BAB II INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK
B. Pembelajaran Tematik Sebagai Inovasi
Pembelajaran tematik sebagai inovasi pembelajaran seiring dengan implementasi kurikulum 2013 di tingka Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah hal ini sebagaimana dinyatakan bahwa pembelajaran tematik sebagai inovasi pembelajaran pada pendidikan dasar yang dimulai dan diprakarsai oleh satuan organisasi
Kementerian Kebudayaan seiring dengan implementasi kurikulum 2013 (Permendikbud No 81 A/2013, No 57/2014, 103/2014, 105/2014, 53/2015, 20,21,22, 23,24/2016).
Pembelajaran tematik sebagai suatu inovasi dikembangkan berlandaskan filsafat humanisme, progresivisme, rekonstrukstivisme, dan perenialisme serta berlandaskan pedagogis yang relevan dengan karakteristik pendidikan di SD, karakteristik psikologis di SD, dan karakteristik sosio-budaya siswa SD (Panduan Pembelajaran Tematik, 2015. Inovasi pembelajaran tematik lahir sebagai kebijakan nasional yang diterpakan di tingkat Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah.
Inovasi yang menjadi suatu kebijakan baru, perangkat perencanan, metode, atau perubahan struktur yang didesain untuk meningkatan proses pembelajaran, sebagaimana ditegaskan oleh Nisbet & Collins, (2013) bahwa inovasi dalam kontesk pembelajaran adalah any new policy, syllabus, method or organizational change which is intended to improve teaching and learning. Dengan demikian, pembelajaran tematik berarti gagasan baru tentang pelaksanan pembelajaran tematik baik dari segi strategi, bahan ajar, penilaian, dan hasil belajarnya yang didesain untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran tematik karena pembelajaran tematik dilaksanakan sesuai dengan karakteristik psikologis dari peserta didiknya. Pembelajaran tematik dilaksanakan di tingkat sekolah dasar, hal ini sesuai dengan karakteristik peserta didik tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu psikologi pembelajaran tematik merupakan landasan diterapkannya pembelajaran tematik di jenjang pendidikan dasar sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.
Mengenal karakteristik belajar siswa pendidikan dasar menjadi kunci efektivitas dalam pembelajaran tematik (Sumantri, 2016). Disamping itu, menjadi argumentasi logis relevansi
dasar. Secara psikologis, siswa pendidikan dasar memiliki karakteristik belajar dari hal-hal yang sifatnya konkrit, sebagai dampak dari cara berpikir siswa yang seperti digambarkan J.Piaget dalam perkembangannya memasuki kemampuan berpikir operasional konkrit. Istilahnya J.Brunner memasuki tahapan berpikir simbolis.
Kemampuan berpikir konkrit ditandai dengan kemampuan berpikir konservasi, klasifikasi, indetiti dan simbolis. Berpikir konservasi artinya berpikir tetap, bahwa siswa pendidikan dasar memiliki pengertian tetap terhadap suatu objek, meskipun objek tersebut dirubah-ubah bentuknya. Berpikir klasifikasi, artinya siswa pendidikan dasar memiliki kemampuan untuk membuat klasifikasi beradasarkan pada kriteria dari suatu objek tertentu. Berpikir identiti, artinya peserda didik pendidikan dasar memiliki kemampuan untuk membedakan suatu benda berdasarkan identitasnya. Berpikir simbolis, artinya siswa pendidikan dasar dapat menerima informasi secara jelas apabila diiringi dengan simbol-simbol yang observabel atau dapat diamati (Purwanto, 2007) .
Kemampuan berpikir konkrit siswa pendidikan dasar mendorong timbulnya prilaku belajar siswa yang aktif dan produktif.
Dengan demikian, siswa pendidikan dasar memiliki karakteristik belajar aktif dan dan belajar produktif. Belajar aktif berarti belajar mengkonstruksi secara mandiri terhadap bahan ajar yang telah didsesain atau menemukan secara mandiri sumber belajar yang sedang dipelajari. Belajar produktif, berarti peserta didik pendidikan dasar berprilaku belajar berorientasi pada hasil, berorientasi pada pemecahan masalah dan berorientasi pada kegiatan yang menghasilkan suatu produk. Dengan demikian, Aktivitas belajar niscaya dapat diikuti apabila siswa pendidikan dasar terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran bukan pasive learning, disamping itu peserta didik pendidikan dasar memiliki prilaku belajar yang produktif
dalam pengertian selalu diarahkan pada adanya ketercapaian sesuatu yang bersifat produk seperti menulis dan membaca.
