• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DIFUSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DIFUSI INOVASI

PEMBELAJARAN TEMATIK

Oleh

Asep Ediana Latip Atwi Suparman

Nadiroh

UNJPRESS

(3)

© Asep Ediana Latip, Atwi Suparman, Nadiroh, UNJ Press, 2021

Penulis:

Asep Ediana Latip Atwi Suparman Nadiroh

Cetakan Pertama, Juni 2021 ix + 136 halaman

ISBN: 978-623-7518-71-6

UNJPRESS

UNJ PRESS

Gedung Rektorat Lantai 1, Kampus A UNJ

Jalan Rawamangun Muka, Rawamangun, Pulo Gadung, Jakarta Timur, 13220

UNJ Press telah menjadi anggota :

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) No. Anggota: 001.126.1.10.2020

Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) No. 585/Anggota Luar Biasa/DKI/2020

(4)

Kata Pengantar

Alhamdulillah, bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan Allah Swt dengan dapat menyelesaikan buku ini.

Sholawat dan salam semoga selamanya terlimpah curah kepada Rasulullah, Saw., Nabi Muhammad SAW. Dan semoga keberkahannya melimpah untuk keluarga, sahabat, dan tabiin serta kita semua yang selalu patuh terhadap ajarannya. Amiiin !

Judul buku ini adalah “Difusi Inovasi Pembelajaran Tematik (Studi Difusi Inovasi Pembelajaran Tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan Tahun 2013-2019”). Buku ini merupakan hasil penelitian sebagai sebuah disertasi yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan proses difusi inovasi pembelajaran tematik. Buku ini ditulis dipersyaratkan sebagai persiapan ujian disertasi pada tahap tertutup dengan kata lain sudah lulus tahap ujian kelayakan dengan dewan penguji Prof. Dr. Muhaamad Syarif Sumantri, M.Pd (Ketua Penguji), Prof. Dr. Atwi Suparman, M.Sc (Penguji Promotor), Prof.

Dr. Nadiroh, M.Pd (Penguji co Promotor), Prof. Dr. Jafar, M.Pd (Penguji Internal 1), Prof. Dr. Arita Marini, M.Pd (Penguji Internal 2) dan Prof. Dr. Suciani, M.Pd (Penguji Eksternal).

Terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan support atas selesainya buku ini terutama Prof. Atwi Suparman, M.Pd, sebagai promotor, Prof. Dr. Nadiroh, M.Pd sebagai co-promotor juga sekaligus sebagai direktur pascasarjana UNJ, Prof.

Dr. Zulela, MS., M.Pd sebagai koordinator program studi pendidikan dasar, Prof. Dr. Muhammad Syarif Sumantri, M.Pd wakil direktur Sekolah Pascasarjan UNJ dan juga koordinator Program Studi Pendidikan Dasar periode 2018-2019, dan yang lainnya semoga kebaikannya menjadi ‘amal jariyah serta ilmunya bermanfaat dan

(5)

berkah selalu. Disamping itu, disampaikan terimakasih juga kepada seluruh mitra penelitian ini yang terdapat di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan baik itu yang yang berada diwilayah Ciputat, Ciputan Timur, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren yang telah memberikan support data untuk suksesnya penelitian ini.

Special thanks, teruntuk istri tercinta, Yusi Sofiyah, S.Kep, Ners,. M. Kep, Ners. yang selalu memberikan semua kesempatannya untuk membantu menyelesaikan buku hasil penelitian ini semoga selalu dilindungi dan sehat selalu, begitu pula yang selalu ikut meramaikan dan menghidupkan suasana penulisan buku ini adalah ananda Reyhanda Vattan El Ameen, dan si kecil Zayyandra Zakhir EL Hameed semoga sehat selalu dan selalu sehat serta terus belajar dan belajar terus tanpa henti, Amiiin.

Tak ada gading yang tak retak, betapapun dapat diselesaikan buku hasil penelitian disertasi ini, namun tidak berarti bahwa ini sudah paripurna, karena itu apabila ditemukan kesalahan dalam setiap lembaranya itu bagian dari kekeliruan yang muncul sebagai human error, namun demikian semoga saja setiap kekeliruan menjadi pintu interaktif antara pembaca dan peneliti untuk mempermbaiki secara terus terhadap proses penelitian yang telah dilakukan ini.

Penulis

Asep Ediana Latip

(6)

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... ii

DAFTAR ISI ... iv

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK ... 6

A. Pengertian Inovasi ... 6

B. Pembelajaran Tematik Sebagai Inovasi ... 10

BAB III DIFUSI INOVASI DALAM ORGANISASI ... 17

A. Konsep Difusi Inovasi ... 17

B. Tahapan Difusi Inovasi Dalam Organisasi ... 20

1. Tahapan Inisiasi Inovasi Pembelajaran Tematik ... 21

2. Tahapan Implementasi Inovasi Pembelajaran Tematik .... 24

C. Proses difusi inovasi di Madrasah Ibtidaiyah ... 28

BAB IV ATRIBUTE INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK ... 41

A. Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik ... 41

1. Relative Advantage ... 42

2. Compatibility ... 45

3. Complexity ... 47

4. Trialability ... 49

(7)

5. Observability ... 50

B. Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik di Madrasah Ibtidaiyah ... 52

BAB V COMMUNICATION CHANNELS INOVASI ... 59

A. Konsep Communication Channels ... 59

B. Communication Channels dalam Proses Keputusan Inovasi 62 C. Communication Channels Di Madrasah Ibtidaiyah ... 69

1. Tahap Knowledge ... 71

2. Tahap Persuation... 72

3. Tahap Decision ... 74

4. Tahap Implementation ... 75

5. Tahap Confirmation ... 77

BAB VI CHANGE AGENT INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK ... 79

A. Peran Change Agent ... 79

1. To develop a need for change. ... 79

2. To establish an information exchange relationship. ... 79

3. To diagnose problems. ... 80

4. To create an intent to change in the client. ... 80

5. To translate an intent into action. ... 81

6. To stabilize adoption and prevent discontinuance. ... 81

7. To achieve a terminal relationship. ... 81

B. Faktor Kesuksesan Peran Change Agent ... 82

C. Peran Change Agent di Madrasah Ibtidaiyah ... 85

BAB VII LAJU ADOPSI INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK ... 98

(8)

vi

A. Dimensi Waktu dalam Laju Adopsi Inovasi ... 98

B. Peranan Waktu dalam Proses Keputusan Inovasi ... 100

C. Laju Adopsi Inovasi di Madrasah Ibtidaiyah ... 104

BAB VIII KESIMPULAN ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124

(9)
(10)

Daftar Tabel

Tabel 3. 1 Proses Inovasi Pembelajaran Tematik dalam Organisasi 30

Tabel 4. 2 Variabel Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik ... 52

Tabel 5. 3 Communication Channels Inovasi Pembelajaran Tematik ... 69

Tabel 5. 4 Communication Channel Pada Tahap Knowledge ... 71

Tabel 5. 5 Communication Channels pada Tahap Persuation ... 73

Tabel 5. 6 Communication Channels pada Tahap Decision ... 74

Tabel 5. 7 Communication Channels pada Tahap Implementation .. 75

Tabel 5. 8 Communication Channels Pada Tahap Confirmation ... 77

Tabel 6. 9 Change Agent Inovasi Pembelajaran Tematik ... 86

Tabel 6. 10 Peran 1 Change Agent di Madrasah Ibitidayah ... 87

Tabel 6. 11 Peran 2 Change Agent di Madrasah Ibitidayah ... 88

Tabel 6. 12 Peran 3 Change Agent di Madrasah Ibitidayah ... 89

Tabel 6. 13 Peran 4 Change Agent di Madrasah Ibitidayah ... 90

Tabel 6. 14 Peran 5 Change Agent di Madrasah Ibitidayah ... 91

Tabel 6. 15 Peran 7 Change Agent di Madrasah Ibitidayah ... 93

Tabel 7. 16 Laju Adopsi Inovasi di Madrasah Ibtidaiyah ... 104

Tabel 7. 17 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2013 ... 105

Tabel 7. 18 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2014 ... 107

Tabel 7. 19 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2015 ... 110

Tabel 7. 20 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2016 ... 112

(11)

