• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Change Agent di Madrasah Ibtidaiyah

Dalam dokumen DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK (Halaman 97-0)

BAB VI CHANGE AGENT INOVASI PEMBELAJARAN

C. Peran Change Agent di Madrasah Ibtidaiyah

Agen perubahan atau change agent inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan, sebagaimana hasil

penelitian di Madrasah Ibtidaiyah diketahui pada table 6.9 sebagai berikut:

Tabel 6. 9 Change Agent Inovasi Pembelajaran Tematik

NO Change Agent di Madrasah Ibtidaiyah

MI % MIN % MIS %

Berdasarkan data pada table 6.9 di atas diketahui bahwa yang menjadi change agent inovasi pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan baik Madrasah Ibtidayah Negeri dan Madrasah Ibtidayah Swasta terdiri dari Kepala Madrasah, teman sejawat, pengawas, narasumber pelatihan, kepala bidang kurikulum, narasumber workshop, narasumber nasional, kepala seksi madrasah, Kelompok Kerja Madrasah, dan Kelompok Kerja Guru. Dengan demikian diketahui bahwa yang memiliki pengaruh terhadap

penerapan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah itulah yang menjadi change agent. Karena yang disebut change agent sebagaimana dijelaskan oleh Rogers (2003) yaitu an individual who influences clients’ innovation-decisions in a direction deemed desirable by a change agency, maksudnya seseorang yang memberikan pengaruh kepada orang lain tentang proses keputusan inovasi.

Setiap change agent memiliki peran dalan proses inovasi pembelajaran tematik. Peran change agent yang dimaksud merujuk pada grand theory yang dikembangkan oleh Rogers (E. M. Rogers, 2003) yang terdiri dari to develop a need for change, to establish an information exchange relationship, to diagones problems, to create an intent to change, to translate an intent into action, to stabilize adoption and prevent discontinuance, dan to achieve a terminal relationship. Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi change agent yang memiliki peran tersebut dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik tematik di Madarsah Ibtidaiyah baik di Madrasah Ibtidayah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta sebagaimana tergambar dalam table 6.10 sebagai berikut:

Tabel 6. 10 Peran 1 Change Agent di Madrasah Ibitidayah

Peran Change Agent

membutuhkan penerapan pembelajaran tematik, membuat menyadari perlunya penerapan pembelajaran tematik, menunjukkan untuk melaksanakan pembelajaran tematik, dan meyakinkan untuk menggunakan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah baik Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta yaitu Kepala Madrasah, Narasumber pelatihan, pengawas, kepala bidang kurikulum, dan narasumber nasional kurikulum.

Tabel 6. 11 Peran 2 Change Agent di Madrasah Ibitidayah

Peran Change Agent

Teman Sejawat 38

Kepala Bidang

Kurikulum 18

Kepala Bidang

Kurikulum 36

Narasumber

Pelatihan 18

Pengawas 32

KKMI 23

Kasi Madrasah 22

Berdasarkan pada table 6.11 di atas diketahui bahwa yang berperan to establish an information exchange relationship yaitu aktivitas membuat tetap bertukar informasi tentang pembelajaran tematik, dapat dipercaya dalam penerapan pembelajaran tematik, kompeten dalam penerapan pembelajaran tematik, menginspirasi dalam penerapan pembelajaran tematik, dan berempati terhadap kebutuhan dalam penerapan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah baik Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah Kepala Madrasah, narasumber pelatihan, narasumber nasional kurikulum, teman sejawat, kepala bidang kurikulum, pengawas, Koodinator kelompok kerja Madrasah, dan kepala seksi Madrasah kemenag RI.

Tabel 6. 12 Peran 3 Change Agent di Madrasah Ibitidayah

Peran Change Agent

MI % MIN % MIS % To diagones

problems Kepala Madrasah 39 Kepala

Madrasah 41

Kepala

Madrasah 36

Teman Sejawat 25 Teman

Sejawat 37

Kepala Bidang

Kurikulum 26

Kepala Bidang Kurikulum 24

Kepala Bidang

Kurikulum 22 Teman Sejawat 26

Pengawas 23 Pengawas 20 Pengawas 24

Widyaiswara 18 Narasumber

Pelatihan 20

Berdasarkan table 6.12 di atas diketahui change agent yang berperan to diagnose problems dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik yang terdiri dari aktivitas membantu mendiagnosa masalah pembelajaran yang cocok dengan kebutuhan penerapan pembelajaran tematik, membantu menentukan pembelajaran tematik sebagai solusi atas masalah pembelajaran yang sedang dihadapi, dan membuat menyimpulkan bahwa pembelajaran tematik dibutuhkan adalah kepala Madrasah Ibtidayah, teman sejawat, kepala bidang kurikulum, pengawas, narasumber pelatihan, dan widyaiswara.