Siswa pendidikan dasar memiliki karakteristik belajar integrative, belajar integrative adalah belajar holistik yang berarti bukan belajar pada bagian-bagian kecil secara parsial. Kemampuan belajar holistik merupakan cara belajar deduktif atau peserta didik memiliki kemampuan belajar yang parsial setelah mengenal keutuhannya, atau belajar mulai dari keseleuruhannya baru kemudian bagian-bagiannya. Gagasan pemikiran belajar holistik ini dikenal juga dengan cara belajar Gestalt. Cara belajar Gestalt merupakan cara belajar peserta didik yang digagas oleh Gestalt.
Kemampuan belajar integrative siswa pendidikan dasar didukung oleh keterampilan bahasa holistik atau whole language.
Whole language yang dimiliki oleh peserta didik pendidikan dasar merupakan dukungan simbolis terhadap kemampuan belajar konkrit yang dimiliki oleh peserta didik. Whole language peserta didik pendidikan dasar terdiri dari keterampilan reseptif dan keterampilan produktif (Sumantri, 2016). Keterampilan reseptif yaitu keterampilan menyimak dan berbicara, sedangan keterampilan produktif terdiri dari membaca dan menulis. Apa yang disarankan oleh BSNP itu pada hakikatnya sesuai dengan pandangan para pakar bahasa tentang whole language (Goodman, 1986), suatu konsep yang menyatakan bahwa Bahasa bukanlah barang serpih-serpih yang terpisah, melainkan sebagai suatu keseluruhan utuh. Implikasinya dalam pengajaran ialah Bahasa harus diajarkan secara utuh sebagai suatu sistem yang terpadu.
Kedua cara tersebut jelas saling melengkapi satu sama lain, karena suatu tema akan memadukan seluruh kegiatan berbahasa, baik pada tingkat perencanaan maupun pada tingkat pelaksanaan di dalam kelas.
Dalam mendukung kemampuan belajar holistik dari peserta didik pendidikan dasar, bahasa memiliki fungsi carrier of knowledge atau
penghela dan pembawa ilmu secara utuh melalu kegiatan menyimak, berbicara, menulis dan membaca.
Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan salah satu institusi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, setara dengan Sekolah Dasar (SD), atau institusi lainnya yang sederajat. Perbedaanya adalah pada pengelolaannya, Jika Madrasah Ibtidaiyah pengelolaannya kelembagaan berada dibawah kebijakan Kementerian Agama Republik Indonesia, Sementara itu Sekolah Dasar dibahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dalam pengelolaan pendidikan, Kementerian Agama Republik Indonesia mengadopsi kebijakan implementasi kurikulum untuk mata pelajaran umum kepada Kementeria Pendidikan dan Kebudayaan, sementara itu untuk mata pelajaran agama di Madrasah Ibtidaiyah bahkan di Sekolah Dasar kebijakannay ada pada Kementerian Agama Republik Indonesia.
Namun demikian Madrasah Ibtidaiyah dapat secara opsional menerapkan pembelajaran tematik yang dijadikan kebijakan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk diterapkan di Madrasahnya meskipun Kementerian Agama belum mengeluarkan kebijakan penerapan pembelajaran tematik. Meskipun pada akhirnya pada tahun 2017 Kemeterian Agama RI melalui Dirjen Pendidikan Madrasah mengeluarkan edaran penerapan kurikulum 2013 yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan demikian, inovasi pembelajaran tematik yang dilaksanakan oleh Madrasah ibtidaiyah merupakan produk inovasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah tidak ada bedanya dengan pelaksanaan pembelajaran tematik di Sekolah Dasar, dasar kurikulumnya sama dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, diantaranya menggunakan buku guru dan siswa berbasis tematik yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kecuali untuk pembelajaran agama di Madrasah Ibtidaiyah menggunakan produk buku kurikulum 2013 yang dikelaurkan oleh Kementerian Agama RI.
Pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah secara konseptual dikembangkan dalam mata pelajaran, antar mata pelajaran dan diluar mata pelajaran (Sundayana, 2014). Dalam mata pelajaran artinya terjadapat mata pelajaran yang menggunakan tema pembelajaran tetapi dilaksanakan secara terpisah dengan mata pelajaran lainnya, seperti Seni budaya dan keterampilan, Matematika, PAI, dan pendidikan jasmani dan olahraga. Dalam antar mata pelajaran dikembangkan secara webbed yang menjaring mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, Bahasa Indonesia, PKn. Diluar mata pelajaran artinya pembelajaran tematik dilaksanakan dengan mengembangkan tema dan kegiatan pembelajaran yang kontekstual denga menggunakan konteks lingkungan peserta didik.