Tabel 7. 21 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2017 ... 114

Tabel 7. 22 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2018 ... 116

Tabel 7.23 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2019 ... 118

Daftar Gambar

Gambar 7. 1 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2014 ... 107

Gambar 7. 2 Laju Adopsi Inovasi tahun 2014 ... 109

Gambar 7.3 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2015 ... 111

Gambar 7.4 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2016 ... 113

Gambar 7.5 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2017 ... 115

Gambar 7.6 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2018 ... 118

Gambar 7. 7 Laju Adopsi Inovasi Tahun 2019 ... 120

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

Terdapat banyak inovasi dalam pendidikan seiring kemajuan teknologi sehingga muncul istilah technological pedagogical content knowledge (TPACK) (Shulman, 2003) yaitu sebuah inovasi integrasi pendidikan dengan pemanfaatan teknologi, sehingga banyak proses pendidikan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi diantaranya proses pembelajaran dengan blended learning, tentu saja inovasi ini dimaksudkan untuk mencapai kompetensi dari peserta didik. Pada abad 21 ini disepakati bahwa kompetensi itu terdiri dari critical thingking and problem solving, communication skills, collaboration skills, dan creativity skills and innovation. Kompentensi ini kemudian disebut dalam kurikulum 2013 sebagai kompetensi higher order thingking skills. Untuk mencapai kompentensi tersebut dan yang sesuai dengan perkembangan peserta didik lahirlah inovasi pembelajaran tematik. Pada jenjang pendidikan dasar inovasi pembelajaran tematik diterapkan yang tujuannya untuk mencapai kompetensi yang appropriate of development; sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik (Kemendibud, 2015). Disamping itu, pembelajaran tematik sebagai inovasi yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berlandaskan pada filsafat humanisme, pregresivisme, rekonstructivisme, perenialisme, dan pedagogis yang relevan dengan karakteristik Pendidikan dasar, karakteristik psikologis peserta didik dan karakteristik sosio-budaya

(14)

Pembelajaran tematik (Fatonah & Prasetyo, 2013) sebagai suatu inovasi memiliki karakteristik bahwa 1) pembelajaran tematik dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keseimbangan soft skills dan hard skills peserta didik, 2) dalam pembelajaran tematik dilakukan penilaian secara terintegrasi dari proses dan hasil belajar, 3) pembelajaran tematik dilaksanakan dengan menerapkan beragam variasi strategi pembelajaran saintifik. 4) Pembelajaran tematik dilaksanakan untuk mendukung ketercapaian tujuan pendidikan nasional. 5) Pembelajaran tematik dilaksanakan untuk mencapai domain sikap, pengetahuan dan keterampilan secara terpadu, dan 6) Pembelajaran tematik berpegang teguh pada prinsip authentic learning, yang dikembangkan untuk mewujudkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan pencapaian hasil belajar higher order thinking skills.

Secara factual, berdasarkan hasil penelitian Chumdari dkk, 2018 terbit di IJRE Inovasi pembelajaran tematik berhasil dilaksanakan di sekolah dasar dalam rangka peningkatan hasil belajar, dan pengembangan karakter peserta didik (Chumdari et al., 2018).

Demikian juga hasil penelitian John yang publish pada International Journal of Higher Education Inovasi pembelajaran tematik sebagai pembelajaran yang efektif dalam mecapai kompetensi peserta didik (John, 2015).

Namun masalahnya bagi Madrasah Ibtidaiyah, Pembelajaran tematik sebagai inovasi external mandate atau inovasi yang datang dari luar organsiasi sendiri, hal ini dapat menimbulkan sikap resisten dan bahkan dapat menjadi barrier untuk bisa diterima, atau dibutuhkan upaya lebih keras untuk supaya inovasi pembelajaran tematik dapat diterima karena berarti inovasi disebarkan pada suatu sistem sosial yang heterophily (Nisbet & Collins, 1978, Rogers, 2013).

Sikap resisten bisa saja disebabkan oleh kualitas inovasi itu sendiri

(15)

yang tidak banyak memberikan keuntungan, bisa juga karena keputusan organisasi untuk tidak menerima suatu inovasi, bisa juga karena sulit memahami inovasi itu untuk diterapkan, bisa juga karena tidak memanfaatkan kelompok orang yang berpikiran inovatif, tidak mengenal kelompok orang yang bisa berperan sebagai change agent, tidak memanfaatkan kelompok orang yang memiliki opinion leader, tidak memanfaatkan sejumlah saluran komunikasi untuk supaya suatu inovasi dapat diterima. Demikian pula pada inovasi pembelajaran tematik bisa saja kemungkinan tersebut terjadi namun juga bisa tidak terjadi tergantung proses inovasi pembelajaran tematik disebarkan dan diterima oleh suatu system social tertentu.

Bagi suatu sistem social yang memilik power dalam mendifusikan suatu inovasi, sehingga proses adopsi menjadi besifat otoritatif. Dengan otoritas ini maka adopsi inovasi bagi sistem social dalam suatu organisasi tertentu dapat dengan mudah diterapkan (William, 1986). Difusi inovasi oleh suatu sistem social dalam suatu organsiasi biasanya dilakukan dengan cara menjadikan implementasi suatu inovasi tersebut sebagai suatu kebijakan organisasi (Komalasari, 2010). Dengan proses kebijakan ini tidak mungkin anggota organisasi yang berada dibawah koordinasinya tidak mengadopsinya, apalagi jika kebijakan inovatif tersebut disertai dengan pentujuk teknis pelaksanaan pembelajaran tematik.

Sebagaimana diketahui bahwa pembelajaran tematik sebagai inovasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seiring dengan implementasi kurikulum 2013. Hal ini berarti inovasi ini akan sangat mudah diterima untuk anggota system social yang berada dibawah naungan kementerian tersebut yakni Sekolah Dasar, karena bagi sekolah dasar pembelajaran tematik sebagai inovasi internal mandate yakni inovasi yang lahir dari dalam organisasi sendiri. Sementara itu, Madrasah Ibtidaiyah sebagai

(16)

lembaga dibawah organisasi Kementerian Agama dapat pula merespon inovasi pembelajaran tematik yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bagi Madrasah Ibtidaiyah pembelajaran tematik sebagai inovasi external mandate atau inovasi yang datang dari luar organisasi sendiri (Narti et al., 2016). Namun pada umumnya jika suatu inovasi itu datang dari luar organisasi dalam sistem pendidikan maka banyak yang bersikap resistens yang kuat untuk menerima suatu inovasi (Nisbet & Collins, 1978). Oleh karena itu diperlukan proses waktu dan tahapan berkelanjutan sebagai upaya ekstra agar Madrasah Ibtidaiyah dapat menerima atau mengimplmentasikan inovasi pembelajaran tematik.

Atas dasar itu, perlu dilakukan suatu kajian penelitian yang dapat mendeskripsikan implementasi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah. Kajian penelitian tersebut adalah penelitian difusi (diffussion research), yaitu suatu penelitian yang menggambarkan suatu inovasi yang dikomunikasikan dalam rentang waktu, dan sistem sosial tertentu (M. E. Rogers, 2003). Belum terdapat suatu hasil penelitian difusi inovasi pembelajaran tematik, namun terdapat banyak penelitian difusi inovasi selain pembelajaran tematik diantaranya difusi inovasi pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran PKn oleh Komalasari (2010), terdapat juga hasil penelitian difusi oleh Tayo Abass & Ayo (2012) tentang difusi inovasi teknologi di Sekolah Dasar Negeria, Difusi inovasi tentang pendidikan bahasa terintegrasi teknologi oleh Thayer (2013) dari Florida State University, dan William (1986) tentang implementasi inovasi IMPACT (Instructional Management by Parents. Community and Teachers) pada enam negara di Southeast ASIA yaitu Indonesia, Philiphine, Malaysia, Jamaica, Liberia, dan Bangladesh.

Penelitian difusi inovasi tersebut dapat mendeskripsikan suatu inovasi pada suatu wilayah tertentu, pun demikian kajian difusi

(17)

inovasi pembelajaran tematik dapat menjelaskan proses difusi inovasi pembelajaran tematik diterima oleh guru dari waktu ke waktu, persepsi guru Madrasah Ibtidaiyah terhadap pembelajaran tematik, laju adospi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan, proses difusi inovasi pembelajaran tematik, dan peran change agent dalam difusi inovasi pembelajaran tematik. Oleh karena itu difusi inovasi pembelajaran tematik sejak tahun 2013-2019 akan menjadi fokus penelitian ini agar dapat diperoleh suatu deskripsi empirik atas terdifusikannya inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi basis penelitian relevan untuk dilaksanakan penelitian difusi pada aspek yang sama diwilayah yang berberda.

(18)

BAB II

INOVASI PEMBELAJARAN TEMATIK

A. Pengertian Inovasi

Inovasi secara bahasa berasal dari bahasa latin yaitu novus yang berarti new atau baru, inovatio yang berarti novelty, change atau kebaruan, pembaharuan/perubahan, innovate, yang berarti to do something new atau yang berarti melakukan sesuatu yang baru (Lazar Stosic, 2013). Dengan demikian inovasi adalah sesuatu yang baru karena proses pembaharuan atau terjadi perubahan untuk proses improving, upgrading, modernization dan development.

Inovasi merupakan istilah yang menggambarkan tentang kebaruan suatu produk, gagasan, praktik, barang atau kejadian individu tertentu, meskipun tidak baru bagi individu yang lainnya.

