• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses difusi inovasi di Madrasah Ibtidaiyah

Dalam dokumen DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK (Halaman 40-0)

BAB III DIFUSI INOVASI DALAM ORGANISASI

C. Proses difusi inovasi di Madrasah Ibtidaiyah

Proses inovasi pembelajaran tematik dalam organisasi maksudnya adalah proses inovasi pembelajaran tematik yang dimulai dan diprakarsai oleh organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rebuplik Indonesia selanjutnya dikomunikasikan kepada organisasi Kementerian Agama, Dinas Pendidikan Madrasah sampai dengan satuan Pendidikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah. Proses difusi inovasi dalam organisasi dijelaskan Rogers (2003) akan berlangsung melalui proses inisiasi dan implementasi. Proses inisiasi berarti as all of the information gathering, conceptualizing, and

planning for the adoption of an innovation, leading up to the decision to adopt (M. E. Rogers, 2003). Proses implementasi berarti consisting of all the events, actions, and decisions involved in putting an innovation into use (M. E. Rogers, 2003). Pada proses inisiasi terdiri dari tahapan agenda setting, dan matching. Pada proses implementation terdiri dari tahapan restructuring/redefining, clarifying dan routinzing. Proses inovasi tersebut bersifat simultan yang berarti tahap inisiasi secara eksplisit atau implisit dapat menentukan keberlangsungan dari proses implementasi suatu inovasi.

Hal ini terbukti pada hasil penelitian di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan sebagaimana digambarkan pada table 4.3 sebagai berikut:

Tabel 3. 1 Proses Inovasi Pembelajaran Tematik dalam Organisasi

Satuan Pendidikan

Proses Inovasi Pembelajaran Tematik dalam Organisasi

Inisiation Implementation

Agenda

Setting Matching Restructuring/

Redefining Clarifying Routinizing Madrasah

Ibtidaiyah 4.18 4.18 4.23 4.12 4.00

Rata-rata 4.18 4.12

Total

rata-rata 4.15

Berdasarkan table 3.1 di atas diketahui bahwa rata-rata di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan menyatakan setuju dengan skor rata-rata 4.18 terhadap inisiasi inovasi pembelajaran tematik dari rata-rata setuju melakukan upaya agenda setting dengan skor 4.18 , dan setuju terhadap upaya matching inovasi pembelajaran tematik dengan skor 4.18. Keberlangsungan inisiasi tersebut mendorong proses inovasi pada tahap implementasi yang dinyatakan rata-rata setuju dengan perolehan skor rata-rata 4.12 dari rata-rata anggota organisasi menyatakan setuju melakukan upaya restructuring/redefining dengan skor 4.23, clarifying dengan skor 4.12 dan routinizing dengan skor 4.00 terhadap inovasi pembelajaran tematik. Dengan demikian rata-rata anggota organiasi pada satuan Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan menyatakan setuju dengan perolehan skor total rata-rata adalah 4.15 terhadap proses difusi inovasi pembelajaran tematik. Proses difusi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah ibtidaiyah Tangerang Selatan

dilakukan dengan dilakukannya upaya inisiasi dan implementasi secara organisasi terhadap inovasi pembelajaran tematik.

Dalam upaya inisiasi terhadap inovasi pembelajaran tematik yang dilakukan di Madrasah Ibtidiayah Tangerang Selatan berlangsung dengan proses agenda setting yang dilakukan melalui upaya identifikasi perlunya mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, melakukan analisis keunggulan inovasi pembelajaran tematik yang sesuai dengan kebutuhan sekolah, mengidentifikasi kelemahan inovasi pembelajaran tematik, mengidentifikasi peluang penerapan inovasi pembelajaran tematik, dan mengidentifikasi dampak positif penerapan inovasi pembelajaran tematik. Proses genda setting merupakan permulaan penting dalam urutan proses inovasi, karena disinilah motivasi awal dihasilkan untuk mendorong langkah-langkah selanjutnya dalam proses inovasi, demikan ini yang ditegaskan oleh (E. M. Rogers, 2003) bahwa setting the agenda for innovation in an organization is tremendously powerful. Pada tahap agenda setting, satu atau lebih individu dalam suatu organisasi mengidentifikasi masalah penting dan kemudian mengidentifikasi inovasi sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut (M. E. Rogers, 2003).