Konsep pembelajaran tematik tersebut mendasari perubahan pada perencanaan pelaksanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran tematik berbasis pada tema sub tema yang dikembangkan secara jejaring (webbed) yang dalam satu kali pmbelajaran dapat menjaring dua tau lebih muatan mata pelajaran sehingga yang dikenal oleh siswa tidak lagi mata pelajaran tetapi tema dan sub tema pembelajaran (Unik Ambar, 2008).
Dalam pelaksanaanya pembelajaran tematik menggunakan buku guru dan buku siswa yang menjadi panduan pelaksanaan pembelajaran bagi guru dan siswa. Dalam buku siwa tidak tampak ada identitas mata pelajaran, tetapi dalam buku guru tampak sekali identitas mata pelajaranya, sebagai bentuk panduan pendalaman
dasar disiplin ilmu yang sedang dikaji oleh suatu tema dan sub tema pembelajaran. Dalam kegiatannya, pembelajaran tematik dilaksanakan melalui tahapan kegiatan pendahuluan, inti dan penutup.
Pada setiap kegiatan tersebut tampak bahwa tema pembelajaran dibelajarkan kepada peserta didik dan disampaikan setiap peralihan tahap kegiatan dan peralihan muatan mata pelajaran.
BAB III
DIFUSI INOVASI DALAM ORGANISASI
A. Konsep Difusi Inovasi
Proses komunikasi inovasi antara anggota sistem sosial, dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu disebut dengan difusi inovasi (Sa’ud, 2013), demikian pula yang disampaikan oleh Rogers (M. E. Rogers, 2003)diffusion is the process in which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system. It is a special type of communication, in that the messages are concerned with new ideas.Pendapat ini disetujui oleh Spiering & Erickson, (2006) bahwa suatu difusi inovasi merupakan proses mengkomunikasi suatu inovasi dengan saluran dan rentang waktu tertentu diantara anggota suatu sisten sosial. Oleh karena itu dalam suatu difusi inovasi terdapat empat elemen utama seperti dijelaskan oleh Dibra, (2015) yaitu a) harus diklasifikasikan sebagai inovasi; b) harus dikomunikasikan melalui saluran tertentu; c) harus diadopsi di antara anggota dalam sistem sosial; d) harus memperhitungkan durasi akun atau faktor waktu.
Dengan demikian sama halnya dengan inovasi pembelajaran tematik yang memiliki orientasi pada pencapaian kompetensi higher order thingking skills apabila tidak didfusikan secara menyeluruh maka bagi sebagian sistem sosial atau madrasah bisa jadi menjadi suatu inovasi tetapi bagi sebagai lain belum tentu sebagai suatu inovasi (Haryono, 2009).
Elemen difusi inovasi berdasarkan definisi di atas terdiri dari inovasi, commucation channels, over time, dan social system. Dalam
empat elemen tersebut suatu inovasi didifusikan. Apabila memiliki gagasan baru, produk baru atau hal lainya yang baru tetapi tidak didifusikan maka kebaruannya menjadi tidak diketahui dan yang pasti tidak memberikan manfaat apapun. Padahal suatu inovasiperlu untuk didifusikan agar memberikan manfaat bagi suatu sistem sosial.
Dalam difusi inovasi terdapat enam konsep yang mendasari prosesnya, seperti dijelaskan oleh Spiering & Erickson, (2006) yang mengutip pendapat Dearing et al., yaitu pertama, communicationchannels, yaitu tentang bagaiman pesan inovasi ditranmisikan kepada orang-orang. kedua, the innovation-decision process, yaitu meliputi tahapan knowledge, persuasion, decision,implementation, and confirmation yang dilewati orang dalam mengambil keputusan atau menolak suatu inovasi. Ketiga, homophily, yaitu suatu cara interaksi antara dua orang yang memiliki kesamaan karakteristik. Keempat, attributes, yaitu yang menggambarkan lima karakteristik inovasi dan bagaimana mereka secara positif atau negatif dihubungkan dengan tingkat kecepatan dalam adopsi suatu inovasi.
Kelima, adopter categories, yaitu menggambarkan hubungan orang-orang dalam kecepatan mengadopsi suatu inovasi. keenam opinion leaders, yaitu orang yang memberikan pengaruh kepada orang sikap orang lain.