Definisi ini didasarkan pada pendapat yang disampaikan Rogers (2003) yaitu An innovation is an idea, practice, or object that is perceived as new by an individual or other unit of adoption. Demikian pula yang disimpulkan oleh Lazar Stosic, (2013) yang mengutip pendapat LaPiere yang mendefinisikan inovasi dengan menekankan pada adanya gagasan baru. D. McClelland juga mengatakan bahwa inovasi adalah sesuatu yang baru atau berberda dari sebelumnya baik itu dari sisi waktu ataupun tempat tertentu. Pun demikian yang disimpulkan oleh Sa’ud (2013) bahwa inovasi adalah suatu ide, hal- hal praktis, metode, cara, barang buatan manusia, yang diamati atau dirasakan sebagai suatu yang baru bagi seseorang atau kelompok orang dalam suatu sistem sosial baik yang berupa hasil invensi atau

(19)

discovery yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah.

Kebaruan dalam suatu inovasi bersifat lokal, artinya hal yang baru dari satu tempat belum tentu baru bagi tempat lain. Bagi kelompok tertentu bisa jadi tidak merupakan inovasi, tetapi bagi kelompok lain merupakan inovasi. Sifat ini menggambarkan bahwa suatu inovasi kebaruannya ditentukan oleh sejauhmana upaya dari para inovator untuk mendifusikan suatu inovasi. Apabila berhasil didifusikan secara menyeluruh dalam satu wilayah negara kesatuan misalnya, berarti bisa dianggap hal tersebut merupakan inovasi bagi negara tertentu. Demikian pula dalam konteks inovasi dalam suatu lembaga pendidikan misalnya inovasi bagi madrasah tertentu belum tentu sebagai inovasi bagi madrasah lainnya. Oleh karena itu penting dalam suatu inovasi dilakukan penelusuran secara ilmiah terhadap proses difusi suatu inovasi dalam suatu sistem sosial sebagai penerima inovasi.

Lain halnya kebaruan dalam discovery dan invensi (Sa’ud, 2013). Kebaruan dalam discovery bukan karena diciptakan tetapi karena ditemukan, kemudian penemuan tersebut difusikan sebagai suatu inovasi. Berbeda halnya dengan invensi, kebaruannya diciptakan, bukan karena penemuan bukan pula karena bersifat lokal tetapi karena dibuat secara original yang menggambarkan sebelumnya belum terdapat suatu produk yang dijadikan bahan inovasi.

Terlepas perbedaan makna kebaruan dalam suatu inovasi, discovery dan invensi, tetap saja makna kebaruan melekat pada istilah inovasi, yang penting dari suatu inovasi adalah tentang mengkomunikasikannya. Suatu inovasi, discovery, dan invensi tetap akan menjadi istilah yang menggambarkan karakteristiknya masing- masingnya, namun apabila dikomunikasikan hal tersebut akan

(20)

Suatu inovasi diantaranya muncul karena dalam rangka menyelesaikan masalah, jika tidak ada masalah maka jarang terdapat inovasi. Inovasi merupakan salah cara untuk keluar dari masalah atau bahkan cara untuk bertahan hidup. Bagi mereka yang bermental inovatif masalah bukan sebagai hambatan tetapi masalah menjadi motivasi sekaligus tantang untuk berinovasi, lain halnya dengan yang bermental tradisional, masalah hanya sebagai masalah yang dapat menjadi hambatan dalam kehidupannya. Sehingga jelas sekali bahwa inovasi muncul karena untuk tujuan tertentu dalam hal memperoleh hal yang lebih efektif (Sa’ud, 2013).

Diantara sejumlah masalah yang melatarbelakangi munculnya suatu inovasi, adalah masalah pendidikan. Dari masalah pendidikan inilah maka muncul inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan suatu perubahan yang baru, dan kualitatif berbeda dari hal yang ada sebelumnya, serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan terntetnu dalam pendidikan (Satori, Djam’an & Sa’ud, 2017).

Diantara sejumlah masalah dalam pendidikan adalah masalah pembelajaran. Pembelajaran merupakan element penting dalam proses pendidikan, sehingga apabila proses pembelajaran bermasalah sudah tentu berakibat pada masalah pendidikan (Rusdiana, 2014).

Masalah dalam pembelajaran dapat terkait dengan strategi pembelajaran, bahan pembelajaran dan atau penilaian pembelajaran bahkan hasil belajar peserta didik.

Masalah yang berkaitan dengan bahan pembelajaran, khususnya untuk pendidikan dasar bahwa bahan pembelajaran dikembangkan secara brodfield dengan tegas antara satu bidang studi dengan bidang studi lainnya terpisah, seolah-olah satu mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya tidak memiliki keterkaitan, sehingga bahan ajar seperti dapat membuat kesulitan belajar bagi sisiwa karena

(21)

pemisahan seperti itu memberikan pengalaman belajar yang bersifat artifisial, padahal bagi peserta didik anak usia sekolah dasar dapat dengan mudah memperoleh pengalaman belajar secara bermakna jika pembelajaran dikembangkan secara totalitas atau terintegrasi (Trianto, 2011, Sa’ud, 2013 dan Prastowo, 2014)

Masalah yang berkaitan dengan starategi pembelajaran, bahwa pembelajaran yang dikembangkan tidak dapat mendorong upaya proses yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk eksplorasi pembelajaran secara mandiri dengan mencari tahu sendiri terhadap bahan pembelajaran yang akan dipelajari, sehingga pembelajaran bersifat teacher centered, akibatnya guru adalah satu- satunya sumber belajar dan satunya sumber kebenaran. Disamping itu strategi pembelajaran yang digunakan tidak sesuai dengan dunia anak khususnya usia pendidikan dasar sebagai peserta didik yang berada pada usia bermain. Bermain sebagai strategi belajar, belajar dengan menerapkan strategi bermain dapat memotivasi belajar peserta didik karena relevan dunianya, sehingga proses pembelajaran berlangsung secara autentik dan bermakna (Sumantri, 2016).

Masalah yang berkaitan dengan penilaian diantaranya adalah bahwa penilaian dilaksanakan dengan memisahkan penilaian proses dan hasil belajar. Sehingga terkadang proses pembelajaran dilakukan seara drill untuk mencapai hasil belajar tertentu. Hal lainnya adalah penilaian dilaksanakan secara tidak autentik, sehingga tidak menggambarkan kemampuan peserta didik sebenarnya (Fatonah &

Prasetyo, 2013).

Masalah yang berkaitan dengan hasil belajar peserta didik, diantaranya adalah bahwa hasil belajar peserta didik sangat rendah tingkat kemampuannya baik itu dalam hal daya kritisnya, daya kreatif, daya analisis, dan daya penyelesaian masalahnya, hal ini bisa

(22)

didik untuk mencapai tingkat kemampuan peserta didik sampai pada tingkat kemampuan yang tinggi (Fanani & Kusmaharti, 2014).

Masalah-masalah yang tergambar di atas, perlu segera diatasi dengan melakukan inovasi pembelajaran. Sesuai dengan belajar Gestalt yang mengutamakan pengetahuan yang dimiliki siswa dimulai dari keseluruhan baru kemudian menuju bagian-bagiannya (Sa’ud, 2013). Dengan kata lain dimata peserta didik melihat dirinya sebagai pusat lingkungan yang merupakan keseluruhan yang belum jelas unsur-unsurnya dengan pemaknaan secara holistik yang berangkat dari yang bersifat konkrit.

Dari gagasan psikologis inilah salah satunya melatarbelakangi transformasi kurikulum dan lahirnya inovasi pembelajaran.

Implementasi kurikulum 2013 khusunya untuk pendidikan dasar sekolah dasar atau madarsah ibtidaiyah disebut juga dengan kurikulum terpadu (Hidayah, 2015 dan (Fatmawati et al., 2018). Keterpaduan kruikulum merupakan suatu sistem totalitas yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan dan berinteraksi baik antar komponen dengan komponen maupun antar komponen dengan keseluruhan, dalam rangka mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya (Sa’ud, 2013). Atas dasar kurikulum terpadu inilah kemudian telah lahir suatu inovasi pembelajaran muncul yang disesuaikan dengan psikologis peserta didik anak usia Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah yaitu pembelajaran tematik.

B. Pembelajaran Tematik Sebagai Inovasi

Pembelajaran tematik sebagai inovasi pembelajaran seiring dengan implementasi kurikulum 2013 di tingka Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah hal ini sebagaimana dinyatakan bahwa pembelajaran tematik sebagai inovasi pembelajaran pada pendidikan dasar yang dimulai dan diprakarsai oleh satuan organisasi

(23)

Kementerian Kebudayaan seiring dengan implementasi kurikulum 2013 (Permendikbud No 81 A/2013, No 57/2014, 103/2014, 105/2014, 53/2015, 20,21,22, 23,24/2016).

