

sesuai dengan yang diharapkan dalam pembelajaran berkualitas dan buku tematik yang digunakan cocok dengan kebutuhan peningkatan kualitas pelaksanaan pembelajaran. Hal ini pula yang menjadikan pembelajaran tematik dapat diterima di Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana dijelaskan bahwa suatu tingkatan adopsi suatu inovasi yang didasarkan pada kesesuaian dengan value yang ada pada suatu sistem sosial, kesesuaian dengan pengalaman suatu sistem sosial dan kebutuhan dari pengadopsi terhadap suatu inovasi akan mudah diterima (Rogers, 2003, Dibra 2015). Hal ini berarti penerapan pembelajaran tematik konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan praktik yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah, maka benar yang disimpulkan dalam suatu generalisasi dari Rogers (2003) bahwa the compatibility of an innovation, as perceived by members of a social system, is positively related to its rate of adoption (Generalization 6-2), sehingga inovasi pembelajaran tematik positif diterima karena memiliki kesesuaian dengan value, karakter, pengalaman dan kebutuhan pembelajaran di madrasah ibtidayah.

Sementara itu, dari tingkat complexitynya, inovasi pembelajaran tematik dinyatakan sebagai pembelajaran yang simplicity yang berarti positif dapat dapat diterima di Madrasah Ibtidiyah sebagaimana hasil penelitian menyatakan netral sulit untuk dapat memahami tema pembelajaran tematik dari berbagai muatan matapelajaran, netral jika sulit untuk dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran tematik yang dapat memadukan berbagai konsten bidang studi, apalagi ketika pembelajaran tematik menggunakan buku tematik guru dan siswa dinyatakan bahwa semua guru setuju penggunaan buku tematik guru dan siswa mempermudah pelaksanaan pembelajaran tematik, dan netral pembelajaran tematik dapat dipelajari dalam waktu yang singkat, hal ini pula yang ditegaskan

Rogers (2003) bahwa the complexity of an innovation, as perceived by members of a socialsystem, is negatively related to its rate of adoption (Generalization 6-3). Demikan demikian pembelajaran tematik mudah untuk dipelajari dan dilaksanakan apalagi dengan penggunaan buku tematik guru dan buku tematik siswa.

Pembelajaran tematik juga memiliki tingkat triabilitas positif di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan, hal ini sebagaimana hasil penelitian bahwa rata-rata di Madrasah ibtiaiyah Tangerang Selatan menyatakan bahwa penggunaan buku tematik membuat pembelajaran menjadi lebih efektif, setuju pembelajaran tematik dapat coba dilaksanakan seara kreatif sesuai kebutuhan, hal ini berarti pembelajaran tematik memiliki relasi positif dengan proses pembelajaran di Madrasah ibtidaiyah, sementara itu ditegaskan oleh Rogers (2003) bahwa the trialability of an innovation, as perceived by the members of a social system, is positively related to its rate of adoption (Generalization 6-4), dan rata-rata guru menyatakan tidak setuju pembelajaran tematik tidak dapat dilaksanakan tanpa penggunaan buku tematik, hal ini bearati ketersediaan merupakan faktor utama relasi positif pembelajaran tematik dengan prakteknya di Madrasah Ibtidaiyah, hal ini dapat ditegaskan ditegaskan bahwa guru tidak dapat menerapkan pembelajaran tematik apabila buku yang menjadi pedoman pelaksanaannya belum dimiliki di Madrasah Ibtidaiyah.

Adapun secara observability, inovasi pembelajaran tematik dinyatakan sebagai pembelajaran yang visible sebagaimana hasil penelitian rata-rata mengakui bahwa perencanaan pembelajaran tematik dapat dibedakan dengan perencanan pembelajaran berbasis bidang studi, dapat diamati perbedaan kegiatan pembelajaran tematik dengan kegiatan pembelajaran berbasis bidang studi dan mengakui

penilaian hasil belajar pembelajaran tematik dapat menggambarkan kemampuan autentik peserta didik.