Suatu sistem sosial dapat mengenal suatu inovasi karena menerima informasi tentang inovasi dari proses difusi inovasi.
Informasi suatu inovasi diterima oleh suatu sistem sosial adalah karena ada proses difusi dengan melakukan proses komunikasi dalam kuru waktu tertentu. Komunikasi dalam difusi inovasi dapat terjadi secara spontan, secara terpusat atau secara divergen. Komunikasi secara spontan artinya terjadi saling tukar informasi antara cange agent dan sistem sosial secara tidak disengajar tanpa even formal.
Komunikasi secara memusat atau konvergen artinya proses interaksi
dilakukan secara sengaja oleh team inovators dalam suatu event formal. Komunikasi secara menyebar atau divergent berarti proses interaksi untuk difusi inovasi dilakukan oleh para change agent secara formal atau tidak formal terhada suatu sistem sosial (Sa’ud, 2013).
Apabila suatu inovasi telah terdifusikan dengan menggunakan beragam saluran komunikasi yang dipilih belum tentu pula diadopsi oleh suatu sistem sosial. Oleh karena itu sistem sosial merupakan bagian penting dari difusi inovasi yang juga menentuka keberhasilan dari suatu difusi inovasi atau kecepatan tingkat adopsi suatu inovasinya. Suatu sistem sosial adalah sebagaimana dijelaskan oleh Rogers (M. E. Rogers, 2003) bahwa a social system is defined as a set of interrelated units that are engaged in joint problem solving to accomplish a common goal.maksudnya bahwa suatu sistem sosial adalah kelompok masyarakat yang terlibat dalam pemecahan masalah untuk mencapai suatu tujuan, demikian pula yang dijelaskan oleh Sa’ud (Sa’ud, 2013) bahwa sistem sosial adalah anggota masyarakat yang melakukan hubungan interaktif antar invidiu atau orang dengan bekerjasama untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Anggota suatu sistem sosial dapat terdiri dari individu, kelompok informal, organiasi dan sub sistem lainnya.
Dalam konteks difusi inovasi pembelajaran tematik, sistem sosial yang terlibat dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran adalah guru secara individu, secara kelembagaan adalah sekolah atau madrasah, secara jenjang pendidikan termasuk didalamnya adalah Madrasah Ibtidaiyah. Guru, kepala sekolah, dan atau Madrasah Ibtidaiyah akan mempengaruhi proses difusi inovasi tersebut, dalam sistem sosial tersebut pembelajaran tematik didifusikan dan oleh sistem sosial tersebut pembelajaran tematik diadopsi.
Suatu sistem sosial dalam difusi suatu inovasi tidak serta
difusi itulah proses keputusan adopsi inovasi dilakukan oleh suatu sistem sosial. Apabila proses difusi inovasi dilakukan terhadap suatu sistem sosial yang bersifat homopilis tentu saja difusi inovasi akan dengan mudah diadopsi meskipun memerlukan waktu. Namun demikian tetap saja prosesnya melalui tahapan seperti dijelaskan oleh Rogers (M. E. Rogers, 2003) yaitu proses mengetahui inovasi (knowledge), proses membentuk sikap menyenangi (persuation), memutuskan adopsi atau menolak (decision), menerapkan inovasi apabila suatu inovasi diterima, serta meninggalkan apabila suatu inovasi ditolak (implementaion), dan mencari penguatan atas keputusan yang diambilnya (confirmation).
Disamping itu, jika suatu sistem sosial adalah individu yang berada dalam suatu organsiasi, maka proses difusi inovasi terhadap individu dalam suatu organisasi ditentukan dengan proses opsional, kolektif dan otoritas. kaitannya dengan pembelajaran tematik berarti, proses difusi inovasi dilakukan terhadap individu yang terdapat suatu organisasi dalam suatu lembaga pendidikan tertentu dalam hal ini adalah Madrasah Ibtidaiayah.