Pembelajaran tematik sebagai suatu inovasi dikembangkan berlandaskan filsafat humanisme, progresivisme, rekonstrukstivisme, dan perenialisme serta berlandaskan pedagogis yang relevan dengan karakteristik pendidikan di SD, karakteristik psikologis di SD, dan karakteristik sosio-budaya siswa SD (Panduan Pembelajaran Tematik, 2015. Inovasi pembelajaran tematik lahir sebagai kebijakan nasional yang diterpakan di tingkat Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah.

Inovasi yang menjadi suatu kebijakan baru, perangkat perencanan, metode, atau perubahan struktur yang didesain untuk meningkatan proses pembelajaran, sebagaimana ditegaskan oleh Nisbet & Collins, (2013) bahwa inovasi dalam kontesk pembelajaran adalah any new policy, syllabus, method or organizational change which is intended to improve teaching and learning. Dengan demikian, pembelajaran tematik berarti gagasan baru tentang pelaksanan pembelajaran tematik baik dari segi strategi, bahan ajar, penilaian, dan hasil belajarnya yang didesain untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Keberhasilan pembelajaran tematik karena pembelajaran tematik dilaksanakan sesuai dengan karakteristik psikologis dari peserta didiknya. Pembelajaran tematik dilaksanakan di tingkat sekolah dasar, hal ini sesuai dengan karakteristik peserta didik tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu psikologi pembelajaran tematik merupakan landasan diterapkannya pembelajaran tematik di jenjang pendidikan dasar sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.

Mengenal karakteristik belajar siswa pendidikan dasar menjadi kunci efektivitas dalam pembelajaran tematik (Sumantri, 2016). Disamping itu, menjadi argumentasi logis relevansi

(24)

dasar. Secara psikologis, siswa pendidikan dasar memiliki karakteristik belajar dari hal-hal yang sifatnya konkrit, sebagai dampak dari cara berpikir siswa yang seperti digambarkan J.Piaget dalam perkembangannya memasuki kemampuan berpikir operasional konkrit. Istilahnya J.Brunner memasuki tahapan berpikir simbolis.

Kemampuan berpikir konkrit ditandai dengan kemampuan berpikir konservasi, klasifikasi, indetiti dan simbolis. Berpikir konservasi artinya berpikir tetap, bahwa siswa pendidikan dasar memiliki pengertian tetap terhadap suatu objek, meskipun objek tersebut dirubah-ubah bentuknya. Berpikir klasifikasi, artinya siswa pendidikan dasar memiliki kemampuan untuk membuat klasifikasi beradasarkan pada kriteria dari suatu objek tertentu. Berpikir identiti, artinya peserda didik pendidikan dasar memiliki kemampuan untuk membedakan suatu benda berdasarkan identitasnya. Berpikir simbolis, artinya siswa pendidikan dasar dapat menerima informasi secara jelas apabila diiringi dengan simbol-simbol yang observabel atau dapat diamati (Purwanto, 2007) .

Kemampuan berpikir konkrit siswa pendidikan dasar mendorong timbulnya prilaku belajar siswa yang aktif dan produktif.

Dengan demikian, siswa pendidikan dasar memiliki karakteristik belajar aktif dan dan belajar produktif. Belajar aktif berarti belajar mengkonstruksi secara mandiri terhadap bahan ajar yang telah didsesain atau menemukan secara mandiri sumber belajar yang sedang dipelajari. Belajar produktif, berarti peserta didik pendidikan dasar berprilaku belajar berorientasi pada hasil, berorientasi pada pemecahan masalah dan berorientasi pada kegiatan yang menghasilkan suatu produk. Dengan demikian, Aktivitas belajar niscaya dapat diikuti apabila siswa pendidikan dasar terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran bukan pasive learning, disamping itu peserta didik pendidikan dasar memiliki prilaku belajar yang produktif

(25)

dalam pengertian selalu diarahkan pada adanya ketercapaian sesuatu yang bersifat produk seperti menulis dan membaca.

Siswa pendidikan dasar memiliki karakteristik belajar integrative, belajar integrative adalah belajar holistik yang berarti bukan belajar pada bagian-bagian kecil secara parsial. Kemampuan belajar holistik merupakan cara belajar deduktif atau peserta didik memiliki kemampuan belajar yang parsial setelah mengenal keutuhannya, atau belajar mulai dari keseleuruhannya baru kemudian bagian-bagiannya. Gagasan pemikiran belajar holistik ini dikenal juga dengan cara belajar Gestalt. Cara belajar Gestalt merupakan cara belajar peserta didik yang digagas oleh Gestalt.

Kemampuan belajar integrative siswa pendidikan dasar didukung oleh keterampilan bahasa holistik atau whole language.

Whole language yang dimiliki oleh peserta didik pendidikan dasar merupakan dukungan simbolis terhadap kemampuan belajar konkrit yang dimiliki oleh peserta didik. Whole language peserta didik pendidikan dasar terdiri dari keterampilan reseptif dan keterampilan produktif (Sumantri, 2016). Keterampilan reseptif yaitu keterampilan menyimak dan berbicara, sedangan keterampilan produktif terdiri dari membaca dan menulis. Apa yang disarankan oleh BSNP itu pada hakikatnya sesuai dengan pandangan para pakar bahasa tentang whole language (Goodman, 1986), suatu konsep yang menyatakan bahwa Bahasa bukanlah barang serpih-serpih yang terpisah, melainkan sebagai suatu keseluruhan utuh. Implikasinya dalam pengajaran ialah Bahasa harus diajarkan secara utuh sebagai suatu sistem yang terpadu.

Kedua cara tersebut jelas saling melengkapi satu sama lain, karena suatu tema akan memadukan seluruh kegiatan berbahasa, baik pada tingkat perencanaan maupun pada tingkat pelaksanaan di dalam kelas.

Dalam mendukung kemampuan belajar holistik dari peserta didik pendidikan dasar, bahasa memiliki fungsi carrier of knowledge atau

(26)

penghela dan pembawa ilmu secara utuh melalu kegiatan menyimak, berbicara, menulis dan membaca.

Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan salah satu institusi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, setara dengan Sekolah Dasar (SD), atau institusi lainnya yang sederajat. Perbedaanya adalah pada pengelolaannya, Jika Madrasah Ibtidaiyah pengelolaannya kelembagaan berada dibawah kebijakan Kementerian Agama Republik Indonesia, Sementara itu Sekolah Dasar dibahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dalam pengelolaan pendidikan, Kementerian Agama Republik Indonesia mengadopsi kebijakan implementasi kurikulum untuk mata pelajaran umum kepada Kementeria Pendidikan dan Kebudayaan, sementara itu untuk mata pelajaran agama di Madrasah Ibtidaiyah bahkan di Sekolah Dasar kebijakannay ada pada Kementerian Agama Republik Indonesia.

Namun demikian Madrasah Ibtidaiyah dapat secara opsional menerapkan pembelajaran tematik yang dijadikan kebijakan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk diterapkan di Madrasahnya meskipun Kementerian Agama belum mengeluarkan kebijakan penerapan pembelajaran tematik. Meskipun pada akhirnya pada tahun 2017 Kemeterian Agama RI melalui Dirjen Pendidikan Madrasah mengeluarkan edaran penerapan kurikulum 2013 yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dengan demikian, inovasi pembelajaran tematik yang dilaksanakan oleh Madrasah ibtidaiyah merupakan produk inovasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah tidak ada bedanya dengan pelaksanaan pembelajaran tematik di Sekolah Dasar, dasar kurikulumnya sama dari Kementerian

(27)

Pendidikan dan Kebudayaan, diantaranya menggunakan buku guru dan siswa berbasis tematik yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kecuali untuk pembelajaran agama di Madrasah Ibtidaiyah menggunakan produk buku kurikulum 2013 yang dikelaurkan oleh Kementerian Agama RI.

Pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah secara konseptual dikembangkan dalam mata pelajaran, antar mata pelajaran dan diluar mata pelajaran (Sundayana, 2014). Dalam mata pelajaran artinya terjadapat mata pelajaran yang menggunakan tema pembelajaran tetapi dilaksanakan secara terpisah dengan mata pelajaran lainnya, seperti Seni budaya dan keterampilan, Matematika, PAI, dan pendidikan jasmani dan olahraga. Dalam antar mata pelajaran dikembangkan secara webbed yang menjaring mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, Bahasa Indonesia, PKn. Diluar mata pelajaran artinya pembelajaran tematik dilaksanakan dengan mengembangkan tema dan kegiatan pembelajaran yang kontekstual denga menggunakan konteks lingkungan peserta didik.

Konsep pembelajaran tematik tersebut mendasari perubahan pada perencanaan pelaksanaan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran tematik berbasis pada tema sub tema yang dikembangkan secara jejaring (webbed) yang dalam satu kali pmbelajaran dapat menjaring dua tau lebih muatan mata pelajaran sehingga yang dikenal oleh siswa tidak lagi mata pelajaran tetapi tema dan sub tema pembelajaran (Unik Ambar, 2008).