Hal ini dinyatakan juga oleh Rogers (2003) bahwa gagasan suatu inovasi tersebut mudah untuk diamati dan dikomunikasikan kepada orang lain makan akan berhasil diteriman, sementara itu inovasi yang lain sulit untuk dapat diamati dan bahkan dideskripsikan kepada orang lain akan sulit diterima. Hal ini menegaskan bahwa pembelajaran tematik positif diterima di Madrasah Ibtidaiyah karena memilik relasi positif dengan penerapannya, sebagaimana ditegaskan dalam generaliasinya Rogers (2003) bahwa the observability of an innovation, as perceived by members of a social system, is positively related to its rate of adoption (Generalization 6-5). Hal ini dapat ditegaskan bahwa pembelajaran tematik mudah untuk dikomunikasi dan dapat dibedakan pelaksanaannya mulai dari perencanannya dan prosesnya sampai hasilnya.

Keberadaan inovasi pembelajaran tematik yang dipersepsikan memiliki tingkat atribut inovasi yang positif dapat mendorong percepatan proses difusi inovasi pembelajaran tematik terutama dalam proses keputusan inovasi sebagai factor yang mempengaruhi tingkat ketertarikan pada inovasi pembelajaran tematik atau dapat dikatakan bawah ingkat ketertarikan pada suatu inovasi (inovasi pembelajaran temati) dipengaruhi oleh tingkat atribut inovasi (pembelajaran tematik). Namun demikian, tingkat atribut inovasi dapat berpengaruh terhadap proses keputusan inovasi apabila ada proses difusi inovasi yang menggunakan saluran komunikasi tertentu, artinya apabila tidak ada saluran komunikasi tertentu yang digunakan untuk menyampaikan bahwa suatu inovasi (inovasi pembelajaran tematik) sebagai inovasi yang memilili tingkat atribut inovasi yang positif sudah barang tentu tidak akan mempercepat proses difusi inovasi (inovasi pembelajaran tematik). Oleh karena itu diperlukan untuk menentukan saluran

komunikasi yang paling efektif dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik, sebagaimana beikut dijelaskan hasil peneliltiannya dalam difusi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan.

BAB V

COMMUNICATION CHANNELS INOVASI

A. Konsep Communication Channels

Elemen penting dalam difusi inovasi adalah communication channels, yaitu suatu pesan komunikasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Saluran komunikasi dimaknai oleh Rogers (2003) sebagai proses membagikan informasi antara satu dengan yang lain untuk saling memahami. Difusi merupakan bagian dari tipe komunikasi yang pesan kontennya menyampaikan gagasan baru.Intinya terjadi pertukaran informasi tentang sesuatu hal yang baru, sebagaimana juga dijelaskan oleh Sa’ud (2013), bahwa komunikasi dalam difusi inovasi diartikan sebagai proses pertukaran informasi antara anggota sistem sosial sehingga terjadi saling pengertian antara satu dengan yang lain.

Saluran komunikasi yang digunakan dapat terdiri dari saluran mass media channels, interspersonal chanells, cosmopolite channels, lacolite channels (M. E. Rogers, 2003). Suatu inovasi dapat didifusikan menggunakan berbagai saluran komunikasi tersebut.

Kegiatan komunikasi dalam proses difusi dijelaskan oleh Rogers, (2003) adalah mencakup 1) an innovation, 2) an individual or other unit of adoption that has knowledge of, or has experienced using, the innovation, 3) another individual or other unit that does not yet have knowledge of, or experience with, the innovation, and 4) a communication channel connecting the two units. Berarti terdiri dari inovasi, individu atau kelompok yang telah mengetahui atau pernah mengadopsi suatu inovasi, individu atau kelompok lain yang belum

mengetahui atau belum berpengalaman dalam adopsi suatu inovasi, dan saluran komunikasi yang menghubungkan dua unit.