Tabel 6. 13 Peran 4 Change Agent di Madrasah Ibitidayah

Peran Change Agent

MI % MIN % MIS %

To create an

intent to change Kepala Madrasah 44

Kepala Madrasah 52

Kurikulum 22 Narasumber

Pelatihan 25

Kepala Bidang Kurikulum 22

Teman Sejawat 22 Kepala Bidang

Kurikulum 23 Teman Sejawat 21

Pengawas 20

Berdasarkan table 6.13 di atas diketahui change agent yang berperan to create an intent to change dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik yang terdiri dari aktivitas membuat perubahan kegiatan pembelajaran menjadi pembelajaran tematik, dan membuat intensif melaksanakan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidayiyah baik Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta yaitu Kepala Madrasah, teman sejawat, pengawas, narasumber pelatihan, dan kepala bidang kurikulum.

Tabel 6. 14 Peran 5 Change Agent di Madrasah Ibitidayah

Peran Change Agent

MI % MIN % MIS %

To translate an

intent into action Kepala Madrasah 43

Kepala Madrasah 50

Kepala

Madrasah 43

Teman Sejawat 31

Teman Sejawat 40 Teman Sejawat 30

Pengawas 23 Narasumber

Berdasarkan pada table 6.14 di atas diketahui bahwa change agent yang berperan to translate an intent into action dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik yang terdiri dari peran membuat terdorong melakukan perubahan pembelajaran menjadi pembelajaran tematik, membuat termotivasi untuk secara intensif menerapkan pembelajaran tematik, berkomunikasi secara intensif dengan Anda dalam penerapan pembelajaran tematik, dan memberikan contoh kepada Anda secara intensif tentang penerapan pembelajaran tematik di Madarsah Ibtidaiyah bagik Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah Kepala Madrasah, teman sejawat, pengawas, narasumber pelatihan dan kepala bidang kurikulum.

Tabel 6. 15 Peran 6 Change Agent di Madrasah Ibitidayah

Peran Change Agent

Kepala Bidang

Kurikulum 18 Kepala Bidang

Kurikulum 21 berperan to stabilize adoption and prevent disocontinuance dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik yang dari aktivitas membuat yakin dalam mengadopsi pembelajaran tematik, memperkuat untuk mengadopsi pembelajaran tematik, membantu mengadopsi pembelajaran tematik, dan mencegah untuk menghentikan mengadopsi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah baik Madrasah Ibtidaiyah Negerai dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta yaitu Kepala Madrasah, teman sejawat, pengawas, narasumber pelatihan, kepala bidang kurikulum, dan narasumber workshop.

Tabel 6. 15 Peran 7 Change Agent di Madrasah Ibitidayah

Peran Change Agent

Berdasarkan table 6.15 di atas diketahui change agent yang berperan to achieve a terminal relationship dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik yang terdiri aktivitas membuat mandiri dalam menerapkan pembelajaran tematik, membantu mengembangkan pembelajaran tematik, dan mendorong untuk memperbaharui penerapan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah baik Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah Kepala Madrasah, teman sejawat, pengawas, narasumber pelatihan, dan kepala bidang kurikulum.

Keberhasilan difusi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah terdapat faktor peran change agent yang mayoritas terdapat pada perang seorang kepala Madrasah hal ini berarti kepemimpinan di Madrasah Ibtidaiyah mendukung penerapan inovasi pembelajaran tematik dan brearti memiliki karakteristik kepemimpinan seperti dijelaskan oleh Rogers (2003) teridi dari karakter leadership, opinion leadership dan karakter change agent, sehingga aktif, tidak apatis terhadap inovasi pembelajaran tematik dalam adopsi inovasi pembelajaran tematik. Kepemimpinan organisasi dengan karakter change agent dalam adopsi suatu inovasi sangat dibutuhkan apalagi untuk menjadi kelompok adopters pertama.

Adopsi inovasi pembelajaran tematik oleh anggota dalam sistem social dalam hal ini adalah Madrasah Ibtidaiyah membutuhkan peran chage agent. Change agent disebut juga sebagai linkers, antara innovator dengan client atau calon pengadopsi suatu inovasi.

