• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Faktor-faktor yang mempengaruhi Efektifitas

Dalam dokumen PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHA (Halaman 49-59)

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.2 Kepustakaan Konseptual

2.2.8 Konsep Faktor-faktor yang mempengaruhi Efektifitas

Kepustakaan Konseptual mengenai efektifitas memperlihatkan keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektifitas suatu hal. Fokus penelitian yang penulis lakukan adalah dalam aspek penegakan hukum yaitu penyidikan. Sehingga penulis perlu melakukan pembahasan tentang konsep efektifitas untuk menganalisa salah satu persoalan dalam penelitian ini, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penyidikan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian Engeline pada Ditreskrimum Polda Bali.

Efektifitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang ditetapkan. Menurut Ravianto (1989:113), “pengertian efektifitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan, baik dalam waktu, biaya maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif”. Kemudian dalam kesempatan lain Ndraha (2005:163) menjelaskan, “efisiensi digunakan untuk mengukur proses, efektifitas guna mengukur keberhasilan mencapai tujuan”

Barnard (dalam Prawirosoentono, 1997: 27) berpendapat “Accordingly, we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It is efficient if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not.” Pendapat ini antara lain menunjukkan bahwa suatu kegiatan dikatakan efektif apabila telah mencapai tujuan yang ditentukan.

Mengutip Ensiklopedia administrasi, (The Liang Gie, 1967) menyampaikan pemahaman tentang efektifitas sebagai berikut :

Efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan denngan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.

Dari diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindak-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektifitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah

mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut.

Efektifitas memiliki beberapa jenis, salah satunya adalah efektifitas dalam penegakan hukum. Pembahasan mengenai efektifitas penegakan hukum pada dasarnya akan mengarah pada efektifitas hukum itu sendiri, yakni dalam menerapkan atau menegakkan hukum. Efektifitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu, sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak (Soekanto, 2011 : 5).

Menurut Soerjono Soekanto (2002 : 5-8) bahwa penegakan hukum adalah Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah / pandangan nilai yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Ia berpendapat bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum menurut Soerjono Soekanto (2002 : 17) antara lain :

1. Faktor Aturan Hukum (Undang-undang)

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata,

sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang.

2. Faktor penegak hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian law enforcement itu adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi serta upaya pembinaan kembali terpidana. Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena

itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai berikut :

1. Peranan yang ideal / ideal role ;

2. Peranan yang seharusnya / expected role;

3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan / actual role.

Penjelasan Peranan ideal dan peranan yang seharusnya pada penegak hukum Kepolisian diatur dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut :

Peranan yang Ideal terdapat pada : Pasal 4 UU Polri yaitu

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”

Kemudian Peranan yang seharusnya terdapat pada : Pasal 5 UU Polri Ayat (1) adalah :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”

Pasal 5 UU Polri Ayat (2) adalah :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Dalam menjalankan tugasnya penegak hukum tentunya menemui hambatan sehingga berpengaruh pada pelaksanaan peranan yang diinginkan. Adapun hambatan menurut Soerjono Soekanto tersebut adalah :

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain, dengan siapa dia berinteraksi.

2. Tingkat aspirasi (harapan) yang relatif belum tinggi.

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.

4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu.

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.

Ada tiga elemen penting yang mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, antara lain : (1) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (2) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk

mengenai kesejahteraan aparatnya; dan (3) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

3. Faktor sarana atau fasilitas

Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.

4. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfariasi antara lain :

a. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;

b. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan; c. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku

pantas yang diharapkan;

d. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ; e. Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;

g. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan; h. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik; i. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai;

j. Hukum diartikan sebagai seni.

Berbagai pengertian tersebut di atas timbul karena masyarakat hidup dalam konteks yang berbeda, sehingga yang seharusnya dikedepankan adalah keserasiannya, hal ini bertujuan supaya ada titik tolak yang sama. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengindentifikasi dengan petugas (dalam hal ini adalah penegak hukum adalah sebagai pribadi).

5. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur mencangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.

Pasangan nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekanto (2002) adalah sebagai berikut :

a. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman.

b. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/seakhlakan.

c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/ inovatisme.

Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adat dan hukum positif di Indonesia, dengan demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.

Indonesia adalah negara hukum. Negara Hukum adalah negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum (Mochtar Kusumaatmaja). Pengertian tersebut kemudian mengacu pada salah satu asas hukum yaitu Equality before the law atau persamaan dihadapan hukum. Asas ini menjadi salah satu doktrin rule of law yang berkembang di Indonesia.

Asas persamaan dihadapan hukum merupakan asas dimana terdapat kesetaraaan dalam hukum pada setiap individu tanpa adanya pengecualian. Asas kesamaan di dalam hukum itu bisa dijadikan standar untuk mengakomodasi kelompok-kelompok marginal dan kelompok minoritas. Namun akibat adanya perbedaan sumber daya, kekuasaan dan informasi, asas tersebut sering

didominasi oleh kelompok penguasa sebagai tameng untuk melindungi aset dan kekuasaannya.

Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan : “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya”. Pasal tersebut memberi pengertian bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah keatas atau kaum marginal yang bergumul dengan kemiskinan, harus dilayani sama dihadapan hukum.

Asas berikutnya yang terkait adalah asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c disebutkan bahwa :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Kemudian untuk menjelaskan asas praduga tidak bersalah ini, M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan”, menjelaskan bahwa :

Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (Harahap, 2013).

Berdasarkan penjelasan Yahya Harahap, dapat diketahui siapapun memiliki kedudukan yang sama dimuka hukum dan dianggap tidak bersalah hingga terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam dokumen PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHA (Halaman 49-59)

Dokumen terkait