Atas dasar itu, saluran komunikasi dapat berupa media masa, interpersonal channels, dan cosmopolitan channels, dan location channels. Saluran komunikasi media masa relative lebih efektif pada tahap mengetahui terhadap suatu inovasi, tetapi interpersonal channels jauh lebih efektif untuk tahapan persuasi dalam proses keputusan inovasi. Hal ini sebagaiman digeneralisir oleh Rogers (1995) bahwa Mass media channels are relatively more important at the knowledge stage, and interpersonal channels are relatively more important at the persuasion stage in the innovation-decision process (Generalization 5-13). Berbeda halnya apabila ditujukan untuk mengkategorikan kelompok adopsi, maka media masa lebih efektif untuk mendorong kelompok pertama pengadopsi suatu inovasi dari pada interpersonal channels yang hanya akan menjadi pengadopsi terakhir. Hal ini sebagaiman digeneralisir Rogers (1995) bahwa mass media channels are relatively more important than interpersonal channels for earlier adopters than for later adopters (Generalization 5-15). Demikan pula yang disimpulkan oleh (Rusdiana, 2014) bahwa saluran komunikasi dengan media masa dapat menjangkau jumlah yang banyak, sementara untuk individu lebih efektif dengan saluran komunikasi interpersonal.

Demikian pula halnya pemanfaatan saluran komunikasi cosmopolitan hanya efektif untuk pada tingkat mengetahui terhadap suatu inovasi, namun saluran komunikasi pada tingkat local jauh lebih efektif untuk sampai pada tingkat persuasi dalam keputusan suatu inovasi. Hal ini sebagai digeneralisir oleh Rogers (1995) bahwa cosmopolite channels are relatively more important at the knowledge stage, and localite channels are relatively more important at the persuasion stage in the innovation-decision process (Generalization

5-14). Cosmopolite channels relative lebih efektif apabila digunakan untuk mendorong pengadopsi pertama, sementara itu localite channels untuk pengadopsi terakhir. Hal sebagaiman digeneralisir oleh Rogers (1995) bahwa cosmopolite channels are relatively more important than localite channels for earlier adopters than for later adopters (Generalization 5-16).

Namun demikian meskipun pemanfaatan communication channels dengan media masa baru sampai pada tahapan pengetahuan terhadap suatu inovasi, hal tersebut merupakan pijakan untuk terjadinya suatu adopsi inovasi sebagaimana dijelasan Rogers dalam generalisasinya bahwa the rate of awareness-knowledge for an innovation is more rapid than its rate of adoption (Generalization 5-17).

Untuk membangun efektivitas communication channels dengan interpersonal channels, Rogers (2003) menawarkan gagasan membangun prinsip homophily diantara individu. Jika keadaan sebenarnya terjadi heteromophily maka interpersonal channels dapat ditingkatkan dengan mengembangkan rasa empati pada pihak yang akan mengadopsi suatu inovasi.

Penggunaan communication channel dalam proses keputusan inovasi. Proses keputusan inovasi adalah proses yang melaluinya seorang individu (atau unit pembuat keputusan lain) beralih dari memperoleh pengetahuan awal tentang suatu inovasi, hingga membentuk sikap terhadap inovasi, hingga membuat keputusan untuk mengadopsi atau menolak, ke implementasi ide baru, dan ke konfirmasi keputusan ini (M. E. Rogers, 2003). Demikian pula yang dijelaskan oleh Dooley & D (1999) bahwa proses keputusan inovasi adalah proses seorang individu atau organisasi dalam menadopsi suatu inovasi memulainya dari pengetahuan beralih ke membentuk sikap

terhadap inovasi, ke suatu keputusan untuk mengadopsi atau menolak, ke implementasi ide baru, dan untuk konfirmasi keputusan ini.

B. Communication Channels dalam Proses Keputusan Inovasi

Penjelasan tentang proses keputusan inovasi di atas menggambarkan bahwa proses keputusan inovasi bukan merupakan proses instan dalam mengadopsi suatu inovasi tetapi merupakan proses yang memerlukan waktu dan tindakan yang berbeda secara berkelanjutan. Oleh karena itu proses keputusan inovasi berlangsung dalam lima tahapan seperti yang ditegaskan (M. E. Rogers, 2003) terdiri dari tahapan knowledge, persuasion, decision, implementation dan confirmation. Knowledge, bahwa pengetahuan terjadi ketika seseorang (atau unit pengambilan keputusan lainnya) terpapar pada keberadaan inovasi dan mendapatkan pemahaman tentang bagaimana fungsinya. Persuasion, bahwa persuasi terjadi ketika seorang individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) membentuk sikap yang menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap inovasi.

Decision, bahwa keputusan terjadi ketika seorang individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) terlibat dalam kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi.

Implementation, bahwa implementasi terjadi ketika seorang individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) menggunakan ide baru.