Faktor kesukesan change agent dalam difusi inovasi sebagai suatu linkers ditentukan oleh tiga faktor yaitu faktor usaha, faktor orientasi, dan faktor kebutuhan. Pada faktor usaha, change agent dapat berhasil jika berusaha keras dalam mendifusikan suatu inovasi.

Tingkat usahanya menjalankan usahanya seperti digeneralisir oleh (M.

E. Rogers, 2003) bahwa kesuksesan change agent dalam

mendifusikan inovasi berkaitan dengan usaha keras dalam menghubungi client (Generalization 9-1). Pada faktor orientasi, artinya bahwa change agent memiliki oclient orientation daripada agency orientation dalam mendifusikan suatu inovasi (Generalization 9-2). Pada faktor kebutuhan, bahwa change agent dapat sukses mendifusikan suatu invasi apabila yang didifusikan sesuai dengan kebutuhan client, atau compatibility with clients’ needs (Generalization 9-3). Bahkan juga kesuksesan change agent dalam mendifusikan suatu invoasi adalah berkaitan dengan tingkat empatinya terhadap client (Generalization 9-4).

Faktor lain dari keberhasilan change agent dalam difusi inovasi ditentukan dari homophily, artinya kesetaraanstatussocioeconomic denganclients, social participation dengan clients, higher formal education antara clients, cosmopolitenessantara clients, dan memiliki kredibilitas positif dimata client(Generalization 9.5-9.10). Peran change agent juga dapat sukses dengan mengoptimalkan pemanfaatan opinion leaders dan meningkatkan kembampuan client dalam mengevaluasi suatu inovasi (Generalization 9-11 - 9-12). Disamping itu, karakter kepemimpinan yang dapat berkontribusi terhadap adopsi suatu inovasi adalah karakter leadership. Karakter ini digambarkan oleh Rogers (2003) memiliki sikap positive terhadap perubahan, dan terhadap hal yan baru atau inovatif. Suatu organisasi dengan karakter kepemimpinan ini dapat dengan mudah untuk mengadopsi suatu inovsi. Dalam konteks difusi inovasi pembelajaran tematik, Kepala Madrasah yang memiliki karakteristik leadership ini tentu saja akan memiliki sikap positif terhadap perubahan atau suatu inovasi. Apabila dalam level kepala Madrasah yang memiliki sikap positif terhadap suatu inovasi tentu saja proses keputusan inovasi dapat dilakukan secara otoritatif yang meminta anggota sistem sosial dalam hal ini adalah guru untuk

mengimplementasikan inovasi pembelajaran tematik, apalagi pembelajaran tematik didifusikan oleh lembaga yang menjadi pusat pengelolaan kualitas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah. Karakter kepemimpinan lainnya yang berkaitan dengan leadership adalah opinion leadership. Karakter ini dijelaskan oleh Rogers (2003) yaitu tingkat di mana seorang individu dapat mempengaruhi orang lain, sikap individu atau perilaku terbuka secara informal dengan cara yang diinginkan oleh kerabatfrekuensi. Kepemimpinan informal ini bukan fungsi dari posisi formal individu ataustatus dalam sistem.

Kepemimpinan opini diperoleh dan dikelola oleh individukompetensi teknis, aksesibilitas sosial, dan kesesuaian dengan norma-norma sistem. Kapansistem sosial berorientasi pada perubahan, para pemimpin opini lebih inovatif; tapi ketikanorma-norma sistem menentang perubahan, perilaku para pemimpin juga mencerminkan hal ininorma. Melalui kesesuaiannya dengan norma-norma sistem, para pemimpin opini berfungsi sebagai modeluntuk perilaku inovasi pengikut mereka. Pemimpin opini dengan demikian mencontohkan dan mengekspresikanstruktur sistem.

Karakter opinion leadership dapat dimiliki oleh individu yang tidak memiliki status sosial sebagai pemimpin, atau dapat pula oleh sesorang dengan status pemimpin. apabila opini ini dimiliki dan menjadi karakteri kepemimpinan suatu organasisi tentu saja memiliki sikap positi terhadap suatu inovasi. Dalam konteks adopsi inovasi pembelajaran tematik karakter ini dapat bermanfaat untuk mengkategori suatu Madarah Ibtidaiyah menjadi pengadopsi pertama dalam suatu inovasi pembelajaran tematik ataukah menjadi pengadopsi terakhir.