B. Tahapan Difusi Inovasi Dalam Organisasi
Maksud difusi inovasi dalam organisasi adalah proses difusi inovasi yang dimulai dan diprakarsai oleh organisasi, dalam penelitian ini yang memulai dan memprakarsai prose difusi inovasi pembelajaran tematik adalah Kementerian Agama. Disamping itu proses difusi inovasi pembelajaran tematik dilakukan melalui jalur organisasi yaitu Dinas Madrasah dan Madrasah. Dalam proses difusi inovasi dalam organisasi dilakukan melalui tahapan inisiasi dan implementasi, sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
1. Tahapan Inisiasi Inovasi Pembelajaran Tematik
Sebagaimana Rogers (2003) menjelaskan bahwa tahapan proses difusi inovasi dalam organisasi dibagi menjadi dua tahapan besar yaitu tahap inisiasi dan tahap implementasi. Tahapan ini pada Tahap-tahap selanjutnya dalam proses inovasi tidak dapat dilihat sampai tahap-tahap sebelumnya telah selesai, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam Rogers (2003) dalam generalisasinya (10-2) menjelaskan bahwa setiap variabel struktur organisasi mungkin terkait dengan inovasi dalam satu arah selama fase inisiasi dari proses inovasi, dan dalam arah yang berlawanan selama fase implementasi;
each of the organizational struc ture variables may be related to innovation in one direction during the initiation phases of the innovation process, and in the opposite direction during the implementation phases.
Tahapan inisiasi, didefinisikan sebagai semua pengumpulan informasi, pembuatan konsep, dan perencanaan untuk adopsi inovasi, yang mengarah pada keputusan untuk mengadopsi.
Pada tahap ini merupakan proses inovasi organisasi yang kegiatannya adalah mengumpulkan informasi, konseptualisalsi, dan perencanaan untuk menerima inovasi, semuanya diarahkan untuk membuat keputusan menerima inovasi. Demikian pula yang didefinisikan oleh Rusdiana (2014) yaitu kegiatan pengumpulan informasi, konseptualisasinya, dan perencanaan untuk menerima inovasi.
Dalam konteks pembelajaran tematik, tahap inisiasi ini adalah tahapan suatu madrasah melakukan pengumpulan informasi, konseptualisasinya, dan perencanaan akan menerapkan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah melalui tahapan agenda setting dan matching. Proses ini meliputi:
a. Agenda Setting
Agenda setting terjadi ketika masalah organisasi umum didefinisikan yang menciptakan kebutuhan yang dirasakan akan suatu inovasi. Proses penetapan agenda terus berlangsung di setiap sistem, menentukan sistem apa yang akan bekerja pertama, berikutnya, dan seterusnya. Agenda setting adalah cara dimana kebutuhan, masalah, dan masalah muncul melalui suatu sistem dan diprioritaskan dalam hierarki untuk diperhatikan (Dearing dan Rogers, 1996). Tahap agenda setting dalam proses inovasi dalam suatu organisasi terdiri dari (1) mengidentifikasi dan memprioritaskan kebutuhan dan masalah dan (2) mencari lingkungan organisasi untuk menemukan inovasi kegunaan potensial untuk memenuhi masalah organisasi ini.
Agenda setting memulai urutan proses inovasi, karena di sinilah motivasi awal dihasilkan untuk mendorong langkah-langkah selanjutnya dalam proses inovasi. Pada tahap agenda setting, satu atau lebih individu dalam suatu organisasi mengidentifikasi masalah penting dan kemudian mengidentifikasi suatu inovasi sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut.
Pada intinya tahap agenda setting berkaitan dengan identifikasi masalah dalam organisasi lalu ditentukan kebutuhan inovasinya dan diadakan studi lingkungan untuk menentukan nilai potensial inovasi bagi organsiasi (Sa’ud, 2014). Demikian pula yang disampaikan oleh Rusdiana (2014) bahwa agenda setting merupakan perumusan masalah organisasi dalam rangka menentukan kebutuhan inovasi. Dalam menentukan suatu masalah dapat digunakan analisis SWOTsebagai upaya survei internal (strength dan weakness), dan survei eksternal (opportunities dan threats). Strength (kekuatan) bagi sebuah inovasi merupakan opportunities (peluang) yang harus dimanfaatkan, sedangkan weakness (kelemahan) harus dianggap sebagai threats (ancaman) (Rusdiana, 2014).
Dengan demikian dalam konteks inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiayh agenda setting berarti proses analisis kebutuhan oleh Madrasah Ibtidaiyah terhadap konsep, perencanaan, dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik baik internal (strength dan weakness) maupun eksternal (opportunities dan threats).
b. Matching
Matching didefinisikan sebagai tahap dalam proses difusi inovasi dimana masalah dari agenda organisasi sesuai dengan inovasi, dan pelaksanaannya direncanakan. Pada tahap kedua ini dalam proses inovasi, pencocokan konseptual masalah dengan inovasi terjadi untuk menetapkan seberapa baik inovasi itu cocok. Dalam pengujian realitas ini, anggota organisasi berupaya menentukan kelayakan inovasi dalam memecahkan masalah organisasi. Perencanaan tersebut memerlukan antisipasi terhadap manfaat, dan masalah, yang akan dihadapi inovasi ketika diterapkan. Pembuat keputusan organisasi dapat menyimpulkan bahwa inovasi tersebut tidak sesuai dengan masalahnya. Keputusan ini mengarah pada penolakan, penghentian proses inovasi sebelum penerapan ide baru.