Confirmation, bahwa konfirmasi terjadi ketika seseorang mencari penguatan dari keputusan inovasi yang sudah dibuat, tetapi ia dapat membalikkan keputusan sebelumnya jika terkena pesan yang bertentangan tentang inovasi.

Secara sederhana terhadap kelima tahapan ini Dooley & D (1999) memberikan penjelasan bahwa 1) Knowledge merupakan

tahapan eksposur ke keberadaan dan fungsi inovasi; 2) Persuasion merupakan tahapan pembentukan sikap yang menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap inovasi; 3) Decision merupakan tahapan dalam kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi; 4) Implementation merupakan tahapan menggunakan inovasi; dan 5) Confirmation merupakan tahapan pencarian konfirmasi dari keputusan inovasi yang sudah dibuat.

Rogers (2003) menjelaskan karakteristik kelima tahapan tersebut, Pertama tahap knowledge terdiri dari karakteristik sebagai berikut:

a) berupaya mencari informasi (Information seeking/recal of information)

b) memahami perlunya informasi (Information necesary/comprehension of messages)

c) menyeujui suatu informasi (information dealing)

d) mengetahui efektivitas mengadopsi inovasi (knowledge or skill for effective adoption of the innovation)

Kedua tahap persuasion, memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) tertarik menyukai suatu inovasi (liking the innovation)

b) tertarik mendiskusikan suatu hal yang baru dengan yang lain (discussion of the message about the innovation)

c) tertarik menerima suatu inovasi (acceptance of the message about the innovation)

d) membentuk citra postif tehadap suatu inovasi (formation of a positive image of the message and the innovation)

e) mendapatkan dukungan untuk suatu prilaku inofative dari suatu sistem sosial (support for the innovative behavior from the system)

Ketiga pada tahap decision, pada tahap ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) memutuskan terlibat kegiatan yang mengarah pada pilihan mengadopsi suatu inovasi (engages in activities that lead to choice to adopt an innovation)

b) memutuskan terlibat pada kegiatan yang mengarah pada penolakan mengadopsi suatu inovasi(engages in activities that lead to choice to reject an innovation)

c) berniat mencari informasi tambahan (intention to seek addiotional information about the innovation)

d) berniat mencoba mempraktekansuatu inovasi (intention to try the innovation)

e) memutuskan untuk tidak melanjutkan mengadopsi suatu inovasi(decision to reject an innovation after having previously adopted/discontinuance)

Keempat tahap implementation, pada tahap ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) telah menggunakan suatu inovasi (puts an innovation to use) b) fokus melatih diri tentang suatu inovasi (a stricly mental

exercise of thinking about an innovation)

c) menambah terus informasi tentang suatu inovasi (acquistion of additional information about the innovation)

d) reguler menggunakan suatu inovasi (use of the innovation on a regular basis)

e) terus menerus menggunakan suatu inovasi (continued use of the innovation)

f) memodifikasi proses penggunaanya (modified/reinvented by the user in the process of its adopstion and implementation)

Kelima tahapan confirmation, pada tahap ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a) mengakui manfaat penggunaan suatu inovasi (recogniton of the benefits of using the innovation)

b) suatu inovasi dijadikan sebagai kegiatan rutin (integration of the innovation into one’s ongoing routine)

c) mempromosikan suatu inovasi kepada yang lain (promotion of the innovation to others)

d) menghentikan mengadosi suatu inovasi (discontinuance to reject an innovation after having previously adopted)

e) menggantikan suatu inovasi sebelumnya dengan yang lebih baik (replacement to reject an idea in order to adopt a better idea that supersedes it)

f) menolak melanjutkan karena merasa tidak puas dengan suatu inovasi (disencantment to reject an idea as a result of dissatisfaction with its performance)