BAB VII

LAJU ADOPSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK

A. Dimensi Waktu dalam Laju Adopsi Inovasi

Dalam suatu difusi inovasi tidak terlepas dari waktu yang digunakan selama proses difusi inovasi. Proses difusi inovasi memerlukan waktu. Sehingga waktu adalah elemen penting dalam proses difusi karena waktu merupakan aspek utama dalam proses komunikasi (Sa’ud, 2013). Tidak hanya itu, seperti dilanjutkan dalam penjelasan Sa’ud bahwa dimensi waktu berperan dalam kepekaan seseorang terhadap suatu inovasi, tidak semua orang dalam suatu sistem sosial menerima inovasi dalam waktu yang sama. mereka menerima inovasi dalam urutan waktu, artinya ada yang dahulu adan yang kemudian. Orang yang menerima inovasi lebih dahulu secara relative lebih peka terhadap inovasi dari pada yang menerima inovasi lebih akhri. jadi kepekaan inovasi ditandai dengan lebih dahulunya seseorang menerima inovasi dari yang lain dalam suatu sistem sosial.

Berdasarkan kepekaan terhadap inovasi dapat dikategorikan menjadi lima kategori pengadopsi inovasi yaitu 1) inovator, 2) pemula, 3) mayoritas awal, 4) mayoritas, dan 5) terlambat (Satori, Djam’an & Sa’ud, 2017). Hal ini pula yang dikategorikan oleh (M. E.

Rogers, 2003) yaitu Innovators, early adopters, early majority, late majority, dan laggards.

Peranan waktu juga menggambarkan kecepatan laju adospi inovasi. Kecepatan laju adopsi inovasi adalah kecepatan relative

diterimanya inovasi oleh sistem sosial. kecepatan inovasi biasanya diukur berdasarkan lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai prosentasi tertentu dari jumlah waktu masayarakat yang telah menerima inovasi. Oleh karena itu, pengukuran kecepatan inovasi cenderung diukur dengan berdasarkan tinjauan penerimaan inovasi oleh keseluruhan warga masyarakat penerima inovasi secara individua.

Atas dasar itu, proses adopsi inovasi pembelajaran tematik membutuhkan waktu untuk suatu sistem social untuk dapat segera diadopsi. Hal ini pula yang menegaskan bahwa waktu merupakan bagian penting dari proses difusi inovasi. Karena waktu merupakan aspek utama dalam proses komunikasi. Peranan dimensi waktu dalam proses difusi dijelaskan (M. E. Rogers, 2003) terdapat pada tiga hal yaitu:

1) The innovation-decision process; artinya proses keputusan inovasi membutuhkan waktu sejak seseorang mengetahui suatu inovasi pertamakali sampai memutuskan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.

2) The innovativeness of an individual or other unit of adoption;

artinya Adopsi seseorang atau kelompok terhadap suatu inovasi, hal ini membutuhkan waktu karena tidak semua orang dalam suatu sistem social menerima inovasi dalam waktu yang sama, mereka menerima inovasi dari urutan waktu, artinya ada yang menjadi orang pertama dan ada yang menjadi orang terakhir.

3) An innovation’s rate of adoption in a system, artinya tingkat kecepatan dalam mengadopsi suatu inovasi. Kecepatan inovasi biasanya diukur berdasarkan lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai prosentase tertentu dari jumlah waktu masyarakat yang telah menerima suatu inovasi. Oleh karena itu pengukuran

kecepatan inovasi cenderung diukur dengan berdasarkan tinjauan penerimaan inovasi oleh keseluruhan sistem social bukan penerimaan inovasi secara individu.

B. Peranan Waktu dalam Proses Keputusan Inovasi

Peranan pentingnya waktu dalam laju adopsi inovasi diantaranya pada proses keputusan inovasi. Sementara itu proses keputusan inovasi terdiri dari knowledge, persuasion, decision, implementation, dan confirmation (M. E. Rogers, 2003). Oleh karena itu dalam setiap tahap proses keputusan inovasi membutuhkan waktu untuk memutuskan menerima atau menolak suatu inovasi. Adapun kriteria dari masing-masing tahap keputusan tersebut dijelaskan oleh Rogers (2003) dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 7. 16 Karakteristik Proses Keputusan Inovasi Proses Keputusan

Invoasi

Karakteristik Proses Keputusan Inovasi

Knowledge a. berupaya mencari informasi (Information seeking/recal of information)

b. memahami perlunya informasi (Information necesary/comprehension of messages) c. menyeujui suatu informasi (information

dealing)

d. mengetahui efektivitas mengadopsi inovasi (knowledge or skill for effective adoption of the innovation)