Tindakan agenda setting terhadap inovasi pembelajaran tematik yang telah dilakukan di Madrasah Ibtadaiyah Tangerang Selatan menggambarkan performance gap, personal confrontation, a shock to the organization, dan an opportunistic surveillance terhadap masalah yang dihadapi dengan kebutuhan inovasi pembelajaran tematik. Performance gap berarti perbedaan antara expectation’s organizations dan actual performance atau perbedaan antara cara anggota organisasi memandang kinerjanya, dibandingkan dengan yang mereka rasa seharusnya, menjadi pendorong yang kuat dalam mencari informasi tentang inovasi pembelajaran tematik. Tindakan ini dibenarkan E. M. Rogers (2003) dalam generalisasinya (10-4) bahwa

a performance gap can trigger the innovation process. Hal ini pula yang dapat menjelaskan alasan kuat anggota organisasi memandang perlu mengadopsi inovasi pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik dipersepsikan sebagai inovasi yang dirasa seharusnya perlu diadopsi karena pengalaman pembelajaran yang berlangsung sebelumnya selama kinerja mengajar dirasakan belum memenuhi harapan untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas bagi peningkatan kompetensi peserta didik apalagi dengan tuntutan pembelajaran abad 21 sehingga dengan penerapan pembelajaran tematik dipandang dapat memenuhi harapan organisasi untuk mewujudkan proses pembelajaran berorientasi pada pencapaian kompetensi higher order thninking yang meliputi critical thingking and problem solving, collaborative learning, dan creative learning dari peserta didik.

Disamping itu, agenda setting inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dapat dipandang sebagai personal confrontation yang menempatkan inovasi pembelajaran sebagai kebutuhan yang dapat membantu menyelesaikan masalah pembelajaran yang dihadapi oleh anggota organisasi pada satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah. Hasil penelitian rata-rata seperti tabel 4.21 di atas menyetujui bahwa inovasi pembelajaran tematik memiliki keunggulan, dan dampak positif yang dapat menyelesaikan masalah dalam pembelajaran, hal ini berarti bahwa inovasi pembelajaran tematik membantu menyelesaikan masalah pembelajaran diantaranya masalah terkait dengan pencapaian kompetensi, masalah aktivitas belajar, dan masalah peran serta pendidik dalam proses pembelajaran. Inovasi pembelajaran tematik dipandang oleh guru di Madarasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dapat menyelesaikan masalah pencapaian kompetensi. Masalah pencapaian kompetensi terletak pada ranah yang hendak dicapai dalam

pembelajaran yang semula hanya berupaya untuk mencapai kompetensi pada pengetahuan saja, dengan pembelajaran tematik yang mengutamakan proses mendorong pencapaian kompetensi secara integratif yang meliputi kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Pada penyelesaian masalah aktivitas belajar, inovasi pembelajaran tematik dipandang dapat menyelesaikan masalah yang terkait dengan aktivitas belajar, karena dalam pembelajaran tematik sebagai pembelajaran yang berbasis pada proses dengan menggunakan proses saintifik sehingga menjadi trigger bagi peserta didik untuk dapat terlibat aktif dalam belajar. Pada masalah peran pendidik dalam pembelajaran, inovasi pembelajaran tematik dipandang dapat mengoptimalkan peran pendidik dalam melaksanankan tugas profesionalnya yaitu mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai dan mengevaluasi, hal ini karena pendidik dalam pembelajaran tematik mengubah status peran sebagai guru mata pelajaran menjadi peran sebagai guru kelas .

Proses agenda setting pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dapat juga dinyatakan sebagai a shock to the organization, atau kejutan bagi satuan pendidikan Madarsah ibtidaiyah Tangerang Selatan dengan adanya inovasi pembelajaran tematik, dapat disebut sebagai kejutan karena pembelajaran tematik merupakan inovasi yang dikembangkan secara authority yang kemudian harus diterapkan di Madrasah Ibtidayah Tangerang Selatan sejak kurikulum 2013 di impelementasikan, ketika sebagai sebuah kejuatan maka tentu saja akan menjadi perhatian bagi anggota organisasi satuan pendidikan untuk mempelajarinya, hal ini seperti yang disimpulkan oleh The Minnesota Innovation Research Program yang menjelaskan bahwa in most cases a shock to the organization reached a threshold of attention and led to action by the organization’s participants. Hal ini pula yang mendorong anggota

organisasi pada satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah mencari informasi terkait dengan inovasi pembelajaran tematik secara mandiri atau secara kolektif yang berkaitan dengan inovasi pembelajaran tematik dan bahkan setelah mendapatkan surat edaran dari dinas pendidikan madrasah Tangerang Selatan dan keputusan Kementerian pendidikan Agama tentang penerapan inovasi pembelajaran tematik, sehingga peluang untuk mengidentifikasi inovasi pembelajaran tematik sebagai inovasi yang dapat mengatasi masalah menjadi relatif kecil karena anggota organisasi mulai dengan solusi yang diinginkan, ada kemungkinan besar bahwa inovasi tersebut akan cocok dengan beberapa masalah yang dihadapi oleh organisasi. Akibatnya, sebagian besar anggota organisasi terus mencari informasi inovasi pembelajaran tematik dan mencocokkan inovasi tersebut yang menjanjikan dengan salah satu masalah mereka yang relevan .