Sa’ud (2013) menjelaskan pula kelima tahapan tersebut bahwa proses knowledge diperoleh oleh seorang individu atau organisasi karena bukan sekadar memahami, menyadari tetapi membuka diri untuk mengetahuinya dengan cara yang aktif bukan pasif dan melalui proses pengamatan terhadap inovasi dan mempertimbangkan kesesuainnya dengan kebutuhan, minat, atau mungkin juga kepercayaanya. Pada proses persuation, merupakan proses membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi suatu

inovasi, dari sikap ini menggambarkan sikap mental afektif seseorang dalam menyeleksi suatu informasi yang disesuaikan dengan kondisi dan sifat pribadinya. Pada proses decision, merupakan proses untuk menerima atau menolak suatu inovasi, menerima berarti akan menerapkan suatu inovasi dan sebaliknya, yang menolak tidak akan menerapkan suatu inovasi baik itu penolak aktif maupun pasif. Pada proses implementation, merupakan proses inovasi sudah diterapkan sehingga berlangsung keaktifan mental maupun perbuatan, sehingga pada proses dapat saja suatu inovasi menjadi sesuatu yang bersifat rutin dan bisa saja suatu sudah mengalami re-invesi. Pada proses confirmation, merupakan tahapan mencari penguatan terhadap keputusan inovasi, pada tahap ini juga biasanya terjadi disonansi, yaitu bahwa suatu inovasi dirasakan terdapat yang tidak sesuai atau tidak selaras dengan kebutuhan, sehingga bisa jadi penerapan suatu inovasi sudah tidak dibutuhkan lagi.

Kaitannya dengan penggunaan communication channels dalam difusi inovasi bahwa saluran komunikasi memiliki pengaruh terhadap proses keputusan inovasi, atau suatu proses keputusan inovasi juga dipengaruhi oleh suatu saluran komunikasi seperti yang dijelaskan oleh (Dooley & D, 1999) bahwa terdapat pengaruh pada proses keputusan inovasi, seperti kondisi sebelumnya (prior conditions), karakteristik unit pengambilan keputusan, karakteristik yang dirasakan dari inovasi, dan saluran komunikasi (communication channels).

Pentingnya saluran komunikasi dengan penggunaan media masa berarti tranformasi pesan suatu inovasi yang melibatkan pemanfaatan media baik online maupun ofline. Pemanfaatan media dalam difusi inovasi dapat menjangkau sejumlah orang yang benyak, membangun pengetahuan dan informasi, serta mendorong perubahan sikap (M. E. Rogers, 2003).

Interpersonal channels berkaitan dengan komunikasi langsung antara dua orang atau lebih. Penggunaan cara ini lebih efektif untuk menciptakan resistensi pada diri individu terutama untuk kelompok late adopters dan laggard. Dengan penggunaan Interpersonal channels dapat terjadi pertukaran informasi dua arah.

Satu individu dapat mengamankan klarifikasi atau informasi tambahan tentang suatu inovasi dari individu lain. Karakteristik jaringan antarpribadi ini sering memungkinkan mereka untuk mengatasi hambatan sosialpsikologis dari paparan selektif, persepsi selektif, dan retensi selektif. Peran saluran interpersonal ini sangat penting dalam membujuk seseorang untuk mengadopsi ide baru, dan membentuk atau mengubah sikap yang dipegang teguh. Dalam Generalisasi (5-13) Rogers (2003) menjelaskan bahwa saluran media massa relatif lebih penting pada tahap pengetahuan, dan saluran interpersonal relatif lebih penting pada tahap persuasi dalam proses keputusan-inovasi.

Saluran kosmopolit relatif lebih penting pada tahap pengetahuan, dan saluran lokal relatif lebih penting pada tahap persuasi dalam proses pengambilan keputusan inovasi (Generalisasi 5-14:). Saluran komunikasi kosmopolit adalah saluran yang menghubungkan seseorang dengan sumber di luar sistem sosial yang diteliti. Saluran interpersonal dapat berupa lokal atau kosmopolit, sedangkan saluran media massa hampir seluruhnya kosmopolit.

Dengan demikian dalam konteks inovasi pembelajaran tematik pada penelitian ini, bahwa proses keputusan inovasi terjadi pada guru Madrasah Ibtidaiyah dapat saja menggunakan berbagai saluran komunikasi baik mass media, interpersonal channels,

Dengan demikian dalam konteks inovasi pembelajaran tematik pada penelitian ini, bahwa proses keputusan inovasi terjadi pada guru Madrasah Ibtidaiyah dapat saja menggunakan berbagai saluran komunikasi baik mass media, interpersonal channels,

Dalam dokumen DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK (Halaman 64-0)