Dalam pelaksanaanya pembelajaran tematik menggunakan buku guru dan buku siswa yang menjadi panduan pelaksanaan pembelajaran bagi guru dan siswa. Dalam buku siwa tidak tampak ada identitas mata pelajaran, tetapi dalam buku guru tampak sekali identitas mata pelajaranya, sebagai bentuk panduan pendalaman

(28)

dasar disiplin ilmu yang sedang dikaji oleh suatu tema dan sub tema pembelajaran. Dalam kegiatannya, pembelajaran tematik dilaksanakan melalui tahapan kegiatan pendahuluan, inti dan penutup.

Pada setiap kegiatan tersebut tampak bahwa tema pembelajaran dibelajarkan kepada peserta didik dan disampaikan setiap peralihan tahap kegiatan dan peralihan muatan mata pelajaran.

(29)

BAB III

DIFUSI INOVASI DALAM ORGANISASI

A. Konsep Difusi Inovasi

Proses komunikasi inovasi antara anggota sistem sosial, dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu disebut dengan difusi inovasi (Sa’ud, 2013), demikian pula yang disampaikan oleh Rogers (M. E. Rogers, 2003)diffusion is the process in which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system. It is a special type of communication, in that the messages are concerned with new ideas.Pendapat ini disetujui oleh Spiering & Erickson, (2006) bahwa suatu difusi inovasi merupakan proses mengkomunikasi suatu inovasi dengan saluran dan rentang waktu tertentu diantara anggota suatu sisten sosial. Oleh karena itu dalam suatu difusi inovasi terdapat empat elemen utama seperti dijelaskan oleh Dibra, (2015) yaitu a) harus diklasifikasikan sebagai inovasi; b) harus dikomunikasikan melalui saluran tertentu; c) harus diadopsi di antara anggota dalam sistem sosial; d) harus memperhitungkan durasi akun atau faktor waktu.

Dengan demikian sama halnya dengan inovasi pembelajaran tematik yang memiliki orientasi pada pencapaian kompetensi higher order thingking skills apabila tidak didfusikan secara menyeluruh maka bagi sebagian sistem sosial atau madrasah bisa jadi menjadi suatu inovasi tetapi bagi sebagai lain belum tentu sebagai suatu inovasi (Haryono, 2009).

Elemen difusi inovasi berdasarkan definisi di atas terdiri dari inovasi, commucation channels, over time, dan social system. Dalam

(30)

empat elemen tersebut suatu inovasi didifusikan. Apabila memiliki gagasan baru, produk baru atau hal lainya yang baru tetapi tidak didifusikan maka kebaruannya menjadi tidak diketahui dan yang pasti tidak memberikan manfaat apapun. Padahal suatu inovasiperlu untuk didifusikan agar memberikan manfaat bagi suatu sistem sosial.

Dalam difusi inovasi terdapat enam konsep yang mendasari prosesnya, seperti dijelaskan oleh Spiering & Erickson, (2006) yang mengutip pendapat Dearing et al., yaitu pertama, communicationchannels, yaitu tentang bagaiman pesan inovasi ditranmisikan kepada orang-orang. kedua, the innovation-decision process, yaitu meliputi tahapan knowledge, persuasion, decision,implementation, and confirmation yang dilewati orang dalam mengambil keputusan atau menolak suatu inovasi. Ketiga, homophily, yaitu suatu cara interaksi antara dua orang yang memiliki kesamaan karakteristik. Keempat, attributes, yaitu yang menggambarkan lima karakteristik inovasi dan bagaimana mereka secara positif atau negatif dihubungkan dengan tingkat kecepatan dalam adopsi suatu inovasi.

Kelima, adopter categories, yaitu menggambarkan hubungan orang- orang dalam kecepatan mengadopsi suatu inovasi. keenam opinion leaders, yaitu orang yang memberikan pengaruh kepada orang sikap orang lain.

Suatu sistem sosial dapat mengenal suatu inovasi karena menerima informasi tentang inovasi dari proses difusi inovasi.

Informasi suatu inovasi diterima oleh suatu sistem sosial adalah karena ada proses difusi dengan melakukan proses komunikasi dalam kuru waktu tertentu. Komunikasi dalam difusi inovasi dapat terjadi secara spontan, secara terpusat atau secara divergen. Komunikasi secara spontan artinya terjadi saling tukar informasi antara cange agent dan sistem sosial secara tidak disengajar tanpa even formal.

Komunikasi secara memusat atau konvergen artinya proses interaksi

(31)

dilakukan secara sengaja oleh team inovators dalam suatu event formal. Komunikasi secara menyebar atau divergent berarti proses interaksi untuk difusi inovasi dilakukan oleh para change agent secara formal atau tidak formal terhada suatu sistem sosial (Sa’ud, 2013).

Apabila suatu inovasi telah terdifusikan dengan menggunakan beragam saluran komunikasi yang dipilih belum tentu pula diadopsi oleh suatu sistem sosial. Oleh karena itu sistem sosial merupakan bagian penting dari difusi inovasi yang juga menentuka keberhasilan dari suatu difusi inovasi atau kecepatan tingkat adopsi suatu inovasinya. Suatu sistem sosial adalah sebagaimana dijelaskan oleh Rogers (M. E. Rogers, 2003) bahwa a social system is defined as a set of interrelated units that are engaged in joint problem solving to accomplish a common goal.maksudnya bahwa suatu sistem sosial adalah kelompok masyarakat yang terlibat dalam pemecahan masalah untuk mencapai suatu tujuan, demikian pula yang dijelaskan oleh Sa’ud (Sa’ud, 2013) bahwa sistem sosial adalah anggota masyarakat yang melakukan hubungan interaktif antar invidiu atau orang dengan bekerjasama untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Anggota suatu sistem sosial dapat terdiri dari individu, kelompok informal, organiasi dan sub sistem lainnya.

Dalam konteks difusi inovasi pembelajaran tematik, sistem sosial yang terlibat dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran adalah guru secara individu, secara kelembagaan adalah sekolah atau madrasah, secara jenjang pendidikan termasuk didalamnya adalah Madrasah Ibtidaiyah. Guru, kepala sekolah, dan atau Madrasah Ibtidaiyah akan mempengaruhi proses difusi inovasi tersebut, dalam sistem sosial tersebut pembelajaran tematik didifusikan dan oleh sistem sosial tersebut pembelajaran tematik diadopsi.

Suatu sistem sosial dalam difusi suatu inovasi tidak serta

(32)

difusi itulah proses keputusan adopsi inovasi dilakukan oleh suatu sistem sosial. Apabila proses difusi inovasi dilakukan terhadap suatu sistem sosial yang bersifat homopilis tentu saja difusi inovasi akan dengan mudah diadopsi meskipun memerlukan waktu. Namun demikian tetap saja prosesnya melalui tahapan seperti dijelaskan oleh Rogers (M. E. Rogers, 2003) yaitu proses mengetahui inovasi (knowledge), proses membentuk sikap menyenangi (persuation), memutuskan adopsi atau menolak (decision), menerapkan inovasi apabila suatu inovasi diterima, serta meninggalkan apabila suatu inovasi ditolak (implementaion), dan mencari penguatan atas keputusan yang diambilnya (confirmation).

Disamping itu, jika suatu sistem sosial adalah individu yang berada dalam suatu organsiasi, maka proses difusi inovasi terhadap individu dalam suatu organisasi ditentukan dengan proses opsional, kolektif dan otoritas. kaitannya dengan pembelajaran tematik berarti, proses difusi inovasi dilakukan terhadap individu yang terdapat suatu organisasi dalam suatu lembaga pendidikan tertentu dalam hal ini adalah Madrasah Ibtidaiayah.

B. Tahapan Difusi Inovasi Dalam Organisasi

Maksud difusi inovasi dalam organisasi adalah proses difusi inovasi yang dimulai dan diprakarsai oleh organisasi, dalam penelitian ini yang memulai dan memprakarsai prose difusi inovasi pembelajaran tematik adalah Kementerian Agama. Disamping itu proses difusi inovasi pembelajaran tematik dilakukan melalui jalur organisasi yaitu Dinas Madrasah dan Madrasah. Dalam proses difusi inovasi dalam organisasi dilakukan melalui tahapan inisiasi dan implementasi, sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

(33)

1. Tahapan Inisiasi Inovasi Pembelajaran Tematik

Sebagaimana Rogers (2003) menjelaskan bahwa tahapan proses difusi inovasi dalam organisasi dibagi menjadi dua tahapan besar yaitu tahap inisiasi dan tahap implementasi. Tahapan ini pada Tahap-tahap selanjutnya dalam proses inovasi tidak dapat dilihat sampai tahap-tahap sebelumnya telah selesai, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam Rogers (2003) dalam generalisasinya (10-2) menjelaskan bahwa setiap variabel struktur organisasi mungkin terkait dengan inovasi dalam satu arah selama fase inisiasi dari proses inovasi, dan dalam arah yang berlawanan selama fase implementasi;

each of the organizational struc ture variables may be related to innovation in one direction during the initiation phases of the innovation process, and in the opposite direction during the implementation phases.