Disamping itu, proses agenda setting pembelajaran tematik di Madrasah Ibitidaiyah Tangerang Selatan dapat pandang sebagai an opportunistic surveillance, atau pengawasan oportunistik dengan memindai lingkungan untuk ide-ide baru yang mungkin menguntungkan organisasi, hal ini berarti Madrasah Ibtidaiyah mengikuti perkembangan yang terjadi pada lingkungannya tidak melakukan kajian mendalam terhadap relevansinya dengan masalah belajar yang sedang dihadapi, jadi Madrasah Ibtidayah melakukan kajian mendalam terhadap inovasi pembelajaran tematik dikarenakan mengikuti kelompok kerja Madrasah Ibtidaiyah yang mengharuskan menerapkan inovasi pembelajaran tematik, jadi jika melakukan kajian terhadap inovasi pembelajaran tematik secara kelompok yang dikoordinasikan oleh kelompok kerja Madrasah atau oleh dinas pendidikan Madrasah. Kenyataan ini dijelaskan pula oleh March (E.

M. Rogers, 2003) most organizations engage in an opportunistic

surveillance by scanning the environement for new ideas that might benefit the organization.

Setelah diketahui proses agenda setting inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidiyah, pada tahap selanjutnya adalah proses matching inovasi pembelajaran tematik. Proses macthing ini termasuk hal yang penting dalam proses inovasi karena mencocokkan inovasi dengan kebutuhan organisasi adalah kunci untuk memastikan bahwa ide baru tersebut dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Proses matching berarti tahapan proses inovasi ketika masalah dari agenda organisasi disesuaikan dengan suatu inovasi (fit with an innovation) (M. E. Rogers, 2003). Proses penyesuaian masalah agenda organisasi dengan kebutuhan inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dilakukan dengan terencana (planned) dan dirancang (designed). Dalam hal ini anggota organisasi melakukan upaya penyesuaian secara konsep atau conceptual matching dengan kebutuhan penyelesaian masalah yang dihadapi Madrasah Ibtidaiyah, secara konseptual inovasi pembelajaran tematik feasible dengan kebutuhan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan sebagaiman hasil penelitian rata-rata anggota setuju bahwa anggota organisasi pada satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan menyatakan penerapan pembelajaran tematik cocok dengan masalah belajar yang dibutuhkan sekolah, namun demikan secara realitas masih terdapat masalah yang timbul dari penerapan pembelajaran tematik. Pada realitasnya ditemukan terdapat ketidak sesuaian konsep pembelajaran tematik dengan realitasnya yang berarti masih terdapat kendala teknis dalam penerapan pembelajaran tematik yang tidak seusai dengan harapan konsepnya misalnya proses pembelajarannya yang masih kental dengan identitas mata pelajaran, penilaian yang kembali kepada mata pelajaran serta kedalaman kompetensi yang dicapai dirasakan kurang

mendalam. Namun demikian, proses matching conceptual dengan realitasnya yang dilakukan secara berkelanjutan melalui kegiatan pelatihan dan penggunaan panduan pembelajaran tematik serta dukungan dari sistem organisasi madrasah Ibtidayah yang terdiri dari kelompok kerja Madrasah Ibtidaiyah mendorong terbentuknya the matching decision yang telah mendorong anggota organisasi pada satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah mengadopsi inovasi pembelajaran tematik dan hal ini menjadi titik balik proses inisasi dan implementasi sehingga di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan telah memutuskan untuk menerapkan inovasi pembelajaran tematik .