Matcing suatu inovasi dengan kebutuhan organisasi secara efektif adalah kunci bahwa ide baru itu dapat bertahan lama. Tingkat kecocokan ini adalah salah satu jenis kompatibilitas inovasi tertentu.
Goodman dan Steckler (1989) menemukan bahwa apakah suatu inovasi “menemukan rumah” sesuai dengan kebutuhan atau program yang ada dalam organisasi sangat penting untuk keberlanjutannya di kemudian hari.
Keputusan yang cocok menandai dalam proses inovasi antara inisiasi dan implementasi, semua peristiwa, tindakan, dan keputusan yang terlibat dalam memanfaatkan inovasi diarahkan untuk menyelesaikan masalah organisasi dengan inovasi yang akan
digunakan, kemudian direncanakan dan dibuat desain penerapan inovasi yang sudah sesuai dengan masalah yang dihadapi (Sa’ud, 2014). Demikian pula yang dijelaskan oleh Rusdiana (2014) yaitu tentang agenda penyesuaian meliputi penyesuaian masalah dengan inovasi yang digunakan dan penyesuaian dengan rancangan penerapan inovasi.
Dengan demikian dalam konteks penelitian ini bahwa matching adalah proses penyesuaian oleh Madrasah Ibtidaiyah dengan mencocokan konsep, perencanan dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik dengan masalah pembelajaran yang dihadapi.
2. Tahapan Implementasi Inovasi Pembelajaran Tematik Tahap selanjutnya dari proses difusi inovasi dalam organisasi adalah tahapan implementasi. Pada tahap implementasi proses difusi inovasi dilakukan dalam proses redefinisi/restrukturisasi, klarifikasi, dan rutinisasi. Oleh karena itu difusi inovasi pembelajaran tematik pada tahap implementasi diartikan sebagai proses difusi inovasi pembelajaran yang dilakukan dengan proses redefining/restructuring, clarifying, dan routinizing.
a. Redefining/restructuring
Pada tahap ini, inovasi yang diimpor dari luar organisasi secara bertahap mulai kehilangan karakter asingnya.
Redefining/restructuring terjadi ketika inovasi diciptakan kembali untuk mengakomodasi kebutuhan dan struktur organisasi lebih dekat, dan ketika struktur organisasi dimodifikasi agar sesuai dengan inovasi (M. E. Rogers, 2003). Demikian pula penjelasan Rusdiana (2014) bahwa proses redifinisi dan restruturisasi suatu inovasi sasarannya
adalah kegiatan modifikasi atau reinvensi sehubungan dengan kegiatan inovasi yang dilaksanakan, dan kegiatan modifikasi atau restrukturisasi organisasi sehubungan dengan kegiatan inovasi yang dilaksanakan.
Baik inovasi dan organisasi diharapkan berubah, setidaknya sampai taraf tertentu, selama tahap redefinisi/restrukturisasi proses inovasi. Namun, sebuah studi dari beberapa inovasi di tiga organisasi oleh Tyre dan Orlikowski (1994) menemukan bahwa hanya ada jendela peluang yang ada dalam sebuah organisasi di mana inovasi dapat dimodifikasi. Setelah itu, inovasi dengan cepat dirutinkan dan tertanam dalam struktur organisasi dan tidak mungkin berubah lebih lanjut. Dalam generaliasinya Rogers (2003) menyatakan bahwa both the innovation and the organization usually change in the innovation process in anorganization. Maksudnya bahwa baik inovasi dan organisasi biasanya mengalami perubahan dalam proses inovasi dalam organisasi (10-5).
Dalam konteks difusi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah bahwa proses redefining berarti proses memodifikasi oleh Madrasah Ibtidaiyah dengan melakukan perubahan terhadap konsep, perencanaan, dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik. Sementara itu, restructuring adalah proses perubahan struktur organisasi Madrasah Ibtidaiyah dengan diterapkannya pembelajaran tematik menjadi pembelajaran team teaching.
b. Clarifying
b. Clarifying