Tahapan inisiasi, didefinisikan sebagai semua pengumpulan informasi, pembuatan konsep, dan perencanaan untuk adopsi inovasi, yang mengarah pada keputusan untuk mengadopsi.

Pada tahap ini merupakan proses inovasi organisasi yang kegiatannya adalah mengumpulkan informasi, konseptualisalsi, dan perencanaan untuk menerima inovasi, semuanya diarahkan untuk membuat keputusan menerima inovasi. Demikian pula yang didefinisikan oleh Rusdiana (2014) yaitu kegiatan pengumpulan informasi, konseptualisasinya, dan perencanaan untuk menerima inovasi.

Dalam konteks pembelajaran tematik, tahap inisiasi ini adalah tahapan suatu madrasah melakukan pengumpulan informasi, konseptualisasinya, dan perencanaan akan menerapkan pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah melalui tahapan agenda setting dan matching. Proses ini meliputi:

a. Agenda Setting

(34)

Agenda setting terjadi ketika masalah organisasi umum didefinisikan yang menciptakan kebutuhan yang dirasakan akan suatu inovasi. Proses penetapan agenda terus berlangsung di setiap sistem, menentukan sistem apa yang akan bekerja pertama, berikutnya, dan seterusnya. Agenda setting adalah cara dimana kebutuhan, masalah, dan masalah muncul melalui suatu sistem dan diprioritaskan dalam hierarki untuk diperhatikan (Dearing dan Rogers, 1996). Tahap agenda setting dalam proses inovasi dalam suatu organisasi terdiri dari (1) mengidentifikasi dan memprioritaskan kebutuhan dan masalah dan (2) mencari lingkungan organisasi untuk menemukan inovasi kegunaan potensial untuk memenuhi masalah organisasi ini.

Agenda setting memulai urutan proses inovasi, karena di sinilah motivasi awal dihasilkan untuk mendorong langkah-langkah selanjutnya dalam proses inovasi. Pada tahap agenda setting, satu atau lebih individu dalam suatu organisasi mengidentifikasi masalah penting dan kemudian mengidentifikasi suatu inovasi sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada intinya tahap agenda setting berkaitan dengan identifikasi masalah dalam organisasi lalu ditentukan kebutuhan inovasinya dan diadakan studi lingkungan untuk menentukan nilai potensial inovasi bagi organsiasi (Sa’ud, 2014). Demikian pula yang disampaikan oleh Rusdiana (2014) bahwa agenda setting merupakan perumusan masalah organisasi dalam rangka menentukan kebutuhan inovasi. Dalam menentukan suatu masalah dapat digunakan analisis SWOTsebagai upaya survei internal (strength dan weakness), dan survei eksternal (opportunities dan threats). Strength (kekuatan) bagi sebuah inovasi merupakan opportunities (peluang) yang harus dimanfaatkan, sedangkan weakness (kelemahan) harus dianggap sebagai threats (ancaman) (Rusdiana, 2014).

(35)

Dengan demikian dalam konteks inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiayh agenda setting berarti proses analisis kebutuhan oleh Madrasah Ibtidaiyah terhadap konsep, perencanaan, dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik baik internal (strength dan weakness) maupun eksternal (opportunities dan threats).

b. Matching

Matching didefinisikan sebagai tahap dalam proses difusi inovasi dimana masalah dari agenda organisasi sesuai dengan inovasi, dan pelaksanaannya direncanakan. Pada tahap kedua ini dalam proses inovasi, pencocokan konseptual masalah dengan inovasi terjadi untuk menetapkan seberapa baik inovasi itu cocok. Dalam pengujian realitas ini, anggota organisasi berupaya menentukan kelayakan inovasi dalam memecahkan masalah organisasi. Perencanaan tersebut memerlukan antisipasi terhadap manfaat, dan masalah, yang akan dihadapi inovasi ketika diterapkan. Pembuat keputusan organisasi dapat menyimpulkan bahwa inovasi tersebut tidak sesuai dengan masalahnya. Keputusan ini mengarah pada penolakan, penghentian proses inovasi sebelum penerapan ide baru.

Matcing suatu inovasi dengan kebutuhan organisasi secara efektif adalah kunci bahwa ide baru itu dapat bertahan lama. Tingkat kecocokan ini adalah salah satu jenis kompatibilitas inovasi tertentu.

Goodman dan Steckler (1989) menemukan bahwa apakah suatu inovasi “menemukan rumah” sesuai dengan kebutuhan atau program yang ada dalam organisasi sangat penting untuk keberlanjutannya di kemudian hari.

Keputusan yang cocok menandai dalam proses inovasi antara inisiasi dan implementasi, semua peristiwa, tindakan, dan keputusan yang terlibat dalam memanfaatkan inovasi diarahkan untuk menyelesaikan masalah organisasi dengan inovasi yang akan

(36)

digunakan, kemudian direncanakan dan dibuat desain penerapan inovasi yang sudah sesuai dengan masalah yang dihadapi (Sa’ud, 2014). Demikian pula yang dijelaskan oleh Rusdiana (2014) yaitu tentang agenda penyesuaian meliputi penyesuaian masalah dengan inovasi yang digunakan dan penyesuaian dengan rancangan penerapan inovasi.

Dengan demikian dalam konteks penelitian ini bahwa matching adalah proses penyesuaian oleh Madrasah Ibtidaiyah dengan mencocokan konsep, perencanan dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik dengan masalah pembelajaran yang dihadapi.

2. Tahapan Implementasi Inovasi Pembelajaran Tematik Tahap selanjutnya dari proses difusi inovasi dalam organisasi adalah tahapan implementasi. Pada tahap implementasi proses difusi inovasi dilakukan dalam proses redefinisi/restrukturisasi, klarifikasi, dan rutinisasi. Oleh karena itu difusi inovasi pembelajaran tematik pada tahap implementasi diartikan sebagai proses difusi inovasi pembelajaran yang dilakukan dengan proses redefining/restructuring, clarifying, dan routinizing.

a. Redefining/restructuring

Pada tahap ini, inovasi yang diimpor dari luar organisasi secara bertahap mulai kehilangan karakter asingnya.

Redefining/restructuring terjadi ketika inovasi diciptakan kembali untuk mengakomodasi kebutuhan dan struktur organisasi lebih dekat, dan ketika struktur organisasi dimodifikasi agar sesuai dengan inovasi (M. E. Rogers, 2003). Demikian pula penjelasan Rusdiana (2014) bahwa proses redifinisi dan restruturisasi suatu inovasi sasarannya

(37)

adalah kegiatan modifikasi atau reinvensi sehubungan dengan kegiatan inovasi yang dilaksanakan, dan kegiatan modifikasi atau restrukturisasi organisasi sehubungan dengan kegiatan inovasi yang dilaksanakan.

Baik inovasi dan organisasi diharapkan berubah, setidaknya sampai taraf tertentu, selama tahap redefinisi/restrukturisasi proses inovasi. Namun, sebuah studi dari beberapa inovasi di tiga organisasi oleh Tyre dan Orlikowski (1994) menemukan bahwa hanya ada jendela peluang yang ada dalam sebuah organisasi di mana inovasi dapat dimodifikasi. Setelah itu, inovasi dengan cepat dirutinkan dan tertanam dalam struktur organisasi dan tidak mungkin berubah lebih lanjut. Dalam generaliasinya Rogers (2003) menyatakan bahwa both the innovation and the organization usually change in the innovation process in anorganization. Maksudnya bahwa baik inovasi dan organisasi biasanya mengalami perubahan dalam proses inovasi dalam organisasi (10-5).

Dalam konteks difusi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah bahwa proses redefining berarti proses memodifikasi oleh Madrasah Ibtidaiyah dengan melakukan perubahan terhadap konsep, perencanaan, dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik. Sementara itu, restructuring adalah proses perubahan struktur organisasi Madrasah Ibtidaiyah dengan diterapkannya pembelajaran tematik menjadi pembelajaran team teaching.

b. Clarifying

Klarifikasi terjadi ketika inovasi digunakan secara lebih luas dalam suatu organisasi, sehingga makna ide baru tersebut secara bertahap menjadi lebih jelas bagi anggota organisasi. Implementasi inovasi yang terlalu cepat pada tahap klarifikasi dapat menyebabkan hasil yang merusak.