Proses inisiasi terhadap inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan telah menjadi titik balik diterapkannya pembelajaran tematik. Penerapan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan sebagaimana prosesnya mengacu pada teori M. E. Rogers (2003) yaitu terjadi restrukturisasi/redefinisi inovasi pembelajaran tematik dengan melakukan reinvensi inovasi pembelajaran tematik untuk mengakomodasi kebutuhan dan struktur organisasi lebih dekat, dan struktur organisasi dimodifikasi agar sesuai dengan inovasi pembelajaran tematik hal ini sebagai dinyatakan bahwa Madrasah Ibtidaiyah rata-rata setuju melakukan penyediaan fasilitas penerapan pembelajaran tematik, perubahan struktur pengajar, modifikasi perencanaan pembelajaran disesuaikan kebutuhan sekolah, melakukan variasi pembelajaran tematik, perubahan penilaian pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan implementasi pembelajaran tematik. Hasil ini menegaskan bahwa inovasi pembelajaran tematik telah tertanam sebagai bagian dari agenda kegiatan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan.

Pada proses ini inovasi dinyatakan mengalami perubahan implementasi misalnya guru melakukan pengembangan kedalaman

materi dari buku tematik yang digunakan, menggunakan pengayaan terhadap muatan kajian mata pelajaran tertentu. Disamping itu secara struktural perubahan peran juga terjadi dengan implementasi inovasi pembelajaran tematik yaitu lahirnya peran guru kelas di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan. Hal ini terjadi untuk menyesuaikan implementasi pembelajaran yang menghendaki peran guru kelas dalam implementasinya. Kenyataan ini disebut M. E. Rogers (2003) sebagai mutual adaptation of the inovation and the organization (adaptasi timbal balik antara inovasi dan organisasi). Adaptasi timbal balik ini terjadi karena inovasi hampir tidak pernah cocok dengan sempurna dalam organisasi tempat ia akan tertanam. Tingkat aktivitas kreatif yang adil diperlukan untuk menghindari — atau mengatasi — ketidaksesuaian yang terjadi antara inovasi dan organisasi yang mengadopsinya. Demikian juga dalam generalisasi (M. E. Rogers, 2003) bahwa both the innovation and the organization usually change in the innovation process in an organization (10-5); baik inovasi maupun organisasi biasanya berubah dalam proses inovasi dalam suatu organisasi. Perubahan struktur pengajar yang ditimbulkan akibat implementasi pembelajaran tematik di Madrasah ibtidaiyah termasuk perubahan sifatnya incremental innovation bukan sebagai radical innovation yang memungkinkan antara inovasi dan organisasi terjadi penyesuaian sehingga menjadi inovasi pembelajaran tematik dapat diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah, implementasi pembelajaran tematik tetap ada yang menggunakan sistem team teaching dalam satu kelas melibatkan guru memiliki kapasitas khusus pada bidang mata pelajaran tertentu.

Implementasi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang dapat disebut sebagai external mandate, karena inovasi pembelajaran tematik datang dari luar organisasi satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah yang berada dibawah naungan

kementerian Agama, sementara itu inovasi pembelajaran tematik lahir dari kementerian pendidikan dan kebudayaan yang menjadi naungan bagi satuan pendidikan sekolah dasar, oleh karena itu penerapanya mengalami perubahan sesuai dengan kondisi madarasah ibtidaiyah sebagai adopter yang tetap diberikan peluang untu melakukan kreativitas dalam implementasinya, diantara kreativitasnya adalah memberikan pengayaan terhadap muatan materi yang terdapat dalam buku tematik dengan menggunakan buku mata pelajaran yang relevan.

Proses tersebut bisa juga disebut dengan social constructionism, yang berarti persepsi masalah organisasi dan inovasi bersatu dan masing-masing dimodifikasi dalam proses tersebut. Jika inovasi datang dari dalam organisasi, individu menganggapnya familiar dan kompatibel dan karenanya lebih mudah untuk memberi makna pada ide baru.

Ketika inovasi memasuki organisasi dari sumber eksternal tetapi bentuk pasti yang dibutuhkannya fleksibel dan banyak reinvensi terjadi, maka peserta organisasi dapat menganggap ide baru itu sebagai milik mereka (Dibra, 2015).