Persuasion a. tertarik menyukai suatu inovasi (liking the innovation)

b. tertarik mendiskusikan suatu hal yang baru dengan yang lain (discussion of the message about the innovation)

c. tertarik menerima suatu inovasi (acceptance of the message about the innovation)

d. membentuk citra postif tehadap suatu inovasi (formation of a positive image of the message and the innovation)

e. mendapatkan dukungan untuk suatu prilaku inovatif dari suatu sistem sosial (support for the innovative behavior from the system) Decision a. memutuskan terlibat kegiatan yang mengarah

pada pilihan mengadopsi suatu inovasi (engages in activities that lead to choice to adopt an innovation)

b. memutuskan terlibat pada kegiatan yang mengarah pada penolakan mengadopsi suatu inovasi (engages in activities that lead to choice to reject an innovation)

c. berniat mencari informasi tambahan (intention to seek addiotional information about the innovation)

d. berniat mencoba mempraktekan suatu inovasi (intention to try the innovation)

e. memutuskan untuk tidak melanjutkan mengadopsi suatu inovasi (decision to reject an innovation after having previously adopted/discontinuance)

Implementation a. telah menggunakan suatu inovasi (puts an innovation to use)

b. fokus melatih diri tentang suatu inovasi (a stricly mental exercise of thinking about an innovation)

c. menambah terus informasi tentang suatu inovasi (acquistion of additional information about the innovation)

d. reguler menggunakan suatu inovasi (use of the innovation on a regular basis)

e. terus menerus menggunakan suatu inovasi (continued use of the innovation)

f. memodifikasi proses penggunaanya (modified/reinvented by the user in the process of its adopstion and implementation)

Confirmation a. mengakui manfaat penggunaan suatu inovasi (recogniton of the benefits of using the innovation)

b. suatu inovasi dijadikan sebagai kegiatan rutin (integration of the innovation into one’s ongoing routine)

c. mempromosikan suatu inovasi kepada yang lain (promotion of the innovation to others) d. menghentikan mengadosi suatu inovasi

(discontinuance to reject an innovation after having previously adopted)

e. menggantikan suatu inovasi sebelumnya dengan yang lebih baik (replacement to reject an idea in order to adopt a better idea that supersedes it)

f. menolak melanjutkan karena merasa tidak puas dengan suatu inovasi (disencantment to reject

an idea as a result of dissatisfaction with its performance)

Dengan demikian dalam konteks penelitian ini yang dimaksud dengan laju adopsi adalah proses sejak seseorang mengenal (knowledge), terbujuk (persuasion), memutuskan (decision), menerapkan (implementation), dan mengakui (confirmation) inovasi pembelajaran tematik pertamakali dalam kurun waktu tertentu yaitu tahun 2013-2019.

Laju adopsi inovasi pada tahapan knowledge berarti proses guru Madrasah Ibtidaiyah berupaya mencari informasi, memahami perlunya, menyetujui suatu informasi, dan mengetahui efektivitas mengadopsi pembelajaran tematik di tahun 2013-2019. Laju adopsi inovasi pada tahapan persuassion berarti proses guru Madrasah Ibtidaiyah tertarik atau tidak tertarik, mendiskusikan, menerima informasi, membentuk citra positif, dan mendapat dukungan kepala madrasah, teman sejawat, KKM, KKG untuk menerapkan inovasi pembelajaran tematik di tahun 2013-2019.

Laju adopsi inovasi pada tahapan decision, berarti proses guru Madrasah Ibtidaiyah memutuskan terlibat pada kegiatan yang mengarah pada pilihan, yang mengarah pada penolakan penolakan, berniat mencari informasi tambahan, berniat mencoba mempraktekan, dan atau memutuskan tidak melanjutkan mengadopsi inovasi pembelajaran tematik di tahun 2013-2019. Laju adopsi inovasi pada tahapan implementation, berarti proses guru Madrasah Ibtidaiyah telah menggunakan, fokus melatih diri, terus menambah informasi, reguler menggunakan, terus menerus menggunakan, dan memodifikasi penggunaanpembelajaran tematik di tahun 2013-2019.

Dan laju adopsi inovasi pada tahapan confirmation berarti proses guru Madrasah Ibtidaiyah mengakui manfaat, dijadikan sebagai

atau menghentikan mengadopsi, menggantikan dengan yang lebih baik, serta menolak melanjutkan karena merasa tidak puas terhadap pembelajaran tematik di tahun 2013-2019.