(38)

Kesalahpahaman atau efek samping yang tidak diinginkan dari suatu inovasi dapat terjadi. Tindakan korektif dapat diambil untuk menghindari masalah seperti itu, tetapi pengelolaan proses inovasi, terutama pada tahap klarifikasi, sulit dan rumit. Seperti yang diilustrasikan contoh perikop dan nonpassage dari tata cara dilarang merokok di kota-kota, inovasi kebijakan tertentu dapat dibingkai dengan berbagai cara. Pembingkaian ini memiliki konsekuensi penting untuk menentukan apakah kebijakan itu disetujui atau ditolak..

Tahap klarifikasi dalam proses inovasi dalam suatu organisasi terdiri dari konstruksi sosial (M. E. Rogers, 2003). Ketika ide baru pertamakali diterapkan dalam suatu organisasi, itu memiliki sedikit makna bagi anggota organisasi dan dikelilingi oleh ketidakpastian. Bagaimana cara kerjanya? Apa fungsinya? Siapa di dalam organisasi yang akan terpengaruh olehnya? Apakah ini akan memengaruhi saya? Ini adalah pertanyaan umum yang ingin dijawab individu pada tahap klarifikasi. Ketika orang-orang di suatu organisasi berbicara tentang inovasi, mereka secara bertahap mendapatkan pemahaman yang sama tentang itu. Dengan demikian makna inovasi mereka dibangun dari waktu ke waktu melalui proses sosial interaksi manusia. Seperti yang dibahas sebelumnya, juara inovasi biasanya memainkan peran penting dalam proses klarifikasi ini.

Rusdiana (2014) menjelaskan bahwa pada tahap klarifikasi ini, proses difusi inovasi sasarannya adalah hubungan inovasi dengan organisasi dan tindak lanjut inovasi. Dengan demikian pada tahap klafirikasi proses difusi inovasi berlangsung seara konstruktif dalam proses hubungan interaktif antara satu individu dengan individu yang lainnya sehingga menjadi semakin jelas manfaat dari suatu inovasi diterapkan.

Dalam konteks difusi inovasi pembelajaran tematik pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tahap klarifikasi berarti

(39)

terjadinya hubungan antara organisasi Madrasah Ibtidaiyah dengan melakukan konstruksi partisipatif dan menciptakan lingkungan interaktif diantara guru terhadap konsep, perencanan dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik.

c. Routinizing

Routinizing terjadi ketika sebuah inovasi telah dimasukkan ke dalam kegiatan reguler organisasi dan telah kehilangan identitasnya secara terpisah (M. E. Rogers, 2003). Pada titik itu, proses inovasi selesai. Routinizing tidak sederhana dan mudah seperti yang terlihat pada pandangan pertama. Demikian pula yang dijelaskan oleh Rusdiana (2014) bahwa pada bagian ini, proses difusi inovasi yang diterima telah menjadi bagian aktivitas sehari-hari atau justru atau belum.

Banyak penelitian telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir tentang keberlanjutan, sebuah konsep yang berkaitan erat dengan rutinitas, yang didefinisikan sebagai sejauh mana inovasi terus digunakan setelah upaya awal untuk mengamankan adopsi selesai.

Pertimbangkan intervensi penelitian yang dilakukan dalam organisasi kesehatan, di mana program baru diperkenalkan dan dievaluasi.

Setelah proyek penelitian selesai dan pendanaan khusus serta keahlian berakhir, akankah program inovatif berlanjut, atau akan dibatalkan?

Keputusan tentang keberlanjutan ini juga disebut pelembagaan oleh beberapa sarjana (Goodman dan Steckler, 1989).

Salah satu faktor penting dalam menjelaskan sejauh mana inovasi dipertahankan oleh suatu organisasi adalah partisipasi, yang didefinisikan sebagai sejauh mana anggota organisasi terlibat dalam proses inovasi (Green, 1986). Jika banyak anggota organisasi berpartisipasi dalam merancang, mendiskusikan, dan menerapkan inovasi, keberlanjutannya dari waktu ke waktu lebih mungkin terjadi.

(40)

Jika keputusan inovasi adalah keputusan otoritas, dengan hanya satu atau beberapa individu kuat yang terlibat, dan jika otoritas ini meninggalkan organisasi, keberlanjutan inovasi berisiko. Keputusan inovasi kolektif biasanya memiliki keberlanjutan yang lebih besar daripada keputusan otoritas inovasi, karena partisipasi yang lebih luas di dalamnya.

Selanjutnya, sejauh mana suatu inovasi diciptakan kembali;

didefinisikan sebelumnya sebagai tingkat dimana suatu inovasi dimodifikasi oleh pengadopsi ketika berdifusi; secara positif terkait dengan keberlanjutan inovasi. Ketika anggota organisasi mengubah suatu inovasi saat mereka mengadopsi, mereka mulai menganggapnya sebagai milik mereka, dan lebih cenderung meneruskannya seiring waktu, bahkan ketika sumber daya khusus awal ditarik atau berkurang dari lembaga yang mereka miliki.

Dengan demikian, dalam konteks difusi inovasi pembelajaran tematik, proses rutinitas berarti pembelajaran tematik telah dilaksanakan secara terus menerus, bahkan dimodfikasi konsep, perencanaan, dan pelaksanaan inovasi pembelajaran tematik yang melibatkan partisipasi guru sehingga identitas utamanya telah pudar.

C. Proses difusi inovasi di Madrasah Ibtidaiyah

Proses inovasi pembelajaran tematik dalam organisasi maksudnya adalah proses inovasi pembelajaran tematik yang dimulai dan diprakarsai oleh organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rebuplik Indonesia selanjutnya dikomunikasikan kepada organisasi Kementerian Agama, Dinas Pendidikan Madrasah sampai dengan satuan Pendidikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah. Proses difusi inovasi dalam organisasi dijelaskan Rogers (2003) akan berlangsung melalui proses inisiasi dan implementasi. Proses inisiasi berarti as all of the information gathering, conceptualizing, and

(41)

planning for the adoption of an innovation, leading up to the decision to adopt (M. E. Rogers, 2003). Proses implementasi berarti consisting of all the events, actions, and decisions involved in putting an innovation into use (M. E. Rogers, 2003). Pada proses inisiasi terdiri dari tahapan agenda setting, dan matching. Pada proses implementation terdiri dari tahapan restructuring/redefining, clarifying dan routinzing. Proses inovasi tersebut bersifat simultan yang berarti tahap inisiasi secara eksplisit atau implisit dapat menentukan keberlangsungan dari proses implementasi suatu inovasi.

Hal ini terbukti pada hasil penelitian di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan sebagaimana digambarkan pada table 4.3 sebagai berikut:

(42)

Tabel 3. 1 Proses Inovasi Pembelajaran Tematik dalam Organisasi

Satuan Pendidikan

Proses Inovasi Pembelajaran Tematik dalam Organisasi

Inisiation Implementation

Agenda

Setting Matching Restructuring/

Redefining Clarifying Routinizing Madrasah

Ibtidaiyah 4.18 4.18 4.23 4.12 4.00

Rata-rata 4.18 4.12

Total rata-

rata 4.15

Berdasarkan table 3.1 di atas diketahui bahwa rata-rata di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan menyatakan setuju dengan skor rata-rata 4.18 terhadap inisiasi inovasi pembelajaran tematik dari rata-rata setuju melakukan upaya agenda setting dengan skor 4.18 , dan setuju terhadap upaya matching inovasi pembelajaran tematik dengan skor 4.18. Keberlangsungan inisiasi tersebut mendorong proses inovasi pada tahap implementasi yang dinyatakan rata-rata setuju dengan perolehan skor rata-rata 4.12 dari rata-rata anggota organisasi menyatakan setuju melakukan upaya restructuring/redefining dengan skor 4.23, clarifying dengan skor 4.12 dan routinizing dengan skor 4.00 terhadap inovasi pembelajaran tematik. Dengan demikian rata-rata anggota organiasi pada satuan Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan menyatakan setuju dengan perolehan skor total rata-rata adalah 4.15 terhadap proses difusi inovasi pembelajaran tematik. Proses difusi inovasi pembelajaran tematik di Madrasah ibtidaiyah Tangerang Selatan

(43)

dilakukan dengan dilakukannya upaya inisiasi dan implementasi secara organisasi terhadap inovasi pembelajaran tematik.

Dalam upaya inisiasi terhadap inovasi pembelajaran tematik yang dilakukan di Madrasah Ibtidiayah Tangerang Selatan berlangsung dengan proses agenda setting yang dilakukan melalui upaya identifikasi perlunya mengadopsi inovasi pembelajaran tematik, melakukan analisis keunggulan inovasi pembelajaran tematik yang sesuai dengan kebutuhan sekolah, mengidentifikasi kelemahan inovasi pembelajaran tematik, mengidentifikasi peluang penerapan inovasi pembelajaran tematik, dan mengidentifikasi dampak positif penerapan inovasi pembelajaran tematik. Proses genda setting merupakan permulaan penting dalam urutan proses inovasi, karena disinilah motivasi awal dihasilkan untuk mendorong langkah-langkah selanjutnya dalam proses inovasi, demikan ini yang ditegaskan oleh (E. M. Rogers, 2003) bahwa setting the agenda for innovation in an organization is tremendously powerful. Pada tahap agenda setting, satu atau lebih individu dalam suatu organisasi mengidentifikasi masalah penting dan kemudian mengidentifikasi inovasi sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut (M. E. Rogers, 2003).