Pada proses clarifying inovasi pembelajaran tematik tejadi di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan karena telah diguanakan secara lebih luas pada satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah yang dimulai dari kelas rendah sampai dengan kelas tinggi, sehingga makna inovasi pembelajaran tematik secara bertahap menjadi lebih jelas bagi anggota organisasi. Kejelasan ini ditunjukkan pada hasil rata-rata guru setuju bahwa Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan melakukan perubahan jadwal yang disesuaikan dengan kebutuhan penerapan pembelajaran tematik, berparsitiasi aktif dalam penerapan pembelajaran tematik, terfasilitasi ruang interaksi dengan yang lainnya dalam mengkonstruksi pembelajaran tematik, diberikan kesempatan untuk mendalami inovasi pembelajaran tematik, berinteraksi antara yang sudah dan belum mengimplementasikan

inovasi pembelajaran tematik, dan dibiarkan untuk membicarakan implementasi inovasi pembelajaran tematik, demikian ini pula yang ditegaskan oleh (Sasaki, 2018) bahwa proses klarifikasi inovasi pembelajaran tematik dibentuk dari konstruksi sosial. Ketika sebuah ide baru pertama kali diterapkan dalam sebuah organisasi, itu hanya memiliki sedikit arti bagi anggota organisasi dan dikelilingi oleh ketidakpastian. namun apabila inovasi telah diterapkan dalam proses yang panjang maka makna inovasi dikonstruksi sepanjang waktu melalui proses interaksi sosial manusia.

Proses routinzing inovasi berarti sebuah inovasi telah dimasukkan ke dalam kegiatan reguler organisasi dan telah kehilangan identitasnya yang terpisah. Salah satu faktor penting dalam menjelaskan sejauh mana inovasi dipertahankan oleh organisasi adalah partisipasi, yang didefinisikan sebagai sejauh mana anggota organisasi terlibat dalam proses inovasi (Green, 1986). Demikan inilah yang terjadi di di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan bahwa terhada inovasi pembelajaran tematik rata-rata setuju telah secara regular mengimplementasikan inovasi pembelajaran tematik, setuju menghilangkan sebagian besar identitas mata pelajaran dalam implementasi pembelajaran tematik, berpartisipasi aktif mendiskusikan penerapan pembelajaran tematik, berpartisipasi aktif mendesain pelaksanaan pembelajaran tematik, berpartisipasi aktif dalam implementasi pembelajaran tematik, diberikan kebebasan dalam melanjutkan penerapan pembelajaran tematik, secara terus menerus menerapkan pembelajaran tematik, secara bersama-sama meneruskan penerapan pembelajaran tematik. Demikian pula yang ditegaskan oleh (E. M. Rogers, 2003) bahwa anggota organisasi berpartisipasi dalam merancang, mendiskusikan, dan menerapkan inovasi pembelajaran tematik, keberlanjutannya dari waktu ke waktu lebih mungkin terjadi. Jika keputusan inovasi adalah keputusan

otoritas, dengan hanya satu atau beberapa individu kuat yang terlibat, dan jika otoritas ini kebetulan meninggalkan organisasi, keberlanjutan inovasi berada dalam risiko. Keputusan inovasi kolektif biasanya memiliki keberlanjutan yang lebih besar daripada keputusan inovasi otoritas, karena partisipasi yang lebih luas di dalamnya, dukungan kepala Madrasah dalam implementasi pembelajaran tematik serta manfaat besar yang ditimbulkan dari pembelajaran tematik bagi siswa Madrasah Ibtidaiyah .

BAB IV

ATRIBUTE INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK

Maksud dari inovasi individual adalah proses difusi inovasi yang dilakukan individu yang secara bebas atau sukarela menyebarluaskan kepada orang lain atau juga individu tersebut bebas memutuskan menerima atau menolak suatu inovasi tanpa paksaan yang meskipun bisa jadi pengetahuan dan ketertarikannya terhadap suatu inovasi diperoleh dari organisasi. Dalam penelitian ini guru secara individu memiliki kebebasan untuk mempromosikan inovasi pembelajaran tematik kepada orang lain, memutuskan menerima atau menolak mengimplementasikan inovasi pembelajaran tematik meskipun pengetahuan dan ketertarikannya terhadap inovasi pembelajaran tematik diperoleh dari organisasi. Dalam proses difusi inovasi individual pada pembelajaran tematik dapat berlangsung dalam proses memberikan persepsi terhdap atribut invovasi, communication channels yang digunakan, peran change agent, dan laju adopsi inovasi pembelajaran tematik sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

A. Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik

Proses difusi inovasi pembelajaran tematik dapat segera diadopsi oleh guru apabila inovasi tersebut sesuai dengan kebutuhan guru dalam melaksanakan pembelajaran atau dapat menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh guru sebagai individu dalam

melaksanakan pembelajaran tematik. Rogers (2003) mengidentifikasi lima atribut suatu difusi inovasi yang menjelaskan tentang alasan seseorang mengadopsi suatu inovasi yaitu: a) relative advantage, b) compatibility, c) complexity, d) triability, ande) observability. Dengan demikian, atribut inovasi pembelajaran tematik adalah proses difusi inovasi secara individual yang dipersepsikan memiliki karakteristik relative advantage, compatibility, complexity, triability, dan observability. Untuk lebih jelasnya mengenai atribut inovasi pembelajaran tematik adalah diuraikan sebagai berikut:

1. Relative Advantage

Atribus inovasi relative Advantage adalah tingkat keterterimaan suatu inovasi yang didasarkan pada keuntungan ekonomi, pengakuan sosial dan atau kepuasan pengguna suatu inovasi.