C. Laju Adopsi Inovasi di Madrasah Ibtidaiyah

Laju adopsi inovasi pembelajaran tematik dalam proses difusi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidayah Tangerang Selatan yang berlangsung dalam rentang waktu 2013-2019 sebagaimana data hasil penelitian di atas sebagai berikut:

Tabel 7. 16 Laju Adopsi Inovasi di Madrasah Ibtidaiyah

NO

Tahun Adopsi Inovasi

Persentase Laju Adopsi Inovasi Pembelajaran Tematik

MI MIN MIS

1 2013 6 22 6

2 2014 9 9 10

3 2015 12 16 12

4 2016 18 11 19

5 2017 16 10 16

6 2018 18 11 18

7 2019 14 13 12

8 NONE 7 9 8

Berdasarkan table 7.16 di atas diketahui bahwa laju adopsi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah baik Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta berlangsung dari tahun 2013-2019. Pada tahun 2013 di Madrasah Ibtidaiyah laju adopsi

inovasi pembelajaran tematik terdiri dari enam persen, di Madrasah ibtidayah Negeri 22 % dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta terdapat enam persen. Pada tahun 2014 laju adopsi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah terdiri dari Sembilan persen, di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sembilan persen, dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah 10 persen. Pada tahun 2015 di Madrasah Ibtidaiyah terdiri dari 12 %, di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 16 % dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah 12 %. Pada tahun 2016 di Madrasah Ibtidaiyah adalah 18%, di Madrasah Ibtidaiya Negeri 11%, dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah 19 %. Pada tahun 2017 di Madrasah Ibtidaiya 16%, di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 10%, dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah 16%. Pada tahun 2018 di Madrasah Ibtidaiyah 18%, di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 11% dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah 18%. Pada tahun 2019 di Madrasah Ibtidaiyah 14%, di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 13%, dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta adalah 12%. Dengan demikian yang Paling banyak laju adopsi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah adalah tahun 2006 dan tahun 2018, di Madrasah Ibtidaiyah Negeri paling banyak tahun 2013, dan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta paling banyak di tahun 2019.

Berdasarkan proses keputusan inovasi, laju adopsi inovasi yang berlangsung di tahun 2013-2019 di Madrasah Ibtidaiyah baik Madrasah Ibtidaiyah Negeri, dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta seperti data di atas sebagaimana tergambar pada table 4.39 berikut ini:

Tabel 7. 17 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2013 Satuan

Pendidikan

Persentase Proses Keputusan Inovasi

Knowledge Persuation Decision Implementation Confirmation

MI 10 7 4 4 3

MIN 34 26 24 21 13

MIS 11 6 5 4 1

Berdasarkan table 7.17 di atas diketahui pada tahun 2013 laju adopsi inovasi pada tahap knowledge 10 % di MI, 34% di MIN, dan 11% di MIS dalam berupaya mencari informasi untuk mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, memahami perlunya mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, menyetuji mengadopsi inovasi pembelajaran tematik dan mengetahui efektivitas mengadopsi inovasi pembelajaran tematik.

Pada tahap persuation diketahui terdapat tujuh persen di MI, 26% di MIN, enam persen di MIS yang pertamakali tertarik untuk mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, mendiskusikan untuk mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, menerima informasi untuk mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, membentuk citra positif terhadap inovasi pembelajaran tematik, mendapat dukungan kepala madrasah untuk mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, mendapat dukungan teman sejawat untuk mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, mendapat dukungan kelompok kerja madrasah dan mendapat dukungan kelompok kerja guru.

Pada tahap decision diketahui terdapat empat persen di MI, 24

% di MIN, dan lima persen di MIS yang pertamakali memutuskan terlibat pada kegiatan yang mengarah pada pilihan mengadopsi pembelajaran tematik, memutuskan berniat mencari informasi tambahan tentang inovasi pembelajaran tematik, dan memutuskan berniat untuk mencoba mempraktekan pembelajaran tematik

Pada tahap implementation diketahui empat persen di MI, 21

% di MIN, dan empat % di MIS pertamakali menggunakan pembelajaran tematik, focus melatih diri dalam penggunaan

pembelajaran tematik, terus menambah informasi tentang inovasi pembelajaran tematik, secara regular menggunakan inovasi

pembelajaran tematik, terus menambah informasi tentang inovasi pembelajaran tematik, secara regular menggunakan inovasi

Dalam dokumen DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK (Halaman 97-0)