Tindakan agenda setting terhadap inovasi pembelajaran tematik yang telah dilakukan di Madrasah Ibtadaiyah Tangerang Selatan menggambarkan performance gap, personal confrontation, a shock to the organization, dan an opportunistic surveillance terhadap masalah yang dihadapi dengan kebutuhan inovasi pembelajaran tematik. Performance gap berarti perbedaan antara expectation’s organizations dan actual performance atau perbedaan antara cara anggota organisasi memandang kinerjanya, dibandingkan dengan yang mereka rasa seharusnya, menjadi pendorong yang kuat dalam mencari informasi tentang inovasi pembelajaran tematik. Tindakan ini dibenarkan E. M. Rogers (2003) dalam generalisasinya (10-4) bahwa

(44)

a performance gap can trigger the innovation process. Hal ini pula yang dapat menjelaskan alasan kuat anggota organisasi memandang perlu mengadopsi inovasi pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik dipersepsikan sebagai inovasi yang dirasa seharusnya perlu diadopsi karena pengalaman pembelajaran yang berlangsung sebelumnya selama kinerja mengajar dirasakan belum memenuhi harapan untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas bagi peningkatan kompetensi peserta didik apalagi dengan tuntutan pembelajaran abad 21 sehingga dengan penerapan pembelajaran tematik dipandang dapat memenuhi harapan organisasi untuk mewujudkan proses pembelajaran berorientasi pada pencapaian kompetensi higher order thninking yang meliputi critical thingking and problem solving, collaborative learning, dan creative learning dari peserta didik.

Disamping itu, agenda setting inovasi pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dapat dipandang sebagai personal confrontation yang menempatkan inovasi pembelajaran sebagai kebutuhan yang dapat membantu menyelesaikan masalah pembelajaran yang dihadapi oleh anggota organisasi pada satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah. Hasil penelitian rata-rata seperti tabel 4.21 di atas menyetujui bahwa inovasi pembelajaran tematik memiliki keunggulan, dan dampak positif yang dapat menyelesaikan masalah dalam pembelajaran, hal ini berarti bahwa inovasi pembelajaran tematik membantu menyelesaikan masalah pembelajaran diantaranya masalah terkait dengan pencapaian kompetensi, masalah aktivitas belajar, dan masalah peran serta pendidik dalam proses pembelajaran. Inovasi pembelajaran tematik dipandang oleh guru di Madarasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dapat menyelesaikan masalah pencapaian kompetensi. Masalah pencapaian kompetensi terletak pada ranah yang hendak dicapai dalam

(45)

pembelajaran yang semula hanya berupaya untuk mencapai kompetensi pada pengetahuan saja, dengan pembelajaran tematik yang mengutamakan proses mendorong pencapaian kompetensi secara integratif yang meliputi kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Pada penyelesaian masalah aktivitas belajar, inovasi pembelajaran tematik dipandang dapat menyelesaikan masalah yang terkait dengan aktivitas belajar, karena dalam pembelajaran tematik sebagai pembelajaran yang berbasis pada proses dengan menggunakan proses saintifik sehingga menjadi trigger bagi peserta didik untuk dapat terlibat aktif dalam belajar. Pada masalah peran pendidik dalam pembelajaran, inovasi pembelajaran tematik dipandang dapat mengoptimalkan peran pendidik dalam melaksanankan tugas profesionalnya yaitu mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai dan mengevaluasi, hal ini karena pendidik dalam pembelajaran tematik mengubah status peran sebagai guru mata pelajaran menjadi peran sebagai guru kelas .

Proses agenda setting pembelajaran tematik di Madrasah Ibtidaiyah Tangerang Selatan dapat juga dinyatakan sebagai a shock to the organization, atau kejutan bagi satuan pendidikan Madarsah ibtidaiyah Tangerang Selatan dengan adanya inovasi pembelajaran tematik, dapat disebut sebagai kejutan karena pembelajaran tematik merupakan inovasi yang dikembangkan secara authority yang kemudian harus diterapkan di Madrasah Ibtidayah Tangerang Selatan sejak kurikulum 2013 di impelementasikan, ketika sebagai sebuah kejuatan maka tentu saja akan menjadi perhatian bagi anggota organisasi satuan pendidikan untuk mempelajarinya, hal ini seperti yang disimpulkan oleh The Minnesota Innovation Research Program yang menjelaskan bahwa in most cases a shock to the organization reached a threshold of attention and led to action by the organization’s participants. Hal ini pula yang mendorong anggota

(46)

organisasi pada satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah mencari informasi terkait dengan inovasi pembelajaran tematik secara mandiri atau secara kolektif yang berkaitan dengan inovasi pembelajaran tematik dan bahkan setelah mendapatkan surat edaran dari dinas pendidikan madrasah Tangerang Selatan dan keputusan Kementerian pendidikan Agama tentang penerapan inovasi pembelajaran tematik, sehingga peluang untuk mengidentifikasi inovasi pembelajaran tematik sebagai inovasi yang dapat mengatasi masalah menjadi relatif kecil karena anggota organisasi mulai dengan solusi yang diinginkan, ada kemungkinan besar bahwa inovasi tersebut akan cocok dengan beberapa masalah yang dihadapi oleh organisasi. Akibatnya, sebagian besar anggota organisasi terus mencari informasi inovasi pembelajaran tematik dan mencocokkan inovasi tersebut yang menjanjikan dengan salah satu masalah mereka yang relevan .

Disamping itu, proses agenda setting pembelajaran tematik di Madrasah Ibitidaiyah Tangerang Selatan dapat pandang sebagai an opportunistic surveillance, atau pengawasan oportunistik dengan memindai lingkungan untuk ide-ide baru yang mungkin menguntungkan organisasi, hal ini berarti Madrasah Ibtidaiyah mengikuti perkembangan yang terjadi pada lingkungannya tidak melakukan kajian mendalam terhadap relevansinya dengan masalah belajar yang sedang dihadapi, jadi Madrasah Ibtidayah melakukan kajian mendalam terhadap inovasi pembelajaran tematik dikarenakan mengikuti kelompok kerja Madrasah Ibtidaiyah yang mengharuskan menerapkan inovasi pembelajaran tematik, jadi jika melakukan kajian terhadap inovasi pembelajaran tematik secara kelompok yang dikoordinasikan oleh kelompok kerja Madrasah atau oleh dinas pendidikan Madrasah. Kenyataan ini dijelaskan pula oleh March (E.

M. Rogers, 2003) most organizations engage in an opportunistic

Gambar

Tabel 3. 1 Proses Inovasi Pembelajaran Tematik dalam  Organisasi
Tabel 4. 2 Variabel Atribut Inovasi Pembelajaran Tematik
Tabel 5. 3 Communication Channels Inovasi Pembelajaran  Tematik
Tabel 5. 4 Communication Channel Pada Tahap Knowledge  No
+7

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi Mata Kuliah : Mata kuliah ini mengkaji pengertian dan arti penting inovasi, elemen-elemen dalam difusi inovasi, proses pengembangan inovasi, atribut inovasi

Proses difusi inovasi yang terjadi pada inovasi Rice transplanter juga meliputi empat unsur didalamnya antara lain Inovasi, Saluran Komunikasi, Jangka Waktu serta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana difusi inovasi, adopsi inovasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses adopsi jaringan WiFi sebagai bentuk

“Terkait dengan elemen, semua anggota polisi diminta untuk berpartisipasi oleh atasan” Rogers & Shoemaker dalam (Zolotov, 2018) menjelaskan bahwa: Dalam difusi inovasi

Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (Internet) Pada Tahapan Implementasi Dan Tahapan Konfirmasi Dalam Proses Difusi Inovasi Yang Dilakukan Oleh BAPPEDA

Deskripsi Mata Kuliah : Mata kuliah ini mengkaji pengertian dan arti penting inovasi, elemen-elemen dalam difusi inovasi, proses pengembangan inovasi,

Pada proses difusi inovasi teknologi komunikasi (internet) tahap keempat di Pondok Pesantren Karangasem Muhammadiyah ini, dalam implementasinya tempat yang digunakan

‘5 Tahapan Proses Keputusan Inovasi ~ Serba-Serbi “Sella”’ [accessed 19 March 2025] ‘Difusi Adalah: Pengertian, Proses, Dan Penerapannya Dalam Berbagai Bidang - Feeds Liputan6.Com’