Shea & Pickett, (2005) menjelaskan bahwa relative Advantage mengacu pada sejauh mana pengadopsi memandang inovasi untuk mewakili peningkatan efisiensi atau efektivitas dibandingkan dengan metode yang ada. Dibra, (2015) yang mengutip pendapat Robinson menjelaskan bahwa relative Advantage dapat berupa finansial atau non-finansial. Luasnya keuntungan dapat diukur dari segi ekonomi, prestise sosial, kenyamanan, dan kesenangan. Namun, tidak ada aturan mutlak tentang siapa yang termasuk dalam keuntungan relatif. Itu tergantung pada persepsi individu dan kebutuhan kelompok pengguna.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Sasaki (2018) menjelaskan bahwa relative advantage adalah berkaitan dengan apakah inovasi dianggap lebih baik daripada pendahulunya dalam hal ekonomi, prestise sosial, kenyamanan, dan kepuasan psikologis. Demikian pula yang disimpulkan oleh (Rusdiana, 2014) yaitu suatu tingkat keuntungan atau manfaat suatu inovasi dapat diukur berdasarkan nilai ekonomi atau faktor status sosial, kesenangan, kepuasan, atau karena

mempunyai komponen yang sangat penting. Semakin menguntungkan bagi penerima, semakin cepat tersebarnya inovasi..

Oleh karena itu, suatu inovasi dapat memiliki atribut relative advantage sangat positif untuk dapat diterima oleh suatu sistem sosial.

Dalam kesimpulan Rogers (2003) the relative advantage of an innovation, as perceived by members of a social system, is positively related to its rate of adoption (Generalization 6-1) artinya bahwa jika suatu inovasi memilik banyak keuntungan dan bermanfaat, maka dengan mudah dapat diterima oleh anggota dari suatu sistem sosial dalam hal ini adalah sistem sosial.

Kebermanfaatan suatu inovasi dapat dilihat dari tiga faktor yaitu manfaat ekonomi, sosial dan disukai (Kristiawan & Et.al, 2018).

Pada faktor ekonomi, bahwa suatu inovasi dapat dengan cepat diterima suatu sistem sosial apabila dapat memberikan keuntungan ekonomis, baik itu menguntungkan ataupun memiliki tingkat ekonomi yang rendah dari daya beli suatu sistem sosial sebagai sasaran suatu inovasi. Pada faktor sosial, bahwa suatu inovasi dapat dengan cepat diadopsi apabila dengan penggunaannya dapat meningkatkan status sosial seseorang, sehingga motivasi dari para pengadopsi suatu inovasi didasarkan pada keingingan untuk meningkatkan status sosialnnya.

Motivasi peningkatan status sosial dalam adopsi inovasi ini penting untuk kelompok pengadopsi inovators, early adopters, dan early majority, tetapi tidak berpengaruh untuk kelompok late majority, dan laggard.

Disamping itu, kebermanfaatan suatu inovasi yang mendorong seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi adalah karena overadoption dan rasionalitasnya. Pada aspek overadoption ini bahwa suatu inovasi diadopsi karena memang inovasi tersebut harus diadopsi, apabila tidak diadopsi dapat berdampak pada penolakan

diadopsi oleh seseorang karena apabila inovasi tersebut dapat mudah dimengerti atau rasional. Termasuk dalam relative advantage adalah faktor preventive innovation yaitu suatu alasan sesorang menerima suatu inovasi dikarenakan memperkirakan keuntungan yang akan diperoleh setelah penerapan suatu inovasi meskipun keuntungan

diadopsi oleh seseorang karena apabila inovasi tersebut dapat mudah dimengerti atau rasional. Termasuk dalam relative advantage adalah faktor preventive innovation yaitu suatu alasan sesorang menerima suatu inovasi dikarenakan memperkirakan keuntungan yang akan diperoleh setelah penerapan suatu inovasi meskipun keuntungan

Dalam dokumen DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK (Halaman 40-0)